Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
Home Mild Report

Matinya Kepakaran (Bukan) sebagai Fenomena Masa Kini

by Farhan Aditya Ramadhan & Muhammad Rafly Fadhly Putra
31 Mei 2022
in Mild Report

Akhir-akhir ini, ”berlagak tahu” menjadi aktivitas yang lazim ditemui di internet, khususnya di media sosial. Bentuk komunikasi modern memungkinkan berbagai pendapat, bahkan yang mengandung kekeliruan, menyebar lebih cepat dari sebelumnya. Hal ini memudahkan orang yang berpikiran sama untuk terhubung dan membentuk ruang gema di dunia maya.

Manusia seolah-olah berada pada zaman matinya kepakaran. Di zaman ini, suatu kebenaran dikaburkan oleh pembenaran atas informasi yang diragukan validasinya.  Pembenaran ini disebarluaskan oleh berbagai pihak, terutama oleh Influencer, sehingga menghasilkan kebenaran semu di masyarakat. Meresponi hal ini, masyarakat mulai tampaknya menyediakan “lahan subur” bagi influencer dalam menyebarluaskan hal tersebut. Influencer berubah menjadi primadona dalam sumber kebenaran, seakan-akan menggantikan peran expert dalam memonopoli kebenaran.

Muncul pertanyaan, mengapa ini bisa terjadi? Sebenarnya siapa yang dapat disebut sebagai pakar? Mengapa masyarakat tampaknya cenderung memilih mempercayai influencer ketimbang expert? Apakah fenomena berlagak tahu merupakan hal yang baru? Benarkah masyarakat dan internet menjadi akar dari fenomena tersebut?

SIAPA ITU PAKAR?

Secara mendasar, pertanyaan “siapa itu pakar?” dapat dijawab menggunakan dua pertimbangan, pengetahuan dan keterampilan. Namun, kemungkinan pertimbangan lain juga muncul ketika mengaitkan kepakaran dengan “sosial”. Christian Quast1Goldman, A. I. (2016). Expertise. Topoi, 37(1), 3. https://doi.org/10.1007/s11245-016-9410-3‌ mendiskusikan fungsi keahlian dan menghubungkannya dengan “sosial” sebagai berikut,

”Fungsi konseptual (titik, peran) keahlian adalah untuk secara substansial meningkatkan penyebaran sosial dari sumber daya agen yang tersedia untuk tujuan yang relevan bagi klien …”

Goldman2Ibid., hlm. 4 menjelaskan setidaknya terdapat beberapa premis yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan kepakaran seseorang, yaitu:

  1. Pakar merupakan ahli dalam suatu bidang jika dan hanya jika ia memiliki lebih banyak keyakinan benar daripada keyakinan salah dalam proposisi bidang keahliannya dibanding kebanyakan orang.
  2. Pakar merupakan ahli dalam suatu bidang jika dan hanya jika jumlah mutlak dari keyakinan sejati yang dimiliki pakar tentang proposisi pada bidang keahliannya sangat besar.

Premis A menyiratkan bahwa keahlian adalah tentang komparasi keadaan, artinya kepakaran ditentukan dari perbandingannya dengan lingkungan sekitar. Berbeda dengan pandangan Quast yang menyatakan bahwa keahlian adalah tentang “meningkatkan penyebaran sosial”. Maka, hal tersebut tidak berlaku pada premis ini karena kepakaran telah ditentukan dari perbandingannya dengan lingkungan sekitar. Sementara itu, premis B merupakan pelengkap premis A. Premis B menyatakan bahwa jumlah mutlak atau ambang kondisi keyakinan benar harus ditentukan dalam menentukan keahlian seseorang, sehingga bukan komparatif semata.

Beberapa catatan terkait premis tersebut adalah sebagai berikut:

  • Kepada siapa seluruh perbandingan tersebut harus dilakukan?
  • Apakah perbandingan tersebut melintasi seluruh masa, mengingat perkembangan keilmuan menyebabkan banyaknya keilmuan pada masa lalu direvisi dan dianggap tidak relevan?

Mengingat terdapat konteks yang selalu melekat pada tiap kriteria yang berbeda, tampaknya masuk akal bahwa “kepakaran” sangat sulit didefinisikan secara solid. Namun, menjustifikasi tidak ada pakar sama sekali di dunia ini pun tidak dibenarkan karena beberapa alasan. Pertama, sebagian besar masalahnya mungkin terletak pada kegagalan masyarakat untuk menghasilkan dan memberdayakan lebih banyak pakar yang benar-benar ahli—yaitu spesialis yang akurat untuk menentang pakar yang kurang kompeten. Kedua, orang awam mungkin harus memperhatikan faktor-faktor seperti antusiasme atau kecerdikan berbicara, yang jauh dari indikator sempurna.

RETORIKA PARAH, PAKAR GOYAH

Dalam diskursus mengenai kepakaran, kecerdikan berbicara atau retorika juga salah satu hal yang perlu dipertimbangkan. Salah satu retorika kuno, yaitu retorika Aristoteles, menjelaskan bahwa segitiga retoris—ethos (karakter pembicara), pathos (sifat audiens) dan logos (pesan)—merupakan unsur  yang menentukan apakah seorang komunikator memiliki kualitas berbicara yang efektif.3Grant, A. J. (2019, May). Ethos, pathos and logos: rhetorical fixes for an old problem: Fake news. In InSITE 2019: Informing Science+ IT Education Conferences: Jerusalem (pp. 81). Wayne Booth4dalam Grant, A. J. (2019, May). Ethos, pathos and logos: rhetorical fixes for an old problem: Fake news. In InSITE 2019: Informing Science+ IT Education Conferences: Jerusalem (pp. 82). berpendapat bahwa tulisan dan ucapan yang “baik” harus mencakup penggunaan segitiga retoris tersebut. Adapun “baik” di sini dimaknai sebagai “keseimbangan” antara ethos, pathos, dan logos.

Booth menyatakan terdapat tiga ketidakseimbangan yang umum terjadi dalam beretorika. Pertama, ethos yang berlebih sehingga terlalu banyak daya tarik yang dilakukan dalam beretorika. Booth menyebutnya sebagai “sikap penghibur,” yang ia definisikan sebagai kesediaan untuk mengorbankan substansi untuk kepribadian dan pesona. Kedua, logos yang berlebih, sehingga terlalu banyak usaha yang diberikan pada suatu konten. Booth menyebutnya sebagai sikap “sombong”, yang terdiri dari “pengabaian dan peremehan hubungan pribadi pembicara dan penonton, serta sepenuhnya bergantung pada pernyataan tentang suatu subjek. Ketiga, pathos yang berlebih, sehingga terlalu menarik bagi audiens. Hal ini merupakan  “sikap pengiklan” yang berasal dari tindakan meremehkan argumen dan terlalu menitikberatkan usaha untuk  memenangkan dan mempengaruhi orang.5Ibid.

Awal mula  goyahnya kepakaran berasal dari ketidakseimbangan segitiga retoris yang kerap disebabkan oleh influencer. Personal branding—ethos—yang dibangun influencer pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan followers dari kelompok demografi tertentu, yang akan mengalami pengerucutan sepanjang perjalanan karier influencer. Pengerucutan ini menyebabkan berbagai bias dapat terjadi. Selain itu, bias diperparah dengan adanya intimasi—pathos yang berlebih—antara influencer dan followers. Intimasi para pengikut dengan sang influencer (pathos) dan karakter influencer yang dicintai para pengikutnya (ethos) menyebabkan opini influencer (logos) yang belum jelas kredibilitasnya dapat tetap diterima pengikutnya dan menyebar di arus utama media sosial. Hal ini menjelaskan mengapa permasalahan sering kali terjadi ketika influencer memanfaatkan popularitasnya untuk terlibat dalam suatu isu populer, yang bahkan secara ilmiah belum ditemukan titik terangnya.

Lalu, adakah unsur logos yang merupakan bagian dari “segitiga retoris” pada influencer? “Ada” atau “tidak ada” bukanlah jawaban yang diharapkan. Perlu dipahami bahwa influencer sama seperti pekerjaan lainnya, memiliki spesifikasi tertentu yang mungkin tidak terlalu ditekankan pada pekerjaan itu sendiri.

Apakah dengan demikian opini influencer selamanya perlu ditahan, dan kita secara masif beralih kepada pendapat para pakar? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mempertanyakan kembali eksistensi pakar sebagai sumber kredibel penyelesaian masalah. Adanya kecenderungan pakar untuk terlalu menitikberatkan logos pada akhirnya tetap merupakan masalah dalam beretorika. Hal ini kurang baik karena retorika akan bernuansa “sombong” sehingga hubungan pakar dengan masyarakat awam terabaikan. Pada akhirnya, retorika akan sepenuhnya bergantung pada pernyataan tentang suatu subjek. Meski tak bisa digeneralisasi, perspektif lain dari masalah matinya kepakaran ini nyata adanya.

POSTMODERNISME DAN MATINYA KEPAKARAN

Perspektif lain yang dapat dikaji dalam membahas matinya kepakaran adalah postmodernisme. Postmodernisme merupakan gerakan yang berkembang kurang lebih selama empat dekade ke belakang. Gerakan ini dicirikan sebagai bentuk tatanan sosial di mana media elektronik memainkan peran penting, kode simbolik meresap, dan identitas sosial terfragmentasi.6Preda, A. (2015). Postmodernism in Sociology. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 677. https://doi.org/10.1016/b978-0-08-097086-8.32111-0

Postmodernisme, sebagai kritik terhadap modernisme, mengangkat serangkaian pertanyaan tentang klaim validitas teori ilmiah, sifat kebenaran ilmiah, dan status subjek yang memiliki pengetahuan. Terdapat berbagai alasan dari hal tersebut, yaitu: semua pengetahuan adalah kontekstual dan lokal; klaim validitas dari setiap teori ilmiah tidak dapat ditemukan dalam beberapa kriteria abstrak dan universal, tetapi lebih merupakan hasil dari konsensus yang dinegosiasikan atau perebutan kekuasaan. Sebagai konsekuensinya, subjek yang memiliki pengetahuan tidak menetapkan kriteria universal untuk memastikan validitas dan kebenaran pengetahuannya.

Dari dua perspektif—retorika dan postmodernisme—tersebut, pandangan audiens terhadap isu inilah yang ditekankan. Fenomena “matinya kepakaran” dicerna sebagai perluasan bias yang didukung oleh kondisi ruang dan waktu. Selanjutnya, bagaimana membuat argumen yang benar menjadi pertanyaan. Di sinilah, peninjauan asal-usul kebiasaan tersebut dipelajari.

HOMO HEURISTICUS

Bias kognitif adalah sekumpulan kesalahan berpikir yang secara alamiah ada dalam otak manusia. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 menunjukkan bahwa adaptasi bias kognitif merupakan adaptasi otak manusia yang terbentuk akibat selection pressure yang mementingkan cara berpikir  dengan kriteria tertentu selama ratusan ribu tahun lalu.7Haselton, M. G., Nettle, D., & Murray, D. R. (2016). The evolution of cognitive bias. In D. M.  Buss (Ed.), The handbook of evolutionary psychology: Integrations (pp. 968–987

Dengan kata lain, bias kognitif terjadi karena terdapat beberapa penyesuaian di otak. Pertama, otak menghindari proses berpikir kompleks dan panjang dalam memahami dan menilai informasi (heuristics); kedua, ketidakmampuan otak menyelesaikan suatu masalah akibat otak yang tidak terdesain sedemikian rupa (artifacts); ketiga, pola respons yang bias terhadap masalah adaptif menghasilkan biaya kesalahan yang lebih rendah daripada pola respons yang tidak bias (error management biases).

“Despite widespread claims to the contrary, the human mind is not worse than rational … but may often be better than rational” 

-Cosmides and Tooby

Makhluk hidup terus berhadapan dengan isu optimisasi dalam melakukan tradeoffs antara growth, survival, dan reproduction; serta cenderung mengupayakan ketiga hal tersebut.8Haselton, M. G., Nettle, D., & Murray, D. R. (2016). The evolution of cognitive bias. In D. M.  Buss (Ed.), The handbook of evolutionary psychology: Integrations (pp. 968–987) Tradeoffs ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya energi yang tersedia, sementara otak membutuhkan energi yang banyak. Semakin panjang dan kompleks proses kerja otak, semakin tinggi energi yang dibutuhkan.9Raichle, Marcus E, and Debra A Gusnard. “Appraising the brain’s energy budget.” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America vol. 99,16 (2002): 10237-9. doi:10.1073/pnas.172399499 Jika suatu makhluk hidup memilih berpikir yang panjang dan kompleks demi keputusan yang lebih akurat, maka kebutuhannya akan energi akan meningkat. Dengan kata lain kebutuhannya akan makanan menjadi berkali-kali lebih banyak, sementara sumber dayanya tetap terbatas. Bertambahnya kebutuhan di tengah keterbatasan sumber daya membuat makhluk hidup yang  memilih berpikir panjang tersebut semakin mungkin tereliminasi.10Gregory, T.R. Understanding Natural Selection: Essential Concepts and Common Misconceptions. Evo Edu Outreach 2, 156–175 (2009). https://doi.org/10.1007/s12052-009-0128-1 Melakukan bias kognitif memungkinkan manusia untuk melewati proses yang efisien dan optimal dalam pemanfaatan energi tersebut. Sayangnya, bias kognitif bisa membuatnya  menjadi berlagak tahu dan suka menerka-nerka.

Dalam proses berpikir, memilih, serta membuat keputusan, manusia seringkali berakhir dengan false positive atau false negative.11Haselton, et. al., Loc.Cit. Melakukan false negative (mengira sesuatu salah padahal itu benar) lebih merugikan dibandingkan melakukan false positive (mengira sesuatu benar padahal salah). Perhatikan skenario berikut. Ingat, semua makhluk hidup mempunyai kecenderungan untuk mengupayakan keberlangsungan hidup dan juga keturunannya.

Anda adalah seorang pemburu pengumpul dan sedang mencari makanan di rumput tinggi. Suatu saat, rumput itu bergoyang. Apakah itu disebabkan oleh predator atau hanya angin berlalu? Jika ternyata itu adalah hanya angin berlalu, tetapi Anda menebaknya sebagai harimau dan langsung menjauhi lokasi tersebut, Anda selamat! Kerugian yang ditimbulkan sedikit, Anda tidak mati sehingga dapat melakukan proses reproduksi untuk seterusnya. Akan tetapi, jika Anda mengira itu adalah hanya angin berlalu padahal ada predator sehingga tidak berlari, bahaya serius sedang mengintai dan Anda berkemungkinan besar untuk mati, sehingga Anda tidak dapat melakukan proses reproduksi dan menurunkan gen.

Dari contoh tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa melakukan false positive (mengira ada predator padahal sebenarnya hanya angin berlalu) mempunyai biaya yang lebih sedikit. Oleh karena itu, natural selection akan lebih “berpihak” pada false positive. Hal ini berlangsung selama jutaan tahun dan berfungsi bukan sebagai pencari kebenaran, tetapi untuk mencari pembenaran yang berujung keamanan.

Sifat yang suka menerka-nerka ini telah meresap dan menyebar sepanjang sejarah manusia, mulai dari masa pemburu pengumpul hingga masa modern. Walaupun lingkungan manusia berubah, bagian yang menjalankan emosi tersebut tidak mengalami banyak perubahan.12Nicholson, N. “How hardwired is human behavior?.” Harvard business review vol. 76,4 (1998): 134-47.

“The real problem of humanity is the following: We have Paleolithic emotions, medieval institutions and godlike technology,” 

-Edward O. Wilson

KESIMPULAN

Fenomena “matinya kepakaran” dapat diamati dengan dua perspektif. Postmodernisme menjadi pemantik awal fenomena matinya kepakaran yang menyiratkan kekaburan makna pakar. Media sosial menjadi salah satu “gudang penyimpanan orang berlagak tahu” yang memainkan retorika tidak seimbang sebagai “jurus utama”. Perkara ragu dan jarak terhadap kepakaran itu sendiri tampaknya menjadi pendorong utama masyarakat awam pada akhirnya mengalihkan kepercayaannya kepada influencer.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sosial media memperkenalkan semacam dinamika baru, seperti bagaimana “kebenaran” dan “kesalahan” menyebar, bagaimana suatu individu mendapati dirinya untuk memperoleh pengetahuan yang invalid, dan memperbolehkan individu-individu untuk berkonspirasi menyebabkan kekacauan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti masa kini sangat berbeda dari masa lalu. Sepanjang sejarah, individu berlagak tahu sudah umum. Manusia menyelamatkan, menghancurkan, melumasi konflik pada tiap peradaban kecil hingga besar melalui jalan apapun yang tersedia.13Cosmides, Leda, and John Tooby. “Better than Rational: Evolutionary Psychology and the Invisible Hand.” The American Economic Review, vol. 84, no. 2, 1994, pp. 327–32. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/2117853. Accessed 22 May 2022. Seperti yang sudah kita lihat, The “age of mr. know-it-all” sudah bertahan ribuan tahun. Orang-orang berlagak tahu selalu menjadi bagian dari sejarah dan kondisi manusia,  begitupun seterusnya.

Pada akhirnya, kendati memilih sesuatu yang valid, kita cenderung memilih yang  menurut kita benar. Sifat menebak-nebak selalu bersama kita, didorong oleh dorongan evolusi untuk survive dan berfungsi pada masanya. Tetapi, bagaimana hal tersebut akan bekerja pada kita sekarang?.

 

Editor: Gabriel Fiorentino Setiadin, Muhammad Zaky Nur Fajar, Alfina Nur Afriani, Jeni Rima Puspita

Referensi[+]

Referensi
↵1 Goldman, A. I. (2016). Expertise. Topoi, 37(1), 3. https://doi.org/10.1007/s11245-016-9410-3‌
↵2 Ibid., hlm. 4
↵3 Grant, A. J. (2019, May). Ethos, pathos and logos: rhetorical fixes for an old problem: Fake news. In InSITE 2019: Informing Science+ IT Education Conferences: Jerusalem (pp. 81).
↵4 dalam Grant, A. J. (2019, May). Ethos, pathos and logos: rhetorical fixes for an old problem: Fake news. In InSITE 2019: Informing Science+ IT Education Conferences: Jerusalem (pp. 82).
↵5 Ibid.
↵6 Preda, A. (2015). Postmodernism in Sociology. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 677. https://doi.org/10.1016/b978-0-08-097086-8.32111-0
↵7, ↵8 Haselton, M. G., Nettle, D., & Murray, D. R. (2016). The evolution of cognitive bias. In D. M.  Buss (Ed.), The handbook of evolutionary psychology: Integrations (pp. 968–987
↵9 Raichle, Marcus E, and Debra A Gusnard. “Appraising the brain’s energy budget.” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America vol. 99,16 (2002): 10237-9. doi:10.1073/pnas.172399499
↵10 Gregory, T.R. Understanding Natural Selection: Essential Concepts and Common Misconceptions. Evo Edu Outreach 2, 156–175 (2009). https://doi.org/10.1007/s12052-009-0128-1
↵11 Haselton, et. al., Loc.Cit.
↵12 Nicholson, N. “How hardwired is human behavior?.” Harvard business review vol. 76,4 (1998): 134-47.
↵13 Cosmides, Leda, and John Tooby. “Better than Rational: Evolutionary Psychology and the Invisible Hand.” The American Economic Review, vol. 84, no. 2, 1994, pp. 327–32. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/2117853. Accessed 22 May 2022.
Tweet147

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    6369 shares
    Share 2548 Tweet 1592
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    6220 shares
    Share 2488 Tweet 1555
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    3826 shares
    Share 1530 Tweet 957
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3597 shares
    Share 1439 Tweet 899
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3233 shares
    Share 1293 Tweet 808
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT