Selamat datang di Pangkalan Depok, kota dengan angin laut yang berhembus dengan kuat. Di sini, mayoritas penduduknya adalah nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan laut di Teluk Jakarta. Seorang pemuda tampak sedang menggendong karung goni, bekerja sebagai pekerja keras yang melayani sekelompok oligarki penguasa negara.
“Aku tidak sabar pulang ke rumah.”
Seorang pemuda terlihat tersenyum dengan polosnya. Semangat dan rasa kasih sayang selalu tertanam di dalam benaknya, meskipun realita di sekelilingnya seolah berkata lain. Realitas yang telah menjadi identitas Kota Pangkalan Depok dan Indonesia. Suara tangisan bayi terdengar di hampir setiap pojokan kota. Mereka adalah balita yang kekurangan gizi dan kasih sayang. Pun dengan orang-orang dewasa, mereka adalah sekelompok pekerja keras pengangkut karung yang selalu diwarnai keringat dan keluh kesah.
“Kenapa kamu terlihat senang sekali, Harun?” tanya temannya.
Harun dan temannya sedang berjalan keluar dari Pangkalan Depok, mereka melangkah melewati tumpukan bangkai KRL. Hari sudah sore, pekerjaan mereka telah usai.
“Kamu tidak ingat, ya? Hari ini Ibu ulang tahun,” jawab Harun yang diiringi senyum khasnya.
“Oh iya,” Ala menghela napas lalu tersenyum menatap sahabatnya, “Kamu ingin membelikannya sesuatu?”
Harun menatap sahabatnya dan membalasnya dengan antusias, “Tentu!”
Kedua sahabat itu kemudian berjalan menuju toko kelontong terdekat, tak peduli meskipun keringat dan rasa lelah telah menguasai sekujur tubuh mereka. Di toko kelontong, mereka melihat banyak orang dewasa yang duduk menyeruput kopi dan rokok. Tatapan mereka kosong. Orang-orang ini adalah mereka yang telah menjalani hari-hari berat sebagai kuli pelabuhan, berusaha menghibur diri dengan sebatang rokok dan berharap mendapat kekayaan instan melalui taruhan kartu judi.
“Ibu, aku ingin membeli empat mangkuk baso dan tiga gelas jeruk hangat, ya. Semuanya dibungkus,” ucap Harun.
“Semuanya dua ratus ribu rupiah.”
Harun mengambil uang dari sakunya dan memberikannya kepada penjaga toko kelontong.
Usai membeli makanan, Harun dan Ala berjalan menuju ke rumah mereka. Mereka adalah dua pemuda yang tinggal satu atap. Ala merupakan sepupu Harun yang memutuskan merantau ke Pangkalan Depok ketika kota tempatnya tinggal dilanda bencana kelaparan. Kedua pemuda ini dahulu memiliki cita-cita berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pangkalan Depok, kampus makara yang pernah berjaya pada masanya. Akan tetapi, semenjak tragedi pemberontakan mahasiswa revolusioner, Otoritas Kiri memutuskan melakukan kebijakan pembungkaman dan penutupan kampus-kampus. Kini nasib mereka berakhir sebagai rakyat kecil yang menggantungkan diri dari belas kasih birokrasi korup.
“Hei, Harun,” panggil Ala.
Harun menoleh ke arah sahabatnya, “Ya?”
“Ibumu itu sangat baik ya, dia selalu menyiapkan makanan untuk kita setiap pagi,” ucap Ala.
Harun mengangguk sembari tersenyum, “Iya, dia juga selalu peduli pada kita dan si kecil Pio.”
“Malam ini kita akan makan bersama, aku sudah tidak sabar,” lanjut Harun.
Kedua pemuda itu hampir sampai di kediaman mereka. Akan tetapi, dari kejauhan mereka melihat sesuatu yang aneh. Sontak langkah kaki mereka berdua terhenti di tempat.
“Harun, apa itu?” tanya Ala, telunjuknya mengarah ke depan.
“A-Apa yang terjadi?” Harun berdiri terpaku di tempat, sorot matanya tertuju di depan. Muka Harun yang semula ceria kini menjadi pucat.
“Kita harus lari, Harun. Lari!”
Di depan sana Pasukan Otoritas Kiri telah berkumpul di depan rumah mereka, mereka memegang selongsong senapan laras panjang. Di hadapan mereka seorang perempuan paruh baya tergeletak di pinggiran jalan, begitu pula dengan seorang balita yang terbungkus kain berwarna merah pekat. Itu adalah Ibu Harun dan si Pio kecil.
Salah satu dari mereka lalu mengangkat senapannya, berusaha memecah kehebohan untuk menarik perhatian orang-orang sekeliling. “Saudara-saudara sekalian, ini adalah hukuman bagi mereka yang menentang Otoritas Kiri. Wanita ini telah menimbun hasil tangkapan ikan di rumahnya. Ada seratus kilo, saudara-saudara! Sesuai dengan peraturan negara kita, ini adalah tindakan yang hina! Karena semua milik kita bersama!”
Orang-orang sekeliling bersorak sembari mengangkat kepalan tangannya. Sejatinya itu adalah sorakan palsu, jika mereka tidak melakukannya, mereka akan dianggap sebagai oposisi pemerintah.
“In-Harun, lari!” Ala berbisik pelan dan berlari meninggalkan Harun.
Langkah kakinya tertuju di gang-gang yang penuh tumpukan sampah. Akan tetapi, rupanya Pasukan Otoritas Kiri menyadarinya. Mereka pun segera menembaki Harun dan Ala
Harun terkejut meratapi sahabatnya yang kini telah tergeletak di jalan, sebutir peluru bersarang di dadanya. Namun, sebelum ia menangisi teman dan keluarganya dan bersiap untuk ditangkap, sontak ia mendengar suara samar-samar di dekatnya.
“Hey, ayo!” Sebuah tangan menarik tubuh Harun memasuki gang sempit di sampingnya. Gerakan kilat sehingga Pasukan Otoritas Kiri tidak menyadarinya.
“Sttt… Diam!” Sosok misterius itu menutup mulut Harun dengan telapak tangannya. Mereka berdua bersembunyi di balik tong sampah besar.
Harun hanya terdiam di tempat. Perasaannya bercampur aduk antara sedih, terkejut, dan penasaran.
“Ikut aku!” seru sosok itu.
“Tu-tunggu, siapa kamu?” tanya Harun.
“Tidak ada waktu menjelaskan, prioritas kita sekarang adalah lari!”
Harun kembali bertanya, “Ke mana kita akan pergi?”
Sosok itu menjawab singkat, “Dataran Tinggi Bogor.”
Beberapa menit berlari, mereka berdua akhirnya keluar dari gang, sosok itu langsung membuka pintu mobil di depannya dan menyalakan mesin. Harun tanpa pikir panjang langsung menaiki mobil Jeep itu.
“Ada apa di sana?” Lagi-lagi, Harun bertanya.
Sosok itu kemudian membuka tudungnya, Harun terkejut. Dalam hati ia bertanya, seorang perempuan?
“Markas Kelompok Revolusioner.”
***
“Dalam waktu dekat ini, kita akan melakukan penyerangan ke Kalimantan, tepatnya di Ibu Kota Negara.” Seorang lelaki paruh baya terlihat sedang menjelaskan dalam sebuah rapat.
“Tapi, Pak, kenapa kita harus menyerang IKN? Bukankah mereka memiliki banyak basis pertahanan juga di Jawa?”
Lelaki itu menjawab, “IKN, markas utama mereka, tempat pemerintahan komunis merajalela.”
Dia mengayunkan tangan dengan tegas ke atas. “Para pemimpin negara yang korup hidup dalam ketiranan, mengendalikan nasib kita di sana.”
Lelaki itu lalu menghadap para penonton dengan mata berapi-api. “Kita tak boleh lagi berdiam diri!” Dia berjalan di sepanjang ruangan rapat, semua sorot mata tertuju padanya.
“Sekarang adalah saatnya, kita harus menyerbu pusat kekuasaan mereka di IKN dengan senjata pemusnah masal – bom nuklir, bantuan dari Blok Barat!”
Seisi ruangan hening sesaat. Tatapan mata laki-laki itu memandangi satu persatu anggota rapat sebelum ia kembali berseru. “Maka dari itu, teman-teman, dengan langsung menyerang pusat pemerintahan mereka, kita bisa melumpuhkan mereka dan memicu serangkaian revolusi yang lebih besar. IKN adalah prioritas kita, karena Kalimantan adalah kunci!”
***
Di sisi ruangan yang lain, Harun terlihat duduk dengan ekspresi sayu. Hampir sebulan berlalu, namun cinta dan kehilangannya masih membekas di hatinya.
“Harun, makanlah,” kata seorang gadis sambil menyerahkan sepiring makanan yang masih mengeluarkan uap panas. Harun tidak mengangkat pandangannya–matanya masih penuh dengan bayangan sebulan lalu. Ia merindukan senyum manis ibunya dan tawa ceria adik kecilnya. Dengan hati berat, ia berdiri dan berjalan keluar ruangan.
“Hei, kamu mau ke mana?” tanya gadis itu, mengikuti Harun dengan khawatir. “Kamu harus makan, sudah tiga hari kamu tidak makan.”
Harun menjawab dengan suara lemah, “Aku ingin pergi ke Pelabuhan Depok, keluargaku masih di sana.”
Gadis itu menggelengkan kepala dengan khawatir. “Tidak, Harun. Kamu tahu bahwa wajahmu sudah dikenali oleh Otoritas Kiri. Kamu bisa berisiko besar pergi ke sana.”
Namun, Harun sepertinya tidak mendengarkan nasihatnya. Ia melangkah menuju pintu, bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Gadis itu tidak tahan melihatnya pergi dan mencoba menghalanginya, dengan lembut ia memegang tangan Harun.
“Jangan pergi,” bisiknya dengan suara lirih, matanya penuh dengan perasaan khawatir.
Harun mencoba menarik tangan yang terpegang erat oleh gadis itu, tetapi gadis itu tetap teguh dalam pendiriannya. Ia tahu bahwa Harun berada dalam bahaya besar jika pergi. Namun, kali ini, gadis itu tidak hanya memegang tangan Harun, ia memeluknya dari belakang dengan erat, sebagai tanda betapa besar rasa khawatirnya.
“Aku bilang di sana sangat berbahaya!” serunya dengan nada tegas. Gadis itu begitu khawatir akan nasib Harun, dan itu tercermin dalam tatapan matanya.
Saat itulah Harun menghentikan langkah kakinya, terpana oleh kasih satang dan kepedulian gadis itu.
Gadis itu kemudian menceritakan kisahnya dengan suara yang lirih. “Dulu, keluargaku juga menjadi korban pembantaian Otoritas Komunis. Itu terjadi ketika aku sedang pergi membelikan boneka untuk adikku yang akan ulang tahun. Tapi saat aku kembali adikku, ayah, dan ibuku sudah tergeletak di aspal jalan. Aku berhasil melarikan diri, dan bergabung bersama Kelompok Revolusioner. Itulah mengapa aku ingin menyelamatkanmu, Harun. Kamu selalu membuatku teringat akan adikku.”
Masih dalam pelukan gadis itu, Harun akhirnya bertanya dengan lembut, “Bagaimana rupa adikmu itu?”
Gadis itu tersenyum sambil mengenang, “Dia manis dan lucu, mirip sekali denganmu. Itu sebabnya aku merasa begitu dekat denganmu, Harun. Aku mungkin bodoh, tapi kamu selalu membuatku teringat akan adikku itu.”
Di bawah cahaya rembulan yang memancar gemerlap, Harun dan gadis itu duduk di rerumputan yang lembut, dikelilingi oleh pepohonan rindang yang berbicara dalam bisikan angin malam. Lambat namun pasti, kesedihan yang merayap dalam diri Harun mulai memudar. Senyuman gadis itu, seolah-olah menyentuhnya dengan keajaiban, tanpa disadari mengembalikan kedamaian dalam lubuk hatinya. Perlahan, mereka mulai berbicara satu sama lain, berbagi cerita dan kehangatan. Entah mengapa, Harun merasa tenang saat berada di dekat gadis itu, ketenangan yang sebelumnya hanya ia rasakan ketika bersama ibu dan adiknya. Mereka bersandar di pangkuan pepohonan, yang seolah-olah menjadi saksi bisu dari kisah yang sedang terukir dalam jiwa-jiwa yang tengah mekar.
“Oh, ya, aku belum tahu namamu,” kata Harun, suaranya mengalun seperti serenade.
Gadis itu tersenyum, mata cokelatnya bersinar seperti bintang-bintang yang melingkari bulan. “Aku adalah Fio, salam kenal, Harun.”
“Hei, Fio, andai semua kekacauan ini bisa berakhir. Apa yang akan kamu lakukan?”
Fio menatap Harun dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin hidup dalam bahagia, Harun. Aku adalah seorang gadis ekstrovert, ingin memiliki banyak teman, dan makan mi ayam setiap hari.”
Harun tertawa dengan ringan. “Kenapa mi ayam?”
Fio tersenyum lembut, matanya berkilau. “Karena mi ayam itu adalah hidangan sederhana yang bisa membuatku senang. Oh dan tentu saja dengan sentuhan es teh manisnya.”
“Hahaha, kalau begitu, nanti kita harus makan mi ayam suatu hari nanti,” seru Harun dengan semangat.
Mereka melanjutkan percakapan di bawah pohon-pohon tua, seperti dua jiwa yang menari di bawah sinar rembulan. Tanpa mereka sadari, mata mereka pun perlahan terpejam, duduk saling bersandar, dengan kepala Fio yang beristirahat di bahu hangat Harun. Dalam momen itu, mereka mengukir kenangan yang indah dalam perasaan misterius yang mulai bersemi di antara gemerlap bintang-bintang.
***
Sore hari di Markas Kelompok Revolusioner, Harun dan Fio duduk bersama di dalam ruang makan, sementara cahaya senja yang lembut menari-nari di antara daun pepohonan yang merindang. Markas ini adalah tempat di mana para oposisi pemerintah bersembunyi, terlindung dari mata dunia yang tak mengerti.
Harun menatap lembut mata Fio. “Fio, jika semua ini sudah berakhir, adakah tempat yang ingin kau panggil rumah?”
Fio menggigit bibirnya, menelan nasi, dan menjawab, “Ya, ada rumah nenekku di Pangkalan Depok. Tapi, sayangnya, itu bukan tempat yang aman bagiku. Wajahku sudah dikenali oleh Pasukan Merah.”
Harun tersenyum dan bertanya lagi, “Di mana rumah itu berada, Fio?”
Dengan hati-hati, Fio memberikan alamat rumahnya. Harun tersenyum lebar, penuh harap. “Oh, di sana? Aku janji, aku akan main ke sana suatu hari nanti.”
Fio, yang sedang merenung, bertanya ragu, “Harun, bagaimana denganmu? Apakah kamu masih memiliki tempat yang bisa kamu sebut rumah?”
Harun menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, “Tidak, tapi aku punya rencana untuk membeli rumah suatu saat nanti.”
Fio tersenyum lembut, “Ah begitu, ya, kalau begitu aku juga akan main ke rumahmu suatu saat nanti.”
Sementara matahari terus menunduk ke peristirahatannya, mereka terus berbicara, tak menyadari bahwa saat-saat paling berharga mereka akan segera terganggu.
Tiba-tiba, dari kejauhan seruan bahaya memecah keheningan mereka. Sirine berdenting keras di seluruh markas, menggema sebagai peringatan akan bahaya yang datang. “Pasukan Merah!”
Dalam sekejap, tembakan bermunculan di sekitar mereka. Harun dengan sigap meraih tangan Fio, mereka berdua lalu berlari menuju perlindungan di belakang markas. Muka Harun mendadak menjadi sangat serius, ia tidak ingin kehilangan orang yang berharga baginya lagi. Dengan sigap Harun mengambil sebuah tongkat bisbol yang tergelatak di lantai, menjadi perisai mereka jika ada yang menyerang.
“Harun, bantulah yang lain setelah membawa gadis itu ke tempat yang aman!” seru seorang pemuda kepada Harun.
Harun mengangguk dengan tegas, “Baik, saya akan segera bergabung.”
Sampai akhirnya mereka berdua tiba di belakang markas. Di sana, truk-truk Kelompok Revolusioner telah siap, penuh dengan anak-anak dan perempuan yang akan dievakuasi menuju markas sebelah.
Harun melihat Fio dengan pandangan khawatir. Ia menggengam tanganya. “Dengar, Fio, setelah semuanya selesai, aku akan menyusulmu.”
Dalam suasana yang penuh kepanikan, mata Fio penuh dengan ragu, dan dia hanya mampu mengangguk lemah. Mereka baru saja saling mengenal dan merasakan kehangatan satu sama lain, tetapi seketika itu, takdir seolah berkata untuk memisahkan. Dentuman tembakan seketika terdengar memecah keramaian. Harun berteriak keras dan tiba-tiba terjatuh ke samping, sebuah peluru telah menusuk tangan kirinya.
“Harun!” Fio berteriak.
Meskipun terluka, Harun segera bangkit dengan tekad yang kuat, melindungi Fio adalah prioritas nomor satunya. Dengan tongkat bisbolnya yang erat digenggam, ia berlari mendekati musuh yang baru saja menembaknya. Ayunan tongkat bisbol Harun berhasil mendarat tepat di kepala Pasukan Merah, sebelum ia selesai mengisi ulang pelurunya.
Namun, nasib berkata lain. Terdengar suara tembakan lagi, kali ini dari belakang Harun. Peluru itu tepat mengenai kakinya. Teriakannya tidak bisa dibendung lagi, ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya berkata lain. Ia sudah tidak bisa berdiri. Hingga akhirnya tubuhnya tergelincir ke lereng bukit yang curam, melewati semak belukar dan menabrak sebatang pohon besar. Harun kehilangan kesadaran, dan luka-lukanya mengalirkan darah yang semakin deras.
Di sisi lain, truk yang membawa Fio telah meluncur pergi dengan cepat, meninggalkan markas yang pernah menjadi tempat perlindungannya. Fio hanya bisa terduduk di dalamnya, tak berdaya, air mata mengalir deras bagai sungai yang tak terbendung, mengalir dalam duka dan kesedihan dan meninggalkan jejaknya di tanah yang telah menjadi saksi bisu perpisahan mereka.
***
Satu tahun telah berlalu semenjak kejadian itu. Suatu pagi di Kota Pelabuhan Depok, seorang pemuda terlihat berjalan di troroar, tangan kanannya memegang erat satu buket bunga. Langkahnya yang gemetar menghentak trotoar kota. Pemuda itu mengenakan jaket coklat dan sepatu hitam, sementara topi bundarnya menutupi rambut pendeknya. Gaya berjalannya terhenti sesaat, akibat bekas luka peluru di kaki kanannya yang membuatnya kesulitan berjalan dengan normal.
“Semenjak pencabutan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966, Partai Komunis Indonesia berhasil bangkit kembali dan menjatuhkan pemerintahan serta menguasai kursi-kursi dewan perwakilan. Namun, setelah sepuluh tahun berkuasa, untuk ketiga kalinya sejak Pemberontakan PKI Madiun dan Gerakan 30 September. Otoritas Kiri yang ditunggangi Pasukan Merah telah berhasil ditumbangkan oleh Kelompok Revolusioner.”
Lelaki itu terus melangkah menuju suatu tempat yang telah ia nanti-nantikan sejak lama. Telinganya tak henti-hentinya mendengarkan siaran TV yang distel di mana-mana. Lelaki itu juga melihat banyak orang yang merayakan sesuatu hampir di tiap sudut kota. Mereka telihat bersorak-sorai sembari menari.
“Hari ini kita memeringati satu tahun tumbangnya Otoritas Kiri dan kembalinya NKRI. Namun, tentu konsekuensi gerakan revolusioner ini masih kita rasakan hingga saat ini. Radiasi nuklir di IKN masih terasa, demikian pula dengan euforia Kelompok Revolusioner yang ingin membantai habis Kelompok Kiri hingga ke akar-akarnya.”
Akhirnya lelaki itu telah sampai di tempat yang ia tuju. Ia tersenyum lembut, mengingat kenangan-kenangan yang pernah ia lakukan bersama orang yang begitu penting dalam hidupnya. Tangan kiri masih ia masukkan ke dalam saku, luka peluru yang pernah menghujamnya membuat tangannya itu tidak bisa digerakkan dengan leluasa. Pemuda itu menekan bel rumah.
Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Memperlihatkan sosok nenek tua berusia sekitar 65 tahun dengan badan terbungkuk. Nenek itu bertanya, “Ada perlu apa kemari, Nak?”
Pemuda itu tersenyum, lalu berkata, “Selamat pagi, Nek. Aku adalah temannya Fio dulu. Fio adalah teman seperjuanganku saat kami masih berada di Kelompok Revolusioner. Aku ingin menemuinya.”
Nenek itu hanya bisa menghela napas, ia menatap pemuda itu sejenak kemudian berkata, “Ikutlah denganku, Nak.”
Pemuda itu melangkah perlahan, memasuki pintu rumah tua yang kini menjadi sebuah tempat kenangan yang terjalin erat dalam ingatan Harun. Di kedua sisinya, foto-foto Fio bersama keluarganya tergantung di dinding. Senyuman Fio yang tulus terpampang dalam setiap potret membuat jantungnya bergetar dalam rasa nostalgia. Ia tak sabar untuk melihat Fio lagi.
Mereka berdua akhirnya tiba di halaman belakang rumah, halaman itu terlihat dipisahkan dari dunia luar dengan pagar-pagar kayu. Di tengah halaman, terdapat sebuah pohon kecil yang menggelantungkan sebuaah ayunan. Sang Nenek lalu menatap pohon kecil itu lantas berkata, “Fio berada di balik pohon itu, Nak. Temuilah dia, aku tidak ingin mengganggu waktu kalian berdua.”
Pemuda itu mengangguk dengan penuh antusiasme, “Baik, Nek, terima kasih.”
Ia melangkah perlahan ke arah pohon itu, sambil menggenggam erat buket bunga di tangannya. Ketika tiba di belakang pohon kecil itu, Harun secara tiba-tiba terkejut, ia terduduk di atas rerumputan. Mata Harun segera terasa berair. “Fi-Fio?”
Air mata tak terbendung mengalir semakin deras, bagaikan aliran sungai yang tak bisa dihentikan. Harun terperangkap dalam pusaran kenangan-kenangan indah bersama Fio, mulai dari saat Fio menyelamatkannya dari Pasukan Merah, momen-momen indah di bawah pohon-pohon yang rindang, hingga saat-saat yang penuh ketegangan di mana Harun dan Fio terpaksa harus berpisah. Semua memori itu berputar dalam ingatan Harun seperti layar film yang tak pernah berhenti. Namun kini, di hadapan nisan batu berukir, dia hanya bisa terduduk dalam kesedihan dan rasa duka. Tulisan di batu itu tertulis dengan jelas:
Fio
Untuk mereka yang berjuang dan gugur melawan rezim otoriter
Harun memeluk batu itu dengan erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya sisa fisik Fio yang tersisa dalam hidupnya. Dengan hati yang penuh penyesalan, ia meletakkan bunga dengan lembut di atas makam Fio yang dingin. Mata Harun dipenuhi oleh air mata yang tersedu-sedu, lantunan kesedihan terdengar dalam suaranya saat ia berkata, “Ma-maaf, Fio. Maaf aku terlambat menemuimu.”
TAMAT
Editor: Alifia Yumna Mumtazah
Discussion about this post