Zaman yang terus bertambah usia ikut serta membawa elemen-elemen dalam hidup manusia untuk berkembang, salah satunya adalah media sosial. Kini, media sosial menjelma menjadi wadah bagi manusia untuk tidak hanya bersosialisasi, tetapi juga berkreasi dan menunjukkan jati diri. Media ini menyatukan banyak manusia yang berbeda ruang dan usia dalam suatu sistem global bernama internet. Berbagai fenomena sosial lahir dan mati di internet. Salah satu contohnya adalah fenomena street interview di SCBD yang berujung pada Citayam Fashion Week, Twitter Stan War yang bisa berujung pada doxxing, hingga berbagai challenge Tiktok yang mengundang banyak pengikut. Fenomena ini bagaikan ombak yang terus berganti—naik dan turun—dan banyak pengguna internet mencoba untuk mengendarai ombaknya, dari yang hanya sekadar penasaran hingga yang berusaha untuk menaklukan ombak tersebut. Untuk menaklukkannya, para pengguna internet atau netizen—khususnya anak muda—tergila-gila untuk melakukan berbagai hal, sekalipun hal tersebut berisiko berbahaya.

Hal yang para anak muda ini post di internet—sering disebut dengan istilah konten—memiliki kesamaan satu dengan yang lainnya, yaitu bersumber dari tren yang sedang hot. Untuk menjadi pemenang tren, tentu saja mereka harus membuat sedikit inovasi atau perubahan yang berbeda dengan kompetitor mereka yang membuat mereka terlihat lebih menonjol. Inovasi yang mereka lakukan ini sering kali menimbulkan sebuah kontroversi atau polemik yang tentu saja memancing perhatian banyak orang atau yang sering dicap sebagai viral. Fenomena dan perilaku para anak muda ini dapat ditinjau dari berbagai sisi dan tentunya merupakan hal yang menarik untuk diamati. Latar belakang yang ditinjau bisa disingkat dalam tiga kata kunci, yaitu identitas, validasi, dan privilege.
Pembentukan Identitas Diri
Menurut Efriyani Djuwita, Psikolog Anak dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, remaja memiliki kebutuhan untuk menemukan identitasnya. Dalam prosesnya, mereka berusaha untuk mencari kelompok, komunitas dimana mereka merasa diterima, dipandang, atau dianggap oleh orang lain dan lingkungan. Mereka juga memiliki kebutuhan untuk berinteraksi di lingkungan sosialnya. Di masa ini, remaja juga memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar akan lingkungannya. Mereka memiliki kemampuan untuk berpikir yang lebih baik, tetapi di satu sisi masih memiliki tantangan untuk bisa mengendalikan keinginan dan emosinya.
Perkembangan informasi dan teknologi dengan keberadaan internet membuat remaja beralih ke media sosial. Internet menciptakan suatu ruang digital baru bagi anak muda untuk berinteraksi dan mengekspresikan diri mereka. Hal ini dicapai melalui media sosial, di mana ruang privat dan ruang publik melebur1Ayun, P. Q. (2015). Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas. CHANNEL Jurnal Komunikasi, 3(2), 1–2. . Mereka dapat menggunakan ruang ini sebagai tempat untuk mengembangkan identitas diri mereka. Inilah yang membuat anak muda saat ini banyak mengkonsumsi konten atau membuat konten di media sosial.
Menurut Stuart dan Laraia2Sakti, B. C., & Yulianto, M. (2018). Penggunaan media sosial instagram dalam pembentukan identitas diri remaja. Interaksi Online, 6(4), 490-501., identitas adalah pengumpulan dari semua gambaran diri dalam mengatur keseluruhan, tidak hanya dengan kepandaian bergaul dengan siapapun, objek sifat, dan peran. Gambaran diri ini berasal dari penampilan fisik serta berbagai faktor persepsi lain. Identitas ini merupakan suatu hal yang penting bagi suatu individu untuk mengatur kepribadian dan membedakan dirinya dari orang lain. Hal ini menyatakan kesadaran diri seseorang sebagai suatu individu.
Identitas dapat dikembangkan melalui komunikasi, sosialisasi, serta interaksi. Menurut Tajfel dan Turner dalam Teori Identitas Sosial3Gudykunst, W. B., & Mody, B. (2002). Handbook of international and intercultural communication. Sage Publications., konsep diri pada suatu individu ada ketika ia bersosialisasi dan mengidentifikasi diri. Ada beberapa karakteristik individu yang dipengaruhi oleh komunikasi, yaitu orientasi personal dalam berinteraksi, nilai-nilai pribadi yang dipertahankan untuk self-confidence, serta bagaimana individu mengekspresikan dirinya. Ketiga hal ini terjadi ketika individu, dalam hal ini anak muda, melakukan berbagai aktivitas yang menekankan pada interaksi dalam media sosial.
Interaksi dalam media sosial ini memunculkan adanya self-definition dan mendorong self-invention. Para remaja dapat mencari informasi, menjalin hubungan dengan orang lain, mengekspresikan diri, menunjukan eksistensi diri mereka sesuka hati dan membentuk identitas mereka secara virtual, baik identitas tersebut sama seperti di dunia nyata maupun tidak.
“Mengkonsumsi konten bisa menjadi bahan referensi mereka untuk mengetahui apa yang terjadi di lingkungannya, yang mereka gunakan nantinya untuk berinteraksi, menilai dan menimbang mengenai apakah konten yang mereka lihat sesuai dengan diri mereka,” sebut Efriyani.
Dalam hal ini, media sosial berperan sebagai medium yang mendorong para remaja untuk mengkonstruksi diri mereka4Nasrullah, R. (2018). Komunikasi antar budaya: Di era budaya siber. Prenada Media.. Konstruksi diri ini dapat dilakukan melalui pengunggahan berbagai macam konten di media sosial.
Kebutuhan akan Validasi Sosial
Konstruksi identitas tidak lepas dari masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan dasar untuk mendapat validasi dari lingkungannya5Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal attachments as a fundamental human motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497–529. https://doi.org/10.1037/0033-2909.117.3.497. Kebutuhan akan validasi sosial ini berasal dari kebutuhan manusia untuk diterima berdasarkan Hierarki Kebutuhan Maslow. Kebutuhan ini mendorong individu di masyarakat untuk mengubah perilakunya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat.
Validasi sosial merupakan proses mencari penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Validasi eksternal ini membuat diri individu merasa memiliki validasi diri sehingga menjadi sumber dari harga diri. Perilaku, sifat, serta pandangan yang tidak sesuai dengan masyarakat akan membuat seorang individu untuk merasa kurang tervalidasi oleh lingkungannya. Hal ini akan berujung kepada munculnya peer pressure bagi individu tersebut untuk menyesuaikan diri (conforming) dengan lingkungannya melalui perubahan perilaku agar tidak mendapat penolakan6Thangbiakching & Kapoor, Neera. (2020). UNDERSTANDING SOCIAL VALIDATION AS A PROCESS AND LIVED EXPERIENCE AMONG COLLEGE GOING STUDENTS IN DELHI. International Journal Of Advance Research And Innovative Ideas In Education. 6. 1222-1229..
Remaja pun mencari validasi dari media sosial melalui interaksi yang mereka dapatkan. Pandangan mereka akan diri sendiri dipengaruhi oleh bagaimana audiens mereka memandang mereka. Identitas mereka dibentuk dan divalidasi melalui persepsi orang lain di media sosial. Gambaran diri yang mereka peroleh terus-menerus dikembangkan dan dikonstruksi sedemikian rupa. Hal ini dapat ditinjau melalui teori Mead mengenai interaksi simbolik, yaitu konsep kesadaran diri di mana seorang individu melihat dirinya sendiri sebagai sebuah objek7Sakti, B. C., & Yulianto, M. (2018). Penggunaan media sosial instagram dalam pembentukan identitas diri remaja. Interaksi Online, 6(4), 490-501..
Kebutuhan akan afirmasi serta penerimaan yang terlalu berlebihan pada anak muda karena ini akan berujung kepada sifat narsisme8Hawk, S. T., van den Eijnden, R. J. J. M., van Lissa, C. J., & ter Bogt, T. F. M. (2019). Narcissistic adolescents’ attention-seeking following social rejection: Links with social media disclosure, problematic social media use, and smartphone stress. Computers in Human Behavior, 92, 65–75. https://doi.org/10.1016/j.chb.2018.10.032. Akibatnya akan fatal jika remaja yang narsis mengalami ancaman pada gambaran diri mereka, seperti penolakan dari masyarakat. Penolakan dari lingkungannya mendorong mereka untuk mencari perhatian lewat media sosial sebagai bentuk pencarian validasi eksternal. Ini diwujudkan dengan pengunggahan konten yang berlebihan atau bahkan berbahaya.
“Karena saat ini tidak jarang apa yang negatif ternyata menjadi viral, konten-konten tersebut mendatangkan banyak follower sehingga remaja merasa diterima di lingkungannya. Banyak remaja tidak berpikir panjang mengenai konsekuensi karena mereka hanya memikirkan tujuan akhir untuk dapat terkenal atau eksis di lingkungannya,” jelas Efriyani.
Selebriti Internet dan Privilege-nya
Semua orang bisa menjadi selebriti internet dalam satu malam dengan mempelajari cara bagaimana orang biasa bisa menjadi salah satunya. Dengan massa yang tidak sulit didapatkan di media umum, tentunya akan mudah untuk mendapatkan calon pengikut atau popularitas, Di balik itu, tentunya dibutuhkan sebuah tekad dan keberanian untuk menampilkan diri dan dinilai oleh publik. Banyak sekali kejadian di mana seorang selebriti internet berangsur-angsur menjadi seorang influencer yang pendapatnya ditanyakan dan diperhatikan—berarti berkemungkinan besar bisa menggerakkan publik untuk mendengar dan bahkan menciptakan suara mayoritas. Kemampuan ini yang akhirnya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan yang bombastis dengan effort yang kelihatannya tidak terlalu melelahkan, seperti yang dapat dilihat di cuitan penulis Dea Anugrah (@wildwestraven) yang viral dengan 65.5k likes9Anugrah, D. (2021, May 30). Di Dunia Fana Ini Ada orang-Orang Yang Digaji RP800 Ribu Setelah Kerja Siang-Malam sebulan penuh dan Ada Juga Yang Dibayar RP80 Juta Untuk pekerjaan sepele macam bikin IG post Dalam Satu-Dua Jam. Kalau menurutmu Dunia Kayak Gini Nggak Rusak, Berarti Nalarmu Yang Rusak. Twitter. Retrieved July 22, 2022, from https://twitter.com/wildwestraven/status/1399044705254400001?t=3mIJqP64icZtZ1iV7ZsMSQ&s=19.
Tidak bisa dipungkiri ada banyak benefit yang dirasakan ketika kita menjadi terkenal atau memiliki identitas seorang selebriti internet. Salah satunya adalah banyak orang yang datang memberikan bantuan ketika kita mengalami keterbatasan. Sebagai contoh, Roy, remaja asal Citayam, akhir-akhir ini viral ditawari beasiswa oleh Sandiaga Uno10Rachman, A. (2022, July 10). Citayam Fashion Week, Sandiaga Uno Mau Kasih Beasiswa Remaja SCBD. Tempo. Retrieved July 22, 2022, from https://metro.tempo.co/read/1610598/citayam-fashion-week-sandiaga-uno-mau-kasih-beasiswa-remaja-scbd. Selain itu, tidak jarang ketika sebuah nama sudah menjadi nama terkenal, banyak pihak-pihak yang menaruh ketertarikan kepada pribadi tersebut dan ingin mengasosiasikan diri dengan nama tersebut. Bahkan, sering kali orang yang viral di sosial media langsung mendapatkan tawaran pekerjaan atau perjanjian iklan dengan brand tertentu11Jack. (2022, July 15). Kalau Ada YG Tau Silahkan DM Saya Langsung Ya, Terima Kasih🙏 https://t.co/cvorehvrvo pic.twitter.com/qcjbi6mmwe. Twitter. Retrieved July 22, 2022, from https://twitter.com/jackjackparrr/status/1547801034419908609?t=zkK2vAhDZrep1v8oPyD3dg&s=19. Fenomena ini menunjukkan bahwa konten-konten yang menarik perhatian bisa merubah hidup seseorang dalam sekejap. Menjadi terkenal memang kelihatan memiliki banyak risiko dan berbahaya. Namun, menjadi terkenal juga bisa memberikan berbagai privilege yang menguntungkan.
Kesimpulan
Setiap manusia memiliki fase-fase dalam hidup, salah satunya adalah fase mencari jati diri. Untuk menemukan identitas diri, sering kali remaja butuh belajar mengobservasi orang lain dan mengekspresikan diri mereka. Sosial media merupakan ruang yang tepat untuk melatih kedua hal tersebut. Oleh sebab itu, kebebasan berekspresi dalam ruang virtual merupakan hal yang esensial. Dalam perjalanan mencari jati diri, persepsi orang lain terhadap mereka mempengaruhi cara mereka memproyeksikan gambaran diri mereka sendiri. Berbagai macam interaksi di media sosial mempengaruhi perkembangan identitas mereka. Respon inilah yang membuat para remaja terus melakukan self-enhancement agar dapat lebih layak dengan tuntutan lingkungannya. Kebutuhan akan validasi sosial mempengaruhi perilaku mereka dalam mengunggah konten di media sosial. Penolakan dari masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa remaja terobsesi dengan konten sampai ke tingkat yang tidak wajar. Pembuatan konten yang berbahaya dan kontroversial merupakan upaya remaja mendapat validasi eksternal dengan menarik perhatian.
Selain itu, dalam perjalanan pencariannya di internet, para remaja secara tidak langsung terekspos dengan dunia para selebriti internet yang kelihatannya menarik. Hal ini semakin mendorong para anak muda untuk menjadikan “selebriti internet” sebagai identitas mereka. Mereka rela melakukan apa saja demi mencicipi kehidupan semu dan berbagai privilege yang menggiurkan dengan mengabaikan bahaya dan risiko yang mengikutinya. Cara yang paling mudah adalah dengan memproduksi dan juga mengkonsumsi konten negatif. Namun, kebiasaan ini tidak boleh kita biarkan lestari dalam dunia konten anak muda.
“Untuk mengurangi produksi konten negatif oleh remaja, diperlukan kerja sama dari semua sistem yang ada di sekitar remaja. Pengawasan dari orang orang sekitar remaja, keterlibatan dari para pembuat media sosial atau tokoh yang bisa menjadi contoh untuk bisa berkreasi dengan konten yang positif juga harus lebih banyak,” saran Efriyani.
Ilustrasi oleh Adisty Eka Zhafirah
Editor: Alifia Yumna Mumtazah & Muhammad Zaky Nur Fajar
Referensi
↵1 | Ayun, P. Q. (2015). Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas. CHANNEL Jurnal Komunikasi, 3(2), 1–2. |
---|---|
↵2, ↵7 | Sakti, B. C., & Yulianto, M. (2018). Penggunaan media sosial instagram dalam pembentukan identitas diri remaja. Interaksi Online, 6(4), 490-501. |
↵3 | Gudykunst, W. B., & Mody, B. (2002). Handbook of international and intercultural communication. Sage Publications. |
↵4 | Nasrullah, R. (2018). Komunikasi antar budaya: Di era budaya siber. Prenada Media. |
↵5 | Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal attachments as a fundamental human motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497–529. https://doi.org/10.1037/0033-2909.117.3.497 |
↵6 | Thangbiakching & Kapoor, Neera. (2020). UNDERSTANDING SOCIAL VALIDATION AS A PROCESS AND LIVED EXPERIENCE AMONG COLLEGE GOING STUDENTS IN DELHI. International Journal Of Advance Research And Innovative Ideas In Education. 6. 1222-1229. |
↵8 | Hawk, S. T., van den Eijnden, R. J. J. M., van Lissa, C. J., & ter Bogt, T. F. M. (2019). Narcissistic adolescents’ attention-seeking following social rejection: Links with social media disclosure, problematic social media use, and smartphone stress. Computers in Human Behavior, 92, 65–75. https://doi.org/10.1016/j.chb.2018.10.032 |
↵9 | Anugrah, D. (2021, May 30). Di Dunia Fana Ini Ada orang-Orang Yang Digaji RP800 Ribu Setelah Kerja Siang-Malam sebulan penuh dan Ada Juga Yang Dibayar RP80 Juta Untuk pekerjaan sepele macam bikin IG post Dalam Satu-Dua Jam. Kalau menurutmu Dunia Kayak Gini Nggak Rusak, Berarti Nalarmu Yang Rusak. Twitter. Retrieved July 22, 2022, from https://twitter.com/wildwestraven/status/1399044705254400001?t=3mIJqP64icZtZ1iV7ZsMSQ&s=19 |
↵10 | Rachman, A. (2022, July 10). Citayam Fashion Week, Sandiaga Uno Mau Kasih Beasiswa Remaja SCBD. Tempo. Retrieved July 22, 2022, from https://metro.tempo.co/read/1610598/citayam-fashion-week-sandiaga-uno-mau-kasih-beasiswa-remaja-scbd |
↵11 | Jack. (2022, July 15). Kalau Ada YG Tau Silahkan DM Saya Langsung Ya, Terima Kasih🙏 https://t.co/cvorehvrvo pic.twitter.com/qcjbi6mmwe. Twitter. Retrieved July 22, 2022, from https://twitter.com/jackjackparrr/status/1547801034419908609?t=zkK2vAhDZrep1v8oPyD3dg&s=19 |
Discussion about this post