“Aku bermimpi bahwa aku hidup dalam sebuah negara berbentuk republik yang bernama Republik Banana, pemandangannya indah, selalu ada sinar matahari, suhunya nyaman. Namanya memang Republik Banana.”
Kata “peng-peng” merupakan singkatan dari pengusaha dan penguasa. Kedua titel tersebut dapat kita temukan dalam sosok politikus sekaligus pebisnis di negara kita. Sebut saja keluarga Bakrie, Hary Tanoe, Sandiaga Uno, dan lainnya. Dalam buku berjumlah 144 halaman ini, Kwik Kian Gie, mantan Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur, dengan apik membuat metafora Republik Indonesia menjadi Republik Banana. Kita diajak oleh sang Peng-Peng melalui point of view-nya untuk berkelana menelusuri kisah hidupnya dari yang awalnya miskin sampai menjadi kaya raya dengan mengakali regulasi pemerintah dan melakukan financial engineering.
Aksi Akrobat Sang Konglomerat
Beberapa taktik licik sang Peng-Peng dikuliti dalam buku ini. Misalnya, overpricing harga bahan baku hasil impor dengan memanfaatkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang menjadikan bahan baku tersebut terbebas dari pajak impor sehingga sang Peng-Peng dapat menjualnya dengan harga tinggi. Lalu, mendirikan perseroan terbatas (PT) dan melantaikannya di Bursa Efek dengan agio yang tinggi padahal perusahaan miliknya masih merugi, bagaimana caranya perusahaan yang merugi tersebut dapat lolos melantai di bursa? jawabannya adalah dengan memanipulasi laporan keuangan. Sang Peng-Peng merekrut akuntan publik terkenal untuk merekayasa laba dari perusahaan. Walaupun bisnis perusahaannya masih merugi, dengan sentuhan akuntan publik terkenal yang rela dibayar mahal, muncullah angka laba di laporan keuangan perusahaan sang Peng-Peng. Walhasil perusahaan sang Peng-Peng berhasil melantai di Bursa Efek. Dalam beberapa hari, saham sang Peng-Peng mengalami auto rejection atas dan dengan perlahan-lahan ia menjual sahamnya sehingga dapat meraih uang besar dari hasil penjualan lembaran saham yang tak berharga kepada publik.
Kisah sang Peng-Peng melakukan financial engineering dan menjadikan IPO sebagai exit strategy bukanlah sebuah fenomena khayalan semata. Tentu kita ingat ketika Unicorn terbesar di Indonesia, PT GoTo Gojek Tokopedia (GOTO) melantaikan sahamnya di Indonesia padahal GOTO masih mengalami rugi bersih. Dari hasil IPO tersebut, William Tanuwijaya beserta pendiri GOTO lainnya dapat meraup untung hingga triliunan rupiah. Belum lagi konflik kepentingan antara investor awal GOTO yang salah satunya diisi oleh Boy Thohir, kakak dari Erick Thohir, serta gonjang-ganjing investasi Telkom Indonesia di GOTO yang menjadikan isu ini sempat panas beberapa waktu lalu. Dari sini, kita dapat melihat contoh yang diberikan Pak Kwik melalui sosok sang Peng-Peng bukan tidak mungkin akan terjadi lagi di waktu yang akan datang.
Melalui sudut pandang sang Peng-Peng, Kwik Kian Gie berhasil menjelaskan tahapan-tahapan sang Peng-Peng dalam meraup kekayaan dan kekuasaannya dengan cara yang kotor. Buku ini patut dibaca karena di dalamnya banyak dibeberkan aksi-aksi akrobat para konglomerat yang tidak dijabarkan di buku-buku keuangan lain. Dengan membaca buku ini, kita dapat mengetahui betapa cerdik dan liciknya para konglomerat untuk menambah dan mempertahankan pundi-pundi kekayaannya. Melalui tax evasion, manipulasi nilai perusahaan, go public untuk menjarah uang publik, kredit bank dalam jumlah besar sehingga bank yang dipinjami tidak berkutik, backdoor listing memakai uang hasil IPO, dan masih banyak lagi taktik keuangan lainnya yang dilakukan para konglomerat untuk menambah kekayaannya melalui financial engineering yang dengan apik dijabarkan oleh Kwik Kian Gie melalui sudut pandang sang Peng-Peng.
Membaca buku ini juga dapat membuat kita khawatir. Bayangkan, lonjakan investor muda di pasar modal dari tahun 2020 yang jumlahnya mencapai jutaan orang dapat menjadi target exit para konglomerat jahat di pasar modal. Mereka, masyarakat Indonesia awam, yang mengumpulkan modal dari hasil gaji bekerja 8 jam sehari dan menempatkan uangnya dalam instrumen saham, berharap uang yang mereka investasikan berlipat-ganda malah terpaksa merugi akibat harga saham perusahaan yang mereka beli anjlok. Dengan membaca buku ini, kita dapat menyadari betapa sektor keuangan dan politik memiliki hubungan yang erat dan banyak terjadi konflik kepentingan di dalamnya.
Editor : Muhammad Zaky Nur Fajar, Alfina Nur Afriani, Qisthan Ghazi
Discussion about this post