“Kemana aku akan pulang? Rumahku telah hilang”
Malam itu, Puan duduk di teras rumah, menatap langit dalam damai. Tak ada bintang, bulan pun bersembunyi dalam sunyi. Gelap pun merambat. Udara malam membuat Puan merapatkan sweater dan memutuskan untuk beranjak ke dalam, mencari sesuatu yang bisa menerangi gelap dan menghangatkan malam. Ia menghampiri sudut meja dengan poci keramik putih, menuang isinya dengan hati-hati ke dalam cangkir dengan warna dan motif yang sama. Aroma daun teh panas yang segar bercampur melati menguap sedap. Puan meniupnya sedikit lalu menyeruput pinggir cangkir perlahan sembari menikmati kehangatan di dalamnya. Ia bergegas mencari lilin untuk menjadi penerang gelapnya ruang. Puan merasa hangat dan gelap perlahan berkurang dengan cahaya lilin remang-remang.
Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu, tanpa berpikir dua kali Puan membukanya. Di hadapannya, bagai mimpi, Tuan muncul-membawakan semangkuk sup jagung hangat, selimut rajut, beserta lentera yang sungguh terang, hanya untuk Puan. Rasanya, Tuan paling tahu segala hal yang Puan butuhkan kala itu. Lelaki itu paling bisa menerangi hidupnya dan melengkapi dirinya. Sekian lama sudah Puan mengenalnya. Puan menyukai Tuan bukan karena perawakannya, tetapi hati dan pikirannya yang telah mencuri hati Puan sejak pertama kali ia mengetuk pintu dengan membawa banyak harapan.
Puan menyuguhkannya secangkir air, tetapi Tuan menolak dengan halus seperti biasanya. Ia tidak suka air mineral. Puan pun kembali dengan secangkir teh hangat yang segera ditenggak oleh Tuan hingga tak tersisa. Baju hangat dan tempat istirahat juga disediakan Puan. Inilah rumah, tempat Tuan selalu pulang. Setiap hari, Puan selalu menata rumah agar Tuan merasa nyaman. Balasan Tuan selalu indah sejak pertama bertemu hingga sekarang. Tuan telah menjadi pelengkap kehangatan rumah Puan. Rumah tempat mereka pulang.
Waktu pun berlalu, kehangatan masih terasa meski mulai terasa berbeda. Tuan tak membolehkan Puan untuk keluar rumah, meski hanya untuk melihat langit dan keindahan semesta lainnya. Meski hanya untuk menyapa bintang dan bertemu bulan, meski untuk berbincang dengan awan dan menari bersama mentari. Namun, seringkali Tuan pergi meninggalkan Puan sendiri, keluar rumah untuk sesekali melihat rumah lain yang terlihat indah. Walapun Puan selalu berusaha agar rumah mereka selalu terlihat indah dan nyaman, Tuan mulai jarang pulang.
Ketika tersedia waktu bersama, Puan mengungkapkan keresahannya. Kekecewaannya pada Tuan yang telah banyak berubah, tetapi Tuan tak mengindahkan isi hatinya. Namun, entah bagaimana, Puanlah yang selalu merasa bersalah, maaf diucapkannya kepada Tuan. Meskipun begitu, Tuan masih sering melakukan hal manis sehingga Puan terkadang merasa Tuan tidak berubah. Pembelaannya selalu hanya untuk Tuan. Mungkin Tuan hanya sedang lelah. Akan tetapi, pertanyaan ini selalu mengganggu pikiran Puan.
Benarkah dia ingin berada di rumah ini? Atau hanya karena aku yang memintanya untuk masuk, memaksanya tetap di sini?
Galau hati Puan berkali-kali menghadapi kenyataan yang tidak lagi menerangi dan menghangatkan hati. Semakin lama waktu berlalu, retak mulai muncul di semua bagian dinding rumah. Puan memberi tahu Tuan letak retaknya. Heran, Tuan tidak mau mendengarkan. Setiap kali Puan menemukan retak dinding, Puan memperbaikinya sendiri hingga retaknya tak terlihat lagi. Namun, tak lama muncul kembali retak baru di sana-sini. Semakin hari retak semakin banyak, bahkan semakin besar. Puan kembali mengungkapkan keresahannya pada Tuan karena rumah semakin mengkhawatirkan, tetapi Tuan kembali tidak mengindahkan.
Suatu hari, Tuan memasang bingkai kosong besar pada setiap dinding rumah dengan paku besar. Puan marah, karena dinding itu sudah sangat retak. Puan tidak habis pikir tentang alasan Tuan memasang bingkai-bingkai itu. Tuan berdalih bahwa bingkai itu nantinya akan diisi dengan foto Puan dan foto mereka. Gambaran indah bahagia penghias rumah.
“T-t-tapi temboknya telah retak… Dinding tak akan kuat,” Puan berkata sambil menahan tangis
“Lalu, apa yang kamu ingin aku lakukan?” tanya Tuan.
“Bukankah selama ini aku selalu memintamu, memperbaiki dinding retak yang akan membuat rumah ini runtuh?” Puan menjawab pelan.
Tuan tetap tidak mengindahkan.
Puan tidak ingin dirinya mengemis agar Tuan memperbaiki rumahnya. Puan ingin Tuan sadar bahwa rumah itu sudah akan hancur. Namun, ia tak kuasa menahan isi batinnya. Puan mengungkapkan semuanya dalam kemarahannya, kesedihannya, kekecewaannya, tetapi Tuan tak kunjung mengerti atau memang tidak mau mengerti.
Keesokan harinya, Puan kembali memperbaiki dinding-dinding itu seperti yang dilakukannya selama ini. Sesekali ia mengusap wajahnya yang penuh air mata. Puan lelah untuk memperbaiki rumahnya sendirian, lelah mempertahankan rumah untuk Tuan dan mimpi yang terlanjur tinggi. Nyatanya ia kini sendirian.
Pada akhirnya, pilihan berat harus terjadi. Puan meminta Tuan pergi. Tuan terlihat sangat marah, sedih, dan kecewa. Tuan tidak percaya, tetapi tak pernah mengerti sakit Puan selama ini. Sebenarnya, Puan hanya ingin Tuan menggunakan akal dan hati, berpikir dan kemudian kembali dengan kesadaran untuk memperbaiki rumah indahnya yang setengah runtuh. Puan ingin ia kembali, tetapi Tuan justru mencari rumah lain. Puan semakin terpuruk dalam runtuhan dinding. Puan berusaha memintanya kembali, tapi Tuan berkata,
“Aku sudah bahagia, keluar dari rumah itu.”
Puan tidak dapat berkata apapun, ia sangat hancur mendengarnya. Tuan sudah berada dalam sebuah rumah yang ramai penghuni. Puan pun berusaha mencari penghuni baru untuk menemaninya di rumah setengah hancur, tetapi tetap saja rumahnya tidak utuh. Masih banyak lubang menganga di mana-mana. Dingin.
Suatu ketika, datang kabar berita. Tuan menderita karena penghuni rumah baru itu mengosongkan rumahnya, meninggalkan Tuan sendiri. Puan kembali dengan lirih berkata,
“Kembalilah, wahai Tuan… Aku yang akan memperbaiki rumah untuk kembali kamu tinggali seperti dulu. Ini rumahmu.”
“Semua pergi meninggalkanku!” Tuan hanya berteriak penuh amarah.
Kemudian yang terjadi, Tuan kembali mencari rumah baru, sementara Puan menunggunya di dalam rumah setengah hancur, terus memperbaiki sendiri, berharap Tuannya kembali. Puan hanya dapat menatap lubang-lubang hampa.
Salahkah Puan?
Puan, kau begitu berharga dan tak pantas meminta.
Tuan yang menghargaimu tak akan membiarkanmu lelah.
Akankah hati kecil Tuan bergetar gelisah? Merasa bersalah?
Ataukah Tuan merasa menjadi korban?
Puan bangkit berdiri. Mungkin saat ini, Tuan sudah menemukan rumahnya yang baru, dengan penghuni baru yang mau menampungnya. Tuan telah meninggalkan Puan karena ego yang tercoreng ketika Puan mengusirnya dari rumah. tanpa menyadari kesalahannya, Tuan tidak mencari tahu ingin dan maksud Puan. Tak apa, Puan pun telah lelah untuk memberi banyak waktu dan kesempatan yang terbuang percuma. Puan akan berkemas, mencari tanah untuk kembali mendirikan sebuah rumah. Dengan lapang, Puan meninggalkan rumah dulu yang telah dibangunnya dengan sepenuh hati. Semoga suatu saat Tuan mengerti.
Editor: Jeni Rima Puspita dan Qisthan Ghazi
Ilustrasi oleh Jeni Rima Puspita
Discussion about this post