Belakangan ini, tengah viral kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus UI, salah satunya terdapat di FEB UI. Badan Otonom Economica berkesempatan untuk berdialog dengan Teguh Dartanto (Teguh) dan Arief Wibisono Lubis (Arief) selaku Dekan dan Wakil Dekan I FEB UI untuk membahas bagaimana pihak Dekanat menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh atau terjadi pada mahasiswa FEB UI.
Baca juga: Mahasiswa FEB UI Pelaku Kekerasan Seksual: Menilik Proses dan Sanksi yang Dijatuhi
Riwayat Kekerasan Seksual di Lingkungan FEB UI
Arief menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual tergantung pada laporan, jika ada laporan yang masuk, pihak FEB UI mempunyai semua informasi dan datanya. “Untuk trennya sendiri relatif, di tahun 2022 ada satu kasus dan di tahun 2023 setidaknya ada dua kasus yang masuk,” tutur Arief. Teguh menambahkan bahwa selama beliau menjadi Wakil Dekan I, ada dua kasus yang diputuskan oleh pihak FEB UI.
Meskipun begitu, Teguh sendiri berpendapat bahwa kekerasan seksual tidak memiliki definisi yang resmi. “Akan tetapi, setiap laporan pasti ada sanksinya dan degree yang kami sanksikan berbeda-beda,” jelas Teguh.
Belajar dari Fakultas Lain dalam Menangani Kasus Kekerasan Seksual
Arief menerangkan bahwa prosedur penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pihak Dekanat bersumber dari panduan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek). Ia menambahkan, “Namun, dari segi sanksi, untuk menentukan apakah tindakan kekerasan seksual itu masuk ke kategori ringan, sedang, dan berat itu debatable karena (kasus kekerasan seksual) tidak benar-benar hitam dan putih.”
Oleh karena itu, Teguh mengatakan bahwa pihaknya belajar dari FISIP dan Fakultas Psikologi UI mengenai pemberian sanksi dan langkah menangani kasus kekerasan seksual. “Biasanya pihak dari level universitas akan mengikuti rekomendasi dari level fakultas dalam menentukan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual,” ujar Teguh.
Teguh juga menambahkan, “Ini kan channel (untuk melapor) bisa dari mana saja dan berbeda-beda tergantung korban nyamannya lapor ke siapa. Akan tetapi, untuk sistemnya memang belum ada SOP yang clear, tetapi semua pada akhirnya bermuara di Dekanat.”
Setelah berbicara dengan kedua fakultas tersebut, Dekanat juga mendapatkan konklusi bahwa mengatasi kejadian kekerasan seksual tidak ada rumusnya. Setiap kasus berbeda dan proses rehabilitas untuk korban dan pelaku tidak bisa diatasi secara objektif.
Implementasi Kebijakan yang Bersifat Mendidik untuk Pelaku Kekerasan Seksual
Dekanat ingin melakukan kebijakan yang sifatnya mendidik dan berfokus pada rehabilitasi mahasiswa melalui Student Wellness Center FEB UI, baik untuk pelaku maupun korban. Oleh sebab itu, pihak Dekanat tidak ingin mempublikasikan kontroversi kasus kekerasan seksual pada media sosial mereka.
“Kita bukan membela pelaku bukan berarti membenarkan kelakuannya, tapi kita menjamin hak-hak beliau,” tegas Teguh. Meskipun begitu, Dekanat akan tetap menjawab pertanyaan dari publik terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan FEB UI.
Hal tersebut juga berkaitan dengan cancel culture yang kini sedang populer. Pihak Dekanat merasa bahwa cancel culture merupakan hal yang tidak mudah dihentikan atau diubah. Arief berujar, “Cancel culture itu termasuk hal informal ya, jadi maksudnya kita nggak bisa mengontrol orangnya juga.”
Menurut pihak Dekanat, pelaku atau korban sama-sama memiliki hak untuk membela diri. Tidak bisa langsung menunjuk dan menduga seseorang sebagai pelaku kekerasan seksual tanpa bukti yang jelas dan akurat. Ada kemungkinan pelaku ternyata tidak melakukan kekerasan seksual, tetapi tetap terduga dan tentu menghancurkan reputasi dan masa depannya.
Sanksi Lanjut Kepada Mahasiswa Atau Dosen yang Terbukti Pelaku Kekerasan Seksual
Ketika ada kasus kekerasan seksual yang telah terbukti, mahasiswa akan dikeluarkan (drop out) atau dia memutuskan sendiri untuk mengundurkan diri. Namun, mahasiswa yang mengundurkan diri tetap diperbolehkan untuk berkuliah di UI lagi di masa depan. “Aturan tertulis kalau misalnya DO terus enggak bisa daftar lagi sebenarnya sih enggak ada, tetapi kita kan harus tau case DO-nya kenapa,” ujar Teguh
Selain itu, berdasarkan Surat Keterangan Rektor UI, pelaku kekerasan seksual juga akan mendapatkan sanksi selain pencabutan IKM aktif, yaitu sanksi akademik, salah satunya skorsing. “Kami ingin sanksi yang mendidik, jadi skorsing enggak cuma sekadar diskors, tetapi juga ada pendampingan oleh ahli,” jelas Teguh.
Jika pelaku kekerasan seksual merupakan dosen atau tenaga pendidik, maka Dekanat akan lebih tegas dalam memberikan sanksi. Sudah tidak ada lagi keringanan dalam tanda kutip “mendidik” jika pelakunya adalah dosen atau tenaga pendidik. Hubungan antara dosen dan mahasiswa adalah hal yang sangat penting menurut Teguh.
“Kami bukan hanya anti terhadap kekerasan seksual, namun semua bentuk kekerasan kami anti. Kami tidak ingin berfokus ke kekerasan seksual saja, all of the violence tidak kita kehendaki di sini, seperti physical violence, power harassment, hubungan antara dosen dan mahasiswa, bahkan senior junior pun kalau Anda melakukan tindakan kekerasan dan bullying pun akan kami tindak,” tegas Teguh.
Komitmen Dekanat FEB UI dalam Mencegah Kekerasan Seksual di Lingkungan FEB UI
Hingga saat ini, FEB UI belum memiliki Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SatGas PPKS). Meskipun begitu, Dekanat berkomitmen untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi mahasiswa FEB UI. “Meskipun FEB UI belum memiliki satgas, bukan berarti korban tidak bisa lapor. Korban bisa langsung (melapor) ke Student Wellness Center, Hopehelps, atau melalui Adkesma,” saran Teguh.
Menurutnya, pendekatan untuk kekerasan seksual itu lebih kepada one step pack. Ia menjelaskan, “Kami melakukan mitigasi di awal dibandingkan menyelesaikan isu yang sudah terjadi. Salah satu langkah preventif yang sudah dilakukan adalah menyampaikan edukasi terkait kekerasan seksual kepada mahasiswa baru.”
Editor: Anindya Vania, Muhammad Syakhsan Haq, Muhammad Zaky Nur Fajar, dan Tara Saraswati
Discussion about this post