“Indonesia sedang berjalan menuju Pemilu 2024, aku berharap kita (masyarakat) bisa terus mendorong pemerintah dan juga kandidat-kandidatnya (Bacapres) untuk memprioritaskan agenda iklim dan tentunya dalam proses eksekusinya juga,” -Ignatia, Extinction Rebellion (XR)
Pada Minggu (17/9), ratusan masyarakat menggelar aksi kolektif Global Climate Strike di kawasan Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Aksi solidaritas tahunan ini diselenggarakan tidak hanya di Jakarta, tetapi juga banyak daerah lainnya di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan lain-lain.
Baca juga: Global Climate Strike: Menggugah Kesadaran dalam Menghadapi Krisis Iklim
Global Climate Strike: Gerakan Iklim Kolektif Generasi Muda
Global Climate Strike muncul melalui perjuangan Greta Thurnberg bersama teman-temannya dalam Friday for Future. Gerakan yang diinisiasikan oleh anak muda ini bermula dari protes anak sekolah menengah yang meninggalkan kelasnya di hari Jumat untuk berdemonstrasi menuntut pemimpin politik melakukan aksi nyata mencegah kenaikan suhu permukaan bumi.
Pada tahun ini, Global Climate Strike bertajuk “Bersama untuk Keadilan Iklim” bertujuan untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk hidup tanpa bayang-bayang krisis iklim serta memberikan sinyal bahwa isu ini tidak dapat dihindari. Gerakan ini juga mengangkat tagar #Pilih1koma5 yang merupakan bentuk dukungan atas resolusi Paris Agreement untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi diatas 1,5 derajat celcius dari sebelum masa Revolusi Industri pertama.
Kegiatan Diramaikan dengan Pawai hingga Festival Iklim
Gerakan ini diawali dengan Pawai Iklim yang dilakukan dari Taman Menteng hingga Tugu Proklamasi yang diikuti oleh masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para transpuan.
Selagi melakukan longmars, peserta pawai menyerukan berbagai seruan sembari membawa poster-poster tuntutan. Selain itu, Nurti Simbolon, seorang perempuan paruh baya berusia 61 tahun, mendendangkan lagu Kolam Susu yang diiringi oleh lantunan angklung dan alat musik tradisional lainnya turut menghibur peserta aksi. Ia mengganti penggalan lirik lagu tersebut menjadi “Orang bilang tanah kita tanah surga, tapi semua dikuasai oligarki” sebagai bentuk protes atas berbagai kerusakan alam Indonesia yang disebabkan oleh penguasa yang berkelindan dengan pengusaha.
Sesampainya di Tugu Proklamasi, acara dilanjutkan dengan festival iklim yang menghadirkan beragam kegiatan, seperti penampilan musik, festival kuliner, tempat bermain anak, hingga diskusi bersama masyarakat yang terdampak krisis iklim.
Nyatanya Krisis Iklim, Minimnya Partisipasi Pemerintah
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun oleh pemerintah di berbagai wilayah ternyata menimbulkan efek samping, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di area tersebut. Diska, salah satu peserta kegiatan, memberikan komentar positif tentang pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. “Namun, dia (pemerintah) lupa kalo ternyata lingkungan merupakan isu yang penting juga. Jadi, aku ingin hadir di sini untuk bantu ngingetin pemerintah kalo lingkungannya terjaga akan ngaruh juga ke pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tambahnya.
Ignatia, perwakilan dari Extinction Rebellion (XR), juga turut berpendapat mengenai ancaman krisis iklim ini, “Aku ngerasa masa depan aku terancam, enggak aman, dan merasa takut menghadapi masa depanku. Saat ini dengan banyak sekali ancaman krisis iklim yang terjadi, pemerintah yang abai, dan juga world leader’s yang jelas-jelas tidak memprioritaskan agenda iklim.”
Degradasi Lingkungan dan Perampasan Hak Masyarakat Lokal
Salah satu isu utama dalam climate strike tahun ini adalah pemerintah yang abai terhadap masyarakat lokal. Marwah pembangunan nasional seringkali hanya melibatkan pilar pemerintah dan pasar, tetapi lupa akan pilar masyarakat.
Investasi-investasi asing yang diusahakan pemerintah untuk masuk ke Indonesia seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, seperti pembangunan Eco City Rempang yang melindas 16 kampung melayu tua di empat kelurahan Pulau Rempang dan Galang serta berpotensi mencabut ruang hidup lebih dari sepuluh ribu orang.
Salah satu perempuan asal Rempang mengatakan bahwa Rempang Galang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka dan masyarakat di dalamnya merupakan masyarakat Melayu asli yang sudah turun temurun berada di sana. Ia berharap, “Bukalah sedikit ruang hati pemerintah untuk tidak menggusur kami. Hanya ini harapan kami, kami tidak meminta lebih kepada pemerintah.”
Investasi yang masuk ke Papua selama ini juga sangat jarang melibatkan partisipasi rakyat. Alih fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit di Papua sangat masif dan seringkali datang dengan membawa kekerasan bagi masyarakat adat.
Sampai sekarang, tidak ada sosialisasi kepada masyarakat terkait investasi tersebut. Sadisnya, masyarakat adat sudah memberikan lahannya untuk investasi sawit, tetapi mereka dijadikan buruh. “Mereka banyak di-PHK secara sepihak, ada yang sudah kerja 10 tahun, 20 tahun, pesangon mereka hanya 200 ribu rupiah,” jelas Ayub, pemuda asal Papua yang tergabung dalam Barisan Pemuda Adat Indonesia.
Harapan Menyambut Tahun Politik 2024
Menuju perhelatan Pemilu 2024 nanti, masyarakat menantikan adanya perubahan serta aksi iklim nyata yang diimplementasikan pemerintah. Aksi ini menjadi salah satu bukti bahwa banyak masyarakat, terutama generasi muda, yang sadar bahwa krisis iklim merupakan isu prioritas yang perlu diselesaikan.
Ignatia berharap bahwa pemerintah akan mengedepankan segala agenda iklim serta berpihak kepada masyarakat. “Aku juga berharap agar kita (generasi muda) dapat terus mendorong dan menekan (pemerintah) terutama menuju ke tahun 2024. Aku agak berharap banyak karena kita sebagai anak muda merupakan pemegang suara terbanyak,” pungkas Ignatia.
Namun, ada hal yang perlu dicatat juga. Dalam menangani permasalahan ini secara holistik, diperlukan pula kontribusi dari seluruh pihak, termasuk masyarakat umum. “Jadi, ayo kita turut andil dalam menjaga lingkungan kita, seperti pakai transportasi umum,” ajak Diska.
Editor: Anindya Vania, Marshellin Fatricia, dan Tara Saraswati
Discussion about this post