Terima kasih kepada Adriel dan Shareem atas diskusi sederhana di KaFe yang telah memantik banyak hal dari penulisan Kajian Online (Kajol) ini.
“Ga usah buru-buru, nikmati dulu masa kuliah selagi bisa karena masa kerja nanti bakal beda banget!”
Sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, mendengar kalimat tersebut dari alumni merupakan sebuah ironi atas kecilnya posibilitas bahwa kami dapat menikmati masa kuliah. Sejak semester satu, kami telah membuat pijakan pertama, yaitu dengan membuat LinkedIn dan menjalin koneksi sebanyak mungkin. Semester selanjutnya dihabiskan untuk belajar dan mencari kesempatan magang dan kawanannya. Menengok ke kiri dan kanan, semuanya berlari dengan begitu cepat.
Huru-Hara Organisasi Mahasiswa
Lumrah rasanya mahasiswa berorganisasi. Setidaknya, itulah cara yang dilakukan untuk menikmati masa kuliah, melepas penat dari kian banyaknya tuntutan akademik. Namun, artikel di atas1Nur, A. B. P. E. (2023, February 10). Meredupnya popularitas BEM: gairah aktivisme mahasiswa makin menurun, mengapa dan bagaimana solusinya? The Conversation. https://theconversation.com/meredupnya-popularitas-bem-gairah-aktivisme-mahasiswa-makin-menurun-mengapa-dan-bagaimana-solusinya-197881 menjadi salah satu pemantik diskusi hangat akhir-akhir ini, yaitu tentang “relevansi organisasi mahasiswa”. Menjadi pilihan banyak mahasiswa, organisasi secara tradisional dinarasikan sebagai kumpulan yang representatif dan membantu. Namun, berbagai kecenderungan baru muncul sehingga membuat organisasi mahasiswa dianggap kurang relevan dengan berbagai alasan karena banyak kegiatan lain yang memberikan manfaat yang sama—atau bahkan lebih—dibanding organisasi. Manfaat seperti memperluas relasi, meningkatkan kemampuan leadership dan berbagai soft skills, sampai mempraktikkan ilmu di kelas dapat dilakukan tanpa perlu berorganisasi.
Selain banyaknya “substitusi” yang lebih menarik, relevansi organisasi mahasiswa dipertanyakan hingga ranah yang mendasar, yaitu arah dan cara kerja organisasi itu sendiri. Eksklusivitas, birokrasi yang rumit, perasaan mewakili mahasiswa yang kian mengurang, hingga turunnya perhatian organisasi terhadap isu-isu sekitar perlu menjadi pertimbangan2Ibid.. Anggapan BEM sebagai “perwakilan”, misalnya, sering kali dimaknai sebagai “satu-satunya kelompok yang dapat bergerak politis”. Padahal, peduli politik adalah hak yang harus dimaksimalkan seluruh mahasiswa. Selain itu, arah gerak yang mengerucut kepada kepentingan-kepentingan tertentu juga dirasa keluar dari tujuan organisasi mahasiswa, seakan-akan pergerakan adalah untuk memuaskan hanya beberapa pihak3Ibid.. Kompetensi organisasi mahasiswa dalam membahas isu-isu spesifik juga dinilai kian menurun sehingga aksi yang dilakukan hanyalah riuh.
Berorganisasi, yang di dalamnya termasuk berpolitik dan berpikiran terbuka mengalami pergeseran makna. Magang sebagai alternatif aktivitas yang juga mendapat dukungan pemerintah dinilai jauh lebih bermanfaat bagi mahasiswa karena kebutuhan akan perluasan relasi, peningkatan kemampuan leadership, peningkatan berbagai soft skills, sampai praktik ilmu di kelas jelas dapat dicapai. Belakangan hari, teman-teman dari berbagai organisasi kerap mengeluhkan sulitnya mencari anggota baru karena jumlah pendaftaran yang makin menurun.
Mematri Neoliberalisme dengan Magang
Keberhasilan angkatan kerja pada pasar tenaga kerja kian diperhatikan pemerintah, terbukti dari meningkatnya pengaturan magang dalam berbagai kebijakan. Magang intensif satu sampai dua semester ditujukan sebagai usaha hilirisasi permasalahan industri ke perguruan tinggi sehingga kampus dapat terus relevan4Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar -Kampus Merdeka. http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020. Beberapa studi mengindikasikan korelasi positif antara magang dan keberhasilan sarjana dalam mencari pekerjaan. Studi di Spanyol5Di Meglio, G., Barge-Gil, A., Camiña, E. et al. Knocking on employment’s door: internships and job attainment. High Educ 83, 137–161 (2022). https://doi.org/10.1007/s10734-020-00643-x menunjukkan bahwa magang membuka peluang para pelakunya terhadap pasar tenaga kerja, dengan kecenderungan pekerja menjadi full-timer pada perusahaan dan bidang yang sama dengan tempat magang. Studi lain yang dilakukan di beberapa negara Barat6Baert, B. S., Neyt, B., Siedler, T., Tobback, I., & Verhaest, D. (2021). Student internships and employment opportunities after graduation: A field experiment. Economics of Education Review, 83, 102141. https://doi.org/10.1016/j.econedurev.2021.102141 dan Cina7Pan, J., Guan, Y., Wu, J., Han, L., Zhu, F., Fu, X., & Yu, J. (2018). The interplay of proactive personality and internship quality in Chinese university graduates’ job search success: The role of career adaptability. Journal of Vocational Behavior, 109, 14–26. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2018.09.003 pun menunjukkan hal senada.
Fenomena magang-pemerintah demikian dapat ditinjau menggunakan konsep “Neoliberal Governmentality” dari Foucault, yaitu keberpihakan besar pemerintah kepada pasar sehingga mendorong masyarakat terindividualisasi demi kesejahteraan masing-masing8Wirman, E. R. (2021). NORMALISASI PREKARISASI DALAM NEOLIBERALISME DI INDONESIA: MEMAHAMI PROGRAM MAGANG PADA MASA PANDEMI. INDOPROGRESS. https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/10/Jurnal-IP_IND_pages.pdf#page=121. Magang, dalam pandangan Foucault, dipahami sebagai usaha penanaman nilai-nilai eksploitatif—pengibaratan untung-rugi pada tiap pekerjaan—agar pemagang “siap menjadi profesional”, yang akhirnya menuju pada pembiasaan calon pekerja terhadap konsep-konsep neoliberalisme—penitikberatan ekonomi pada pasar bebas. Narasi sebelumnya mungkin membingungkan mengingat pemerintah seharusnya tidak “dibicarakan” ketika membahas pasar bebas. Namun, Fraser (2018) justru menyatakan bahwa negara yang berorientasi pasar berperan besar dalam menciptakan kompentensi dan profesionalisme baru sesuai dengan kebutuhan pasar pada masyarakat9Fraser, G. (2018). Foucault, governmentality theory and “Neoliberal Community Development.” Community Development Journal, 55(3). https://doi.org/10.1093/cdj/bsy049. Human capital menjadi indikator yang mendasari kerelaan “kerja tanpa dibayar” karena pengalaman bekerja dinilai setara—atau bahkan lebih dari—nilai uang.
Pada konteks Indonesia, Magang Merdeka dari Kemdikbud menjadi alternatif atraktif yang mencuri perhatian mahasiswa. Dalam Buku Panduan Penyelenggaraaan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, Kampus Merdeka diharapkan dapat mewujudkan pembelajaran otonom dan fleksibel, serta menciptakan kultur belajar yang inovatif dan tidak mengekang untuk menyesuaikan kebutuhan link and match pasar tenaga kerja10Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Loc. Cit.. Program magang merdeka satu hingga dua semester juga diharapkan dapat mengurangi biaya recruitment dan training awal dari industri, serta adanya transfer pengetahuan dari permasalahan industri ke perguruan tinggi. Berdasarkan paparan demikian, tentu saja program ini mengadopsi konsep neoliberalisme sebagaimana dijelaskan pada paragraf atas.
Kebutuhan dan keinginan mahasiswa yang kian beragam membuat alasan mengikuti magang menjadi sangat realistis—uang. Namun demikian, bahasan baru muncul, yaitu bagaimana mahasiswa magang dipekerjakan. Ranah yang terlalu jauh dari pendidikan menjadi argumen utama pada diskursus tersebut. Pasalnya, magang sering kali menjauhkan mahasiswa dari program kuliah yang sedang diambil. Selain itu, mahasiswa juga dianggap sebagai sumber daya “fleksibel” yang berujung pada ketidakjelasan tugas11Wirman, Op. Cit., 127.. Walaupun fleksibilitas tidak secara langsung merugikan pekerja—mahasiswa, kejelasan dapat membantu mahasiswa secara signifikan dalam mengembangkan diri selama magang12Ibid.. Hal miris dari magang adalah “fleksibilitas diri” sering kali tidak diarahkan pada tujuan program itu sendiri, yaitu sebagai “lanjutan” dari perkuliahan13Ibid..
Apa yang Lenyap ketika Organisasi Hilang?
Hell is truth seen too late – Thomas Hobbes
Antusiasme berorganisasi yang sedemikian meredup menimbulkan kekhawatiran atas hal-hal yang akan hilang. Mengambil dari apa yang tercatat secara historis, komunitas mahasiswa pertama, Indonesische Studie-club (Kelompok Studi Indonesia), didirikan oleh Soetomo di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924. Komunitas ini merupakan sebuah sahutan dari mahasiswa Indonesische Vereeniging yang kecewa terhadap progres dari perjuangan Indonesia melawan penjajah. Sejak saat itu, komunitas dan organisasi mahasiswa menjadi salah satu kristalisasi dari nilai-nilai intelektual mahasiswa sebagai pengampu gelar “agen perubahan”. Secara ideal, kata “mahasiswa” memiliki arti yang jauh lebih dalam dari sekadar “kontributor pasar tenaga kerja” dan “produk kapitalisme”. Dari naik dan jatuhnya sebuah rezim, mahasiswa sudah memikul beban kewajiban dalam penyuaraan suara rakyat.
Di luar dari aktivisme, beberapa penelitian telah ditujukan untuk melihat bagaimana organisasi mahasiswa memiliki manfaat bagi perkembangan individu. Misalnya saja, Zeno (2020) menemukan bahwa regulasi diri pada mahasiswa yang tergabung dalam organisasi lebih tinggi dibandingkan yang tidak menjadi anggota14Zeno (2020) Regulasi Diri Mahasiswa Ditinjau Dari Keikutsertaan Dalam Organisasi Mahasiswa. Other thesis, Universitas Islam Riau.. Dalam studi di negara lain, Patterson (2012) menemukan adanya korelasi positif dan signifikan antara perilaku kepemimpinan dengan bergabungnya seseorang dalam organisasi kemahasiswaan15Patterson, B. (2012). Influences of Student Organizational Leadership Experiences in College Students Leadership Behaviors. E Journal of Organizational Learning & Leadership, 10(1).. Walaupun terdengar meyakinkan, nyatanya nilai-nilai tersebut juga bisa didapatkan dari kegiatan magang dan sejenisnya. Hal yang membedakan adalah bagaimana kemampuan itu terbentuk dari tatanan formalitas yang berbeda. Sebagaimana yang diketahui, ketika menginjakkan kaki dalam sebuah komunitas korporat atau semacamnya, situasi formal dirasakan dengan susunan yang cenderung lebih kaku dibatasi oleh umur dan jabatan dengan rentang yang lebih luas. Padahal, mahasiswa berada pada umur yang mereka akan membutuhkan bantuan teman sebaya ketika tidak tahu ke mana harus bertanya16Morse, C. C., & Schulze, R. (2013). Enhancing the network of peer support on college campuses. Journal of College Student Psychotherapy, 27(3), 212-225..
Hal terakhir yang dirasakan oleh penulis dan mungkin para pembaca lainnya, yaitu kesenangan kuliah yang hilang dengan adanya “mental pekerja”. Mental tersebut tidaklah salah atau buruk, hanya saja patut disayangkan ketika muncul pada waktu yang belum tepat. Misalnya, mahasiswa semester awal yang telah mencari informasi kegiatan magang dan merasakan ketakutan ketika melihat temannya yang lain sudah bekerja. Secara tidak sadar, ada ketenangan yang dirampas dari “pergelutan” yang seharusnya belum ada. Pragmatisme juga telah dipraktikkan jauh sebelum filsafat pragmatisme lahir17Diggins, J. P. (1995). The promise of pragmatism: Modernism and the crisis of knowledge and authority. University of Chicago Press.. Sulit untuk mengidentifikasi apakah motivasi dari mereka yang bergabung ke organisasi mahasiswa pada kala lama merupakan hasil dari idealisme. Namun demikian, tingginya tren magang, bootcamp, dan sejenisnya dapat dikatakan sebagai bagian dari pragmatisme. Persyaratan yang kian spesifik dicari oleh perusahaan membuat pengalaman organisasi saja tidak cukup, tetapi juga perlu magang yang relevan. Pengejaran pragmatisme ini, secara tidak disadari, dapat mengarahkan mahasiswa pada krisis identitas.
Mengutip dari Hook (1959), permainan yang dilakukan dengan begitu aman akan membuat keberadaan diri kita tampak aman, tetapi petualangan yang tidak pernah menjadi milik kita akan berakhir dengan kepedihan18Hook, S. (1959). Pragmatism and the tragic sense of life. In Proceedings and Addresses of the American Philosophical Association (Vol. 33, pp. 5-26). American Philosophical Association.. Ia juga mengatakan bahwa hanya orang yang tidak imajinatif yang akan gagal melihat kemungkinan diri yang telah dikorbankan untuk menjadi seperti sekarang. Dalam konteks mahasiswa, petualangan yang dimaksud adalah untuk mencoba berbagai komunitas di kuliah, serta mengisi hari-hari kuliah dengan kegiatan kampus. Mengapa demikian? Kegiatan yang ada di kampus kemungkinan besar tidak akan ditemui kembali, atau opportunity cost untuk mengikuti kegiatan demikian akan menjadi makin besar. Misalnya saja, kedua penulis merupakan mahasiswa FEB yang tergabung pada organisasi jurnalistik, mungkin saja tidak akan mendapatkan kesempatan yang sama di kemudian hari ketika lulus. Hal-hal demikianlah yang akan sangat mahal ketika dihadapkan dengan pekerjaan.
Akhir Kata
Magang dan organisasi menjadi dua aktivitas yang kian dibenturkan. Namun, kedua hal tersebut nyatanya tidak selalu demikian. Prioritas beragam di lingkungan “berpasar bebas” adalah realistis. Perlu dipahami bahwa berbagai dorongan dan tarikan dari keputusan memilih aktivitas-aktivitas tersebut juga dipengaruhi oleh struktur yang mengelilingi mahasiswa. Menjadikan kegiatan magang dan organisasi sebagai penunjang perkuliahanlah yang terpenting.
Perihal organisasi yang kian ditinggalkan, perlu diingat bahwa sebagian dari identitas mahasiswa akan hilang karena hal tersebut. Peninggalan juga akan berpengaruh negatif kepada kemampuan kognitif serta support system. Dengan redupnya semangat organisasi, akan ada berbagai kehilangan yang tidak akan bisa dikuantifikasi. Sayang sekali, waktu yang terus maju tidak akan memberikan kesempatan kita untuk mengulangi apa yang terlewat.
Referensi
↵1 | Nur, A. B. P. E. (2023, February 10). Meredupnya popularitas BEM: gairah aktivisme mahasiswa makin menurun, mengapa dan bagaimana solusinya? The Conversation. https://theconversation.com/meredupnya-popularitas-bem-gairah-aktivisme-mahasiswa-makin-menurun-mengapa-dan-bagaimana-solusinya-197881 |
---|---|
↵2, ↵3, ↵12, ↵13 | Ibid. |
↵4 | Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar -Kampus Merdeka. http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020 |
↵5 | Di Meglio, G., Barge-Gil, A., Camiña, E. et al. Knocking on employment’s door: internships and job attainment. High Educ 83, 137–161 (2022). https://doi.org/10.1007/s10734-020-00643-x |
↵6 | Baert, B. S., Neyt, B., Siedler, T., Tobback, I., & Verhaest, D. (2021). Student internships and employment opportunities after graduation: A field experiment. Economics of Education Review, 83, 102141. https://doi.org/10.1016/j.econedurev.2021.102141 |
↵7 | Pan, J., Guan, Y., Wu, J., Han, L., Zhu, F., Fu, X., & Yu, J. (2018). The interplay of proactive personality and internship quality in Chinese university graduates’ job search success: The role of career adaptability. Journal of Vocational Behavior, 109, 14–26. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2018.09.003 |
↵8 | Wirman, E. R. (2021). NORMALISASI PREKARISASI DALAM NEOLIBERALISME DI INDONESIA: MEMAHAMI PROGRAM MAGANG PADA MASA PANDEMI. INDOPROGRESS. https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/10/Jurnal-IP_IND_pages.pdf#page=121 |
↵9 | Fraser, G. (2018). Foucault, governmentality theory and “Neoliberal Community Development.” Community Development Journal, 55(3). https://doi.org/10.1093/cdj/bsy049 |
↵10 | Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Loc. Cit. |
↵11 | Wirman, Op. Cit., 127. |
↵14 | Zeno (2020) Regulasi Diri Mahasiswa Ditinjau Dari Keikutsertaan Dalam Organisasi Mahasiswa. Other thesis, Universitas Islam Riau. |
↵15 | Patterson, B. (2012). Influences of Student Organizational Leadership Experiences in College Students Leadership Behaviors. E Journal of Organizational Learning & Leadership, 10(1). |
↵16 | Morse, C. C., & Schulze, R. (2013). Enhancing the network of peer support on college campuses. Journal of College Student Psychotherapy, 27(3), 212-225. |
↵17 | Diggins, J. P. (1995). The promise of pragmatism: Modernism and the crisis of knowledge and authority. University of Chicago Press. |
↵18 | Hook, S. (1959). Pragmatism and the tragic sense of life. In Proceedings and Addresses of the American Philosophical Association (Vol. 33, pp. 5-26). American Philosophical Association. |
Discussion about this post