“Kita akan terus melawan rezim yang zalim dan kebijakan kejam yang mereka buat, kebijakan yang menguntungkan mereka yang kaya dan menindas mereka yang tak berdaya. Selama pemerintah tidak memiliki itikad serius dalam mengatasi krisis iklim, maka kami akan bersuara terus melawan kebijakan rezim yang zalim!” tegas BEM FH UI.
Pada Jumat (3/3), Puluhan massa melakukan unjuk rasa dalam aksi Global Climate Strike bertajuk “Lawan Penguasa Zalim, Tegakkan Keadilan Iklim” di Kompleks Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat. Aksi ini juga diadakan secara serentak di berbagai kota lainnya, seperti Bandung, Sukabumi, Yogyakarta, dan lainnya.
Aksi tersebut dihadiri oleh berbagai komunitas aktivis lingkungan, seperti Extinction Rebellion Indonesia, Climate Rangers, KPOP4PLANET, dan lainnya. Tidak hanya itu, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Universitas Trisakti, turut meramaikan aksi ini.
Massa aksi mengajukan tiga tuntutan untuk pemerintah Indonesia, yaitu Indonesia darurat iklim, aksi iklim segera!, keadilan iklim harus jadi agenda prioritas di Pemilu 2024, serta generasi muda menolak solusi palsu.
Mulai dari Krisis Iklim hingga Tuntutan terhadap Solusi Iklim Palsu
Perwakilan dari UIN Jakarta menyampaikan kegelisahannya terhadap krisis iklim yang sangat dirasakan oleh mahasiswa UIN Jakarta. “Ciputat dinobatkan sebagai daerah terpanas dengan suhu 36,1 derajat celsius. Bayangkan teman-teman! Suhu 36,1 derajat celsius panas sekali!” seru perwakilan UIN Jakarta.
Perwakilan BEM FH UI pun turut memberikan suaranya terhadap permasalahan iklim. Ia menyebutkan bahwa regulasi seperti RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) justru memperparah kondisi iklim bumi.
“Mereka (pemerintah) berjanji untuk menyelesaikan masalah-masalah krisis iklim. Namun, apa teman-teman nyatanya? Berbagai solusi palsu dan semu yang kita dapatkan saat ini!” ucapnya.
Aksi sekaligus Wadah Solidaritas untuk Berbagai Kelompok Masyarakat
Selain untuk menyuarakan krisis iklim yang sedang terjadi, aksi Global Climate Strike juga menjadi wadah solidaritas bagi para komunitas yang membutuhkan keadilan dari pemerintah, seperti Rukun Tani Sumberejo Pakel, Sanggar Teater Seroja, dan perwakilan warga Pulau Pari.
Sanggar Teater Seroja yang merupakan komunitas seni bagi para transgender menyebutkan bahwa mereka ikut terdampak dari adanya krisis iklim. Perwakilannya berkata, “Kondisi kami sebelumnya sudah menghadapi berbagai krisis, seperti krisis keuangan, pengusiran, persekusi, pekerjaan, dan kesehatan. Kini, setelah ada perubahan iklim, krisis kami semakin berlipat ganda.”
“Kawan kami yang bekerja sebagai pengamen tidak bisa bekerja di kala musim hujan. Ada yang memaksa (untuk) mengamen di kala hujan deras, justru diusir warga dan dituduh sebagai penyebab banjir,” tambah perwakilan dari Sanggar Teater Seroja.
Sementara itu, perwakilan warga Pulau Pari juga merasa bahwa tempat tinggal mereka dirampas oleh korporasi serta laut mereka telah dipenuhi dengan limbah. “Pemerintah tidak pernah hadir di Pulau Pari dan mendukung perjuangan kami (warga Pulau Pari), sehingga orang tua kami harus mencari keadilan sampai ke (tingkat) internasional,” ucap salah satu perwakilan Pulau Pari.
Saat ini, warga Pulau Pari sedang mengajukan gugatan kepada PT Holcim karena aktivitas perusahaan yang dinilai memperburuk kondisi iklim di daerah Pulau Pari. Mereka telah mengajukan permohonan konsiliasi di kantor pusat Holcim, Swiss.
Generasi Muda Melek Isu Lingkungan
Orator dalam aksi Global Climate Strike saling berlomba-lomba menyerukan agar generasi muda peduli dengan lingkungan. Perwakilan dari Trisakti mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu diam lagi karena tanda-tanda kerusakan lingkungan sudah ada di depan mata. “Sudah saatnya kita menjadi hero bagi lingkungan kita! Sudah saatnya kita tidak lagi terilusi dengan solusi-solusi iklim yang hanya sementara!” seru perwakilan dari Trisakti.
Perwakilan dari Climate Rangers pun turut mengungkit bahwa 60 persen pemilih di Pemilu 2024 adalah anak muda. Ia berpesan, “Jangan sampai suara kita dipakai oleh mereka (calon presiden) sehari di bulan Februari! Kita mau kita yang menentukan pembangunan jangka panjang nasional sampai tahun 2045. Jangan sampai visi Indonesia Emas adalah menjarah sumber daya alam tanpa keberlanjutan lingkungan!”
Editor: Muhammad Ramadhani dan Tara Saraswati
Discussion about this post