Pada pertengahan Juli lalu, kawasan Taman Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat, menjadi lokasi berkumpul sejumlah anak muda yang berasal dari daerah pinggir penyangga Jakarta, seperti Depok, Bogor, Citayam, dan Bojong Gede. Tidak hanya berkumpul, mereka juga datang dengan gaya berpakaian nyentrik hingga melakukan kontes beradu outfit yang kemudian viral dengan sebutan Citayam Fashion Week (CFW).
Pada Jumat (26/08), Badan Otonom Economica (BOE) berkesempatan mewawancarai Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto selaku Dekan sekaligus Guru besar Antropologi FISIP UI untuk menggali lebih jauh mengenai fenomena Citayam Fashion Week (CFW) melalui sudut pandang Antropologi .
Terdapat Koridor Penghubung AntarKelompok Masyarakat
Saat ini, fragmentasi di wilayah Jakarta semakin jelas. Masyarakat Jakarta dapat hidup secara berdampingan dengan berbagai etnis dan suku bangsa tanpa adanya suatu dominasi tertentu di dalamnya.
“Kalo ngomong tentang pembangunan ekonomi dan sosial-politik di Jakarta, bisa dibilang gak ada masyarakat Jakarta yang terintegrasi. Batas-batas antara kelompok kelas atas, menengah, menengah biasa, sampai menengah bawah jadi gak jelas. Dulu, sempet batasnya nampak jelas, tapi sekarang ada koridor yang menghubungkan itu dan nampak gak begitu clear,” jelas Aji. Koridor penghubung tersebut diduga Aji berupa kemudahan mengakses informasi dari internet.
Lebih lanjut, Aji menjelaskan meski memiliki tradisi dan lifestyle sendiri, kelompok Citayam yang konotasinya adalah suburban dapat masuk dengan lifestyle Jakarta. “Hal ini karena anak-anak muda Citayam itu highly exposed dengan berbagai hal yang dinikmati oleh orang-orang Jakarta kelas menengah atas,” lanjut Aji.
Daya Tarik Sudirman bagi Masyarakat Luar Jakarta
Kemudahan akses transportasi menuju Sudirman atau Taman dukuh Atas memicu anak-anak muda di luar Jakarta untuk datang dan nongkrong di tempat itu. “Mungkin yang pertama karena ujung trek kereta yang paling nyaman ya ketimbang sampai ke Tanah Abang misalnya. Tapi kalo (nongkrong) di Dukuh langsung kepada center-nya jakarta, nyaman, ruang publiknya luas, bisa ke sana ke mari,” jelas Aji.
Sudirman dapat diakses melalui transportasi publik seperti KRL, MRT, hingga Transjakarta dengan harga yang relatif terjangkau. Lokasinya yang strategis, menarik, dan gratis juga menjadi salah satu pemicu ramainya anak-anak muda di luar Jakarta yang berkunjung ke kawasan Taman Dukuh Atas.
Kebutuhan mereka untuk membuat konten demi memenuhi keinginan mereka untuk terkenal dapat menjelaskan mengapa mereka berdatangan ke kawasan Sudirman. Aji menjelaskan bahwa saat itu mereka tidak mengharapkan uang cash. Investasi mereka hanyalah berada di konten dan popularitas mereka.
Style ‘Mereka’ Merupakan Antitesis untuk Kehidupan Kota
Aji berpendapat bahwa gaya berpakaian anak-anak muda yang datang ke kawasan Dukuh Atas merupakan antitesis untuk kehidupan kota. “Style, baju, pilihan warna, pilihan model mereka itu antitesis untuk dunia selebriti di media sosial yang selalu pamer harga-harga,” terang Aji.
Tidak seperti biasanya, di mana fashion seringkali dikaitkan dan didominasi oleh kalangan kelas menengah atas, sebagian besar dari anak muda daerah penyangga Jakarta ini mengenakan pakaian dan aksesori hasil thrifting. Harga outfit yang mereka kenakan hanya berkisar puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Dandanan mereka pun sangat berbeda dan bertabrakan dengan konsep fashion pada umumnya.
Hal inilah yang dimaksud Aji dengan style mereka yang merupakan antitesis terhadap kehidupan kota. Aji juga berpendapat bahwa ini adalah perlawanan anak muda terhadap kemapanan struktur. “Kemudian, gaya ini diadopsi oleh orang-orang yang lebih established dalam konteks bisnis. Istilahnya apropriasi, diambil oleh mereka,” lanjut Aji.
Ruang Publik Perlu Dibuat Tanpa Mengharapkan Imbal Baliknya
Ruang publik yang dalam bahasa inggris adalah “public space” yang berarti tempat juga memiliki terjemahan lain yaitu “public sphere” yang diambil dari kata “atmosphere” yang menggambarkan suasana. Ruang publik ini diperlukan untuk bersosialisasi dan melakukan suatu hal secara bersama-sama.
Pemerintah di daerah perlu membuat ruang publik di wilayahnya masing-masing. Hal ini seharusnya dilakukan tanpa mengharapkan timbal balik seperti yang terjadi di kawasan Taman Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat.
Hal ini ditegaskan oleh pernyataan yang disampaikan oleh Aji, “ruang terbukanya tetep harus dibuat, baik orangnya datang ataupun tidak, harus tetap ada, paling tidak kalau orangnya gak datang dan secara sosial tidak dimanfaatkan secara intensif, secara ekologis itu menjadi bagian dari ruang hijau, tempat kota ini bernafas.”
Redupnya Citayam Fashion Week
Fenomena CFW ini nyatanya mengalami penurunan yang cukup signifikan. Salah satu alasannya adalah perubahan informasi yang sangat cepat dan belum dapat dipastikan keakuratannya. “Pertama namanya tren, sekarang ini memang semakin cepat (turun) dikarenakan informasi kita demikian cepat berubahnya,” ucap Aji.
Alasan kedua adalah mudahnya akses untuk mendapatkan informasi. Internet dan media sosial sudah menjadi sumber segala informasi yang di sisi lain juga memudahkan berubahnya fokus masyarakat dari suatu hal seperti fenomena ini ke hal lain. Aji menambahkan, “kecepatan perubahan diakselerasi oleh informasi yang semakin terbuka, siapa saja bisa akses.”
“Saya masih ingin menekankan bahwa ada kepentingan power yang kuat, mendisiplinkan orang-orang di sana ke mari. Itu masih kencang sekali,” ujar Aji. Power yang dimiliki oleh orang-orang penting di daerah Fenomena CFW ini merupakan salah satu alasan terbesar redupnya Citayam Fashion Week. Mereka yang merasa tidak diuntungkan membuat “kebijakan” serta “larangan” yang menguntungkan dirinya sendiri. Hal ini membuat lama kelamaan terjadi “pergusuran” secara paksa terhadap anak muda yang berasal dari daerah di luar Jakarta.
Editor: Tara Saraswati, Anindya Vania
Discussion about this post