Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
  • Majalah Economica
  • UI Guide
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
  • Majalah Economica
  • UI Guide
No Result
View All Result
Economica
Home Kajian

Industrialisasi Pendidikan: Memperkokoh Paradigma Kemewahan Berkuliah

by Agus Leo Tabri Saputra
22 Agustus 2023
in Kajian

Malam bertemu malam berlalu, ribuan latihan soal kulumat tanpa henti, serangkaian tes telah dilewati, akhirnya datang juga sore hari yang dinanti-nanti, senyum dan semilir tangis bahagia kemudian menghiasi

“Pak, Bu, lihat ini, lihat pengumuman ini. Aku lolos, Pak! Aku lolos, Bu!”

(Tergambar senyum tipis nan manis di wajah Bapak dan Ibu sembari tergeming tatkala mendapati anaknya bersorak sorai atas lolosnya Ia di perguruan tinggi idamannya. Namun, tertegun atas biaya kuliah yang harus digelontorkan)

Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di Indonesia. Pasalnya, pemberitaan mengenai anak-anak dari keluarga miskin yang sukses dalam pendidikannya, seperti misal anak dari tukang becak yang meraih gelar doktoral ke Inggris1Livia, K. (2020, September 5). Kisah Anak Tukang Becak Kejar Gelar Doktor ke Inggris, Inspiratif! IDN Times. https://www.idntimes.com/life/inspiration/klara-livia-1/kisah-anak-tukang-becak-kejar-gelar-doktor-ke-inggris maupun anak tukang parkir yang lulus sarjana dengan predikat cumlaude2Indoglobenews. (2022, September 1). Wisudawati Anak Tukang Parkir Asal Sragen Lulus Predikat Cumlaude Dengan IPK 3,57. Indoglobenews – Mengupas Tuntas Sesuai Fakta. https://indoglobenews.id/blog/Wisudawati-Anak-Tukang-Parkir-Asal-Sragen-Lulus-Predikat-Cumlaude-Dengan-IPK-357, senantiasa cenderung menunjukkan sebuah keluarbiasaan dan pengecualian daripada sebuah normalitas. Terlebih lagi, melejitnya biaya pendidikan tinggi dan minimnya partisipasi pemerintah yang membiayai masyarakat marginal sepenuhnya dengan tepat sasaran semakin membuat mereka engap dalam menebus angan-angan besar mencapai kesuksesan duniawi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat disparitas akses pendidikan antar kelas sosial yang ada.

Mengapa Biaya Pendidikan Tinggi Kian Melonjak?

Setidaknya terdapat dua teori yang dapat menjelaskan mengenai mengapa hal ini dapat terjadi3Martin, R. E., & Hill, R. C. (2012). Measuring Baumol and Bowen Effects in Public Research Universities. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2153122. Teori pertama disebut Hipotesis Bennett yang menyatakan bahwa kenaikan biaya pendidikan tinggi disebabkan oleh perubahan dalam besaran pembiayaan oleh pemerintah. Lembaga-lembaga publik, selain mengandalkan pembayaran uang kuliah, bergantung pada pendanaan dari pemerintah pusat dan pemerintah setempat. Penerapan kebijakan otonomi kampus, dalam hal ini PTN-BH, semakin memperkecil besaran dana yang dapat diperoleh PTN dari pemerintah.

Teori lainnya yang menjelaskan hal ini adalah Baumol’s Cost Disease. Berbeda dengan sektor lain dalam ekonomi, pendidikan tinggi sulit untuk meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan pengalaman belajar. Teknologi baru dapat meningkatkan produksi di sektor manufaktur, tetapi sulit untuk diterapkan dalam seminar pendidikan atau proses pembelajaran lainnya tanpa mengurangi kualitas. Akibatnya, biaya produksi pendidikan tinggi meningkat, menyebabkan harga kuliah yang lebih tinggi bagi para mahasiswa. Selain itu, biaya mempekerjakan profesor dan administrator berpendidikan tinggi juga semakin tinggi, serta investasi dalam teknologi dan inovasi di kampus yang melayani mahasiswa, seperti layanan kesehatan mental, ikut meningkatkan biaya.

Pergeseran Paradigma Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kata “industri” maupun “industrialisasi” kerap kali diafiliasikan dengan sebuah manufaktur atau hal-hal yang berkaitan dengan transformasi sesuatu menjadi hal yang dapat memberikan keuntungan. Hal yang serupa juga terjadi pada pendidikan di negeri ini. Industrialisasi pendidikan tinggi tak ubahnya seperti industri yang bergerak dengan orientasinya pada keuntungan. Sebenarnya, industrialisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi bukanlah hal baru di negeri ini. Jauh sebelum ditetapkannya kebijakan otonomi kampus oleh pemerintah, perguruan tinggi swasta sudah lebih dulu melakukan praktik demikian. Kebijakan otonomi kampus yang bertumpu pada niat mulia untuk memperluas kewenangan pengelolaan dan pengembangan perguruan tinggi, namun beralih menjadi lepas tangan pemerintah terhadap pendanaan. PTN kemudian menghadapi sebuah problematika dalam menghadirkan menghadirkan pendidikan yang bermutu namun tetap dapat memenuhi kesejahteraan civitas akademiknya. 

Semangat mulia pendiri bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan visi kerakyatan kemudian tergerus arus deras industrialisasi. Lenyap sudah harapan rakyat kecil untuk dapat bermobilisasi sosial melalui pendidikan yang terjangkau namun berkualitas melalui PTN. Otonomi kampus membuat biaya pendidikan melejit bak roket yang terbang ke langit. Terlebih lagi, Republik ini membebankan biaya pendidikan kepada peserta didiknya seperti pada Pasal 12 Ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi “setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”.

Sebuah realitas seolah-olah berbalik arah. PTN yang menjadi andalan kelompok miskin tidak lagi dapat dijangkau. Kompetisi mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas tidak lagi hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif calon mahasiswa, tetapi juga melalui besaran kapital yang dapat disumbangkan ke perguruan tinggi. Besaran kapital yang dirasa lebih bonafit oleh perguruan tinggi semakin memperjelas bagaimana lembaga pendidikan tidak lagi berdiri diatas landasan mencerdaskan bangsa, tetapi bergeser pada perolehan keuntungan. Terseretnya pendidikan dalam industrialisasi membuat pendidikan tak lagi menjadi alat transformasi sosial, melainkan  telah menjadi komoditas yang menguntungkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu.

Komodifikasi Pendidikan

Komodifikasi menjadi sebuah hal yang tidak dapat dihindari secara penuh dalam dunia pendidikan. Terlebih lagi, pendidikan dianggap sebagai hal yang dapat menjadi investasi. Prospek bisnis pendidikan menjadi hal yang sangat menjanjikan ketika diketahui bahwa pendidikan dianggap sebagai kapital sosial4 Field, J. (2016). Social Capital. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203794623. Bersamaan dengan itu, banyak hal yang mengalami pergeseran di dunia pendidikan. Saat ini, program studi yang berpeminat tinggi adalah program studi yang berorientasi pada kebutuhan lapangan pekerjaan. Arus deras liberalisasi pendidikan tinggi seolah-olah membuat program studi yang tidak dapat menjanjikan lapangan pekerjaan menjadi inferior.

Lahan basah pendidikan yang bermutu membuat orang dengan ekonomi kelas atas rela menggelontorkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah agar dapat lebih leluasa dalam memilih perguruan tinggi yang diinginkan dan mengakses pendidikan dengan program studi yang menjanjikan dengan mutu pendidikan yang tinggi sebagai investasi dan kapital sosialnya. Melihat kondisi yang demikian, pendidikan kemudian menjadi sebuah hal yang mewah dan hanya orang pada kelas ekonomi atas yang dapat mengakses pendidikan yang bermutu.

Komersialisasi dan Industrialisasi Pendidikan Tinggi sebagai Dilematika Kebijakan Pemerintah dalam era liberalisasi

Semangat mulia mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sebuah cita-cita agung yang digagas oleh pendiri bangsa secara sadar. Dalam pelaksanaannya, arus deras liberalisasi yang menjamah Indonesia membuat kedigdayaan kekuatan pasar menundukkan dan mematuhkan pendidikan tinggi akan hal tersebut. Tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, semakin pelik sebagai akibat liberalisasi pendidikan.

Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan menjadi sebuah peluang sekaligus rintangan berat yang dihadapi oleh pemimpin dan bangsa ini. Peluang pembiayaan dari pihak selain sektor publik menjadi sebuah hal yang menjanjikan dalam industrialisasi pendidikan. Hal lainnya yang harus dilihat adalah rintangan yang dihadapi. Persoalan pelik mengenai akses pendidikan yang semakin tinggi biayanya membuat masyarakat kelas bawah engap untuk dapat menebus angan-angannya untuk bersekolah sampai sarjana. Biaya pendidikan yang membumbung tinggi juga turut mempengaruhi angka partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi yang sampai saat ini belum mencapai sepertiga dari jumlah total penduduk Indonesia5Mutia, A. (2022, September 29). Belum Capai Target, Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi di RI 2021 Masih Rendah | Databoks. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/29/belum-capai-target-angka-partisipasi-pendidikan-tinggi-di-ri-2021-masih-rendah.

Referensi[+]

Referensi
↵1 Livia, K. (2020, September 5). Kisah Anak Tukang Becak Kejar Gelar Doktor ke Inggris, Inspiratif! IDN Times. https://www.idntimes.com/life/inspiration/klara-livia-1/kisah-anak-tukang-becak-kejar-gelar-doktor-ke-inggris
↵2 Indoglobenews. (2022, September 1). Wisudawati Anak Tukang Parkir Asal Sragen Lulus Predikat Cumlaude Dengan IPK 3,57. Indoglobenews – Mengupas Tuntas Sesuai Fakta. https://indoglobenews.id/blog/Wisudawati-Anak-Tukang-Parkir-Asal-Sragen-Lulus-Predikat-Cumlaude-Dengan-IPK-357
↵3 Martin, R. E., & Hill, R. C. (2012). Measuring Baumol and Bowen Effects in Public Research Universities. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2153122
↵4  Field, J. (2016). Social Capital. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203794623
↵5 Mutia, A. (2022, September 29). Belum Capai Target, Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi di RI 2021 Masih Rendah | Databoks. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/29/belum-capai-target-angka-partisipasi-pendidikan-tinggi-di-ri-2021-masih-rendah
Tweet130

Discussion about this post

POPULER

  • Mahasiswa FEB UI Pelaku Kekerasan Seksual: Menilik Proses dan Sanksi yang Dijatuhi

    Mahasiswa FEB UI Pelaku Kekerasan Seksual: Menilik Proses dan Sanksi yang Dijatuhi

    711 shares
    Share 284 Tweet 178
  • Ketika Kekerasan Seksual Marak Terjadi di Kampus, Dekan FEB UI: Kami Anti Segala Bentuk Kekerasan!

    518 shares
    Share 207 Tweet 130
  • Darurat Polusi: Haruskah Indonesia Berkaca pada China?

    506 shares
    Share 202 Tweet 127
  • Kewajiban 30 KUM bagi Mahasiswa Baru, Birpend FEB UI: Jangan Dijadikan Beban

    526 shares
    Share 210 Tweet 132
  • Kasat-Kusut Subsidi Kendaraan Listrik: Benarkah Satu Visi dengan Pembangunan Berkelanjutan?

    526 shares
    Share 210 Tweet 132
  • Kontroversi OKK UI 2023 Part 2: Tanggapan Ketua DPM UI

    621 shares
    Share 248 Tweet 155
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi
  • id Indonesian
    ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
  • Majalah Economica
  • UI Guide
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT
id Indonesian
ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish