Belakangan ini, fenomena dukungan atas keberadaan orientasi seksual selain heteroseksual menjadi perbincangan panas di kalangan mahasiswa Indonesia. Baru-baru ini ramai dibicarakan penolakan kunjungan representatif asal Amerika Serikat pada bidang Hak Asasi Manusia atas LGBTQ+ oleh Majelis Ulama Indonesia. Penolakan itu didasarkan pada kuatnya nilai-nilai agama dan budaya yang dijunjung di Indonesia. Dengan demikian, beberapa pihak berpendapat bahwa praktik-praktik yang dinilai melanggar nilai-nilai agama dan budaya tak dapat dibiarkan masuk.
Perdebatan Isu Orientasi Seksual: Hanya Penyuaraan HAM Tidak CukupĀ
Permasalahan LGBT masih banyak menimbulkan pro dan kontra1. Mereka yang setuju akan keberadaan LGBT menyatakan bahwa negara dan masyarakat harus mendukung prinsip non-diskriminasi orientasi seksual dan ekspresi gender, baik itu lelaki, perempuan, transgender, maupun penyuka sesama jenis. Pemenuhan hak asasi manusia dikampanyekan sebagai dasar tuntutan mereka yang menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak bagi setiap orang. Sementara itu, mereka yang kontra terhadap LGBT menilai bahwa LGBT merupakan bentuk penyimpangan dan tidak masuk dalam konsep HAM.
Mereka yang kontra terhadap gerakan dukungan LGBT mengecam orang yang mendukung gerakan ini. Hal ini terjadi pada salah seorang influencer dan penulis, Gita Savitri, yang menuai celaan atas opininya yang kontroversial tentang ketidaksetujuannya terhadap penolakan gerakan ramah LGBT pada Piala Dunia Qatar 2022. Tentu, pendapatnya yang bertolak belakang dengan publik itu disambut dengan perundungan dan celaan masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan Gita yang dianggap tidak selaras dengan agama yang dianut. Hal ini selaras dengan suatu studi yang didukung oleh USAID dan UNDP pada tahun 2013 menyatakan bahwa kehidupan seorang LGBT mengalami keterbatasan sosial di Indonesia (UNDP, 2014).
Diskriminatif di Lingkungan Kampus Masih Terjadi
Pada Maret 2019, media dihebohkan dengan beredarnya Cerita Pendek (Cerpen) bertema LGBT yang berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Didekatnya” yang dimuat oleh Pers Mahasiswa (Persma) Suara USU2. Terbitnya cerpen ini pada laman website Suara USU menimbulkan kecaman dari pihak rektorat USU (Universitas Sumatera Utara). Pihak rektorat tidak ingin universitasnya menyebarkan hal-hal yang berkaitan dengan LGBT. Hal ini mengakibatkan seluruh jajaran redaksi Suara USU harus diganti.
Penulis cerpen sendiri tidak bermaksud untuk mengkampanyekan LGBT atau menyuruh orang menjadi LGBT, melalui cerpen tersebut ia ingin menyampaikan bahwa kita tidak boleh mendiskriminasi LGBT atau golongan minoritas. Hal ini membuktikan bahwa penghapusan non-diskriminasi terhadap LGBT masih belum dapat diterima oleh satuan pendidikan.
Diskriminasi terhadap orientasi seksual selain heteroseksual di lingkungan kampus juga didukung oleh para politisi terjadi pada tahun 2016, ketika Menteri Riset dan Teknologi, Muhammad Nasir, mengatakan bahwa mereka ātidak sesuai dengan nilai dan kesusilaanā serta melarang mereka untuk masuk ke perguruan tinggi3. Menteri Pertahanan saat itu, Ryamizard Ryacudu, juga mengatakan bahwa gerakan LGBT adalah bagian dari āproxy warā (perang proksi) yang bertujuan memperlemah bangsa4. Selain itu, salah satu mahasiswa IPB, dipecat dari sebuah organisasi BEM KM IPB karena pernyataannya yang mendukung penghapusan diskriminasi kaum LGBT5.
Institusi Akademis yang InklusifĀ
Perundungan, pelecehan, dan marginalisasi kelompok LGBT di lembaga pendidikan merupakan masalah global yang dihadapi sebagian besar siswa LGBT. Perasaan terasingkan dari prasangka yang ada mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis mereka hingga pada tahap keseluruhan prospek pendidikan dan pekerjaannya yang awalnya memiliki performa bagus dapat menurun.
Sejak awal prinsip penyelenggaraan pendidikan diharapkan memberikan pengajaran dan ruang pembelajaran berasaskan keadilan dan demokratis beserta nilai-nilai penunjangnya yaitu kultural, keagamaan, hak asasi manusia, dan kemajemukan bangsa. Segala tindakan yang diskriminatif dan menciptakan perasaan terkucilkan artinya dapat menghancurkan kesatuan nilai yang ingin diwujudkan bersama. Ruang pembelajaran yang diupayakan termasuk wadah pengembangan diri seperti organisasi. Pada kenyataannya, organisasi kemahasiswaan yang dijadikan tempat melampiaskan minat dan bakat tak selalu menyodorkan ruang aman bagi mereka untuk menunjukkan aspirasi mereka.
Lalu, Bagaimana Orientasi Seksual selain Heteroseksual di lingkungan UI?
Pada tahun 2016, sebuah grup konseling seksual di Universitas Indonesia diketahui telah memberikan konseling bagi para LGBT di UI untuk menceritakan keluh kesahnya. Kelompok tersebut menamakan dirinya sebagai Support Group and Research Center on Sexuality (SGRC UI). Munculnya grup ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada yang menilai bahwa grup ini merupakan gerakan dari kelompok LGBT dan dianggap berbahaya, ada juga yang menilai grup dapat memberikan pendidikan seksual yang baik kepada mahasiswa5.
Setelah beberapa tahun sejak peristiwa munculnya SGRC UI tersebut, kejadian menghebohkan yang berhubungan dengan orientasi seksual memang belum kembali muncul di UI. Namun, masih saja banyak narasi dari mahasiswa yang mempertanyakan inklusivitas dan keterbukaan lingkungan UI terhadap hadirnya mahasiswa dengan orientasi seksual selain heteroseksual. Salah satunya tercermin dari tweet-an yang ditemukan di akun UI Fess (28/11).
Pertanyaan atas inklusivitas dan keterbukaan lingkungan UI tentunya tidak terlepas pada ruang-ruang pembelajaran yang dibangun untuk memenuhi hak mahasiswa, khususnya organisasi kemahasiswaan. UI telah menyatakan tanggung jawabnya untuk mengembangkan kualitas mahasiswanya melalui organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan diartikan sebagai suatu praktik nyata pembelajaran berlandaskan pengalaman bagi mahasiswa yang sejatinya dibutuhkan bagi semua kalangan mahasiswa.
Berkaca dari berbagai kasus diskriminatif di tingkat organisasi kemahasiswaan universitas-universitas lainnya, bagaimana keadaan organisasi kemahasiswaan Universitas Indonesia sendiri dalam menangani keberadaan mahasiswa dengan orientasi seksual selain heteroseksual? Economica telah melakukan survei terkait peraturan tertulis yang mengatur hal ini beserta reaksi organisasi kemahasiswaan UI terhadap keberadaan anggotanya yang berorientasi seksual selain heteroseksual.
Peraturan Hukum Tertulis
Dalam mengkaji terkait permasalahan orientasi seksual di lingkungan pendidikan tinggi, khususnya di lingkungan UI, tim investigasi melakukan penelahaan yang bersifat deskriptif atas sejumlah peraturan yang terkait dengan inklusivitas dan orientasi seksual. Penelaahan tersebut pun dilengkapi dengan beberapa doktrin hukum yang disampaikan oleh Arum Afriani Dewi, S. Si., S. H., M. H., selaku Managing Partner di salah satu firma hukum di Indonesia.
Sebelum tulisan ini diterbitkan, sebenarnya Economica juga telah mencoba menghubungi Mahkamah Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UI perihal penjelasan dari beberapa ayat dalam UUD IKM UI yang dirasa menyinggung permasalahan kebebasan orientasi seksual di kampus. Namun, kedua organisasi tersebut terkesan menghindari dan menolak memberikan tanggapan. MM menyatakan bahwa interpretasi hukum yang mereka sampaikan akan dianggap oleh mahasiswa UI sebagai sumber hukum rigid yang mesti dipatuhi, sedangkan DPM menyatakan bahwa mereka hanya sekedar pengawas dan bukan pihak yang membuat hukum tersebut.
Namun, bukannya memang peraturan itu ada untuk dipatuhi oleh seluruh IKM UI? Apakah lembaga terkait tidak berupaya untuk mensosialisasikan peraturan yang ada dan membiarkan merebaknya misinterpretasi di antara IKM UI yang dapat menimbulkan kegaduhan? Untuk apa peraturan dibuat jika IKM UI sebagai pihak yang berada di bawah payung hukum tersebut tidak memahami apa yang dimaksud dalam peraturan tersebut.
Hal yang kami paparkan bersifat tidak mengikat dan disajikan sebagai bahan pertimbangan dan diskusi bagi para pembaca karena setiap pihak memiliki interpretasi yang berbeda atas hukum yang berlaku. Peraturan – peraturan tersebut secara garis besar kami bagi menjadi dua kelompok, yaitu peraturan perundang-undangan nasional serta peraturan tingkat UI.
Dalam peraturan perundang-undangan tingkat nasional, kami menemukan beberapa pasal dalam beberapa undang-undang yang secara tidak langsung berhubungan dengan arahan penyikapan orientasi seksual selain heteroseksual di lingkungan pendidikan, yakni:
- Pasal 4 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
āPendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsaā.
- Pasal 6 ayat b UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
āPendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsaā
Berkeadilan dan tidak diskriminatif di kedua peraturan tersebut bisa diartikan oleh sebagian orang sebagai tuntunan bagi setiap lembaga pendidikan dan organisasi yang ada di dalamnya, termasuk organisasi kemahasiswaan untuk memberikan pelayanan yang setara tanpa memandang orientasi seksual. Jika kita melihat pernyataan yang disampaikan oleh UN Human Rights, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang setara dan menyatakan pendapatnya di depan umum (HRW, 2022). Perlakuan setara tersebut mesti didapatkan di berbagai tempat, termasuk dalam lingkungan organisasi kemahasiswaan. Namun, hal yang menjadi tanda tanya dalam pasal ini karena selain menjunjung hak asasi manusia, terdapat pula nilai keagaman dan kultural Indonesia yang dirasa kontradiktif dengan perilaku orientasi seksual selain heteroseksual yang masih dianggap tabu dan melanggar norma di Indonesia.
Pasal 3 ayat d dalam UU No 12 tahun 2012 yang berbunyi āPendidikan Tinggi Berasaskan Keadilanā juga dapat menjadi argumen mengapa setiap orang mesti diperlakukan secara adil dan setara, termasuk dalam ranah organisasi kemahasiswaan. Hal ini terjadi karena keadilan yang dimaksud adalah penyediaan kesempatan yang sama tanpa memandang latar belakang sosial, yang mana orientasi seksual dimaknai oleh banyak pihak sebagai salah satu bentuk fenomena sosial.
Dalam peraturan tingkat UI, memang kaderisasi merupakan tanggung jawab masing-masing organisasi kemahasiswaan tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 1952 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Laksana Kemahasiswaan Universitas Indonesia. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai kewajiban, peraturan, atau syarat dalam proses kaderisasi tersebut. Namun, beberapa peraturan secara eksplisit menyatakan larangan atas diskriminasi terhadap orientasi seksual yang terkandung dalam nilai UI sebagai berikut,
- Pasal 3 ayat b Peraturan Pemerintah No 75 tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia
āNilai-nilai UI adalah keadilan yakni memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama secara adil dan non-diskriminatif bagi setiap warga dalam melaksanakan tugas masing-masing, termasuk dalam mengembangkan kegiatan akademik dan kegiatan lainnya, tidak didasarkan pada pertimbangan yang bersifat rasial, etnis, agama, gender, status perkawinan, usia, disabilitas, dan orientasi seksualā
- Pasal 5 Peraturan Rektor UI Nomor 14 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku UI
āNilai dasar keadilan yakni memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama atau tidak diskriminatif bagi setiap Warga UI dalam melaksanakan tugas masing-masing, termasuk dalam mengembangkan kegiatan akademik dan kegiatan lainnya tidak berdasarkan pertimbangan yang bersifat rasialis, etnis, agama, pandangan politik, gender, status perkawinan, usia, disabilitas,dan orientasi seksualā
- Pasal 8 ayat i Ketetapan Majelis Wali Amanat Nomor 8 Tahun 2004
Warga Universitas Indonesia dilarang melakukan diskriminasi terhadap orang lain atas dasar agama, etnisitas, gender, orientasi seksual, orientasi politik, dan cacat fisikā
Ketiga ayat ini dapat menjadi justifikasi yang lebih kuat bahwa setiap organisasi kemahasiswaan wajib memberikan kesempatan yang sama kepada setiap mahasiswa untuk masuk dan menjadi anggota organisasi tanpa memandang orientasi seksualnya. Hal ini didukung oleh beberapa peraturan yang menjelaskan mengenai organisasi kemahasiswaan secara eksplisit, seperti:
- Pasal 53 ayat 3 PP No. 75 tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia
āKegiatan ekstrakurikuler dapat diikuti oleh Mahasiswa sebagai penunjang kompetensi lulusan Ulā
- Pasal 53 ayat 5 PP No. 75 tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia
āOrganisasi kemahasiswaan UI dan pengurusnya berkewajiban melaksanakan menyelenggarakan fungsinya sesuai tujuan, asas, dan prinsip UIā
Peraturan di atas menunjukan bahwa organisasi kemahasiswaan sebagai salah satu kegiatan ekstrakulikuler kampus dapat diikuti oleh mahasiswa secara umum, tidak dijelaskan mahasiswa seperti apa dan apakah terdapat batasan tentang orientasi seksual mahasiswa tersebut. Selain itu, wajib mematuhi nilai UI menunjukan bahwa organisasi kemahasiswaan perlu menerapkan nilai keadilan yang melarang adanya diskriminasi terhadap orientasi seksual. Namun, pengertian diskriminasi dalam ayat-ayat di atas mesti diberikan penjelasan lebih rinci agar tidak mengundang misinterpretasi dari sivitas akademika UI.
āHal-hal yang dimaksud sebagai diskriminasi mesti diperinci lebih lanjut untuk menghindari kesalahan dalam memahami peraturan yang ada. Mungkin hal yang bisa dijelaskan di sini adalah lebih kepada larangan diskriminasi terhadap orang yang melakukannya, bukan memperbolehkan perilakunya. Ini interpretasi paling moderat yang bisa saya simpulkanā, jelas Arum.
Pasal 4 ayat a PP No 7 tahun 2021 tentang Statuta UI juga menyebutkan āUI bertujuan menciptakan komunitas pendidikan yang inklusif, berdasar pada adab, kepercayaan, integritas, saling menghargai, dan kebhinekaan dalam lingkungan yang aman dan bersahabatā. Walau tidak dijelaskan secara lebih lanjut dalam bagian penjelasan, inklusif dalam kbbi berarti ātermasukā, menunjukan komunitas pendidikan yang memasukan atau dalam arti lain menerima semua kalangan. Namun, ada hal yang mengganjal dalam kata āberdasar pada adabā karena adab di sini dapat diinterpretasikan secara luas dan berbeda oleh tiap individu yang memegang nilai adab yang bermacam-macam,
Kebebasan berpendapat dan keterbukaan juga dijamin oleh peraturan dalam lingkup UI, tepatnya
- Pasal 10 ayat a Peraturan Rektor UI Nomor 14 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku UI
āNilai dasar keterbukaan yakni keterbukaan nurani dan keterbukaan sikap untuk bersedia mendengarkan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh pendapat orang lainā
- Pasal 42 ayat 2 Undang-Undang Dasar IKM UI tahun 2015
āSetiap anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia berhak mengeluarkan pendapat secara lisan dan/atau tulisanā
Tidak terdapatnya bagian penjelasan dalam peraturan perundangan tersebut membuat banyak kata dan kalimat dalam pasal yang dapat mengandung pemaknaan ganda. Salah satunya adalah tidak disebutkan secara lebih terperinci keterbukaan apa yang dimaksud dan apakah terdapat batasan dalam kebebasan tersebut. Karenanya, peraturan ini dapat dimaknai oleh sebagian pihak sebagai dasar dari kebebasan berpendapat, termasuk kepada hal sensitif yang menyangkut orientasi seksual.
Dalam beberapa peraturan UI lainnya, juga terdapat beberapa hal yang dapat menjadi kontradiksi dengan peraturan larangan diskriminasi atau penolakan terhadap orang dengan orientasi seksual selain heteroseksual. Peraturan tersebut adalah:
- Pasal 4 ayat e Ketetapan Majelis Wali Amanat Nomor 8 Tahun 2004
āSivitas akademika Universitas Indonesia dilarang berperilaku tidak sopan yang berkaitan dengan norma-norma moral dan kesusilaanā
- Pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Dasar IKM UI tahun 2015
āSetiap anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia wajib menjaga nama baik Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesiaā
- Pasal 15 ayat c Peraturan Rektor UI Nomor 14 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku UI
āWarga UI harus menjaga nama baik UI, baik di dalam dan/ atau di luar lingkungan UI, termasuk di ranah publikā
Orientasi seksual selain heteroseksual di sebagian besar lingkungan masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai hal yang melanggar normal, sehingga arahan berperilaku sesuai norma dapat menjadi justifikasi atas penolakan terhadap orientasi seksual ini. Selain itu, karena masih dianggap sebagai perilaku yang menyimpang, memiliki orientasi seksual tersebut dan bahkan mendukung kelompok tersebut secara publik dapat dianggap sebagai perilaku yang mencoreng nama baik UI, sehingga perlu dibatasi dan dilarang.
Bagaimana Realitanya di Lapangan?
Untuk melihat secara lebih rinci mengenai kondisi inklusivitas dan perlakuan organisasi kemahasiswaan di UI atas mahasiswa dengan orientasi seksual selain heteroseksual, Tim Investigasi Economica melakukan survei kepada ketua organisasi mahasiswa (ormawa) di UI secara daring melalui alat bantu Google Form dan wawancara secara langsung. Ketua ormawa dipilih karena mereka merupakan representatif dari masing-masing organisasi yang dapat menjadi sumber informasi yang kredibel. Survei ini dilakukan kepada ketua ormawa secara sembarang dari berbagai tingkatan, baik tingkat kampus, fakultas, maupun jurusan menggunakan teknik convenience sampling. Diharapkan, pemilihan sampel ini dapat memberikan gambaran yang lebih representatif atas isu yang dibahas. Pada survei kali ini, terkumpul responden berjumlah 43 ketua ormawa yang tersebar dari berbagai tingkatan di seluruh fakultas dan sekolah vokasi dengan tingkat kepercayaan sekitar 88 persen berdasarkan formula Slovin.
Dalam survei ini, sebanyakĀ 22,5 persen ketua organisasi berasal dari himpunan, 19 persen merupakan ketua UKM/UKF, disusul ketua BEM dan DPM/MPM/BPM masing-masing sebesar 13 persen, ketua BO dan BSO menguasai 10 persen responden, dan terakhir lembaga keagaman dengan total 6 persen. 61,5% responden merupakan ketua ormawa di tingkat fakultas, disusul oleh ketua ormawa tingkat jurusan sebesar 30,8% dan sisanya sebesar 7,7% merupakan ketua ormawa di tingkat kampus atau UI.
Keterbukaan dalam Pembahasan Orientasi Seksual Selain Heteroseksual
Pertanyaan pertama yang kami lontarkan adalah keterbukaan setiap organisasi terhadap pembahasan orientasi seksual selain heteroseksual. Sebagai contoh, pembahasan yang dimaksud seperti pengadaan diskusi dan penyusunan produk kajian dari organisasi kemahasiswaan tempat mereka memimpin. Keterbukaan pembicaraan pembahasan topik ini merupakan salah satu tolak ukur dalam mengukur kesesuaian organisasi dengan peraturan-peraturan UI yang telah disebutkan mengenai instruksi untuk bersikap non-diskriminatif terhadap orientasi seksual.
Berdasarkan hasil survei yang kami dapatkan, 74 persen ketua atau perwakilan organisasi kemahasiswaan di UI terbuka untuk mengangkat topik mengenai orientasi seksual selain heteroseksual dalam diskusi maupun kajian yang dikeluarkan organisasinya. Sisanya, sebanyak 26 persen organisasi kemahasiswaan di UI melarang pembahasan topik orientasi seksual selain heteroseksual.
Dari data tersebut, mayoritas ketua atau perwakilan organisasi kemahasiswaan di UI cenderung memperbolehkan kajian orientasi seksual selain heteroseksual dalam ranah akademis dan bukan bermaksud untuk melakukan kampanye. Organisasi yang menolak beralasan bahwa organisasi mereka tidak memiliki kompetensi atau tidak berkecimpung dalam bidang yang berhubungan dengan orientasi seksual, sehingga orientasi seksual tidak relevan dengan latar belakang pendidikan dan kajian yang mereka lakukan.
Menariknya, walaupun sebagian besar organisasi-organisasi kemahasiswaan memperbolehkan anggotanya untuk membahas topik orientasi seksual selain heteroseksual, seluruh sampel tidak memiliki landasan peraturan sendiri terkait isu tersebut. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan formal atau secara tertulis.
Alasan yang kami dapatkan cukup beragam terkait hal ini, mayoritas beranggapan bahwa nafas organisasi tidak menjadikan orientasi seksual sebagai tujuan utama. Fenomena ini menandakan bahwa keterjaminan akan keleluasaan diskusi orientasi seksual selain heteroseksual dapat berbeda tiap periode kepengurusan karena tidak ada peraturan kuat yang melandasi dan melindungi kegiatan tersebut.
Bolehkah Anggota Organisasi Memiliki Orientasi Seksual Selain Heteroseksual?
Selanjutnya, kami ingin melihat inklusivitas ormawa di UI terkait dengan syarat keanggotaan yang mereka miliki. Sebanyak 78 persen responden memperbolehkan anggotanya untuk berorientasi seksual selain heteroseksual. Di lain sisi, 22 persen ormawa melarang anggotanya untuk memiliki orientasi seksual selain heteroseksual.
Data yang kami dapatkan terkait keleluasaan anggota untuk memiliki orientasi seksual selain heteroseksual cukup unik. Padahal, 26 persen organisasi melarang anggotanya untuk membicarakan orientasi seksual selain heteroseksual, lebih besar dari jumlah organisasi yang tidak memperbolehkan anggotanya untuk memiliki orientasi seksual tersebut.
Berdasarkan komparasi grafik keleluasaan pembahasan topik orientasi seksual selain heteroseksual dengan kepemilikan orientasi seksual selain heteroseksual, Tim Investigasi Economica menyimpulkan bahwa ormawa cenderung untuk tidak membahas atau mendiskusikan masalah mengenai orientasi seksual karena sangat berpotensi untuk dilihat khalayak ramai, dibandingkan dengan hanya menerima orientasi seksual selain heteroseksual anggotanya yang sifatnya lebih privat.
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dari sejumlah ketua ormawa yang menyatakan bahwa membahas topik orientasi seksual selain heteroseksual ke permukaan riskan diasosiasikan oleh publik sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan tersebut.
Kemudian, Tim Investigasi Economica kembali memperoleh fakta yang fenomenal. Meskipun organisasi melarang anggotanya untuk berorientasi seksual selain heteroseksual, justru sebagian besar tidak memberlakukan hukuman dan bersikap kondisional apabila benar terjadi anggotanya memiliki orientasi seksual tersebut dengan masing-masing sebesar 30 persen. Hal ini sejalan dengan tidak adanya peraturan khusus terkait dengan orientasi seksual.
Ketua atau perwakilan organisasi yang tidak memberlakukan hukuman cenderung menjawab bahwa organisasi tidak mengurus ranah privasi atau memang belum ada aturan yang mengatur. Responden yang bersikap kondisional menjawab akan bertindak sesuai dengan kasus dan berdiskusi terlebih dahulu dengan rekan responden.
Lalu, juga terdapat dua sikap lain yang akan diambil oleh organisasi, peringatan atau nasihat dan sanksi berat yang masing-masing sebesar 20 persen. Berdasarkan investigasi kami, berikut contoh jawaban terkait nasihat dan sanksi berat:
āTindakan yang dilakukan berupa pemberian arahan dan nasihat untuk kembali memahami jati diri sebagai manusia yang memiliki orientasi seksual yang heteroseksual.ā
āKami berusaha untuk melakukan tindakan preventif dengan tidak mengajarkan dan melazimkan hal demikian berlaku di organisasi kami. Kami akan membuat peraturan tegas mengenai hal tersebut beserta sanksi berat.ā
āMenonaktifkan keanggotaannya.ā
Dengan pelarangan orientasi seksual bagi anggotanya, justru hanya sebagian kecil organisasi yang bertindak tegas seperti pengeluaran anggota. Data ini menunjukkan bahwa ruang-ruang diskusi untuk tindakan terhadap anggota yang berorientasi seksual selain heteroseksual masih terbuka lebar.
Tindakan pelarangan orientasi seksual selain heteroseksual dilandasi sebagian besar oleh keyakinan sebanyak 42,9 persen. Beberapa organisasi berpegang teguh kepada ajaran agama dan keyakinan yang melarang orientasi seksual selain heteroseksual ataupun keyakinan mengenai kodrat manusia yang berpasang-pasangan. Salah seorang responden menyatakan sebagai berikut,
āMenyalahi fitrah manusia sebagai makhluk yang telah diciptakan berpasang2an dan memiliki 2 jenis perempuan dan laki2 yang didasarkan pada karakter biologis, bukan konsep gender.ā
Selain keyakinan, alasan-alasan lain memiliki distribusi yang sama dengan masing-masing sebesar 14,3 persen. Faktor kesehatan, penyimpangan orientasi seksual (responden tidak membeberkan secara spesifik), penularan orientasi seksual selain heteroseksual kepada anggota lain, dan interpretasi bahwa pancasila sila pertama melarang adanya orientasi seksual selain heteroseksual.
Untuk faktor kesehatan sendiri salah satu responden khawatir akan resiko penyakit menular seksual yang akan ditimbulkan dari orientasi seksual selain heteroseksual. Selain kesehatan, juga terdapat responden yang menyebutkan kekhawatirannya akan penularan orientasi seksualnya sebagai berikut,
āKarena menurut saya hal tersebut dalai membawa keanggotaan saya yg lainnya untuk memiliki orientasi seksual yang menyimpang juga.ā
Terakhir, salah seorang ketua atau perwakilan ormawa menyebutkan bahwa orientasi seksual selain heteroseksual bertentangan dengan sila pertama pancasila. Menurut responden, orientasi seksual selain heteroseksual melanggar nilai dasar negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penerimaan Organisasi terhadap Anggota yang Mendukung Orientasi Seksual Selain Heteroseksual secara Terbuka
Sejalan dengan hasil penerimaan terhadap anggota yang merupakan bagian dari komunitas dengan orientasi seksual selain heteroseksual, ormawa di UI juga masih cukup terbuka terhadap mahasiswa yang mendukung secara terbuka keberadaan orientasi seksual tersebut. Terbuka yang dimaksud adalah perilaku yang menunjukan kepada publik secara terang-terangan, misalnya di dalam sosial media bahwa mereka mendukung keberadaan orientasi seksual tersebut melalui berbagai tindakan, seperti tweet pro LGBT, twibbon pelangi simbol LGBT, dll.
Sebanyak 67 persen organisasi memperbolehkan anggotanya untuk mendukung keberadaan kelompok yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual secara terbuka. Ormawa tidak mempermasalahkan hal tersebut dengan catatan tidak menyangkut pautkan aksi simbolik mereka dengan ormawa yang mereka ikuti. Meskipun begitu, kami juga menemukan fakta bahwa tidak ada responden yang bersedia jika ormawa yang mereka pimpin diasosiasikan dengan orientasi seksual selain heteroseksual, sekalipun ormawa tersebut membiarkan anggotanya mendukung orientasi seksual tersebut secara terbuka.
Sementara itu, 33 persen responden tidak memperbolehkan anggotanya untuk mendukung secara terbuka keberadaan kelompok yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual. Sebagian besar alasan yang mendasari keputusan mereka adalah karena menjaga nama baik di ranah publik dan mengikuti norma sosial di Indonesia, khususnya UI dan fakultas-fakultas yang menaungi organisasi mereka. Mereka takut jika anggotanya mendukung secara terbuka akan memiliki efek yang buruk bagi citra organisasi, sekalipun anggota organisasi tersebut tidak memakai atribut atau hal yang mengindikasikan organisasi tempat mereka berada. Kekhawatiran tersebut disampaikan oleh beberapa responden,
āAnggota tersebut yang masih aktif di organisasi kami dapat menimbulkan risiko kecacatan reputasi organisasi karena perilaku anggota yang bertentangan dengan nilai-nilai yang digunakan organisasi sebagai asasnya.ā
āKonteks mendukung seperti itu gue kurang menyarankan kalau secara terbuka. Gue pribadi kalo lu punya yaudah, tapi urusan masing-masing aja tapi ga perlu benar-benar mendukung. Perlu dipikirkan takutnya ada asumsi dari publik. Kita tidak bisa mengontrol publik, yangĀ bisa dikontrol fungsionarisnya.
āGue hanya bilang buat gak memicu keonaran dan menjaga ketertiban. Kalau mereka mengkampanyekan hal itu lalu ada yang lapor dan memicu isu panas di fakultas ***, gue lebih minta anggota gue buat gak terbuka banget dalam hal itu untuk menjaga ketertiban fakultas ***.ā
Berdasarkan hasil wawancara, jika publik mulai menganggap sebuah ormawa mendukung orientasi seksual yang dianggap menyimpang, ketua ormawa akan meluruskan pandangan tersebut, misalnya dengan melakukan konferensi pers atau menyatakan dengan tegas bahwa perilaku individu ormawa tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan sikap yang diambil ormawa.
Sebagian ormawa dalam kelompok yang tidak memperbolehkan akan memberikan sanksi setelah berdiskusi (sesuai kasus yang terjadi) atau memberikan teguran langsung. Selain itu, terdapat beberapa ormawa yang mencoba meluruskan kecenderungan orientasi seksual anggotanya menuju orientasi yang mereka anggap benar. Berikut beberapa reaksi yang akan dilakukan oleh responden,
āTindakan yang dilakukan berupa pemberian arahan dan nasihat untuk kembali memahami jati diri sebagai manusia yang memiliki orientasi seksual yang heteroseksualā
āBila telah terekspos, gue bakal mediasi. Gue bakal ajak diskusi dari yang mereka lakuin apa dampaknya. Otomatis sebagai anggota *** yang harus jaga ketertiban, gue akan ngasih sanksi kalau mereka melanggar. Gue cari solusi terbaik dengan dia, seperti minta maaf ke warga fakultas *** dan sanksi terberatnya bisa dikeluarkan dari organisasi.ā
āMenganalisis kasus atau kejadian yang terjadi, alasan dibalik aksi tersebut, dampak yang diberikan dari aktivitas tersebut ke organisasi. Sanksinya dapat berupa teguran, pemberian surat peringatan hingga pemberhentian anggota sebagai opsi terakhirnya.ā
Hal tersebut berkorelasi dengan tidak adanya peraturan khusus dalam ormawa yang mengatur mengenai orientasi seksual sehingga sanksi yang diberikan pun belum dapat dipastikan. Seluruh responden mengaku tidak memiliki peraturan tertentu terkait anggotanya yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual ataupun anggota yang mendukung orientasi seksual selain heteroseksual secara terbuka.
Tidak Tersosialisasikannya Peraturan Larangan Diskriminasi kepada Ormawa
Terlepas dari jawaban-jawaban ormawa yang telah disebutkan diatas, Tim Investigasi Economica menemukan fakta yang cukup menggelitik. Hanya 34 persen ketua organisasi yang mengetahui adanya peraturan UI yang melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Sebagian besar atau 66 persen responden lainnya tidak mengetahui adanya peraturan tersebut.
Hal ini cukup disayangkan mengingat subjek yang disurvei merupakan ketua ormawa yang memegang peranan vital dalam menciptakan lingkungan organisasinya yang aman dan sesuai dengan peraturan yang ada di dalam UI. Apabila ketua ormawa saja tidak mengetahui peraturan tersebut, anggota yang mereka naungi kemungkinan besar juga tidak mengetahuinya. Kondisi ini juga dapat memberikan sinyal kemungkinan bahwa ormawa yang menolak keanggotaan anggotanya yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual disebabkan ketidaktahuan adanya peraturan tersebut.
Apakah dengan mengetahui adanya larangan peraturan tersebut sebuah ormawa bisa berubah untuk menerima anggota dengan orientasi seksual selain heteroseksual? Untuk itu Tim Investigasi membagi syarat orientasi seksual dalam penerimaan anggota ormawa berdasarkan pengetahuan ketuanya terhadap peraturan diskriminasi tersebut.
Hasilnya menunjukan bahwa ketua yang mengetahui adanya peraturan larangan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual cenderung lebih terbuka dan menerima anggota dengan orientasi seksual selain heteroseksual. Sebanyak 90,3 persen responden yang mengetahui peraturan tersebut cenderung menerima anggota tanpa memandang orientasi seksual. Hal ini berbanding terbalik dengan tingkat penerimaan responden yang tidak mengetahui adanya peraturan diskriminasi yang hanya mencapai 70,4 persen saja.
Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi orientasi seksual selain heteroseksual kerap kali memantik kegaduhan, baik di lingkungan masyarakat hingga ranah akademis. Banyak contoh kasus diskriminasi terhadap orientasi seksual tersebut di dalam kampus, seperti organisasi kemahasiswaan yang dilakukan baik sesama mahasiswa maupun pihak rektorat. Di Universitas Indonesia sendiri, telah banyak peraturan yang secara eksplisit melindungi pihak dengan orientasi seksual selain heteroseksual. Namun, sayangnya masih banyak hal yang menimbulkan misinterpretasi serta tidak adanya sosialisasi atas peraturan tersebut dari para pemangku kepentingan. Penelusuran yang ditemukan Tim Investigasi Economica menunjukan bahwa sebagian besar organisasi di UI tidak mengetahui keberadaan peraturan larangan diskriminasi orientasi seksual. Tetapi, mayoritas tetap terbuka terhadap kehadiran orientasi seksual tersebut, baik dari segi produk organisasi maupun keanggotaan. Namun, seluruh organisasi menyatakan dengan tegas bahwa keterbukaan mereka tidak berarti mendukung serta tidak mau disangkut-pautkan dengan gerakan-gerakan orientasi seksual yang ada.
Ilustrasi oleh: Tim Gouw
Discussion about this post