Pada bulan April lalu, media sosial diramaikan dengan kampanye “Hapus Email, Selamatkan Bumi”. Kampanye tersebut mengajak netizen secara beramai-ramai untuk menghapus email yang jarang dibaca atau digunakan untuk mengurangi emisi karbon. Kampanye yang tergabung dalam tagar #LetEarthBreathe ini menghadapi respon yang sinis dari beberapa netizen Indonesia, termasuk salah satu social media strategist sekaligus youtuber kenamaan. Mereka meragukan signifikansi gerakan tersebut dalam mengurangi global warming 1https://twitter.com/Eno_Bening/status/1515612326371930113. Untuk kesekian kalinya, kemunculan netizen yang meremehkan kampanye lingkungan justru menghambat semangat partisipasi masyarakat secara lebih luas dalam gerakan lingkungan.
Hambatan tersebut muncul karena menyebarnya anggapan bahwa menghapus email yang tidak digunakan hanyalah langkah kecil tak berdampak. Netizen membandingkan gerakan tersebut dengan gerakan melestarikan lingkungan lainnya yang menurut mereka lebih berdampak besar, seperti menghapus konten di sosial media.2https://twitter.com/iamzul__/status/1514867371822837761 Apakah mendiskreditkan hal kecil untuk sesuatu yang besar adalah hal yang benar? Mengapa sikap pesimisme ini bisa muncul dan membumi? Apa dampak nyata yang timbul dari sikap pesimisme tersebut? Gerakan Lingkungan sebagai Evolusi Pemikiran
Kesadaran lingkungan sejatinya sudah eksis sejak lima ribu tahun lalu. Pada mulanya, para pemuka agama saling mengajak untuk menghormati alam dengan cara yang beragam, mulai dari kidung hingga peringatan terang-terangan. Ketika itu, beberapa peradaban yang tersebar di berbagai belahan bumi mulai mengelola sanitasi dan tanah pertanian, mulai dari masyarakat Indus hingga Peru. Advokasi lingkungan pertama di muka bumi berawal dari pengorbanan nyawa pemeluk Hindu Bishnoi di Khejarli yang dibunuh oleh Maharaja Jodhpur karena melindungi hutan.
Advokasi untuk melestarikan lingkungan terus berlanjut hingga terbitnya hak-hak lingkungan modern pada abad ke-18, seperti petisi Benjamin Franklin mengenai pengolahan limbah dan penyamakan kulit, An Essay on the Principle of Population-nya Thomas Maltus, dan gagasan efek rumah kaca yang digagas oleh Fourier3https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/2577/sejarah-singkat-mengenai-gerakan-perlindungan-lingkungan-hidup/. Pada 1971, NGO lingkungan tersohor di kancah internasional, Greenpeace, didirikan di Kanada4https://www.greenpeace.org/indonesia/sejarah-greenpeace/#:~:text=Di%20tahun%201971%2C%20motivasi%20dan,setiap%20orang%20dapat%20melakukan%20perubahaan.. Mulai saat itu, aktivitas advokasi lingkungan terus berkembang hingga awal abad ke-21.
Gerakan lingkungan kembali menjadi perhatian masyarakat modern ketika Greta Thunberg memulai protes “School Strike for Climate” di depan parlemen Swedia dan aksinya menyeberang Samudera Atlantik untuk menyampaikan pidatonya di New York5https://www.bbc.com/news/world-europe-49918719. Sejatinya, gerakan-gerakan tersebut merupakan respon dari tindakan merusak lingkungan yang berpotensi membahayakan tempat tinggal setiap manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap elemen masyarakat memiliki tanggung jawab atas penjaminan hak lingkungan. Namun, walaupun serangkaian aksi lingkungan telah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu, gerakan lingkungan dalam skala kecil masih mendapat diskriminasi hingga saat ini.
Survivorship Bias dan Fallacy of Composition Butakan Penilaian Masyarakat
Pandangan masyarakat yang meragukan gerakan lingkungan dapat dijelaskan melalui konsep survivorship bias (bias bertahan hidup), yaitu pemikiran tanpa melalui pertimbangan proporsional atau menyeluruh6https://brilliant.org/wiki/survivorship-bias/. Bias ini mengaburkan penilaian seseorang terhadap sebuah permasalahan akibat terlalu fokus terhadap satu hal atau proses saja tanpa mempertimbangkan hal lain. Dari tangkapan layar sebelumnya, survivorship bias dibuktikan dengan kaburnya pandangan netizen bahwa keberhasilan dalam menyelamatkan lingkungan harus melalui tindakan yang langsung terlihat besar dampaknya seperti transisi energi dan reboisasi. Kesalahan logika ini mendorong pesimisme dalam opini publik dan mengesampingkan manfaat yang sebenarnya dapat diberikan gerakan kecil.
Selain itu, terdapat istilah fallacy of composition yang menjelaskan mengenai perilaku manusia yang seringkali menggeneralisasi suatu hal secara keseluruhan hanya berdasar pada sebagian fakta kecil7https://ses.edu/logical-fallacies-101-fallacy-of-composition/. Misalnya, seseorang menyimpulkan bahwa motor itu terbuat dari karet hanya karena ia melihat ban motor tersebut terbuat dari karet. Perilaku ini mengakibatkan generalisasi sepihak seolah-olah sesuatu yang dilakukan dalam skala kecil akan menghasilkan dampak yang kecil pula jika dilakukan skala yang lebih besar, meski belum tentu demikian.
Dalam kasus climate action, membuang satu sampah bungkus permen sembarangan memang tidak menimbulkan dampak yang besar. Namun, berbeda jika ada satu juta orang yang membuang sampah bungkus permen, dampak yang lebih besar akan timbul dan memunculkan masalah lingkungan yang lebih serius. Sama hal nya dengan gerakan menghapus email. Jika hanya satu orang saja yang melakukannya memang tidak akan begitu signifikan dampaknya, tetapi jika banyak orang secara kolektif melakukannya maka sebenarnya dampak yang ditimbulkan akan jauh lebih signifikan. Gerakan kecil yang dilakukan secara kolektif akan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi lingkungan.
Gerakan Kecil Tidak Berdampak Kecil
Jika satu orang menghapus satu email, memang tidak memberikan dampak signifikan karena hanya akan berpengaruh kepada pengurangan rata-rata penyimpanan 75 kb per email saja. Namun, terdapat 2,3 miliar pengguna email di dunia sehingga jika satu orang saja menghapus 10 email, maka dapat mencegah penyimpanan data sebesar 1,725,000 GB, setara dengan 55.2 juta kWh yang dapat digunakan untuk menghidupkan 61.000 rumah8https://villagepipol.com/can-we-really-save-the-earth-by-deleting-emails/#:~:text=Conclusion%3A,it%20reduces%20electric%20energy%20consumption.. Kesalahan berpikir seperti ini sangat berbahaya karena akan menyebabkan seseorang menganggap remeh tindakan kecil yang pada akhirnya gagal membuat dampak kolektif dari gerakan kecil tersebut.
Sebagai contoh, influencer dan banyak netizen yang telah disebutkan sebelumnya mengajak masyarakat untuk menghapus konten media sosial yang dianggapnya jauh lebih berdampak, tetapi dengan cara yang tidak bijak seolah merendahkan gerakan hapus email yang sedang hangat diperbincangkan. Apakah narasi bernada sinis tersebut mampu membuat masyarakat tergerak untuk menghapus konten media sosial? Tidak. Alih-alih menghapus konten di media sosial, banyak masyarakat menjadi bimbang untuk menghapus email. Masyarakat gusar untuk melakukan gerakan lingkungan kecil karena takut dicemooh, tetapi juga tidak memiliki kemampuan dan kuasa lebih untuk melakukan gerakan lingkungan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya mereka “tidak berbuat apa-apa”. Bukankah foto atau video di media sosial lebih bernilai dibanding email spam yang tidak pernah kita buka? Jika tidak mampu untuk merealisasikan aksi yang lebih besar, dukungan terhadap aksi kecil lebih bermanfaat dibanding membanding-bandingkan dampaknya, bukan?
Keberhasilan dalam perbaikan lingkungan melibatkan berbagai tingkatan, dari aktivitas individual seperti hapus email hingga yang berskala besar seperti transisi energi. Jika setiap orang enggan melakukan hal kecil yang mudah dilakukan, tentu bertindak secara kolektif yang lebih mengorbankan tenaga dalam mengurangi kerusakan lingkungan akan jauh lebih sulit.
Membuka Mata Untuk Lingkungan
Gerakan kecil untuk melestarikan lingkungan akan berdampak besar jika dilakukan secara kolektif. Namun, masyarakat terkadang meremehkan gerakan-gerakan kecil karena terpapar survivorship bias dan fallacy of composition. Dari kasus “Hapus Email, Selamatkan Bumi” dapat terlihat bahwa masih banyak masyarakat yang terpapar dua kesalahan berpikir tersebut. Jika dibuktikan secara objektif tanpa kesalahan berpikir, kegiatan kecil seperti menghapus email, tidak membuang bungkus permen, atau mengurangi sendok plastik akan semakin memberikan dampak positif bagi keberlangsungan lingkungan di masa depan.
Editor: Alifia Yumna Mumtazah, Muhammad Zaky Nur Fajar, Alfina Nur Afriani, Gabriel Fiorentino Setiadin
Ilustrator: Ahmad Adiyaat
Referensi
↵1 | https://twitter.com/Eno_Bening/status/1515612326371930113 |
---|---|
↵2 | https://twitter.com/iamzul__/status/1514867371822837761 |
↵3 | https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/2577/sejarah-singkat-mengenai-gerakan-perlindungan-lingkungan-hidup/ |
↵4 | https://www.greenpeace.org/indonesia/sejarah-greenpeace/#:~:text=Di%20tahun%201971%2C%20motivasi%20dan,setiap%20orang%20dapat%20melakukan%20perubahaan. |
↵5 | https://www.bbc.com/news/world-europe-49918719 |
↵6 | https://brilliant.org/wiki/survivorship-bias/ |
↵7 | https://ses.edu/logical-fallacies-101-fallacy-of-composition/ |
↵8 | https://villagepipol.com/can-we-really-save-the-earth-by-deleting-emails/#:~:text=Conclusion%3A,it%20reduces%20electric%20energy%20consumption. |
Discussion about this post