Pernahkah kamu mendengar bahwa pertumbuhan jumlah manusia lebih cepat ketimbang pertumbuhan produksi pangan sehingga berpotensi menyebabkan kelaparan? Hal tersebut merupakan buah pemikiran dari seorang ekonom kenamaan bernama Thomas Malthus yang diabadikan dalam karya An Essay on Principles of Population pada tahun 1798. Namun, banyak para pemikir, seperti Alexander Gray, yang mengkritisi eksistensi dari teori tersebut akibat pemikiran Malthus yang terlalu pesimistik.
Malthus dianggap berlebihan dalam mengestimasi pertumbuhan penduduk, menafikan perkembangan keahlian tenaga kerja dalam populasi serta perkembangan teknologi yang sangat berkontribusi terhadap percepatan produksi pangan. Bantahan tersebut secara empiris terbukti dengan peristiwa Revolusi Industri yang menjadi titik awal meledaknya populasi manusia dan dengan perkembangan teknologi sampai saat ini tetap mampu memenuhi kebutuhan manusia.
Kebangkitan Masalah Kelaparan
Muncul pertanyaan besar apakah bumi mampu memenuhi kebutuhan pangan sembilan miliar manusia yang diperkirakan akan memenuhi bumi di tahun 2050. Tidak mesti jauh-jauh melihat dunia, apakah Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan 280 juta penduduknya yang menguasai sekitar 3,5% populasi dunia? Tanda-tanda inkompetensi dalam pemenuhan pangan tercermin dari banyaknya masyarakat yang masuk ke dalam golongan rentan, bahkan telah terjerumus dalam lubang kelaparan. Berdasarkan Global Hunger Index (2021), Indonesia menduduki area sedang menuju kondisi serius dalam permasalahan kelaparan dan menempati peringkat tiga di Asia Tenggara dengan kerentanan kelaparan tertinggi pada tahun 2021 serta memiliki tingkat keamanan pangan ke 70 dari 102 negara1Global Hunger Index Scores by 2022 GHI Rank. (2022). Global Hunger Index (GHI) – Peer-Reviewed Annual Publication Designed to Comprehensively Measure and Track Hunger at the Global, Regional, and Country Levels. https://www.globalhungerindex.org/ranking.html.

Sebagai salah satu bentuk kebutuhan primer, gagalnya pemenuhan pangan yang menyebabkan kelaparan jelas memiliki dampak negatif yang multidimensional. Dalam skala global, 11 orang meninggal setiap menitnya akibat kelaparan, mengancam khususnya ibu dan balita2Reditya, T. H. (2021, July 9). Oxfam: Di Seluruh Dunia, 11 Orang Meninggal Akibat Kelaparan Setiap Menitnya Halaman all. Kompas.com. https://www.kompas.com/global/read/2021/07/09/191725570/oxfam-di-seluruh-dunia-11-orang-meninggal-akibat-kelaparan-setiap?page=all. Permasalahan kesehatan ini akan mempengaruhi potensi ekonomi yang dapat seseorang raih karena membatasi kemampuan individu dalam mengoptimalisasi potensi diri. Gizi buruk saja dapat mengurangi 2% – 9% produktivitas balita ketika dewasa, dampak kelaparan tentunya akan jauh lebih besar karena orang yang mengalami kelaparan pasti menderita gizi buruk pula3Renyoet, B. S., & Nai, H. M. E. (2019). Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat wasting pada balita di indonesia. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 7(2), 127-132..
Selain itu, kelaparan juga mampu membawa konflik sosial dengan skala yang cukup besar, sehingga dapat mengancam ketertiban sosial seperti demonstrasi dan protes yang acap kali digaungkan masyarakat ketika harga bahan pangan meningkat. Berbagai ancaman yang timbul akibat permasalahan kelaparan membuat banyak negara fokus untuk mengatasi masalah tersebut hingga disepakati menjadi bagian dari Sustainable Development Goals kedua.
Isu ini semakin memanas di tengah pandemi dengan ancaman krisis kelaparan global dan deglobalisasi yang menyebabkan terhambatnya ekspor-impor bahan pangan. Ketakutan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan dan narasi kemandirian pangan di tengah deglobalisasi menjadi pemantik pemerintah untuk menjalankan food estate. Secara sekilas, nampaknya ide ini merupakan terobosan yang cukup baik untuk meningkatkan penawaran pangan, khususnya beras yang menjadi makanan pokok. Namun, yang perlu dikritisi adalah, apakah Indonesia mengalami kekurangan produksi pangan? Apakah peningkatan produksi pangan dapat menjadi solusi nyata dalam mengatasi kelaparan?
Food Availability
Ketersediaan pangan merupakan sebuah kondisi ketika jumlah pangan dalam hal kuantitas dapat memenuhi kebutuhan domestik, baik produksi dalam negeri maupun impor. Dalam tulisan ini, ketersediaan pangan disimbolkan dengan jumlah kalori yang dapat disediakan oleh negara untuk setiap penduduk. Kalori menjadi aspek vital yang mesti diperhatikan dan dibandingkan dengan kandungan makanan lainnya karena sistem metabolisme tubuh mengkonversi kalori menjadi energi yang digunakan sebagai bahan bakar untuk menjalankan fungsi organ-organ tubuh.
Setiap manusia membutuhkan kalori dengan jumlah unik sesuai dengan karakteristik tubuh, lingkungan tempat tinggal, dan aktivitas yang dijalani. Seseorang yang mengkonsumsi jumlah kalori di bawah kebutuhan minimalnya merupakan pertanda dari kondisi kelaparan. Rata-rata orang Indonesia membutuhkan minimal 1,787 kilo kalori per harinya agar mampu beraktivitas dengan normal dan terhindar dari kelaparan. Namun, jumlah penawaran kalori per kapita per hari ternyata jauh melampaui kebutuhan di dalam negeri. Berdasarkan data dari UN Food and Agricultural Organization, per tahun 2018, Indonesia menghasilkan 2,884 kilo kalori per kapita per harinya. Nilai ini telah meningkat 58% sejak tahun 1961 dan lebih besar 181% dari kebutuhan minimal.

Jika kita melihat definisi kelaparan secara agregat hanya dari ketersediaan pangan atau rasio antara jumlah pangan dan masyarakat, tentunya Indonesia jauh dari kondisi kelaparan. Namun, nyatanya keadaan tersebut justru berbanding terbalik dengan realita yang ada. Tidak selamanya jumlah pangan yang melimpah menjamin bahwa setiap masyarakat mampu memenuhi kebutuhan kalorinya. Negara tetangga, seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand yang memiliki jumlah penawaran kalori per kapita per hari yang lebih rendah dari Indonesia justru mencetak ranking Global Hunger Index yang lebih tinggi. Kelaparan tidak dapat disimplifikasi hanya dari aspek ketersediaan pangan atau jumlah penawaran pangan, seperti yang digaungkan Malthus.
Food Entitlement and Food Security
Seorang ekonom yang melihat kelemahan dari pendekatan Malthusian dalam menentukan kelaparan adalah Amartya Sen. Ia berpendapat bahwa banyak kondisi yang menyebabkan sebuah negara mengalami kelaparan walau tidak mengalami kekurangan dalam produksi pangan. Jumlah penawaran pangan hanya sebagian kecil faktor yang menyebabkan seseorang terperangkap dalam kelaparan. Sen berhasil mengalihkan fokus analitis dari fiksasi pada pasokan makanan—logika Malthus tentang “terlalu banyak orang terlalu sedikit makanan” menuju aksesibilitas pangan. Aksesibilitas pangan menekankan pada kemampuan seseorang dalam membeli dan mendapatkan pangan yang tersedia di pasar.
Aksesibilitas pangan tersebut kemudian disempurnakan oleh Sen ke dalam pendekatan food entitlement. Entitlement sendiri dijelaskan oleh Sen sebagai seperangkat bundel komoditas (kombinasi berbagai jenis pangan) yang dapat dimiliki oleh masyarakat melalui jalur akuisisi yang sah4Devereux, S. (2001). Sen’s entitlement approach: critiques and counter-critiques. Oxford development studies, 29(3), 245-263.. Jalur akuisisi dimaknai sebagai cara atau metode yang dapat digunakan oleh individu untuk mendapatkan pangan yang dapat dikonsumsi. Secara garis besar, Sen membagi jalur akuisisi ke dalam empat metode: production-based entitlement (menanam makanan), trade-based entitlement (membeli makanan), own-labor entitlement (bekerja untuk makanan), dan inheritance and transfer entitlement (diberi makanan oleh orang lain).
Dalam entitlement theory, kelaparan terjadi jika keempat jalur akuisisi pangan tersebut tidak mampu memberi mereka makanan yang cukup untuk bisa hidup secara subsisten. Pendekatan tersebut menjelaskan bahwa kelaparan merupakan sebuah masalah yang timbul akibat fenomena sosial-ekonomi ketimbang permasalahan ketersediaan pangan. Namun, hal yang mesti digarisbawahi adalah walau secara harfiah entitlement atau hak cenderung bermakna normatif, Sen menggambarkannya sebagai pendekatan ekonomi deskriptif. Dalam kerangka Sen, orang yang menderita karena kelaparan tidak berhak atas makanan, sebaliknya mereka “berhak kelaparan”.
Secara lebih kompleks, teori-teori terkait pemenuhan kebutuhan pangan dijelaskan melalui konsep ketahanan pangan. Pengertian ketahanan pangan secara luas adalah terjaminnya akses pangan untuk segenap rumah tangga serta individu setiap waktu, sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 2012, ukuran ketahanan pangan Indonesia dihitung melalui tiga dimensi, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, serta pemanfaatan pangan. Secara garis besar, konsep ketahanan pangan dengan entitlement theory memiliki banyak kesamaan. Hal yang menjadi pembeda adalah ketahanan pangan tidak hanya terbatas pada faktor kepemilikan pribadi dalam sistem pasar, tetapi juga memiliki perspektif makroekonomi yang lebih baik.
Dalam pembahasan kali ini, kita tidak akan membahas lebih jauh dan dalam mengenai ketahanan pangan, namun lebih berfokus entitlement theory dengan pendekatan yang lebih berorientasi pasar. Pembahasan ini ditujukan untuk membuktikan bahwa aksesibilitas pangan memainkan peran yang lebih vital dibanding dengan ketersediaan pangan dalam pendekatan Malthus untuk menentukan fenomena kelaparan.
Melimpah tapi Sulit Diakses
Sen dalam buku fenomenalnya, Famine and Poverty, berpendapat bahwa permintaan pasar tidak merefleksikan kebutuhan biologis masyarakat atas pangan, namun pilihan berdasarkan relasi exchange entitlements atau daya beli yang dimiliki masyarakat tersebut5Edkins, J. (1996). Legality with a vengeance: Famines and humanitarian relief in’complex emergencies’. Millennium, 25(3), 547-575.. Hal ini mendorong terjadinya ketimpangan distribusi pangan yang mana mekanisme pasar membuat pangan lebih banyak tersedia di daerah dengan pendapatan yang tinggi, padahal distribusi makanan seharusnya didasarkan pada kebutuhan biologis seseorang. Pernyataan Sen tersebut menjadi penjelasan akan anomali yang seringkali terjadi dalam perekonomian, “mengapa daerah dengan kelaparan yang tinggi justru mengekspor produksi pangannya, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerahnya”, seperti Ethiopia (1973) dan Bangladesh (1974).
Untuk membuktikan bahwa pendekatan Malthus mengenai kelaparan salah dan menunjukan terjadinya distribusi ketimpangan di Indonesia, penulis melakukan uji regresi dan korelasi dengan menggunakan data 34 provinsi mengenai konsumsi kalori per kapita per hari (kkal), persentase kelaparan (%), dan persentase dewasa obesitas (%) sebagai variabel dependen yang akan dijelaskan dengan produksi beras per kapita per tahun (kg) dan persentase kemiskinan (%) sebagai variabel independen.
Persentase kelaparan dalam BPS dihitung sebagai persentase masyarakat yang mengkonsumsi kalori di bawah 1400 kkal per hari. Persentase kemiskinan merupakan persentase masyarakat yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan dan persentase dewasa obesitas merupakan persentase penduduk di atas delapan belas tahun yang memiliki indeks massa tubuh lebih dari dua puluh tujuh.
Berdasarkan hipotesis yang diambil dari teori Malthus, produksi pangan yang dalam penelitian ini disimbolkan dengan produksi beras akan memiliki hubungan positif dengan tingkat konsumsi kalori dan berkorelasi negatif dengan tingkat kelaparan. Hasil regresi menunjukan bahwa hipotesis Malthus terbukti benar adanya. Namun, temuan lain juga menunjukan bahwa kemiskinan sebagai simbol dari aksesibilitas pangan yang digaungkan oleh Sen memiliki korelasi negatif pula dengan konsumsi pangan dan positif dengan kelaparan.
Hal menarik dari hasil regresi ini terdapat pada tingkat signifikansi yang terjadi. Walau sama-sama signifikan, kemiskinan memiliki signifikansi yang lebih besar dibanding tingkat produksi. Kurva scatterplot hasil dari regresi juga menunjukan hubungan antara kemiskinan terhadap kelaparan dan konsumsi kalori per kapita yang lebih kuat. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan tingkat produksi pangan.
Untuk semakin memperkuat posisi teori Sen terhadap Malthus, penulis juga menelaah mengenai fenomena obesitas yang akhir-akhir ini marak terjadi. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan mengingat ancaman kelaparan di Indonesia yang masih lebih tinggi dibandingkan negara tetangganya. Walau Indonesia berhasil menurunkan persentase kekurangan gizi sebesar 13% dari tahun 2007 – 2018, persentase obesitas justru meningkat jauh lebih cepat. Prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari 19,1% menuju 35,4% di rentang waktu yang sama. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat obesitas terbesar ke-empat di dunia.
Jika ditelaah secara logika yang diturunkan dari teori Malthus, produksi pangan seharusnya memiliki korelasi positif dengan tingkat obesitas. Daerah dengan produksi pangan melimpah seharusnya memiliki sumber makanan yang lebih banyak, sehingga berpotensi untuk mengalami obesitas. Namun, hasil regresi menunjukan hasil yang bertentangan. Setiap peningkatan produksi satu kilogram beras per kapita justru menurunkan persentase orang dewasa yang menderita obesitas sebesar 0,015%. Uji signifikansi juga menunjukan bahwa variabel independen tersebut signifikan dalam memberikan pengaruh negatif terhadap obesitas. Korelasi tersebut menjadi bukti mengapa DKI Jakarta dengan produksi beras per kapita terendah, namun bisa menduduki peringkat dua sebagai provinsi dengan persentase dewasa obesitas terbesar6lokadata. (n.d.). Prevalensi obesitas menurut provinsi, 2018 – Lokadata. Lokadata. Retrieved February 17, 2023, from https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/prevalensi-obesitas-menurut-provinsi-2018-1613621725#.
Hasil regresi di atas semakin diperkuat dengan uji korelasi yang dilakukan terhadap berbagai variabel yang ada. Kelaparan (-0,35) dan konsumsi kalori (0,30) memiliki hubungan terhadap produksi beras yang lebih lemah jika dibandingkan dengan kemiskinan terhadap kelaparan (0,49). Selain itu, hubungan antara produksi pangan dan obesitas menunjukan arah negatif yang cukup besar (-0,46), lebih tinggi dibanding tingkat kelaparan (-0,35) dan konsumsi pangan (0,30) terhadap produksi pangan.
Kondisi bahwa ketersediaan pangan tidak menjamin keamanan pangan bagi suatu kelompok juga tercermin dari penelitian Iram & Butt (2004) dan Maharjan & Joshi (2011). Mereka menemukan bahwa rumah tangga di perkotaan justru memiliki ketahanan pangan lebih tinggi dibanding mereka yang berada di pedesaan. Hal ini menunjukan sebuah anomali dalam teori Malthus karena daerah pedesaan biasanya ditempatkan sebagai penghasil pangan atau daerah hinterland. Pada tahun 2020, indeks produksi pertanian di pedesaan sebesar 109,15, sedangkan di perkotaan sebesar 104,02. Hal ini menunjukkan bahwa daerah pedesaan di Indonesia menghasilkan pangan per kapita lebih banyak daripada daerah perkotaan dan harusnya memiliki tingkat kelaparan yang lebih rendah, namun ternyata tidak.
Lagi-lagi, kondisi yang menyebabkan masyarakat pedesaan cenderung lebih kelaparan adalah karena jalur akuisisi pangan atau entitlement-nya yang bermasalah. Di banyak wilayah Indonesia, petani tidak memiliki akses ke pasar formal. Menurut laporan Kementerian Pertanian tahun 2019, hanya 29,2% petani di Indonesia yang memiliki akses ke pasar formal. Sulitnya akses ke pasar formal menyebabkan menjamurnya tengkulak yang membeli produk pertanian dengan harga murah. Tingkat kemiskinan di pedesaan Indonesia adalah 14,2% pada September 2021, dibandingkan dengan 9,6% di perkotaan, sehingga menyulitkan mereka membeli makanan dan bahan pokok lainnya.
Berbagai bukti di atas menjadi salah satu sinyal sampai saat ini bahwa Indonesia masih sulit dalam menurunkan tingkat ketimpangan pangannya. Walau tidak masuk ke dalam kategori buruk, ketimpangan pangan dalam pemenuhan kalori di Indonesia tidak menunjukan perbaikan yang berarti dengan tren yang cenderung stagnan, bahkan sedikit mengalami penurunan. Indonesia memiliki poin ketimpangan 0,28 pada tahun 2020 atau sedikit mengalami penurunan performa sejak tahun 2000 dengan 0,27 poin.
Kesimpulan
Selama ini, masalah kelaparan merupakan salah satu hal yang selalu menghantui manusia di setiap generasi. Ketidakmampuan sebuah negara dalam memenuhi salah satu kebutuhan dasar masyarakatnya menyebabkan bencana yang multidimensional. Malthus mengungkapkan bahwa fenomena kelaparan terjadi karena adanya kekurangan pangan akibat pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan produksi pangan dunia. Seiring perkembangan teknologi yang menandakan peningkatan produktivitas pangan, anggapan Malthus tersebut tidak terbukti benar karena dunia tetap tidak terlepas dari kasus kelaparan, termasuk Indonesia.
Indonesia saat ini telah berhasil menghasilkan kalori per kapita per hari yang mampu memenuhi kebutuhan minimum setiap masyarakatnya, bahkan lebih besar dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Walaupun demikian, produksi pangan yang besar tidak menjamin keamanan pangan Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan rawan kelaparan terbesar ketiga di Asia Tenggara, lebih tinggi dari Malaysia dan Thailand. Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa masalah kelaparan tidak dapat dijelaskan hanya dari segi penawaran semata. Sen membuktikan bahwa kelaparan cenderung merupakan masalah sosial ekonomi yang mana pendapatan memainkan peranan penting dalam menciptakan ketimpangan pangan.
Food availability adalah tentang pasokan fisik makanan, sedangkan food entitlement adalah tentang kemampuan seseorang untuk mengakses makanan itu. Keduanya penting dalam memastikan ketahanan pangan, tetapi memastikan setiap orang mendapatkan food entitlement seringkali merupakan kunci untuk meningkatkan status gizi dan kesejahteraan populasi yang rentan. Tingkat kemiskinan memiliki kontrol yang lebih besar dibanding produksi pangan dalam mempengaruhi tingkat kelaparan. Adanya ketimpangan menciptakan kelompok masyarakat yang kelebihan makan, sekalipun hanya memproduksi sedikit pangan, begitupun sebaliknya. Hal ini juga menjadi sinyal bahwa dibanding fokus untuk meningkatkan produksi pangan melalui pembangunan food estate, pemerintah bisa berfokus meningkatkan pendapatan kalangan terbawah serta menekan ketimpangan yang ada.
Lampiran



Editor: Qisthan Ghazi dan Alifia Yumna Mumtazah
Referensi
↵1 | Global Hunger Index Scores by 2022 GHI Rank. (2022). Global Hunger Index (GHI) – Peer-Reviewed Annual Publication Designed to Comprehensively Measure and Track Hunger at the Global, Regional, and Country Levels. https://www.globalhungerindex.org/ranking.html |
---|---|
↵2 | Reditya, T. H. (2021, July 9). Oxfam: Di Seluruh Dunia, 11 Orang Meninggal Akibat Kelaparan Setiap Menitnya Halaman all. Kompas.com. https://www.kompas.com/global/read/2021/07/09/191725570/oxfam-di-seluruh-dunia-11-orang-meninggal-akibat-kelaparan-setiap?page=all |
↵3 | Renyoet, B. S., & Nai, H. M. E. (2019). Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat wasting pada balita di indonesia. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 7(2), 127-132. |
↵4 | Devereux, S. (2001). Sen’s entitlement approach: critiques and counter-critiques. Oxford development studies, 29(3), 245-263. |
↵5 | Edkins, J. (1996). Legality with a vengeance: Famines and humanitarian relief in’complex emergencies’. Millennium, 25(3), 547-575. |
↵6 | lokadata. (n.d.). Prevalensi obesitas menurut provinsi, 2018 – Lokadata. Lokadata. Retrieved February 17, 2023, from https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/prevalensi-obesitas-menurut-provinsi-2018-1613621725# |
Discussion about this post