“Bahasa dakwah tidak selalu disampaikan melalui ceramah di surau atau masjid, dengan kata-kata indah justru akan jauh lebih mengena,” – Buya Hamka
Volume 1 dari film Buya Hamka telah tayang di Bioskop sejak 20 April 2023. Film ini mengisahkan perjalanan hidup lelaki berdarah Minang yang erat disapa dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Volume pembuka dari tiga rangkaian film biopik ini akan berfokus pada cerita saat Buya Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah yang berasal dari Tanah Minang hingga Indonesia merdeka. Dalam film, ditampilkan sosok Hamka sebagai petinggi Muhammadiyah telah sukses memberikan kemajuan yang gemilang di dalam organisasi tersebut. Selain sukses dalam organisasinya, Hamka juga sukses dalam dunia kepenulisan melalui beberapa novel romannya. Ditampilkan pula sosok Siti Raham, sang istri, yang menjadi bagian dari kisah hidup dan perjuangan Buya Hamka
Kehidupan Hamka tidak selalu berjalan mulus. Silih waktu berganti, Hamka harus merelakan Majalah Pedoman Masyarakat yang ia kembangkan karena dilucuti oleh tentara Jepang pada masa pendudukan Jepang. Perjuangannya yang terlihat kooperatif saat itu membuatnya dicap sebagai pengkhianat. Ketika Jepang pergi, ia justru diminta untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Muhammadiyah Sumatera Timur karena dianggap sebagai pendukung Jepang. Akhirnya, Hamka pun memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Padang Panjang dan membuat lembaran baru disana.
Dakwah dan Perjuangan ala Buya Hamka
Sekalipun bukanlah orang yang religius, Anda tetap akan dibawa kagum oleh karakter Sang Pujangga Islam dari Tanah Minang ini. Ia bukan hanya sekadar ulama hebat yang menjadi pengurus Muhammadiyah dan ketua MUI pertama, tetapi ia juga merupakan pujangga yang terkenal dengan karya-karya romannya. Melalui Hamka, kita belajar bahwa dakwah tidak harus selalu disiarkan melalui pengajian ataupun ceramah, tetapi juga melalui kisah-kisah romansa yang mudah diterima oleh khalayak luas. Sebut saja karya-karyanya, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Hamka juga menjadi ulama yang progresif kala itu, tidak usah mengharamkan apa yang sebenarnya tidak diharamkan. Menurutnya, memegang teguh prinsip dan nilai agama bukan berarti menjadi orang yang konservatif. Ini merupakan contoh bagaimana kita dikenalkan oleh pemikiran Buya Hamka yang terbuka.
Film ini juga membawa kita untuk larut ke dalam perjuangan seorang Hamka yang tidak hanya berdakwah dari sisi agama, tetapi juga mendorong semangat juang dalam meraih kemerdekaan. Ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada masa kolonial Belanda melalui kegiatan persnya, kontribusinya di dalam Muhammadiyah, serta lika-liku kehidupannya yang dipenuhi rintangan. Hamka diperlihatkan sebagai sosok yang rela berkorban untuk kepentingan khalayak ramai. Selain itu, diperlihatkan semangat menuntut ilmu yang dimiliki oleh Hamka, bahkan ketika ia telah menjadi ulama yang dihormati. Ketika muda ia belajar hingga ke Mesir dan saat dewasa ia kembali menuntut ilmu dengan sang ayah untuk menyelesaikan karya Tasawuf Modern-nya.
Roman Tipis-tipis Buya Hamka dan Siti Raham
Bertabur berbagai bintang film ternama tanah air, tidak mesti diragukan lagi kualitas akting yang ditampilkan. Terlebih Vino G. Bastian dan Laudya Chintya Bella memerankan perannya dengan sangat baik dan cukup menjiwai. Sebagaimana film dengan tokoh yang berdarah Minang, bahasa yang digunakan sebagian besar merupakan bahasa Minang yang menghadirkan atmosfer yang lebih nyata. Walau penilaian dari penulis bisa jadi bias karena tidak beretnis Minang, pelafalan yang diucapkan kedua tokoh utama bisa dikatakan cukup luwes dan tidak terasa “logat Indonesianya”. Perlu diakui bahwa dalam menjalankan perannya, Vino tampak mendalami mulai dari gerak-gerik hingga ucapannya sehingga lebih membawa para penonton ke dalam alur cerita.
Daya tarik utama lainnya dari film ini adalah chemistry antara Buya Hamka dengan sang istri, yaitu Siti Raham. Banyak momen yang menggambarkan Siti Raham menemani Buya Hamka dengan secangkir kopi dan mesin ketiknya sembari menulis roman-roman dan karya lainnya. Sosok Siti Raham yang setia, tangguh, dan bijaksana cukup baik digambarkan, khususnya dalam beberapa adegan ketika ia memberikan saran kepada sang suami. Setiap momen antara mereka berdua berhasil memberikan sisi romantis Buya Hamka yang biasanya terlihat dalam buku-bukunya yang kental dengan romansa.
Film dengan Anggaran Fantastis
Trilogi dari film ini digadang-gadang menjadi salah satu film Indonesia dengan anggaran fantastis dan termahal, mencapai angka 70 miliar rupiah. Pantas saja berbagai masalah teknis terasa begitu baik. Mulai dari tata rias seluruh pemerannya, khususnya ketika menggambarkan Buya Hamka dan Siti Raham tua yang begitu nyata. Melansir dari berbagai media lainnya, biaya untuk tata rias saja memakan hingga tiga miliar rupiah. Tone film yang didominasi warna kuning merupakan ciri khas dari Falcon Picture dan dalam film ini sangat berhasil membangun suasana dengan latar Indonesia di zaman tersebut.
Tata letak latar tempat juga digambarkan dengan begitu baik dan memanjakan mata dengan keestetikaannya. Latar film ini juga tidak menciptakan distraksi dan mampu membuat penonton fokus untuk terlarut dalam dialog-dialog antar tokoh. Hal yang juga menjadi nilai tambah adalah scoring (musik orisinil yang mengiringi film) karya Purwacaraka yang begitu memukau. Scoring ini cukup berhasil membuat penonton merasa lebih emosional dan serasa masuk ke dalam beberapa adegan yang ditampilkan.
Latar Tempat yang Sedikit Membosankan
Dengan segala kelebihannya, film ini tetap saja memiliki beberapa catatan yang membuat penonton kurang nyaman. Walau memang difokuskan dalam melihat keseharian Buya Hamka, latar yang cenderung repetitif menciptakan atmosfer sedikit membosankan ketika menikmati film ini. Sebagian besar plot digambarkan di dalam ruangan, seperti ruang kerja, ruang redaksi, dan ruang rapat Muhammadiyah. Penonton lebih banyak disuguhkan dengan kesibukan Buya Hamka di depan mesin ketiknya.
Sangat disayangkan bahwa volume 1 kurang mampu memberikan gambaran-gambaran latar yang lebih luas. Hanya sedikit kesempatan kita dapat melihat aktivitas Buya Hamka di luar ruangan. Sekalipun pergi ke luar rumah, kita langsung dihadapkan pada Hamka yang langsung memasuki bangunan. Area di sekitar rumah Hamka pun kurang terlihat realistis. Padahal, sangat menarik apabila lanskap serta kondisi tempat, suasana, dan sosial-budaya Makassar, Medan, dan Padang Panjang kala itu dapat disajikan dengan lebih luas dan baik.
Penempatan Plot Hole yang Kurang Rapi
Sebagai film pembuka, volume 1 ini berusaha untuk memperkenalkan karakter Buya Hamka kepada penonton tentang berbagai peran yang dimiliki oleh Buya Hamka semasa dewasa, mulai dari menjadi kepala keluarga, pemuka agama, penulis roman, hingga pemimpin redaksi. Namun, pengenalan tersebut terasa kurang mendetail dengan plot yang terkesan terburu-buru. Menonton film ini seakan hanya sebatas melihat visualisasi dari rangkuman biografi buya hamka yang ramai dijumpai di laman-laman internet.
Permasalahan dan konflik yang digambarkan dalam film cenderung tidak dijelaskan secara mendalam sehingga sebagian besar penyelesaian konfliknya terasa hambar, bahkan beberapa konflik seakan tidak ada penyelesaiannya. Tidak dideskripsikan secara lebih jelas mengapa permasalahan tersebut bisa terselesaikan. Alhasil, alur transisi antara satu plot konflik dengan plot konflik lainnya seakan patah sehingga membuat penokohan dari Buya Hamka sendiri jadi kurang mendalam.
Walau memang masih butuh dua episode lagi untuk bisa menyimpulkan secara utuh, rasanya tetap saja penonton baru bisa memahami plot lebih jelas apabila telah membaca biografi Buya Hamka sebelumnya. Alih-alih membuat penasaran, penonton justru kebingungan dengan beberapa plot tanpa penggambaran asal mula yang jelas serta hadirnya beberapa tokoh pendukung yang tidak dideskripsikan dengan baik. Semoga dengan menonton dua volume lainnya penonton mampu memahami beberapa plot hole dan karakter pendukung dengan lebih baik.
*****************
Akhir kata, film ini cukup memikat dan memberikan banyak pelajaran berharga bagi penonton, tidak hanya terkait dakwah, tetapi juga cinta dan nasionalisme. Semoga dua volume selanjutnya dapat mengisi berbagai kekosongan yang membingungkan dalam film pertamanya.
Editor: Alifia Yumna Mumtazah dan Qisthan Ghazi
Discussion about this post