Berdasarkan UU No. 52 Tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga merupakan sumber utama pembentuk fisik dan mental seorang anak yang sudah seharusnya menjadi tempat teraman bagi setiap anak. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga juga dapat menjadi sumber utama kekerasan pada anak.
Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, Badan Otonom Economica berkesempatan untuk berbincang dengan Efriyani Djuwita (Efriyani), selaku Dosen Psikologi Anak di Universitas Indonesia, untuk membahas terkait kekerasan yang kerap kali terjadi pada anak-anak.
Baca juga: Hari Anak Nasional: Ancaman Nyata COVID-19 pada Anak
Mengenal Berbagai Bentuk Kekerasan pada Anak
Efriyani menjelaskan bahwa bentuk kekerasan pada anak tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, melainkan juga meliputi kekerasan verbal dan psikologis.
Ia memaparkan, “Kekerasan verbal dapat dicontohkan dengan pemberian umpatan atau kata-kata kasar yang ditujukan pada anak. Di samping itu, ada juga kekerasan psikologis yang dapat berupa pemberian ancaman yang membuat anak merasa tidak aman berada di dalam lingkungannya, seperti saat anak tidak mau makan, sang ibu berkata, ‘Nanti Ibu tinggal, loh!’ atau ‘Kamu bukan anak ibu lagi, ya!’.”
Ia juga menyebutkan bentuk lain dari kekerasan pada anak seperti penelantaran. “Sementara itu, physical abuse dapat berupa tidak memberi anak makan dan emotional abuse seperti tidak memberikan perhatian,” ucapnya.
Mengapa Bisa Terjadi Kekerasan Kepada Anak?
Efriyani menyatakan bahwa kekerasan pada anak dapat dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.
Ia menyebutkan, “Secara garis besar, terjadinya kekerasan pada anak dapat dilatarbelakangi oleh masalah yang datang dari figur orang tua, baik masalah kesehatan mental atau pengetahuan orang tua yang tidak dimiliki dengan baik.”
Faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya hal ini adalah lingkungan yang menormalisasi adanya kekerasan dan pemberian hukuman fisik yang berlebihan. “Misalnya, dicubit supaya anak mau diem, dipukul, atau diancam. Sampai sekarang masih banyak orang tua yang bilang kalau hukuman fisik masih memiliki pengaruh untuk bisa mendisiplinkan anak,” jelas Efriyani.
Menyelesaikan Permasalahan dengan Anak Tanpa Melalui Kekerasan
Seperti yang telah disebutkan oleh Efriyani, sampai saat ini masih banyak orang tua yang percaya bahwa hukuman fisik pada anak masih dianggap sebagai cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Padahal, terdapat cara yang lebih bijak untuk menyelesaikan permasalahan dengan anak sesuai dengan usia mereka.
“Kita harus lihat juga umur dari anak. Kalau misalnya masih kecil, harus kita tegur baik-baik. Kalau sudah remaja, bisa diajak (untuk) berargumen,” ujar Efriyani.
Ia juga menyarankan bahwa sebaiknya hukuman fisik dihindari oleh orang tua. “Meskipun penerapannya kecil, hal tersebut dapat membahayakan anak ketika orang tua sedang mengalami kondisi mental dan emosi yang tidak stabil,” jelasnya. Dengan begitu, orang tua perlu memperkaya pengetahuan mengenai pengasuhan sehingga dapat meminimalisasi pemberian hukuman fisik pada anak.
Berbagai Macam Dampak yang Timbul Akibat Kekerasan Pada Anak
Berbagai macam bentuk kekerasan pada anak ini tentunya berimbas negatif pada anak. Mula-mula, kekerasan menimbulkan permasalahan internalizing, di mana anak akan menarik diri dari lingkungannya, tidak dapat bersosialisasi, serta rentan mengalami depresi.
“Saat proses berkembang, anak membutuhkan sosok yang bisa dipercaya dan diandalkan. Jika terabaikan, anak dapat membentuk skema bahwa tidak ada (orang) yang dapat dipercaya. Pertanyaan seperti, ‘Apakah saya berharga?’ dan ‘Apakah saya cukup bernilai untuk diperhatikan?’ mungkin muncul dan berpotensi menjadi masalah di kemudian hari,” ujar Efriyani.
Jika tidak segera ditangani, maka akan berlanjut pada permasalahan externalizing yang ditandai dengan bentuk perilaku agresif, mencuri, dan berkelahi. Ia menjelaskan, “Hal tersebut dapat terbangun apabila anak lebih banyak ditelantarkan. Ini menjadi kasus yang sangat berat dan sulit untuk dibangun lagi kepercayaannya dengan lingkungan.”
Pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perceraian dapat menjadi solusi terbaik bagi kesehatan mental orang tua dan anak korban, terutama jika pelaku tidak mungkin berubah.
“Ada banyak orang tua yang nggak mau anaknya trauma dengan perceraian, tetapi keluarga yang penuh kekerasan juga tidak sama baiknya, bahkan bisa lebih buruk dibandingkan perceraian dan berdampak signifikan bagi anak-anak,” ucap Efriyani
Apa yang Dapat Dilakukan oleh Orang Tua dan Masyarakat?
Tindakan preventif untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah memahami cara mengelola stres dan emosi.
“Ketika kita berhubungan dengan anak, kita tidak boleh melampiaskan rasa capek kita. (Kita harus) tenangin diri dulu supaya emosi bisa dijaga. Kontribusi pasangan jadi penting, misal ibunya capek, bapaknya yang maju. Saling mengisi intinya,” jelas Efriyani.
Memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga, melainkan juga masyarakat sekitar. “Orang sekitar harus menjadi support system agar kejadian tidak lagi terulang, misalnya (dengan) menghubungi pihak berwajib atau menempatkan korban ke perlindungan anak. Banyak tindakan yang bisa dilakukan oleh lingkungan, hukum, dan negara,” tambahnya.
Hal ini juga mencakup permasalahan yang masih terjadi hingga saat ini, di mana anak-anak menjadi properti untuk mengemis dan kemudian dieksploitasi. Masyarakat yang menyaksikan hal tersebut dapat melakukan beberapa cara untuk mengatasinya.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat dapat melaporkan kejadian tersebut kepada instansi terkait, seperti yayasan sosial dan pihak kepolisian. Ia turut menambahkan, “Selain itu, mereka juga dapat memberikan makanan atau kue daripada uang yang dapat menjadi alternatif karena uang (dapat) menjadi pemicu eksploitasi anak. Harus ada campur tangan pemerintah juga.”
Walaupun begitu, Efriyani juga menyadari bahwa hukum perlindungan anak di Indonesia masih belum jelas, terutama terkait pemberian hukuman fisik. “Komite perlindungan anak telah berusaha dengan baik untuk mengangkat topik ini, termasuk masalah punishment dan lainnya. Namun, perlu dilakukan kampanye yang lebih luas agar masyarakat bisa mengetahui bagaimana dan ke mana (untuk) mencari pertolongan,” jelas Efriyani.
Sedikit Pesan dari Efriyani untuk Para Orang Tua di Luar Sana
Efriyani berujar, “Anak tidak dapat terlepas dari keluarga, sehingga keluarga harus selalu memperkaya diri dengan pengetahuan mengenai cara pengasuhan yang lebih positif dan efektif.”
Selain itu, orang tua juga harus memiliki kesadaran yang baik tentang kondisi diri sendiri serta cara untuk dapat menghindari dan mengatasi kekerasan dalam rumah tangga.
Selamat Hari Anak Nasional untuk seluruh anak di Indonesia!🙂
Editor: Anindya Vania dan Tara Saraswati
Ilustrasi oleh Alethea Finietha Ester Kumaat
Discussion about this post