Robert Bilott memenangkan kasus gugatan pencemaran lingkungan atas skandal DuPont yang bernilai ratusan juta dolar akibat tuntutan kompensasi kontaminasi lingkungan dan air minum masyarakat oleh senyawa karsinogenik PFOA yang saat ini berada dalam darah 99% kehidupan di muka bumi.
Dark Waters menjadi film yang diangkat dari kisah nyata arahan sutradara kenamaan yang terkenal akan tema dysfunctional and dystopian societies, Todd Haynes, pada 2019 lalu. Diproduseri oleh Mark Ruffalo, Christine Vachon, dan Pamela Koffler serta penulisan naskah oleh Matthew Michael Carnahan dan Mario Correa. Komposisi pemeran di film ini juga terbilang tepat, antara lain dibintangi oleh Mark Ruffalo, Anne Hathaway, Tim Robbins, dan Bill Pullman. Semua kru berusaha mengangkat satu genre film yang terbilang jarang diangkat, yaitu hukum kriminal dan lingkungan.
Robert Bilott, seorang pengacara pembela korporasi di Kota Cincinnati, Ohio, telah membahayakan kehidupannya untuk membela hak seorang peternak lokal, Wilbur Tennant, yang meyakini bahwa sungai di sekitar area peternakannya telah dicemari oleh limbah beracun. DuPont, sebuah perusahaan raksasa kimia, terindikasi menyebabkan kecacatan permanen pada hewan ternaknya yang ditunjukkan dengan gejala penyakit aneh dan tidak lazim berupa organ yang membusuk dan membengkak. Pembuktian tuntutan atas kasus skandal DuPont melewati masa-masa yang sedemikian sulit dan kompleks, terutama proses penelitian ilmiah yang memakan waktu hingga tujuh tahun. Penelitian dilakukan untuk menguji pengaruh negatif senyawa PFOA yang terdapat pada produk teflon dan limbah produk perusahaan yang secara sengaja dibuang melalui sungai permukiman sehingga mengontaminasi air minum penduduk setempat.
Plot yang Menyayat Hati
Film berdurasi 126 menit ini cocok bagi kamu yang menyukai film bergenre hukum kriminal dan keadilan lingkungan, dibalut dengan sensasi ketegangan dan kegelisahan yang akan menyelimuti perasaanmu selama menonton film. Bingkisan plot dipoles oleh sinematografi yang mengagumkan, pembawaan tokoh yang fantastis, dan pengembangan alur yang efektif. Meskipun beralur lambat, para penonton dapat dengan mudah memahami kompleksitas dari kisah nyata skandal lingkungan DuPont yang menyayat hati. Kesan film yang berat disiasati dengan kisah perjuangan Robert, klien, dan keluarganya yang penuh kemasaman yang pada akhirnya berhasil menyuarakan keadilan bagi masyarakat setempat.
Tidaklah Sempurna
Meskipun demikian, pembawaan Robert Bilott sebagai aktor utama terkesan loyo dalam pengambilan keputusan terhadap tokoh-tokoh antagonis sehingga runtutan alur pengembangan cerita menjadi bertele-tele. Tidak hanya itu, daerah yang menjadi latar utama dari film ini juga memiliki pencahayaan yang minim. Akibatnya, atmosfer terasa “mendung” dan memberikan efek kantuk dan lesu kepada para penonton. Lebih lanjut, penyorotan adegan kemenangan dari pihak protagonis di akhir film juga tidak disajikan sehingga cukup disayangkan, khususnya bagi penonton yang ingin diperlihatkan secara eksplisit makna “keadilan” yang ditunggu-tunggu. Walaupun begitu, adegan tetap memperlihatkan sepenggal tulisan polos di akhir film untuk menjelaskan kronologi selanjutnya.
Azab Antroposentrisme
Menariknya, pembawaan kisah yang cukup dramatis dengan menyoroti “kekejaman” DuPont sebagai pelaku skandal lingkungan turut memperburuk nilai valuasi saham dan reputasi publik DuPont selama penayangan film ini pada sinema di seluruh dunia. Begitulah konsekuensi yang patut diterima oleh perusahaan tamak yang mengutamakan kepentingan profit di atas segalanya, meskipun dengan mengorbankan kepentingan lingkungan dan sosial. Etika lingkungan hidup yang dangkal yang kemudian dikenal sebagai “shallow ecology ethics” menggambarkan paradigma antroposentrisme, manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan tatanan dan kebijakan ekosistem yang pada akhirnya membuat alam tidak memiliki “nilai” untuk dirinya sendiri.
Determinasi Penulis
Secara keseluruhan, film ini patut diberikan rating 4,5 dari skala 5 poin mengingat amanat cerita yang sangat substansial. Belajar dari skandal pahit yang menenggelamkan banyak korban jiwa seperti ini, seharusnya banyak perusahaan mawas dan berbenah diri dengan mempertanggungjawabkan kepentingan sosial dan lingkungan selain tujuan “moneter” semata. Oleh sebab itulah, konsep triple bottom line (People, Planet, and Profit) hadir sebagai solusi yang berusaha menurunkan ego manusia yang terjebak dalam paradigma antroposentris. Pertanyaannya, haruskah alam memberikan hukumannya lagi sebelum kita berbenah diri?
Editor: Qisthan Ghazi
Ilustrasi oleh Nadhira Meuthia
Discussion about this post