Mungkin kalian sering melihat banyak artis K-Pop tampil sebagai brand ambassador berbagai produk lokal. Bukan tanpa alasan, kesetiaan luar biasa para penggemar artis korea menjadi landasan kuat bagi perusahaan untuk memilih mereka sebagai wajah bagi usahanya. Meskipun memerlukan biaya yang sangat tinggi, perusahaan merasa dampak yang dibawa sepadan dengan biayanya. Contohnya saja, e-commerce Tokopedia perlu mengeluarkan biaya sekitar Rp17,8 miliar untuk menjadikan grup ternama Korea BTS sebagai brand ambassador mereka.1Intan, R. (2022, Mei 18). Kenapa Banyak Merek Indonesia Pakai BA Artis Korea? Tirto.ID. https://amp.tirto.id/kenapa-banyak-merek-indonesia-pakai-ba-artis-korea-grTZ Walaupun biayanya terbilang fantastis, CEO Tokopedia, William Tanuwidjaja, mengatakan bahwa dengan upayanya itu, Tokopedia berhasil menjadi world wide trending topic setiap bulannya kala itu. Lantas, mengapa perusahaan masih melakukan iklan walaupun biayanya besar? Apakah biaya fantastis iklan dapat tertutupi dengan keuntungan yang akan didapat?
Mengapa Perusahaan Masih Beriklan?
“Inget, engga, ketika kita ngomong game theory? Misalnya, teman-teman lawan kita beriklan, yaa kita wajib beriklan,” ujar Dwini Handayani, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Game theory adalah bagian dari studi rational behaviour yang mengkaji interdependensi antara 2 pihak dalam pengambilan keputusan.2Taurusianingsih, D. N. (2016, Mei 14). Game Theory 1 – Dosen Perbanas. Dosen Perbanas. https://dosen.perbanas.id/game-theory-1/ Jika perusahaan kita tidak memasang iklan, maka konsumen akan lari ke perusahaan-perusahaan yang memasang iklan dan hal itu akan merugikan. Akhirnya, semua perusahaan terdorong untuk memasang iklan karena keadaan membuat iklan seperti bagian dari kebutuhan perusahaan. Apalagi setiap tahunnya jumlah perusahaan semakin meningkat, hingga tahun 2021 saja sudah tercatat 64 juta UMKM di Indonesia yang menyebabkan persaingan iklan semakin ketat.
Seorang pakar brand strategy dari Amerika Serikat, David Aaker, juga menyatakan bahwa proses promosi dilakukan untuk membangun ekuitas merek yang berperan penting dalam mempengaruhi tingkat kepercayaan pelanggan pada produk.3Aaker, D. A., & Biel, A. L. (1993). Brand equity & advertising: Advertising’s role in building strong brands. Hillsdale, N.J: Lawrence Erlbaum Associates. Pandangan dari David Aaker tersebut menunjukkan bahwa ekuitas merek produk yang baik akan mendatangkan lebih banyak pelanggan yang setia pada produk mereka dan memperkuat motif perusahaan untuk mengiklankan produknya.
Dilihat dari sisi produsen, iklan memang menguntungkan dalam proses penjualan produk. Iklan dapat berguna dalam mengambil pasar, menyeimbangkan kompetisi, dan meningkatkan kepercayaan konsumen. Namun, bagaimana dengan konsumen itu sendiri? Mengapa mereka memerlukan iklan?
“People don’t know what they want, until you show it to them” – Steve Jobs
Manusia bukan makhluk yang sepenuhnya rasional dalam membuat keputusan. Rasionalitas kita dibatasi oleh informasi yang ada dan sifat manusiawi kita. Teori bounded rationality mengasumsikan bahwa manusia mengambil keputusan berdasarkan apa yang membuatnya puas, bukan berdasarkan apa yang terbaik dan optimal.4The Decision Lab. (n.d.). Bounded Rationality. The Decision Lab. Retrieved July 25, 2022, from https://thedecisionlab.com/biases/bounded-rationality Hal ini disebabkan salah satunya karena konsumen tidak selalu memiliki informasi yang tepat dan sempurna akan suatu produk. Sebagai kesimpulan, iklan muncul untuk membantu konsumen dalam mengambil keputusan. Biarpun demikian, apakah iklan selalu benar dan membantu konsumen?
Menilik Kondisi Persaingan Iklan Saat Ini: Apakah Iklan Saat Ini Baik Untuk Ekonomi?
“Akhir-akhir ini, kok, YouTube gue banyak iklan yang gak bisa di skip, ya. Males, deh, ngeliat nya. Apakah orang lain juga merasakan hal yang sama dengan gue?”
Gencarnya persaingan iklan yang terjadi saat ini menyebabkan perusahaan saling beradu iklan untuk mendapatkan perhatian konsumen melalui media yang paling sering kita gunakan, yaitu internet. Pada 2021, rata-rata orang menghabiskan waktunya di internet selama 413 menit per hari atau hampir 7 jam per hari, jangka waktu yang tidak banyak untuk menarik perhatian masyarakat.5Oberlo. (n.d.). How Much Time Does the Average Person Spend on the Internet? Oberlo. https://id.oberlo.com/statistics/how-much-time-does-the-average-person-spend-on-the-internet Karena itu, perusahaan mencoba memaksimalkan waktunya dengan menunjukkan iklan sebanyak mungkin.
Strategi iklan dengan intensitas yang sangat besar diistilahkan dengan sebutan intrusive advertising. Bentuk periklanan ini seringkali bersifat mengganggu pengguna internet karena intensitas yang tinggi dan penyajian informasi yang tidak relevan. Dalam survei pengguna internet AS oleh Kantar Millward Brown, 71 persen responden mengatakan bahwa iklan sekarang lebih mengganggu dibanding tiga tahun lalu. Jumlah yang sama menunjukkan bahwa mereka melihat lebih banyak iklan secara keseluruhan, dan bahkan lebih setuju bahwa iklan sekarang muncul di lebih banyak tempat.6Benes, R. (2018, April 10). People Believe Ads Are Becoming More Intrusive. Insider Intelligence. https://www.insiderintelligence.com/content/people-believe-ads-are-becoming-more-intrusive
Mengenai dampak intrusive advertising, Dwini menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena kita memasuki era digital, dimana produk-produk hanya bisa dilihat dari gambar saja. Misal, kita ingin mencari batik pekalongan dalam search engine kita. Lalu, munculah berbagai informasi dan iklan mengenai batik pekalongan tersebut. Sebenarnya, intrusive advertisement hanya menjadi masalah terhadap kenyamanan pengguna internet karena menyebalkan, tetapi tidak menjadi masalah yang begitu besar bagi ekonomi. Iklan menjadi masalah jika perusahaan mulai mengesampingkan kualitas produk karena terlalu berfokus pada iklan dan membangun citra semu semata.
Nasib Research & Development Indonesia
Menjadi sebuah ironi bahwa posisi R&D sebagai simbol peningkatan kualitas dan diversifikasi produk bagi ekonomi saat ini tidak lebih penting dari iklan bagi perusahaan. Pada tahun 2018, Indonesia hanya mengalokasikan 0,3% saja dari total PDB untuk membiayai anggaran riset. Dari pembiayaan tersebut, terlihat bahwa peran swasta sangatlah minim dengan hanya menyumbang 9,15% saja, jauh berbanding terbalik dengan pemerintah sebesar 80,97%. Jika dilihat dalam satuan moneter, perusahaan swasta hanya mengalokasikan 2,81 triliun pada tahun 2016 untuk melakukan riset.7Tim Publikasi Katadata. (2019, April 15). Anggaran Minim, Pengelolaan Dana Riset Belum Maksimal – Infografik Katadata.co.id. Katadata. https://katadata.co.id/timpublikasikatadata/infografik/5e9a51a6c6178/anggaran-minim-pengelolaan-dana-riset-belum-maksimal Hal yang lebih mencengangkan adalah dari pembiayaan riset yang telah minim, hanya 1,9% perusahaan di Indonesia yang ikut berkontribusi melakukan riset.8https://data.worldbank.org/indicator/IC.FRM.RSDV.ZS?locations=ID
Minimnya pembiayaan riset berbanding terbalik dengan alokasi dana perusahaan untuk periklanan yang sangat besar dan terus meningkat. Dilansir dari Nielsen Reports, Indonesia mengeluarkan total biaya iklan mencapai Rp259 triliun pada tahun 2021, meningkat sebesar 13 persen dari tahun sebelumnya dan 92 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pembiayaan riset perusahaan di tahun 2016. Pertumbuhan iklan paling pesat terjadi pada media internet sebanyak 67 persen dibandingkan tahun 2020.9Mariska, D. (2022, Maret 15). Ad Spends in Indonesia Grew by 13% to US$18.5B, Nielsen Reports. TheIndonesia.id.https://theindonesia.suara.com/news/2022/03/14/181500/ad-spends-in-indonesia-grew-by-13-to-us185b-nielsen-reports Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat bisa menghabiskan sepuluh kali lebih banyak dana untuk R&D dibanding dengan dana periklanan nya.10Govindarajan, V., Rajgopal, S., Srivastava, A., & Wang, Y. (2019, Mei 20). R&D Spending Has Dramatically Surpassed Advertising Spending. Harvard Business Review. https://hbr.org/2019/05/rd-spending-has-dramatically-surpassed-advertising-spending Dilansir dari Nasdaq.com, Amazon merupakan perusahaan dengan investasi R&D terbesar, dengan jumlah hampir $43 miliar pada tahun 2020, atau sekitar 11 persen dari pendapatan bersihnya, diikuti beberapa perusahaan Amerika Serikat lainnya dan juga Tiongkok.11Bajpai, P. (2021, Juni 21). Which Companies Spend the Most in Research and Development (R&D)? Nasdaq. https://www.nasdaq.com/articles/which-companies-spend-the-most-in-research-and-development-rd-2021-06-21
Peningkatan kualitas dan pengiklanan produk merupakan hal yang sangat krusial bagi kemajuan perusahaan. Menggencarkan promosi memang akan memberikan keuntungan besar dalam jangka pendek. Dilansir dari Disruptive, data statistik mengenai Google Ads di tahun 2019 menunjukan bahwa bisnis kecil atau startup telah menambah revenue 3$ per 1,6$ biaya yang mereka gunakan untuk Google Ads.12Be in the Know: 2019 PPC Statistics You Should Know. (2018, December 11). Disruptive Advertising. From https://disruptiveadvertising.com/ppc/ppc-statistics/ Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam jangka panjang riset memiliki andil yang besar sebagaimana model ekonomi yang digambarkan pada model Solow-Swan yang memandang pertumbuhan ekonomi jangka panjang diraih melalui investasi untuk peningkatan teknologi.13Acemoglu, D. (2009). Introduction to modern economic growth. Princeton University Press. Dalam kasus ini, untuk peningkatan teknologi perusahaan perlu meningkatkan investasi R&D. Pengeluaran dan investasi R&D dapat menghasilkan multiplier effect yang lebih tinggi daripada pengeluaran konsumsi publik. Lebih jauh lagi, pengeluaran R&D berorientasi inovasi terarah dapat menghasilkan efek ‘super multiplier‘ yang besar, sekitar sepuluh kali lebih tinggi dari standar pengeluaran pemerintah yang tidak termasuk R&D.14Deleidi, M., & Mazzucato, M. (2019). Putting Austerity to Bed: Technical Progress, Aggregate Demand and the Supermultiplier. In Review of Political Economy (Vol. 31, Isu 3, hal. 315–335). Informa UK Limited. https://doi.org/10.1080/09538259.2019.1687146
Saat Iklan Menjadi Bumerang: A Real Case Story From Famous Brands
Februari 2021 lalu, Shopee menggunakan kisah seorang korban pelecehan melalui chat tanpa persetujuan orang tersebut dalam salah satu iklannya. Sang korban segera memprotes keras di Twitter dan dalam waktu singkat berita tersebut menjadi trending dengan lebih dari 7000 retweet. Walaupun Shopee berhasil meraih atensi masyarakat luas melalui hal viral, demand perusahaan justru dihantam dengan tagar #UninstallShopee.15Humas. (2021, Juli 5). Isu Upah dan Pekerja Demo berujung Masalah di Shopee Indonesia. Universitas Al Azhar Indonesia. https://uai.ac.id/isu-upah-dan-pekerja-demo-berujung-masalah-di-shopee-indonesia/ Permintaan maaf dari perusahaan tidak mampu meredakan suasana ketika itu.
Hal serupa juga terjadi pada Holywings. Juni 2022 kemarin, twitter sempat heboh tagar #TutupHolywingsIndonesia karena iklannya yang dianggap menistakan salah satu agama.16Tagar Tutup Holywings Indonesia Jadi Trending Topik di Twitter Buntut Promo Miras. (2022, June 26). Fin.co.id. Retrieved July 27, 2022, from https://fin.co.id/read/100930/Tagar-Tutup-Holywings-Indonesia-Jadi- Trending-Topik-di-Twitter-Buntut-Promo-Miras Sebenarnya, berbagai brand dunia seperti Dove, Dunkin Donuts, dan Sony pun pernah membuat iklan kontroversial yang akhirnya mendapat respon negatif dari masyarakat. Peristiwa-peristiwa ini bisa menjadi pembelajaran bahwa meraih atensi konsumen bukanlah satu-satunya aspek yang harus diperhatikan perusahaan. Namun, bagaimana jika iklan berhasil membujuk konsumen? Bukankah artinya iklan tersebut baik terhadap perekonomian?
Mendorong Konsumerisme Serta Artificial Demand
Iklan yang berhasil membujuk konsumen merupakan iklan yang mendorong permintaan konsumen.17Ahmed, A. (2019, Maret 27). Advertising’s Effects on Demand. Small Business – Chron.com. https://smallbusiness.chron.com/advertisings-effects-demand-11673.html Artinya, iklan seperti itu berpotensi mendorong konsumerisme masyarakat.1812.3 We Buy, Therefore We Are: Consumerism and Advertising. (n.d.). 2012 Book Archive. https://2012books.lardbucket.org/books/business-ethics/s16-03-we-buy-therefore-we-are-consum.html Salah satu sifat iklan adalah persuasif, membujuk seseorang untuk membeli produk yang diiklankan. Perlu digarisbawahi, terkadang produk tersebut sebenarnya tidak diperlukan konsumen. Alih-alih memenuhi kebutuhan, masyarakat justru menjadi konsumtif.
Dwini memberikan contoh seorang konsumen yang tertarik untuk membeli smartphone seri terbaru karena melihat iklan di billboard, walaupun sebenarnya smartphone yang ia punya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan. Inilah artificial demand atau permintaan buatan yang mendorong ekonomi menuju unsustainability. Konsumsi yang berlebihan dapat meningkatkan jumlah limbah rumah tangga dari konsumen, padahal saat ini saja limbah rumah tangga sudah tergolong cukup banyak. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah pada 2020, 37,3% dari sampah di Indonesia berasal dari aktivitas rumah tangga.19Rizaty, M. A. (2021, Juli 29). Mayoritas Sampah Nasional dari Aktivitas Rumah Tangga pada 2020 | Databoks. Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/mayoritas-sampah-nasional-dari-aktivitas-rumah-tangga-pada-2020
Banyaknya iklan terutama di era digital ini membuat informasi produk menjadi mudah dicari. Informasi tidak lagi menjadi scarce resource di era digital.20Rosenzweig, R. (2003). Scarcity or abundance? Preserving the past in a digital era. The American historical review, 108(3), 735-762. Lantas, apa yang menjadi scarce resource di zaman digital ini? Apa yang sebenarnya perusahaan cari dalam melakukan iklan saat ini?
Menuju “The Attention Economy”
“What information consumes is the attention of its recipients. Hence a wealth of information creates a poverty of attention” – Herbert A. Simon, Nobel Laureate in Economic Science
Persaingan iklan secara keseluruhan berkutat pada attention economy atau ekonomi perhatian. Di dalam attention economy, perhatian adalah sumber daya yang berharga bagi kita sebagai individu. Sumber daya ini juga dihargai oleh bisnis, kampanye politik, organisasi nirlaba, dan organisasi lain yang tak terhitung jumlahnya yang mencoba menyatukan kita untuk menghabiskan uang atau menyumbangkan waktu kita. Pada tahun 1997, Michael H. Goldhaber menulis bahwa ekonomi global sedang bergeser dari ekonomi berbasis material ke ekonomi yang didasarkan pada rentang waktu perhatian manusia.21Kane, L. (2019, Juni 30). The Attention Economy. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/attention-economy/
“At Netflix, we are competing for our customers’ time, so our competitors include Snapchat, YouTube, sleep, etc” – Reed Hastings, CEO Netflix
Perusahaan mengerti bahwa perhatian merupakan komoditas penting bagi pemasaran produk.22Mormann, M., Frydman, C., & Warren, J. (2018, Mei 1). The Economics of Attention: A Valuable Commodity That’s Hard to Measure. SMU. https://www.smu.edu/cox/Learning-Culture/Research-Papers/20180501_Mormann Oleh karena itu, agar iklan lebih mudah menarik perhatian para konsumen, sebagian perusahaan membuat iklan dengan judul clickbait, yaitu judul yang memberikan informasi secara tidak utuh sehingga membuat pembaca penasaran dan membaca iklan.23Foster, T. (n.d.). What Clickbait Teaches Us About Attracting Attention Online | Content Writing Services For Lawyers And Doctors. Foster Web Marketing. https://www.fosterwebmarketing.com/blog/what-clickbait-teaches-us-about-attracting-attention-online.cfm Akan tetapi, clickbait tentunya tidak menguntungkan konsumen itu sendiri.24Hadiyat, Y. D. (2019). Clickbait on Indonesia Online Media. di Journal Pekommas (Vol. 4, Isu 1, hal. 1). Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kominfo. https://doi.org/10.30818/jpkm.2019.2040101 Clickbait menjadi cukup meresahkan karena mulai menggeser tujuan iklan, dari yang seharusnya sebagai sumber informasi menjadi media untuk menjual produk sebanyak-banyaknya yang abai terhadap validitas informasi yang terkandung didalamnya.25Munger, K. (2018, Mei 27). How everything on the internet became clickbait. The Outline. https://theoutline.com/post/4716/how-everything-on-the-internet-became-clickbait Berangkat dari kasus tersebut, apakah attention economy berada di sisi yang baik?
Berdasarkan penelitian Andrew Oswald dan timnya dari Universitas Warwick dengan sampel lebih dari 900.000 penduduk di 27 negara berbeda di Eropa, ketika suatu negara meningkatkan pengeluaran untuk iklan, tingkat kesenangan atau kepuasan masyarakat berkurang dalam kurun waktu 1-2 tahun kedepan. Mereka menyimpulkan bahwa iklan membuat konsumen tidak bahagia.26Torres, N. (2020, Februari). Advertising Makes Us Unhappy. Harvard Business Review. https://hbr.org/2020/01/advertising-makes-us-unhappy
“They failed to take into account…man’s almost infinite appetite for distractions.” – Aldos Huxley, Brave New World Revisited.”27Huxley, A. (2010). Brave new world (11th ed.). Vintage.
Hal ini diamini oleh penjelasan Dwini bahwa attention economy, termasuk clickbait, berpotensi membuat ekonomi menjadi tidak produktif dan memicu ketidakstabilan ekonomi. Hal ini disebabkan karena attention economy berpotensi memunculkan penipuan, misinformasi, dan hoaks. Demi memperebutkan perhatian, terkadang informasi bisa terdistorsi atau bahkan tidak benar sama sekali sehingga bisa membuat konsumen merasa tertipu.28Lewis, P. (2018, Februari 2). ‘Fiction is outperforming reality’: how YouTube’s algorithm distorts truth. The Guardian. https://www.theguardian.com/technology/2018/feb/02/how-youtubes-algorithm-distorts-truth
Kesimpulan
Akhir kata, segala sesuatu yang berlebihan selalu menimbulkan dampak negatif dibelakangnya. Iklan yang awalnya bertujuan untuk memberikan informasi sekaligus menarik minat konsumen, beralih menjadi sebuah hal buruk yang menyesakan mata. Memasuki era digital dengan persaingan yang kian sengit, banyak perusahaan berlomba untuk memasang iklan tanpa mementingkan kebenaran informasi yang disampaikan. Akhirnya, muncul intrusive advertising dan clickbait untuk meraup perhatian masyarakat yang menggeser perekonomian menuju attention economy. Selain membuat konsumen tidak bahagia, banyaknya iklan juga dapat menumbuhkan konsumerisme dan artificial demand yang tidak sejalan dengan ekonomi berkelanjutan karena dapat melipatgandakan jumlah limbah rumah tangga. Selain itu, meskipun iklan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, teknologi dan inovasi memainkan peranan yang lebih penting bagi ekonomi dalam jangka panjang. Fokus perusahaan yang teralihkan ke dalam iklan dibandingkan riset dapat mengancam pertumbuhan ekonomi di jangka panjang. Meskipun iklan mendatangkan banyak konsumen baru, tetapi tabungan dan investasi R&D memainkan peran yang lebih vital dalam keuntungan jangka panjang perusahaan berdasarkan model ekonomi Solow-Swan. Sayangnya, hingga saat ini alokasi dana untuk riset dan kontribusi pihak swasta masih sangat rendah di Indonesia.
Ilustasi oleh Fadhli Rahman Jamal
Editor: Qisthan Ghazi & Muhammad Zaky Nur Fajar
Referensi
↵1 | Intan, R. (2022, Mei 18). Kenapa Banyak Merek Indonesia Pakai BA Artis Korea? Tirto.ID. https://amp.tirto.id/kenapa-banyak-merek-indonesia-pakai-ba-artis-korea-grTZ |
---|---|
↵2 | Taurusianingsih, D. N. (2016, Mei 14). Game Theory 1 – Dosen Perbanas. Dosen Perbanas. https://dosen.perbanas.id/game-theory-1/ |
↵3 | Aaker, D. A., & Biel, A. L. (1993). Brand equity & advertising: Advertising’s role in building strong brands. Hillsdale, N.J: Lawrence Erlbaum Associates. |
↵4 | The Decision Lab. (n.d.). Bounded Rationality. The Decision Lab. Retrieved July 25, 2022, from https://thedecisionlab.com/biases/bounded-rationality |
↵5 | Oberlo. (n.d.). How Much Time Does the Average Person Spend on the Internet? Oberlo. https://id.oberlo.com/statistics/how-much-time-does-the-average-person-spend-on-the-internet |
↵6 | Benes, R. (2018, April 10). People Believe Ads Are Becoming More Intrusive. Insider Intelligence. https://www.insiderintelligence.com/content/people-believe-ads-are-becoming-more-intrusive |
↵7 | Tim Publikasi Katadata. (2019, April 15). Anggaran Minim, Pengelolaan Dana Riset Belum Maksimal – Infografik Katadata.co.id. Katadata. https://katadata.co.id/timpublikasikatadata/infografik/5e9a51a6c6178/anggaran-minim-pengelolaan-dana-riset-belum-maksimal |
↵8 | https://data.worldbank.org/indicator/IC.FRM.RSDV.ZS?locations=ID |
↵9 | Mariska, D. (2022, Maret 15). Ad Spends in Indonesia Grew by 13% to US$18.5B, Nielsen Reports. TheIndonesia.id.https://theindonesia.suara.com/news/2022/03/14/181500/ad-spends-in-indonesia-grew-by-13-to-us185b-nielsen-reports |
↵10 | Govindarajan, V., Rajgopal, S., Srivastava, A., & Wang, Y. (2019, Mei 20). R&D Spending Has Dramatically Surpassed Advertising Spending. Harvard Business Review. https://hbr.org/2019/05/rd-spending-has-dramatically-surpassed-advertising-spending |
↵11 | Bajpai, P. (2021, Juni 21). Which Companies Spend the Most in Research and Development (R&D)? Nasdaq. https://www.nasdaq.com/articles/which-companies-spend-the-most-in-research-and-development-rd-2021-06-21 |
↵12 | Be in the Know: 2019 PPC Statistics You Should Know. (2018, December 11). Disruptive Advertising. From https://disruptiveadvertising.com/ppc/ppc-statistics/ |
↵13 | Acemoglu, D. (2009). Introduction to modern economic growth. Princeton University Press. |
↵14 | Deleidi, M., & Mazzucato, M. (2019). Putting Austerity to Bed: Technical Progress, Aggregate Demand and the Supermultiplier. In Review of Political Economy (Vol. 31, Isu 3, hal. 315–335). Informa UK Limited. https://doi.org/10.1080/09538259.2019.1687146 |
↵15 | Humas. (2021, Juli 5). Isu Upah dan Pekerja Demo berujung Masalah di Shopee Indonesia. Universitas Al Azhar Indonesia. https://uai.ac.id/isu-upah-dan-pekerja-demo-berujung-masalah-di-shopee-indonesia/ |
↵16 | Tagar Tutup Holywings Indonesia Jadi Trending Topik di Twitter Buntut Promo Miras. (2022, June 26). Fin.co.id. Retrieved July 27, 2022, from https://fin.co.id/read/100930/Tagar-Tutup-Holywings-Indonesia-Jadi- Trending-Topik-di-Twitter-Buntut-Promo-Miras |
↵17 | Ahmed, A. (2019, Maret 27). Advertising’s Effects on Demand. Small Business – Chron.com. https://smallbusiness.chron.com/advertisings-effects-demand-11673.html |
↵18 | 12.3 We Buy, Therefore We Are: Consumerism and Advertising. (n.d.). 2012 Book Archive. https://2012books.lardbucket.org/books/business-ethics/s16-03-we-buy-therefore-we-are-consum.html |
↵19 | Rizaty, M. A. (2021, Juli 29). Mayoritas Sampah Nasional dari Aktivitas Rumah Tangga pada 2020 | Databoks. Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/mayoritas-sampah-nasional-dari-aktivitas-rumah-tangga-pada-2020 |
↵20 | Rosenzweig, R. (2003). Scarcity or abundance? Preserving the past in a digital era. The American historical review, 108(3), 735-762. |
↵21 | Kane, L. (2019, Juni 30). The Attention Economy. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/attention-economy/ |
↵22 | Mormann, M., Frydman, C., & Warren, J. (2018, Mei 1). The Economics of Attention: A Valuable Commodity That’s Hard to Measure. SMU. https://www.smu.edu/cox/Learning-Culture/Research-Papers/20180501_Mormann |
↵23 | Foster, T. (n.d.). What Clickbait Teaches Us About Attracting Attention Online | Content Writing Services For Lawyers And Doctors. Foster Web Marketing. https://www.fosterwebmarketing.com/blog/what-clickbait-teaches-us-about-attracting-attention-online.cfm |
↵24 | Hadiyat, Y. D. (2019). Clickbait on Indonesia Online Media. di Journal Pekommas (Vol. 4, Isu 1, hal. 1). Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kominfo. https://doi.org/10.30818/jpkm.2019.2040101 |
↵25 | Munger, K. (2018, Mei 27). How everything on the internet became clickbait. The Outline. https://theoutline.com/post/4716/how-everything-on-the-internet-became-clickbait |
↵26 | Torres, N. (2020, Februari). Advertising Makes Us Unhappy. Harvard Business Review. https://hbr.org/2020/01/advertising-makes-us-unhappy |
↵27 | Huxley, A. (2010). Brave new world (11th ed.). Vintage. |
↵28 | Lewis, P. (2018, Februari 2). ‘Fiction is outperforming reality’: how YouTube’s algorithm distorts truth. The Guardian. https://www.theguardian.com/technology/2018/feb/02/how-youtubes-algorithm-distorts-truth |
Discussion about this post