Pada Jumat (23/9), ratusan masyarakat yang tergabung ke dalam puluhan kelompok dan komunitas menggelar “Global Climate Strike” sebagai bentuk keprihatinan mereka akan degradasi lingkungan yang terus memburuk dari waktu ke waktu. Kegiatan ini dinaungi oleh kanal kolektif “,Bumi Butuh Aksi,” yang merupakan wadah koordinasi dan kerjasama masyarakat dalam menyuarakan pesan krisis iklim melalui beragam ekspresi.
“Aksi ini merupakan aksi tahunan yang dilakukan sejak tahun 2019. Namun karena pandemi, kita libur dulu dua tahun dan baru melaksanakannya lagi tahun ini,” jelas Hadi selaku perwakilan dari koordinator Bumi Butuh Aksi.
Dengan slogan #PukulMundurKrisisIklim, gerakan yang dilakukan berbagai komunitas masyarakat di Indonesia ini sejatinya merupakan bagian kecil dari gerakan Global Climate Strike yang diinisiasi oleh anak-anak muda di seluruh dunia.
“Gerakan global ini diawali oleh Greta Thurnberg yang melakukan demonstrasi di parlemen Swedia. Diawali oleh gerakan kecil yang dilakukan anak sekolah, akhirnya kegiatan tersebut dilihat oleh media dan menjadi terkenal sehingga menggerakkan miliaran orang di seluruh dunia,” terang Hadi.
Gerakan lingkungan terus disuarakan, khususnya oleh generasi muda mengingat ancaman dari krisis iklim memanglah nyata dan mengancam eksistensi bumi di masa mendatang. “Banyak daerah-daerah yang kenaikan permukaan air lautnya sudah sampai ke rumah mereka,” ucap Hadi mencontohkan salah satu bukti terjadinya krisis iklim yang mendasari aksi mereka.
Longmars dari Monas hingga ke Dukuh Atas
Aksi longmars dimulai dari Ikatan Restoran dan Taman Indonesia (IRTI) Monas menuju Taman Skateboard Dukuh Atas sekitar pukul 13.00 WIB. Sebagai titik lalu lalang dan beraktivitas, pemilihan rute tersebut diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat serta membangun kesadaran mereka bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja.
Lebih lanjut, Hadi menjelaskan alasan selain untuk menarik perhatian masyarakat, Dukuh Atas juga merupakan ruang terbuka milik publik.
Dipenuhi oleh masyarakat yang membawa berbagai poster dan sign, berbagai tuntutan dilayangkan sepanjang longmarch. Masyarakat nelayan dari Batang, Jawa Tengah, misalnya, yang menyuarakan tuntutan mereka terkait pembangunan PLTU Batang yang mengancam ekosistem laut di sana. Selain itu, berbagai kelompok, seperti transpuan hingga anak SMA, bahkan ibu dan anak juga hadir mengikuti longmarch dan menyuarakan tuntutan masing-masing yang masih terkait dengan kerusakan alam.
Aksi ini dipenuhi oleh sekitar 900 masyarakat yang hadir dari berbagai kalangan. “Kurang lebih terdapat 80 kelompok yang berpartisipasi dalam acara ini. Kelompok tersebut terdiri dari berbagai kalangan, seperti kampus, daerah, komunitas, difabel, lgbt, dan lain-lain,” ungkap Hadi.
Poster “BUKAN IKAN KINI, JARINGKU PENUH BATUBARA,” “TRANSPUAN TENGGELAM DULUAN DI KRISIS IKLIM,” serta “KRISIS IKLIM ITU KRISIS PANGAN ARTINYA KRISIS DAPUR” menjadi bukti dari keberagaman isu yang diangkat pada aksi kali ini, yang semuanya masih berfokus pada isu lingkungan. Selain poster dan sign, berbagai kelompok juga menyuarakan tuntutannya melalui kostum, seperti cosplay dan semacamnya yang menarik perhatian.
Menurut pernyataan Gita, salah satu peserta aksi, kegiatan Bumi Butuh Aksi ini merupakan ajang silaturahmi tahunan berbagai kalangan masyarakat untuk saling berbagi dan menyuarakan isi hati mereka mengenai masalah lingkungan. Setiap kalangan masyarakat memiliki fokus masalahnya masing-masing karena krisis iklim ini merupakan masalah yang terlalu luas. Dari sini, terbukti bahwa masalah lingkungan hakikatnya merupakan masalah bersama dan berakibat buruk kepada setiap lapisan masyarakat.
Kekecewaan terhadap Pemerintah
Sesampainya di Dukuh Atas, perwakilan dari berbagai organisasi, komunitas, dan masyarakat mulai melakukan orasi dan menyampaikan kekhawatiran mereka akan krisis iklim yang ada di depan mata, bahkan sudah mulai terjadi. Berbagai keluh kesah serta kekecewaan juga ditujukan kepada pemerintah atas sikap abai serta janji palsu yang sering mereka lontarkan atas berbagai program pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.
Ketika ditanya alasan tuntutan aksi tidak diarahkan ke gedung pemerintahan, seperti Gedung DPR, Hadi menjawab pihaknya sudah sering menjadikan titik aksi di tempat tersebut, namun tidak pernah disambut baik oleh pemerintah.
Selain orasi dan longmarch, aksi ini juga diselingi dengan berbagai kegiatan kreatif, seperti karaoke, skate jam, dan cosplay walk yang tetap menonjolkan esensi dari gerakan lingkungan ini. Kegiatan ini juga kedatangan beberapa bintang tamu, seperti Amigdala dan OM PLR untuk menghibur dan memeriahkan Global Climate Strike 2022.
Pemerintah dituntut untuk Bertindak
Aksi diharapkan mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat, baik anak muda maupun masyarakat umum lainnya. Namun, menurut Hadi, aksi tahunan ini lebih menuntut dan mendorong kesadaran pemerintah dalam mengakomodasi permasalahan lingkungan mengingat pemerintahlah yang memiliki andil yang signifikan dalam menanggulangi permasalahan iklim, khususnya yang terjadi di Indonesia.
“Kita pengen ngasih pernyataan ke pemerintah bahwa mengatasi krisis iklim adalah tindakan yang dikehendaki rakyat. Kita ingin didengar, bukan hanya sekadar kotak suara saja,” tegas Hadi.
Beriringan dengan tahun politik, tuntutan ini bisa jadi saat yang sangat tepat. “Dan pasti mereka (politisi) membutuhkan suara kita. Kalau mereka abai, maka kita akan mengabaikan mereka pula,” tutup Hadi.
Juru Gambar: Madina Fiscarine, Muhammad Zaky Nur Fajar, dan Rafly Fadhly
Editor: Anindya Vania, Tara Saraswati, Muhammad Ramadhani
Discussion about this post