Ruangan itu disesaki banyak orang, bahkan melebihi kapasitas seharusnya. Mereka berdesak-desakan. Ada yang menangis, menunduk, mengobrol, dan juga terdiam. Mereka memiliki tujuan yang sama. Mereka mendatangi seseorang terbaring kaku di tengah ruangan ini. Orang itu sudah tidak bernyawa. Omong-omong, namaku Rai dan hari ini adalah hari pemakamanku.
Aku tidak tahu mengapa ini terjadi. Aku merasa tidak memiliki penyesalan tetapi jiwaku tidak menghilang. Kini, aku hanya termenung memandangi teman-teman, keluarga, dan orang yang tidak kukenal yang menangisiku. Jenazahku sudah didandani dengan rapi di tengah-tengah mereka. Rambutku disir dan disemir. Aku dipakaikan setelan jas yang bahkan lebih bagus dari yang bisa kubeli. Wajahku juga didandani. Aku sedikit senang akhirnya ada yang merapihkan penampilanku.
Aku memperhatikan orang-orang yang mendatangi pemakamanku. Pertama, tentu ada kedua orang tuaku. Ibuku yang paling banyak menangis semenjak jenazahku tiba di rumah. Ia bahkan sempat jatuh pingsan. Akan tetapi, aku yakin dia bisa bertahan. Selama hidup, aku sering bertengkar dengannya. Kami memiliki berbagai perbedaan pandangan. Aku juga sempat membuatnya menangis. Kami sering kali tidak bisa menerima satu sama lain. Aku merasa sedikit menyesal karenajarang mengungkapkan kasih sayangku padanya secara langsung.
“Apa kamu tidak sadar kamu telah menyakiti ibumu?!” seru ibuku di masa lalu.
“Memang apa salahnya, Bu, memiliki pilihan dan pikiran sendiri? Mengapa aku harus selalu menurutimu?” balasku.
“Berani-beraninya kamu, Rai, masih membalas!” balasnya tidak kalah keras.
Aku berpindah dari tempatku bersandar. Kini aku duduk di dekat jenazahku. Di sini, ayahku bisa terlihat lebih jelas. Ia terdiam, tidak menangis ataupun menunjukan kesedihan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya iya rasakan. Ia jarang menunjukan emosinya. Aku juga tidak terlalu dekat dengannya. Apapun yang dia rasakan, aku harap dia bisa menerima kepergianku.
Beberapa orang baru datang. Mereka sudah siap untuk memindahkan jenazahku. Aku melihat jenazahku dipindahkan ke peti. Kemudian, beberapa orang dengan seragam hitam mengangkatnya keluar. Orang-orang yang berada di ruangan itu juga segera berpindah dan mengikuti. Iring-iringan pun berjalan ke arah rumah ibadah. Rumah ibadah ini adalah salah satu rumah ibadah dari banyak rumah ibadah agamaku di Kota Sungai merah. Walaupun bukan seorang yang taat, bukan menjadi masalah ketika jenazahku dimakamkan dengan cara agamaku.
Jenazahku diletakan di tempat paling depan dengan diberdirikan sedikit. Dengan begitu, semua orang bisa melihatku dengan jelas. Sementara itu, cahaya matahari menyinariku dari jendela atap. Jika dalam kondisi normal, mungkin aku akan memotret momen ini. Juga, sebuah mimbar didirikan di sebelah jenazahku. Seorang pria dengan setelan jas hitam maju ke atas mimbar. Dia adalah pemimpin agama di sini. Pria itu mulai memimpin doa. Puluhan orang lantas mengikutinya dengan seksama. Mereka mendadak mengingat, menyayangi, dan mendoakan seseorang. Sungguh pemandangan yang indah.
Melihat ini membuatku teringat sesuatu. Aku pernah membaca bahwa jiwa manusia tidak pergi ke suatu tempat. Jiwa itu akan tetap ada sampai batas waktu tertentu. Jiwa itu akan berada di sekitar keluarga, teman, atau masyarakat. Mereka bergerak tanpa arah dan perlahan memudar lalu hilang tanpa jejak. Mereka akan hilang saat terlupakan. Sebelum menghilang, mereka akan melihat bagaimana keluarga, teman, atau orang-orang yang pernah mereka temui mengenang mereka. Jiwa-jiwa itu akan melihat bagaimana orang-orang belajar melepaskan mereka. Jiwa-jiwa itu akan belajar bagaimana orang-orang menghapuskan penyesalan mereka. Jiwa-jiwa itu juga akan belajar hal yang sama. Sepertinya, itu juga yang akan terjadi padaku. Walaupun aku tidak memiliki penyesalan, aku akan dipaksa belajar melepaskan ketidakhadiranku.
Doa-doa selesai dilakukan. Seseorang berdiri menggantikan si pemimpin agama. Dia kurus dan cukup tinggi. Dengan rambut botaknya, ia tampil dengan setelan jas hitam dan membawa secarik kertas. Ia adalah temanku yang akan menceritakan bagaimana aku sebagai manusia yang berinteraksi dengannya.
“Aku di sini mewakili banyak teman-temanku dalam mengenang Rai. Menurut kami, dia adalah orang baik yang selalu belajar menjadi lebih baik. Ia sadar bahwa dirinya penuh cacat dan terus berusaha untuk memperbaikinya. Rai juga seorang yang totalitas dalam melakukan apa yang ingin dia lakukan. Meskipun hidupnya sering berjalan tidak sesuai rencana, ia selalu melakukan yang terbaik. Rasa penasarannya yang tinggi membuatnya terus belajar tanpa rasa malu. Terlebih lagi, Rai adalah pendengar yang baik. Kau bisa menghabiskan waktu 3 jam lebih untuk menumpahkan semua isi kepalamu kepadanya. Tentu tak ada gading yang retak, emosinya sering kali menjadi salah satu masalah terbesar di hidupnya. Ia juga sering terobsesi sampai kehilangan arah. Namun, kami tetap senang mengenal dan menghabiskan waktu bersamanya. Kami bersyukur kami pernah bertemu dia.”
Aku cukup terharu mendengarkan itu. Ada beberapa hal yang tidak kusangka akan dikatakannya. Aku juga sadar akan kecacatan diriku yang dikatakannya. Aku juga bersyukur bertemu dengannya.
Sekarang, jenazahku dipindahkan ke tempat kremasi. Dalam api yang membara, kulit dan dagingku mulai berubah menjadi abu. Apa yang dulu bersamaku kini terlepas, aku sudah tidak lagi menyisakan tulang belulang tak berarti. Proses ini berlangsung 1,5 jam yang membuat beberapa orang memilih pulang daripada menunggu hingga selesai. Tak lama setelahnya, abu dan tulang-tulangku dipindahkan ke peti yang lebih kecil. Iring-iringan pun membawa peti kecil berisi abuku ke sebuah pemakaman dengan sebuah pohon besar berdiri di tengahnya. Siapapun yang meninggal akan diletakan di antara akar-akar pohon ini.
Mereka mengambil salah satu tempat yang paling sepi. Hanya ada beberapa peti kecil di sana. Orang orang mengelilingi peti kecilku dan memanjatkan doa. Bunga-bunga pun dilemparkan menghiasi peti kecilku. Tak lama, satu per satu orang pulang. Sekarang, tak ada siapapun di sekitarku. Aku sendirian. Aku memilih duduk di samping peti kecilku. Memandangi orang-orang pulang, kusadari satu orang tidak datang ke pemakamanku. Satu orang yang begitu aku harapkan. Satu orang yang ingin kulihat reaksinya saat aku benar-benar tidak ada di sampingnya. Namun, ia sama sekali tidak menampakan batang hidungnya.
Menemani kesendirianku, hujan turun perlahan. Jutaan liter air membasahi bumi, membasuh yang kering dan mendinginkan yang panas. Aku terdiam, memikirkan bagimana sisa hari-hariku sebelum menghilang.
“Tidak kusangka kau pergi secepat ini.”
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan di hadapanku. Ia membawa payung hitam serta mengenakan dress serba hitam. Kulihat kepala, tangan, dan kakinya penuh perban. Tatapannya kosong menatap peti abuku. Dia terdiam tanpa berkata apapun. Perlahan dia berjongkok dan memegang petiku.
“Ironis sekali. Aku bahkan hampir tak pernah menyentuhmu saat tubuhmu masih ada,” ujarnya.
“Kurasa aku akan sedih, tapi aku harus meneruskan hidup. Kau juga harus rela meninggalkan kefanaan ini, menghilang dan terlepas dari penderitaan dunia. Mari kita sama-sama berpisah, selamanya,” lanjutnya.
“Sayonara.”
Dengan kata terakhirnya itu, ia pergi menembus hujan. Yang bisa kulihat hanya punggungnya yang perlahan menghilang. Dia lah yang kuharapkan datang, orang terakhir yang kucintai. Orang yang mendukungku, mengingatkanku, juga menemaniku. Dialah orang terakhir yang membuatku tertawa bahagia sekaligus menangis di hari yang sama. Sayang, aku tak pernah mengungkapkan kepadanya betapa bersyukur aku mengenalnya. Sayang, aku tidak pernah berhasil mengungkapkan apa yang aku rasakan. Rencanaku berakhir dengan buruk, berakhir dengan kematianku.
Dialah orang terakhir yang melihatku sebelum tubuhku tak bernyawa lagi, sebelum sebuah kecelakaan yang mengenaskan merusak semua fungsi tubuhku. Perpisahan kami tak berakhir dengan baik. Kami sama-sama tak bisa menerima keinginan masing-masing. Kini, dia mengakhiri perpisahan itu. Aku pun mengakhiri perpisahanku dengannya.
“Terima kasih. Aku mencintaimu.”
***
Dua perawat memasuki ruangan. Di hadapan mereka. seorang pria muda terdiam duduk di depan jendela. Cahaya matahari sore menyirami wajah dan tubuhnya. Wajah dan tubuh itu tampak kosong. Ia tampak mati.
“Kasihan sekali, dia. Ia ikut mati bersama wanita itu dalam kecelakaan yang dialaminya,” ucap salah satu perawat.
“Tubuhnya masih di sini, tetapi jiwanya terlalu rusak untuk bersama tubuhnya,” sahut yang lain.
“Dokter bahkan sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kita hanya bisa terus merawatnya sampai ia benar-benar meninggalkan dunia ini,” ucap perawat pertama.
“Betul sekali. Aku turut berduka.”
Editor: Qisthan Ghazi
Discussion about this post