Malam bertemu malam berlalu, ribuan latihan soal kulumat tanpa henti, serangkaian tes telah dilewati, akhirnya datang juga sore hari yang dinanti-nanti, senyum dan semilir tangis bahagia kemudian menghiasi
“Pak, Bu, lihat ini, lihat pengumuman ini. Aku lolos, Pak! Aku lolos, Bu!”
(Tergambar senyum tipis nan manis di wajah Bapak dan Ibu sembari tergeming tatkala mendapati anaknya bersorak sorai atas lolosnya Ia di perguruan tinggi idamannya. Namun, tertegun atas biaya kuliah yang harus digelontorkan)
Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di Indonesia. Pasalnya, pemberitaan mengenai anak-anak dari keluarga miskin yang sukses dalam pendidikannya, seperti misal anak dari tukang becak yang meraih gelar doktoral ke Inggris1Livia, K. (2020, September 5). Kisah Anak Tukang Becak Kejar Gelar Doktor ke Inggris, Inspiratif! IDN Times. https://www.idntimes.com/life/inspiration/klara-livia-1/kisah-anak-tukang-becak-kejar-gelar-doktor-ke-inggris maupun anak tukang parkir yang lulus sarjana dengan predikat cumlaude2Indoglobenews. (2022, September 1). Wisudawati Anak Tukang Parkir Asal Sragen Lulus Predikat Cumlaude Dengan IPK 3,57. Indoglobenews – Mengupas Tuntas Sesuai Fakta. https://indoglobenews.id/blog/Wisudawati-Anak-Tukang-Parkir-Asal-Sragen-Lulus-Predikat-Cumlaude-Dengan-IPK-357, senantiasa cenderung menunjukkan sebuah keluarbiasaan dan pengecualian daripada sebuah normalitas. Terlebih lagi, melejitnya biaya pendidikan tinggi dan minimnya partisipasi pemerintah yang membiayai masyarakat marginal sepenuhnya dengan tepat sasaran semakin membuat mereka engap dalam menebus angan-angan besar mencapai kesuksesan duniawi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat disparitas akses pendidikan antar kelas sosial yang ada.
Mengapa Biaya Pendidikan Tinggi Kian Melonjak?
Setidaknya terdapat dua teori yang dapat menjelaskan mengenai mengapa hal ini dapat terjadi3Martin, R. E., & Hill, R. C. (2012). Measuring Baumol and Bowen Effects in Public Research Universities. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2153122. Teori pertama disebut Hipotesis Bennett yang menyatakan bahwa kenaikan biaya pendidikan tinggi disebabkan oleh perubahan dalam besaran pembiayaan oleh pemerintah. Lembaga-lembaga publik, selain mengandalkan pembayaran uang kuliah, bergantung pada pendanaan dari pemerintah pusat dan pemerintah setempat. Penerapan kebijakan otonomi kampus, dalam hal ini PTN-BH, semakin memperkecil besaran dana yang dapat diperoleh PTN dari pemerintah.
Teori lainnya yang menjelaskan hal ini adalah Baumol’s Cost Disease. Berbeda dengan sektor lain dalam ekonomi, pendidikan tinggi sulit untuk meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan pengalaman belajar. Teknologi baru dapat meningkatkan produksi di sektor manufaktur, tetapi sulit untuk diterapkan dalam seminar pendidikan atau proses pembelajaran lainnya tanpa mengurangi kualitas. Akibatnya, biaya produksi pendidikan tinggi meningkat, menyebabkan harga kuliah yang lebih tinggi bagi para mahasiswa. Selain itu, biaya mempekerjakan profesor dan administrator berpendidikan tinggi juga semakin tinggi, serta investasi dalam teknologi dan inovasi di kampus yang melayani mahasiswa, seperti layanan kesehatan mental, ikut meningkatkan biaya.
Pergeseran Paradigma Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Kata “industri” maupun “industrialisasi” kerap kali diafiliasikan dengan sebuah manufaktur atau hal-hal yang berkaitan dengan transformasi sesuatu menjadi hal yang dapat memberikan keuntungan. Hal yang serupa juga terjadi pada pendidikan di negeri ini. Industrialisasi pendidikan tinggi tak ubahnya seperti industri yang bergerak dengan orientasinya pada keuntungan. Sebenarnya, industrialisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi bukanlah hal baru di negeri ini. Jauh sebelum ditetapkannya kebijakan otonomi kampus oleh pemerintah, perguruan tinggi swasta sudah lebih dulu melakukan praktik demikian. Kebijakan otonomi kampus yang bertumpu pada niat mulia untuk memperluas kewenangan pengelolaan dan pengembangan perguruan tinggi, namun beralih menjadi lepas tangan pemerintah terhadap pendanaan. PTN kemudian menghadapi sebuah problematika dalam menghadirkan menghadirkan pendidikan yang bermutu namun tetap dapat memenuhi kesejahteraan civitas akademiknya.
Semangat mulia pendiri bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan visi kerakyatan kemudian tergerus arus deras industrialisasi. Lenyap sudah harapan rakyat kecil untuk dapat bermobilisasi sosial melalui pendidikan yang terjangkau namun berkualitas melalui PTN. Otonomi kampus membuat biaya pendidikan melejit bak roket yang terbang ke langit. Terlebih lagi, Republik ini membebankan biaya pendidikan kepada peserta didiknya seperti pada Pasal 12 Ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi “setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”.
Sebuah realitas seolah-olah berbalik arah. PTN yang menjadi andalan kelompok miskin tidak lagi dapat dijangkau. Kompetisi mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas tidak lagi hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif calon mahasiswa, tetapi juga melalui besaran kapital yang dapat disumbangkan ke perguruan tinggi. Besaran kapital yang dirasa lebih bonafit oleh perguruan tinggi semakin memperjelas bagaimana lembaga pendidikan tidak lagi berdiri diatas landasan mencerdaskan bangsa, tetapi bergeser pada perolehan keuntungan. Terseretnya pendidikan dalam industrialisasi membuat pendidikan tak lagi menjadi alat transformasi sosial, melainkan telah menjadi komoditas yang menguntungkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Komodifikasi Pendidikan
Komodifikasi menjadi sebuah hal yang tidak dapat dihindari secara penuh dalam dunia pendidikan. Terlebih lagi, pendidikan dianggap sebagai hal yang dapat menjadi investasi. Prospek bisnis pendidikan menjadi hal yang sangat menjanjikan ketika diketahui bahwa pendidikan dianggap sebagai kapital sosial4 Field, J. (2016). Social Capital. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203794623. Bersamaan dengan itu, banyak hal yang mengalami pergeseran di dunia pendidikan. Saat ini, program studi yang berpeminat tinggi adalah program studi yang berorientasi pada kebutuhan lapangan pekerjaan. Arus deras liberalisasi pendidikan tinggi seolah-olah membuat program studi yang tidak dapat menjanjikan lapangan pekerjaan menjadi inferior.
Lahan basah pendidikan yang bermutu membuat orang dengan ekonomi kelas atas rela menggelontorkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah agar dapat lebih leluasa dalam memilih perguruan tinggi yang diinginkan dan mengakses pendidikan dengan program studi yang menjanjikan dengan mutu pendidikan yang tinggi sebagai investasi dan kapital sosialnya. Melihat kondisi yang demikian, pendidikan kemudian menjadi sebuah hal yang mewah dan hanya orang pada kelas ekonomi atas yang dapat mengakses pendidikan yang bermutu.
Komersialisasi dan Industrialisasi Pendidikan Tinggi sebagai Dilematika Kebijakan Pemerintah dalam era liberalisasi
Semangat mulia mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sebuah cita-cita agung yang digagas oleh pendiri bangsa secara sadar. Dalam pelaksanaannya, arus deras liberalisasi yang menjamah Indonesia membuat kedigdayaan kekuatan pasar menundukkan dan mematuhkan pendidikan tinggi akan hal tersebut. Tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, semakin pelik sebagai akibat liberalisasi pendidikan.
Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan menjadi sebuah peluang sekaligus rintangan berat yang dihadapi oleh pemimpin dan bangsa ini. Peluang pembiayaan dari pihak selain sektor publik menjadi sebuah hal yang menjanjikan dalam industrialisasi pendidikan. Hal lainnya yang harus dilihat adalah rintangan yang dihadapi. Persoalan pelik mengenai akses pendidikan yang semakin tinggi biayanya membuat masyarakat kelas bawah engap untuk dapat menebus angan-angannya untuk bersekolah sampai sarjana. Biaya pendidikan yang membumbung tinggi juga turut mempengaruhi angka partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi yang sampai saat ini belum mencapai sepertiga dari jumlah total penduduk Indonesia5Mutia, A. (2022, September 29). Belum Capai Target, Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi di RI 2021 Masih Rendah | Databoks. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/29/belum-capai-target-angka-partisipasi-pendidikan-tinggi-di-ri-2021-masih-rendah.
Referensi
↵1 | Livia, K. (2020, September 5). Kisah Anak Tukang Becak Kejar Gelar Doktor ke Inggris, Inspiratif! IDN Times. https://www.idntimes.com/life/inspiration/klara-livia-1/kisah-anak-tukang-becak-kejar-gelar-doktor-ke-inggris |
---|---|
↵2 | Indoglobenews. (2022, September 1). Wisudawati Anak Tukang Parkir Asal Sragen Lulus Predikat Cumlaude Dengan IPK 3,57. Indoglobenews – Mengupas Tuntas Sesuai Fakta. https://indoglobenews.id/blog/Wisudawati-Anak-Tukang-Parkir-Asal-Sragen-Lulus-Predikat-Cumlaude-Dengan-IPK-357 |
↵3 | Martin, R. E., & Hill, R. C. (2012). Measuring Baumol and Bowen Effects in Public Research Universities. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2153122 |
↵4 | Field, J. (2016). Social Capital. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203794623 |
↵5 | Mutia, A. (2022, September 29). Belum Capai Target, Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi di RI 2021 Masih Rendah | Databoks. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/29/belum-capai-target-angka-partisipasi-pendidikan-tinggi-di-ri-2021-masih-rendah |
Discussion about this post