Integrasi ChatGPT ke dalam dunia pendidikan memiliki potensi untuk merevolusi pengalaman belajar siswa dan memberikan dukungan instan yang dipersonalisasi. Selain itu, kemampuan ChatGPT untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar pun membuka peluang baru bagi para pendidik. Mereka dapat membuat keputusan yang tepat dan menyesuaikan pengalaman belajar setiap siswa.
Beberapa waktu yang lalu, dunia maya sedang diramaikan dengan kehadiran model bahasa AI ChatGPT, sebuah chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI) yang dikembangkan oleh OpenAI untuk melakukan percakapan dan membantu kebutuhan penggunanya. ChatGPT dapat dengan mudah memberikan penggunanya jawaban yang mereka butuhkan, sekalipun itu pertanyaan dalam bidang akademis.
Untuk memahami dampak lebih lanjut dari ChatGPT terhadap dunia pendidikan dan kebijakan penggunaannya di FEB UI, Economica telah berbincang dengan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB UI), Arief Wibisono Lubis (Arief).
ChatGPT Bermanfaat Bagi Kegiatan Pembelajaran, tetapi Tidak untuk Evaluasi Pembelajaran
Arief berterus terang bahwa ChatGPT memberikan banyak manfaat bagi kegiatan belajar mengajar layaknya Google dan Wikipedia. Namun, ia mengatakan bahwa ChatGPT justru memberikan dampak sebaliknya pada evaluasi pembelajaran.
“Kalau untuk evaluasi belajar, itu kan konsepnya adalah bagaimana kami (pihak fakultas) bisa mengukur capaian learning goals dan learning objective dari para mahasiswa. Sementara kalau mahasiswa menggunakan ChatGPT dan mengklaim (pekerjaannya) sebagai hasil kerjaan mahasiswa, itu tentunya tidak bisa mengukur capaian pembelajaran karena pekerjaan tersebut tidak dihasilkan oleh mahasiswa, tetapi oleh ChatGPT,” jelas Arief.
Arief menyatakan bahwa Center for Education and Learning in Economics and Business (CELEB) telah melakukan uji coba untuk mempelajari dampak ChatGPT terhadap pendidikan. “Kita coba masukkan pertanyaan dan mungkin kalau saya yang mengoreksi akan merasa kalau jawabannya bagus, tapi sebenarnya kan bukan hasil pemahaman dari mahasiswa,” sambungnya.
Lebih jauh, Arief mengatakan bahwa fakultas memiliki beberapa opsi untuk menindaklanjuti ChatGPT dan penggunaan AI ke depannya. “Jadi, (fakultas) sebenarnya masih mengkaji, tetapi dampak positif dan negatifnya sudah berusaha kita lihat,” ujar Arief.
Mitigasi Dampak Negatif Penggunaan ChatGPT dalam Penilaian Akademis
FEB UI melibatkan CELEB untuk melakukan uji coba pembuatan paper menggunakan ChatGPT. Paper tersebut kemudian ditunjukkan kepada para kepala departemen dan bidang studi serta telah mendapatkan masukkan dan benchmarking dari Universitas lain, seperti Universitas di Prancis.
“Bocoran kebijakannya sendiri untuk penilaian itu ya mungkin tidak diperbolehkan penggunaan ChatGPT, tapi kan kita bikin aturan juga harus mikir masalah enforceable-nya atau enggak gitu,” terang Arief.
Untuk memastikan bahwa mahasiswa tidak melakukan plagiarisme atau kecurangan dalam ujian, FEB UI akan merevisi Statement of Authorship yang dapat diimplementasikan sebagai alat hukum jika ada mahasiswa yang ketahuan menggunakan ChatGPT.
“Kemudian kami juga akan melakukan sosialisasi kepada para dosen untuk mendesain instrumen kebijakan atau Instrumen penilaian yang bisa memitigasi dampak-dampak negatif dari ChatGPT. Misalnya, ujian-ujian yang sifatnya makalah take home,” terang Arief.
Seiring perkembangan AI ChatGPT, ujian tulis tangan akan terus dilakukan guna mengatasi kesulitan dalam mengevaluasi tujuan pembelajaran mahasiswa jika hanya didasarkan oleh ChatGPT. Selain itu, akan diadakan pula sosialisasi perihal peningkatan kesadaran etika mahasiswa dalam penggunaan ChatGPT.
Garis Tipis antara Potensi dan Tanggung Jawab
FEB UI memantau dengan seksama dampak ChatGPT pada pendidikan. Hingga saat ini, belum ada peraturan resmi, tetapi FEB UI sedang dalam proses penyusunan kebijakan penggunaan ChatGPT yang akan diterapkan dalam waktu mendatang.
“Mungkin peraturan plagiarisme yang akan kami revisi, ya, bisa jadi untuk mengakomodasi dampak dari ChatGPT ini. Tapi logikanya adalah kalau menurut saya pribadi, tapi ini saya harus diskusi dengan yang lain, ya, tapi inti poinnya adalah ‘mahasiswa mengakui karya yang bukan karyanya sebagai karyanya’, mau itu dari Google, Wikipedia, ChatGPT, intinya sama,” jelas Arief.
Arief merefleksikan pentingnya melibatkan stakeholders, terutama dosen, dalam pembuatan kebijakan. Namun, menerima masukan dari mahasiswa juga penting. “Kegiatan belajar mengajar manfaatkan banyak dari ChatGPT. Namun, evaluasi pembelajaran perlu dicermati lagi karena dampak negatifnya banyak dan mempengaruhi cara mengukur learning goals dan learning objectives,” ucapnya.
“Jadi, mungkin banyak orang yang ngomong ‘hari gini masih paper and pencil’, padahal ya justru karena hari ini sistem mungkin diakali jadi kita masih harus mencari atau mungkin harus kembali ke cara-cara yang tradisional. Intinya adalah untuk memastikan bagaimana target pembelajaran itu tetap tercapai,” terang Arief.
Tanggung jawab untuk memastikan bahwa mahasiswa memiliki keterampilan yang diperlukan tidak hanya berada di tangan mahasiswa, tetapi juga di tangan universitas dan komunitas akademik yang lebih luas.
Editor: Tara Saraswati, Anindya Vania, dan Muhammad Ramadhani
Discussion about this post