Dalam melihat inklusivitas organisasi kemahasiswaan di Universitas Indonesia, diperlukan pula pandangan dari mahasiswa UI sebagai pihak yang memiliki kesempatan untuk bergabung di dalam ormawa tersebut. Jajak pendapat ini dilakukan untuk memperkuat dan menjadi kajian komplementer atas hasil investigasi sebelumnya yang telah dilakukan mengenai kajian hukum nasional dan UI terkait dengan orientasi seksual selain heteroseksual ini dan penelusuran yang telah dilakukan ke setiap organisasi kemahasiswaan di UI mengenai inklusivitas dan peraturan mereka tentang orientasi seksual tersebut.
Profil Responden
Tim Investigasi Economica melakukan survei kepada mahasiswa strata satu di 14 fakultas dan 1 sekolah program vokasi Universitas Indonesia secara daring dan luring melalui alat bantu Google Form dan wawancara secara langsung. Survei ini dilakukan kepada mahasiswa dari berbagai program secara sembarang menggunakan teknik convenience sampling. Pengambilan data survei tidak secara spesifik memilih angkatan tertentu, melainkan seluruh angkatan yang masih aktif mengikuti kegiatan akademik. Diharapkan pemilihan sampel ini dapat memberikan gambaran yang lebih representatif atas isu yang dibahas. Pada survei kali ini, terkumpul responden berjumlah 104 mahasiswa D3, D4, dan S1 yang tersebar di seluruh fakultas dan sekolah vokasi dengan tingkat kepercayaan 90 persen berdasarkan formula Slovin.
Dalam survei ini, sebanyak 71 responden berstatus sebagai pengurus sebuah organisasi dan 33 responden tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan. Dari responden yang berasal dari organisasi kemahasiswaan, 22,5 persen berasal dari UKM/UKF, 19,7 persen merupakan anggota Badan Otonom (BO), disusul oleh anggota lembaga eksekutif kemahasiswaan sebesar 14,1 persen, pengurus himpunan 12,7 persen, anggota lembaga legislatif kemahasiswaan 8,5 persen, anggota Badan Semi Otonom (BSO) 7 persen, pengurus Lembaga Dakwah (LD)/ Keagamaan 5,6 persen, dan terakhir 9,9 persen responden berasal dari organisasi mahasiswa yang tidak ada di dalam kategori yang telah disebutkan sebelumnya.
Pengetahuan dan Pendapat mengenai Orientasi Seksual selain Heteroseksual
Dalam investigasi ini, pertama-tama kami ingin melihat pengetahuan mahasiswa UI atas orientasi seksual selain heteroseksual. Orientasi seksual selain heteroseksual ini perlu dibedakan dengan orientasi gender karena memiliki perbedaan definisi secara nyata. Orientasi seksual mengacu pada pola ketertarikan seseorang terhadap orang lain secara seksual dan emosional, sedangkan orientasi gender merujuk pada pola ekspresi seseorang atas identitas yang melekat pada dirinya (Artaria, 2016)
Survei yang telah dilaksanakan menunjukan bahwa sebagian besar responden mengetahui orientasi seksual selain heteroseksual. Sebanyak 90,4 persen responden mengetahui konsep dari orientasi seksual selain heteroseksual. Hanya 1,9 persen responden yang ragu-ragu dan 7,7 persen responden yang tidak mengetahui konsep tersebut.
Investigasi ini ingin melihat pernyataan sikap responden atas kehadiran orientasi seksual selain heteroseksual ini. Karakteristik responden dikategorikan menjadi lima kelompok. 32,7 persen responden menyatakan ketidakpedulian mereka atas kehadiran orientasi seksual selain heteroseksual, sementara 33,7 persen responden menolak serta mengecam adanya kelompok tersebut. Karakteristik responden lainnya disusul oleh kelompok ally atau mendukung kehadiran orientasi seksual tersebut, sekalipun bukan merupakan salah satu dari komunitas tersebut sebesar 15,4 persen, kelompok closeted atau anggota dari komunitas tersebut, namun tidak mau mengumbarnya ke publik sebesar 13,5 persen, dan terakhir open atau pemilik orientasi seksual selain heteroseksual yang mau untuk mengaku secara terbuka sebesar 4,8 persen. Hal ini menunjukan bahwa responden yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual termasuk dalam kelompok marjinal jika dibandingkan dengan responden lainnya.
Menolak
Orientasi seksual dapat dipengaruhi oleh variasi bentuk otak, faktor genetik, dan juga hormonal dari setiap individu. Riset tersebut menyatakan bahwa anterior cingulate cortex dan temporal otak sebelah kiri pada kebanyakan homoseksual sedikit lebih tebal daripada individu heteroseksual. Genetik tertentu seperti kelebihan hormon androgen yang dimiliki oleh wanita homoseksual selama di dalam kandungan juga berpengaruh, walaupun belum bisa dijadikan alasan pasti. Jika ditilik dari faktor eksternal, beberapa kajian menyebutkan beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi orientasi seksual seseorang, seperti latar belakang keluarga, pertemanan, trauma, dan berbagai pengaruh lingkungan lainnya.
Kami tergelitik untuk mengetahui opini responden mengenai penyebab seseorang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual. Survey membuktikan bahwa 53,3 persen responden yang menolak beranggapan bahwa faktor eksternal sebagai pemicu orientasi seksual selain heteroseksual. Faktor eksternal yang dimaksud seperti kondisi keluarga, pertemanan, budaya setempat, pendidikan, konsumsi pornografi, globalisasi dan paparan media sosial.
Opini terbanyak kedua adalah faktor psikologis, yaitu sebesar 35,6 persen. Responden memberikan beberapa contoh faktor psikologis seperti kelainan jiwa, penasaran, perasaan ingin berbeda, trauma, kepribadian, gender yang kurang relevan dengan jenis kelamin, kesukarelaan, dan salah persepsi mengenai orientasi seksual. Terakhir, 11,1 persen responden yang menolak menganggap faktor biologis sebagai penyebab orientasi seksual. Faktor biologis yang paling sering dilontarkan oleh responden adalah bawaan dari lahir dan penyakit biologis.
Berdasarkan pengamatan kami, responden yang menolak orientasi seksual selain heteroseksual memiliki 4 klasifikasi alasan: keyakinan dan/atau kodrat, biologis dan sains, norma, dan lain-lain. Sebanyak 60,5 persen responden yang menolak menganggap bahwa keyakinan dan/atau kodrat menjelma alasan penolakan orientasi seksual selain heteroseksual. Aturan agama terkait larangan hubungan sesama jenis, keyakinan yang serupa, dan pemahaman bahwa kodrat manusia berpasang-pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda menjadi tolak ukur responden tersebut.
Selain itu, 16,3 persen responden yang menolak menganggap faktor biologis dan sains akan menjadi penghalang orientasi seksual selain heteroseksual. Beberapa jawaban yang dilontarkan seperti keterbatasan reproduksi, penyebab penyakit, dan kelainan seksual menjadi jawaban umum dalam pertanyaan ini. Kemudian, alasan penolakan berupa pelanggaran norma sosial menjadi jumlah alasan yang paling sedikit diberikan responden. Sejumlah responden menilai budaya Indonesia tidak tepat dengan pembolehan orientasi seksual selain heteroseksual. Di samping itu, 14 persen responden menjawab jawaban lain-lain seperti trauma, tidak masuk akal, terkesan menyeramkan, dan gaya hidup destruktif turut meramaikan kolom alasan penolakan orientasi seksual selain heteroseksual.
Respon oleh responden tentu tidak menutup kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, kami turut menyajikan keterkaitan responden dengan organisasi kemahasiswaan. Hasilnya, 46,7 persen menjawab bahwa lingkungan organisasi kemahasiswaan yang diikuti tidak terbuka terhadap orientasi seksual selain heteroseksual, 43,7 persen bersikap terbuka, dan 10 persen responden merasa bahwa mungkin organisasi kemahasiswaan terbuka terhadap pembahasan tersebut. Dari data survei yang kami lakukan, 56,7 persen responden menyatakan bahwa tidak terima jika rekan organisasi mereka menjadi bagian dari komunitas orientasi seksual selain heteroseksual, sedangkan hanya 43,3 persen menerima jika rekannya tergabung dalam komunitas tersebut.
Tidak Peduli
Tim melakukan penelusuran atas pendapat responden yang memilih tidak peduli atas faktor penyebab seseorang memilih untuk memiliki orientasi seksual selain heteroseksual. Kami menyebarkan kuesioner dengan bentuk pertanyaan terbuka yang dapat diisi oleh responden secara bebas. Setiap individu berhak memberikan lebih dari satu alasan yang sesuai dengan pendapat dan pemahaman mereka. Hasilnya dapat digolongkan menjadi tiga faktor besar yang mendorong munculnya orientasi seksual selain heteroseksual bagi seorang individu.
Pertama, sebanyak 42,1 persen responden menyatakan bahwa lingkungan eksternal menjadi penyebab dari pilihan orientasi seksual selain heteroseksual individu. Lingkungan eksternal tersebut dapat berupa keluarga, konsumsi budaya luar dan media yang sudah sangat masif menayangkan orientasi seksual selain heteroseksual, pergaulan bebas, serta lingkungan Indonesia saat ini yang mulai terbuka dengan orientasi seksual tersebut.
Kedua, sebanyak 26,3% responden menyatakan pandangannya bahwa orientasi seksual tersebut terjadi akibat dorongan dari psikologis internal seseorang. Faktor internal tersebut dapat berupa rasa penasaran dan coba-coba atas orientasi seksual tersebut, keinginan untuk dianggap berbeda oleh lingkungan sekitar, pengalaman buruk berhubungan dengan lawan jenis, serta trauma masa lalu yang berhubungan dengan orientasi seksual.
Ketiga, 21,1 persen responden menyatakan bahwa faktor biologis, seperti genetik menjadi alasan yang mendorong seseorang secara natural memiliki orientasi seksual tersebut. Responden merasa bahwa orientasi seksual bukanlah sebuah pilihan karena banyak orang dengan orientasi seksual selain heteroseksual terjadi karena memang dari awal semenjak lahir mereka ditakdirkan untuk memiliki orientasi tersebut. Terakhir, sebanyak 10,5% responden tidak mengetahui alasan yang tepat atas pilihan orientasi seksual tersebut.
Berdasarkan penelusuran tim investigasi, responden yang tidak peduli akan kehadiran orientasi seksual selain heteroseksual memiliki berbagai alasan yang menyebabkan mereka mengambil sikap tersebut. Kami melakukan survei dengan bentuk pertanyaan terbuka dan menerima berbagai jawaban yang bisa dikelompokan menjadi empat faktor besar.
Pertama, sebesar 36,7 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak peduli karena pilihan atas orientasi seksual merupakan hak dan kebebasan dari masing-masing individu. Sebagai sesama manusia, responden menganggap bahwa manusia tidak diperkenankan untuk memaksakan kehendak dan pendapat kepada manusia lainnya serta menghakimi pilihan atas orientasi seksual tersebut. Kedua, 33,3 persen dari responden menyatakan ketidakpeduliannya karena menganggap pilihan orientasi seksual merupakan ranah pribadi dari setiap insan manusia. Ranah pribadi menjadi sinyal bahwa urusan tersebut tidak berhak dicampuri oleh siapapun. Ketiga, sebanyak 26,7 persen ketidakpedulian responden berasal dari anggapan pribadi mereka yang menyatakan bahwa pilihan seseorang untuk memilih orientasi seksual selain heteroseksual tidak mengganggu jalannya kehidupan dari responden itu sendiri. Karena tidak mengganggu, responden tidak merasa berhak untuk mencampuri serta menghakimi kelompok marjinal tersebut. Namun, beberapa responden menyatakan apabila orang dengan orientasi seksual selain heteroseksual mulai mengganggu kehidupan mereka, responden akan cenderung merubah sikap menjadi menolak. Terakhir, terdapat alasan ketidakpedulian yang muncul karena sebanyak 3,3 persen responden merasa takut untuk mengambil sikap akibat isu orientasi seksual masuk ke dalam ranah sensitif.
Ally
Tim investigasi kemudian ingin melihat kondisi pola perilaku mahasiswa yang menyatakan sebagai ally dalam mendukung eksistensi orientasi seksual selain heteroseksual, khususnya di ranah publik. Sebanyak 87,5% responden tidak pernah menyatakan dukungan mereka terhadap orientasi seksual selain heteroseksual di depan publik atau dalam kata lain tidak menunjukan pendirian mereka tersebut secara terbuka. Hanya 12,5% responden yang berani dan pernah menyampaikan pendapat mereka atas kehadiran orientasi seksual tersebut di depan publik.
Mereka yang pernah menyampaikan pendapatnya di depan umum sebagian besar menggunakan sosial media sebagai media dalam menyalurkannya. Namun, kami tidak berhasil mendapatkan bentuk dari penyampaian pendapat yang mereka lakukan. Responden hanya menyatakan bahwa mereka hanya mengatakan mendukung keberadaan orientasi seksual selain heteroseksual di depan publik saja, tanpa penjelasan secara spesifik.
Responden yang pernah menyatakan dukungan di depan publik terbagi menjadi dua kelompok. 50% responden merasa aman dalam menyatakan dukungan, sedangkan 50% lainnya tidak merasa aman melakukannya. Merasa aman yang dimaksud adalah organisasi tidak akan mempermasalahkan, mendiskriminasi, atau memberikan hukuman jika mereka menyatakan pendapat secara terbuka.
Untuk melihat lebih jauh pola perilaku responden ally, kami juga menanyakan alasan mengapa sebagian besar responden tidak menyatakan dukungan secara terbuka. Sebanyak 66,7% responden menyatakan bahwa keberadaan ormawa yang mereka ikuti bukan merupakan faktor yang membuat mereka mendukung secara tertutup. Hanya 11,1% responden yang menyatakan ormawa membuat mereka takut untuk bersuara dan 22,2% lainnya tidak yakin atas korelasi antara sikap tertutup mereka dengan kehadiran ormawa.
Sebagian besar responden tidak menyatakan dukungan secara terbuka karena berkeyakinan bahwa memang lingkungan di Indonesia secara agregat belum begitu ramah terhadap orientasi seksual tersebut. Namun, hasil survei ini juga dapat memberikan sinyal bahwa ormawa yang diikuti oleh responden ally cenderung memiliki citra yang terbuka atas kehadiran orientasi seksual selain heteroseksual.
Closted
Tim Investigasi mencoba mencari tahu rasa aman dari responden closted yang merupakan bagian dari organisasi mahasiswa, yaitu 85,7 persen dari total responden closted. Hasilnya, sebanyak 41,7 persen responden merasa aman di organisasi mereka. Jumlah tersebut sama dengan jumlah responden yang merasa mungkin aman berada di organisasi, sedangkan 16,7 persen sisanya merasa tidak aman. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada di organisasi yang menurut mereka aman untuk closted sebagai anggota LGBT.
Rasa takut akan diskriminasi dapat menjadi salah satu alasan yang mendasari responden tetap closted atau tidak mengaku sebagai bagian dari LGBT. Sebanyak 50 persen responden closted mengakui bahwa rasa takut akan diskriminasi dalam organisasi menjadi alasan mereka untuk tidak terbuka. Namun, 25 persen responden tidak merasa rasa takut akan diskriminasi dalam organisasi sebagai salah satu alasan mereka closted. Sementara, responden yang ragu sebesar 25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden menganggap rasa takut akan diskriminasi merupakan salah satu alasan yang mendasari mereka untuk tidak mengaku sebagai bagian dari LGBT.
Sejalan dengan data sebelumnya, Tim Investigasi juga menanyakan apakah rasa takut akan diskriminasi merupakan salah satu alasan responden untuk tidak bergabung ke dalam organisasi. Data yang terlihat menunjukkan bahwa 60 persen responden menjawab Ya, rasa takut akan diskriminasi karena perbedaan orientasi seksual menjadi salah satu alasan untuk tidak bergabung ke organisasi kemahasiswaan. Responden yang menjawab Tidak dan Mungkin masing-masing sebanyak 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden menganggap organisasi kemahasiswaan di Universitas Indonesia akan (atau mungkin akan) mendiskriminasi anggotanya yang memiliki orientasi seksual berbeda.
Opened
Seluruh responden yang terbuka sebagai LGBT mengikuti organisasi kemahasiswaan dan 80 persennya merasa aman berada di organisasi mereka. Tidak ada responden yang merasa tidak aman dan 20 persen dari responden merasa ragu mengenai rasa aman yang dirasakan ketika berada di organisasi mereka. Data tersebut memberikan sinyal bahwa responden berada di organisasi yang tidak mendiskriminasi LGBT.
Tim Investigasi juga menanyakan apakah rasa takut akan diskriminasi karena orientasi seksual menjadi salah satu alasan untuk tidak bergabung dengan organisasi yang ada di Universitas Indonesia. Hasilnya, 40 persen responden mengaku alasan mereka untuk tidak bergabung ke sebuah organisasi bukan karena merasa takut akan diskriminasi. Hanya 20 persen responden yang mengungkapkan bahwa rasa takut akan diskriminasi merupakan salah satu alasan mereka untuk tidak bergabung ke organisasi, sedangkan 40 persen sisanya ragu atau menjawab mungkin. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari responden yang rasa takut akan diskriminasi menjadi salah satu alasan mereka untuk tidak bergabung ke sebuah organisasi.
Berkaitan dengan hasil sebelumnya bahwa tidak ada responden yang merasa tidak aman di organisasinya, menunjukkan bahwa responden tidak memiliki tendensi untuk bergabung ke dalam organisasi yang menurut responden tidak terbuka terhadap orientasi seksual mereka.
Kesimpulan
Mahasiswa UI cenderung mengetahui ragam orientasi seksual selain heteroseksual. Namun, sebagian besar bersikap menolak terhadap orientasi seksual selain heteroseksual dengan alasan yang kuat dipengaruhi oleh keyakinan. Selain menolak, mahasiswa UI juga memiliki jawaban lain yang secara berurut dari yang terbesar adalah tidak peduli, ally, closeted, opened. Mayoritas mahasiswa UI yang tidak peduli menganggap hal tersebut merupakan hak dan kebebasan, sedangkan dominan yang bersikap ally justru tidak pernah terang-terangan mendukung orientasi seksual selain heteroseksual. Sama seperti ally, kebanyakan mahasiswa closeted turut khawatir akan diskriminasi di dalam organisasi, berbeda dengan mahasiswa opened yang cenderung merasa aman dengan organisasinya saat ini.
Ilustrasi oleh: Alexander Grey
Discussion about this post