Wajar bagi publik untuk memahami makna sedekah yang demikian sebagai interpretasi sumber primer—Al-Qur’an dan hadis—karena pendakwah berlabel “pemuka agama”.
Narasi berbuat baik tampaknya akan selalu berkembang dengan cara-cara baru dalam mendefinisikan maupun memaknai tindakan. Cerita tentang bagaimana seorang terpandang memotivasi pengikutnya dengan terus-menerus membawa nama Tuhan, mengkuantifikasi makna ajaran-Nya, dan terkadang memastikan karunia-Nya kepada pengikut yang kebingungan, menjadi fenomena yang sangat kekinian dan materialistik. Fenomena yang diangkat seorang terpandang muslim ini akhirnya membuahkan perbincangan baru terkait makna berbuat baik, khususnya sedekah.
Bagi umat Islam, tergantinya sesuatu atas sedekah yang diberikan adalah hal yang pasti (Q.S. Saba’: 39), balasan atau sesuatu yang diganti pun dijanjikan berlipat ganda (QS. Al-Baqarah: 261). Namun, motif bersedekah merupakan hal krusial dalam menentukan apakah segala balasan baik tersebut dapat ditunaikan (Q.S. Al-Baqarah: 264). Motif yang diterima pun spesifik, yaitu perkataan Tuhan semata. Dari sini, muncul pertanyaan tentang bentuk sedekah yang diterima Tuhan, dan dalam hal ini, sedekah benar-benar bermakna luas, mulai dari harta kekayaan hingga senyuman (H.R. at-Tirmidzi: 1956).
Fenomena materialistik muncul, singkatnya karena kuantifikasi yang dilakukan sudah terlalu jauh. Memastikan segalanya dalam satu kalimat; satu waktu disambut reaksi yang sesuai rencana. Sebagian orang mengatakan hal ini sedikit mengada-ada, tetapi keyakinan jemaah benar-benar mendasar. Konsep “tawakal” menjadi basis dari reaksi jemaah terhadap lipat ganda material tersebut. Meyakini bahwa Tuhan akan melakukan “sesuatu” sembari tetap meragu menjadi “jalan pintas”. Namun, tawakal sendiri tidaklah secara langsung bermakna demikian. Beberapa komponen yang dapat digarisbawahi tentang tawakal, menurut Ibnu Qayyim, di antaranya yaitu tawakal ditujukan untuk mengetahui Tuhan dan kodrat-Nya; percaya pada sebab-akibat; mengandalkan Tuhan dan berserah diri pada Tuhan; puas terhadap hasil yang diberikan Tuhan1Basri, dalam Huda, M., Sudrajat, A., Muhamat, R., Mat Teh, K.S. and Jalal, B. (2019), “Strengthening divine values for self-regulation in religiosity: insights from Tawakkul (trust in God)”, International Journal of Ethics and Systems, Vol. 35 No. 3, pp. 326. https://doi.org/10.1108/IJOES-02-2018-0025 tawakal mengakomodasi manusia atas segala kondisi yang “tidak mengenakkan”, dan bukan selalu tentang putus asa. Sedekah dan amal pada akhirnya merupakan wujud tawakal yang dilakukan sebagai bentuk kepercayaan dan keyakinan hati. Dari sini, dilihat bahwa terdapat sesuatu yang terlampau jauh ketika kebergantungan terhadap kuantifikasi amal sedekah dianggap wajar.
Kondisi Kultural pada Perintah Derma
Agama secara umum dimaknai sebagai “ajaran yang datang dari Tuhan” berpotensi menjadi masalah ketika tidak dikontekstualisasikan kepada pemahaman manusia sebagai makhluk2Irwansah. (2022). Konsep Sedekah dalam Perspektif Filsafat Dakwah (Studi Kasus Konsep Sedekah Yusuf Mansur). Manthiq, 6(2), 190. Sedekah, yang merupakan salah satu bagian dari ajaran agama akhirnya perlu dipahami sebagai sesuatu yang multidimensi, baik tujuannya sebagai perantara meraih karunia maupun sebagai usaha menolong sesama manusia. Pada aspek kemanusiaan, sedekah kian mengalami pengembangan makna. Komodifikasi amalan sedekah berupa usaha pembenaran lebih jauh terkait amalan tersebut menimbulkan adanya proses beramal yang berbeda dari masa ke masa.
Buddhisme memiliki gagasan yang dapat menjelaskan hal tersebut: karma. Karma pada dasarnya merupakan kesadaran akan perbuatan baik atau buruk yang meliputi masa lalu dan masa kini. Karma menjadi konsep penting dalam Buddhisme karena memiliki peranan signifikan terhadap pemaknaan sedekah3Rusli, A. R. (2020). Karma dan Etos Kerja dalam Ajaran Budha. Al-Adyan: Journal of Religious Studies, 1(1), 12.. Karma merupakan bagian dari Dharma yang merupakan kebenaran, ajaran, moral, hukum, nilai, kebajikan, keadaan, nilai, tujuan hidup, dan kewajiban4Ibid, hlm. 2. Sebagai konsep yang mengatur, karma pada akhirnya menghasilkan hukum yang disebut Karma Vipaka—buah, yang biasanya dikenal sebagai Hukum Karma. Dijelaskan pada Samyutta Nikaya, bahwa perbuatan manusia diibaratkan sebagai benih yang dipupuk oleh karma, yang benih tersebut menghasilkan buah, dan buah tersebut akan sesuai dengan “pupuk” yang diberikan. Hukum Karma juga terkait dengan sebab-akibat, yang hal ini disebut sebagai hukum moral. Hukum Karma dalam sebab-akibat disampaikan Sidharta Gautama dengan pengibaratan benih seperti sebelumnya. Sabda Sang Buddha dalam Majjihima Nikaya III: 135 menjelaskan bahwa pada akhirnya manusia akan selalu terhubung dengan karmanya, baik sebagai pewaris karma masa lalu, pemegang karma masa kini, dan pemberi waris karma pada masa depan. Sedekah, dengan demikian menjadi salah satu “pupuk karma baik” yang dapat diperbuat manusia.
Ketika berbagai agama dunia umumnya menetapkan pembalasan terhadap suatu perlakuan, hukum karma dibentuk berbeda. Karma pada akhirnya merupakan hubungan tindakan seseorang dengan seseorang itu sendiri, yang terjadi dengan proses sebab-akibat yang alami. Nantinya, nasib bukanlah kehendak Tuhan, tetapi akibat karma itu sendiri. Dari sini, takdir menjadi hal yang berbeda dari karma. Jika biasanya takdir diibaratkan sebagai suatu perjalanan linear, maka karma menjelaskan bahwa kehidupan manusia adalah perputaran, yang bertujuan supaya manusia tidak mengalami penderitaan ‘tak berakhir dalam hidupnya5Upa, dalam Ibid, hlm. 5. Perjalanan karma bagai benih yang ditanam sebenarnya sangat kompleks karena kondisi yang memengaruhi suatu karma sangat beragam. Hal ini dinyatakan dalam Dhammapadda 119-120 yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan hanya akan aman dalam kondisinya ketika buah perbuatannya belum masak, tetapi apabila telah masak, akibat-akibat buruk akan ditampakkan padanya. Hal ini juga berlaku pada pelaku kebaikan.
Pemaknaan secara khusus terhadap sedekah dalam agama-agama Dharmik—seperti Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, dsb— sebenarnya memiliki dua kutub ide, yaitu sedekah sebagai pengorbanan dan sedekah sebagai tindakan amal. Namun demikian, walaupun ada perbedaan teoritis terkait konsekuensi ide tersebut, terdapat kesamaan positif, yaitu sedekah dapat memurnikan diri pihak pemberi dan penerima6Brekke, T. (2002). Religious Motivation and the origins of Buddhism. Taylor & Francis., 119.
Yudaisme memiliki pandangan dan gagasan yang cukup kuat terkait sedekah. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana penganutnya meyakini konsep manusia sebagai gambaran Ilahi dengan tanggung jawab membentuk dunia sesuai keinginannya7Lifshitz, J. I. (2007). Welfare, property, and charity in Jewish thought. Society, 44(2), 71.. Kewajiban untuk membantu sesama berupa sedekah dan sebagainya diatur, tetapi kepemilikan atau “menjadi kaya” merupakan sepenuhnya hak manusia itu sendiri yang tidak ada kaitannya dengan “orang miskin”8Ibid., hlm. 72. Untuk menjamin seseorang tidak “miskin karena sedekah”, kewajiban diatur dengan ketentuan 10 persen sebagai syarat wajib sedekah dan 20 persen sebagai batas maksimum sedekah.
Berbeda dari kekristenan awal yang sangat menjunjung kezuhudan, Judaisme menegaskan manusia perlu memiliki dampak yang kuat pada dunia materiel.9Ibid. Gagasan “gambaran Tuhan” Yudaisme sesuai dengan firman dalam Kitab Kejadian 1: 26–27
Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.10Alkitab Terjemahan Baru
Kesalehan dalam diri dimaknai dengan menjadi spiritual, menjadi sensitif dan luhur, kreatif, dan dapat mengubah dunia sekitarnya. Manusia juga wajib menikmati dunia, yang ditujukan sebagai aktualisasi potensi penciptaan, yang dalam hal ini Yudaisme meyakini bahwa “keberlanjutan penciptaan dunia” adalah tugas yang Tuhan berikan kepada manusia.11Ibid. Tujuan dari segala perintah kepada manusia ini adalah untuk menjaga martabat dan kedaulatan manusia itu sendiri dan mencegah adanya perebutan kuasa yang dimandatkan Tuhan oleh sebagian kecil individu.12Ibid., hlm. 74
Yudaisme, selain itu, sangat menjunjung kerja keras dan cara jujur untuk mencapai kekayaan. Hal ini dimaknai sebagai upaya manusia menjadi makhluk saleh.
“Orang yang menikmati hasil kerjanya sendiri lebih besar daripada orang yang takut surga.” —Berakhot 8a
Isi Traktak Berakhot tersebut bukan tentang merendahkan orang-orang yang takut akan surga, melainkan penekanan bahwa orang yang mengubah bakatnya menjadi prestasi lebih bermakna daripada orang yang mengabaikan kapasitasnya sendiri untuk berjuang dan melakukan cipta di dunia. Dengan adanya penekanan yang cukup besar pada kekayaan, Yudaisme sangat jarang memandang kemiskinan sebagai suatu kebenaran. Bahkan, Rabi Akiva menyampaikan kepada putranya untuk lebih baik menjadikan hari Sabat sebagai hari biasa daripada berhenti beraktivitas tetapi bergantung kepada orang lain (Pesachim 112b).
Kecenderungan doktrin Yudaisme yang memihak kekayaan ini lantas tidak menjadikan Yudaisme semena-mena terhadap kondisi mereka yang miskin. Hal ini dibuktikan dengan ketentuan yang ada pada Kitab Ulangan 15:7–8, yang menyampaikan kewajiban tegas bagi mereka yang mampu untuk membantu orang-orang miskin. Diskursus kemiskinan berkembang dan menghasilkan berbagai kebijakan baru, terutama pada masa Abad Pertengahan, yang penduduk Yahudi mulai meninggalkan pertanian dan hidup di lingkungan urban.13Ibid., hlm. 75
Lembaga-lembaga kesejahteraan muncul pada Abad Pertengahan.14Ibid., hlm 76 Para pengumpul amal berperan sebagai pendorong individu untuk memberi amal, mengumpulkan sumbangan, dan mendistribusikannya. Walaupun ada pertanyaan terkait apakah kebijakan ini akan membebani masyarakat Yahudi, dapat dijawab secara singkat kebijakan ini “tidak akan terlalu membebani” mengingat adanya batasan maksimal dan minimal yang dinyatakan jelas, serta tidak direbutnya peran amal secara individu. Nantinya, perlu diingat pula bahwa sedekah utama adalah sedekah kepada kerabat terdekat.15Ibid. Dari sini, sebenarnya ketegangan terhadap kebijakan pelembagaan sedekah ‘tak dapat dihindari, khususnya ketika semua ditarik kepada sumber yang kredibel, seperti Talmud. Hal ini dapat dilihat pada Bava Metzia: 71a yang menjelaskan adanya urutan kewajiban bersedekah, yaitu “kepada orang miskinmu sendiri, orang miskin di kotamu, dan orang miskin di kota lain.” Pelemahan otoritas dalam melakukan perataan akan terjadi jika ketentuan tersebut dipertimbangkan. Ketentuan ini juga dipertegas dengan pernyataan bahwa pemberian sedekah kepada satu imam saja akan membawa kelaparan di dunia (Eruvin 63a). Namun demikian, sejauh dua sumber tersebut dipertimbangkan, para rabi sepakat untuk menyeimbangkan kewajiban bersedekah pada orang miskin di sekitar dengan orang miskin lain di kota tempat tinggal—yang hal ini sebenarnya murni keputusan rabi.16Ibid.
Atas segala masalah yang muncul, terdapat kesepakatan yang mendasar terkait teologi yang terus dijaga, yaitu tentang kebebasan individu. Pada masa ini, konteks kebebasan individu diperjelas dengan penegasan terhadap kepentingan publik yang juga perlu dijaga sehingga kebebasan individu tidak bisa menjadi satu-satunya pertimbangan. Contoh aksi atas konteks tersebut disampaikan oleh Maimonides dalam penerapan persepuluhan kepada orang miskin.17Ibid. hlm. 77 Persepuluhan dalam pelaksanaannya harus dibagi dua, yaitu kepada kerabat miskin dan kepada orang miskin di sekitar (Maimonides, Mishneh Torah, Laws of Gifts to the Poor, Chapter. 6, Law 11). Solusi tersebut cenderung menekankan kesejahteraan publik daripada kebebasan individu, yang sebenarnya terdapat sikap pesimistis di balik pemaknaan kebebasan individu itu sendiri.
Kesejahteraan menjadi patok utama dalam penentuan hukum, yang selanjutnya terdapat kemungkinan adanya pemaksaan individu untuk memberikan amal. Kemungkinan ini didukung oleh Talmud, khususnya pemaksaan terhadap orang kaya atas amalnya (Baya Batra 8b). Namun, bahkan ketika suatu ketentuan ada pada Talmud, tidak berarti semua setuju. Keraguan akan pelaksanaan amal yang dipaksa dan pemaknaan Talmud yang beragam—anggapan bahwa ini hanya sekadar ajakan persuasif dan bukan secara harfiah pemaksaan—menjadikan pemaksaan adalah tindakan yang diragukan.18Ibid. Namun demikian, rabi-rabi Spanyol Abad Pertengahan melakukan konsensus untuk benar-benar memaksakan anggotanya memberi amal, yang hal ini dilakukan secara serius hingga adanya ancaman pemukulan (Maimonides, Mishneh Torah, Laws of Gifts to the Poor, Chapter. 7, Law 10). Pertanyaan selanjutnya dari tujuan kesejahteraan adalah, “Apakah keadilan distributif akan tercapai, dan bagaimana tentang kepemilikan pribadi itu sendiri?”
Keadilan akan sulit tercapai. Beberapa alasan yang mendasari, di antaranya ada pada masyarakat itu sendiri. Karakter keadilan dimaknai oleh masyarakat Yahudi sebagai kepemilikan individu sehingga usaha-usaha “keadilan distributif” hingga kekerasan akan sangat mengancam makna keadilan. Selain itu, kewajiban beramal yang merupakan kewajiban agama harus dipahami sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan ketuhanan. Ketika masyarakat Yahudi meyakini bahwa manusia memiliki potensi Ilahi dan aktualisasi atas potensi tersebut berupa kepemilikan pribadi, maka pemaksaan terhadap amal merupakan hal yang ‘tak sesuai dengan doktrin dasar tersebut. Paksaan amal terhadap pribadi seharusnya menjadi kontrol pribadi itu sendiri. Kewajiban memberi amal pun hakikatnya tidak mempertanyakan hak milik, yang hal ini sesuai dengan doktrin manusia sebagai “gambaran Tuhan”.19Ibid.
Kebebasan manusia terwujud melalui kehendak bebas dalam memanfaatkan dunia sebaik mungkin. Sebagai “gambaran Tuhan”, manusia idealnya memiliki simpati dengan dunia, yang hal ini dapat dipadankan dengan sifat Tuhan yang memberi kasih sayang kepada seluruh ciptaan-Nya.20Ibid. Kesengsaraan, dengan demikian tidak dapat diselesaikan dengan distribusi ulang kekayaan seluruh manusia, tetapi dapat dikurangi dengan mendorong rasa simpati kepada sesama manusia. Oleh karena itu, sedekah, yang merupakan kewajiban moral tidak bisa disamakan dengan keadilan.
Kompleksitas pemaknaan sedekah dan amal terbukti merupakan hasil konstruksi sosial. Tujuannya sebagai perbaikan hidup, keadilan, aktualisasi diri, dan sebagainya menjadikan sedekah sangat multidimensional dan kaya akan makna. Dari sini, diambil pemahaman mendasar bahwa sedekah yang sifatnya pilihan, anjuran, hingga paksaan sering kali bukan tentang “perintah Tuhan” semata, melainkan bentuk pemahaman yang situasional.
Altruisme (Efektif): Memikirkan Sedekah Lebih Jauh
Motif sedekah yang beragam menimbulkan pemikiran lebih jauh tentang sedekah itu sendiri. Diskursus tentang cara memberi yang benar selalu menarik untuk dibahas. Ketika sedekah dapat ditujukan untuk berbagai hal, apakah ketulusan dan kemurnian hati untuk benar-benar membantu tidak akan pernah ada? Memikirkan kembali makna sedekah mungkin terkesan buang-buang waktu. Namun, menjadi kepuasan tersendiri ketika makna dari tindakan tersebut dapat terungkap—atau sedikit terungkap.
Altruisme secara sederhana bermakna mengutamakan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri. Altruisme merupakan bagian dari sikap prososial, yang dimaknai sebagai tindakan umum memberikan bantuan kepada orang lain terlepas dari motif pemberi21Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 3. Altruisme dapat berkembang pada diri seseorang atas dasar empati, yang didefinisikan sebagai sikap inheren tanpa syarat dalam diri altruis22Batson, et al., dalam Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 4. Charles Daniel Batson menyampaikan tiga model Batson yang melihat empati sebagai motivasi yang mendorong altruisme. Model pertama, yaitu seseorang menginginkan penghargaan sosial atau pribadi. Model kedua, yaitu seseorang berusaha menghindari hukuman. Model ketiga, seseorang berusaha mengurangi dampak penderitaan akibat empati23Cipriani, R. (2021). The other, altruism and empathy. Variety of prosocial behavior. The American Sociologist, 16.
Motivasi bertindak altruis, di antaranya dapat dilihat dari perspektif evolusioner, yaitu individu bersikap altruistik demi melanjutkan kelangsungan kehidupan. Selain itu, norma-norma sosial dan modelling menjadi motivasi selanjutnya dalam tindakan altruistik. Norma-norma sosial sebagai motivasi altruistik dapat dilihat dari contoh lingkungan yang secara turun-temurun mewariskan tanggung jawab sosial. Modelling, sebagai motivasi tindak altruistik dimaknai dengan proses peningkatan efikasi diri—kemampuan mencapai tujuan secara mandiri—yang bertujuan sebagai peyakinan diri akan kemampuannya menolong orang lain24Crisp & Turner, dalam Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 6..
Melihat motivasi yang demikian, tersirat pertanyaan, “Apakah tindakan altruisme benar-benar “mengutamakan kepentingan orang lain daripada diri sendiri?” Atau lebih lanjut, “Apakah altruisme secara konsep dapat diwujudkan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut Krebs25dalam Hebb, D. O., & Krebs, D. (1971). Comment on altruism: The comparative evidence: Infrahuman altruism. Psychological Bulletin, 76(6), 409 https://doi.org/10.1037/h0031898 tanggapi dengan kritik yang mendasar. Jawabannya cukup tegas, bahwa tidak ada kesimpulan yang tepat di balik altruisme yang dinilai sebagai “tindak mengutamakan orang lain daripada diri sendiri.” Kompleksitas pengalaman dan situasi yang membentuk nilai pada manusia menghasilkan makna “mengutamakan orang lain daripada diri sendiri” yang berbeda-beda26Hebb, D. O., & Krebs, D. (1971). Comment on altruism: The comparative evidence: Infrahuman altruism. Psychological Bulletin, 76(6), 409 https://doi.org/10.1037/h0031898.
Kompleksitas kehidupan manusia yang makin berkembang serta pertanyaan tentang cara memberi yang benar pada akhirnya menelurkan pemikiran sekaligus gerakan baru pada kalangan altruis. Altruisme efektif merupakan komunitas berkembang yang digagas oleh Peter Singer dan William McAskill yang didasarkan pada ide “melakuakan yang terbaik yang kita bisa.”27Ioannidis, I. (2020). Shackling the Poor, or Effective Altruism: A Critique of the Philosophical Foundation of Effective Altruism. Conatus-Journal of Philosophy, 5(2), 25.. Tindakan sederhana yang digaungkan altruisme efektif adalah tentang bagaimana menyumbang ke badan amal akan berpotensi menyelamatkan jauh lebih banyak orang daripada menyumbang perseorangan, ini yang kemudian disebut sebagai “efektif”. Namun demikian, akan terdapat bahasan terkait sejauh mana altruisme efektif ini “berefek”, serta adanya potensi pengabaian mendasar tentang masalah moral seperti ketidakadilan, dan sebagainya.28Ibid., hlm. 26
Altruisme efektif menyatakan keefektifannya secara tidak langsung dengan menegaskan bahwa gerakan ini ditujukan untuk berbuat baik dengan lebih baik. The Effective Altruism Handbook karya Singer dan McAskill menjelaskan bahwa gagasan altruisme efektif muncul secara alami dari berbagai pengembangan terkini pada bidang ekonomi, psikologi, dan filsafat moral. Kewajiban menggunakan sumber daya untuk mengurangi kemiskinan global dan memperluas “lingkaran moral”, yaitu dengan memberikan bobot moral kepada orang asing, orang masa depan, dan hewan atau nonmanusia menjadi argumentasi yang dikemukakan Singer.29Ibid., hlm. 27
Bertindak dengan kekuatan yang ada untuk mencegah hal buruk, jika tidak perlu pengorbanan yang sama buruknya, perlu dilakukan. Untuk memahami lebih lanjut, Singer menuliskan eksperimen pikiran pada bukunya yang mendeskripsikan situasi sebagai berikut.
Jika saya berjalan melewati kolam yang dangkal dan melihat seorang anak tenggelam di dalamnya, saya harus mengarungi dan menarik anak itu keluar. Ini berarti membuat pakaian saya berlumpur, tetapi ini tidak signifikan, sementara kematian anak itu mungkin akan menjadi hal yang sangat buruk30Singer, P., (1972). Famine, Affluence, and Morality. Philosophy & Public Affairs 1(3), 229.
Eksperimen pikiran tersebut sekilas mengarahkan pembaca pada persetujuan yang serupa. Namun, ada hal yang “tertinggal” dan belum dijelaskan: pengorbanan sejarah31Ioannidis., Loc.Cit., 30. Simpulan singkat yang dapat diambil adalah adanya nilai yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan, yaitu terkait kehidupan atau pakaian. Pertimbangan menyelamatkan salah satu pada akhirnya ditentukan oleh nilai yang dimotivasi oleh kompleksitas pengalaman manusia itu sendiri.
Singer menyatakan bahwa kewajiban moral haruslah sama, baik kepada orang terdekat maupun orang lain yang jauh. Selanjutnya, jika seseorang merasa menyelamatkan anak dari kolam merupakan bentuk pemenuhan kewajiban moral, maka kepada orang lain yang jauh, kewajiban tersebut pun perlu dipenuhi dengan memberikan uang kepada mereka yang membutuhkan. Kesimpulan yang Singer ambil adalah, “Memberi banyak uang merupakan cara terbaik untuk mencapai tujuan pemenuhan kewajiban moral.”. Tentu kesimpulan tersebut menimbulkan banyak keraguan.
Singer menyampaikan argumen terkait simpulannya, yaitu ketika terdapat asumsi bahwa memberi kepada orang yang membutuhkan merupakan tanggung jawab otoritas, dan dengan menolak memberi dapat memotivasi otoritas untuk melakukan tugasnya—memberi, maka reaksi yang belum dapat dipastikan tersebut merupakan tanggung jawab pihak yang menolak memberi. Maka, pada akhirnya kewajiban moral tersebut tetap berada pada diri sebagai individu. Selain itu, ia menjelaskan prinsip yang perlu diperhatikan dalam “memberi sebanyak yang dirasa mampu,” yaitu sebagai berikut.
- Batas kewajiban memberi adalah ketika seseorang telah mencapai tingkat utilitas marjinalnya, yang menyebabkan penderitaan ketika pemberian dilakukan lebih banyak
- Pemberian bersifat moderat, yang pelaksanaannya mirip dengan cara menabung—menyisihkan sebagian dari total kepemilikan32Ibid., hlm 25–26..
Mari perhatikan sekali lagi eksperimen pikiran Singer tentang penyelamatan bayi, tetapi kali ini akan dilakukan analisis terkait variabel-variabel berikut: (a) persepsi; (b) evaluasi keburukan; (c) perasaan kewajiban moral; (d) pemberian bantuan untuk penyelamatan.
Jika saya berjalan melewati kolam yang dangkal dan melihat seorang anak tenggelam di dalamnya (a), saya harus (c) mengarungi dan menarik anak itu keluar. Ini berarti membuat pakaian saya berlumpur, tetapi ini tidak signifikan, sementara kematian anak itu mungkin akan menjadi hal yang sangat buruk (b)33Singer, Loc.Cit.
Singer, dalam eksperimennya memerintahkan pembaca untuk fokus pada persepsi yang tunggal. Melihat seseorang tenggelam secara persepsi bukan berarti seseorang tersebut benar-benar tenggelam. Anak tersebut bisa saja sedang bermain, dan sejenisnya. Maka dari itu, konteks sejarah perlu dipahami dalam mengamati suatu kejadian. Perlu dipastikan bahwa kesamaan persepsi tidak dapat dicapai jika eksperimen yang diberikan sebatas kondisi demikian. Analogi yang sama selanjutnya digunakan untuk memperhatikan kasus pengungsi kelaparan di suatu daerah. Untuk membandingkan dua kejadian tersebut diperlukan persamaan logis sebagai usaha melihat kesamaan nilai. Proses persamaan logis dari dua entitas tersebut dapat dilakukan dengan membagi keduanya menjadi kelas, yaitu kelas anak dan kelas pengungsi. Ketika hendak mencapai kesamaan nilai dari kedua kelas ini, maka memikirkan pemikiran dari masing-masing kelas menjadi keharusan, yang hal ini melampaui persepsi. Dari sini, usaha pengasumsian lain terkait persepsi pada akhirnya tidak dapat memberikan kesamaan nilai yang cukup34Ioannidis., Loc.Cit., 35. Jika kesamaan nilai dalam persepsi tidak didapat, maka kesamaan nilai secara keseluruhan akan gagal.35Ibid.
Selanjutnya, dalam evaluasi keburukan, sesuatu tentang kematian perlu dilihat lebih luas. Anak-anak, berdasarkan pengandaian yang ada merupakan individu yang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan dianggap perlu bantuan. Pengungsi, dalam hal ini dapat diandaikan terdiri dari berbagai kelompok usia, yang diasumsikan memiliki daya nalar dan kemampuan untuk membuat keputusan. Ketika seseorang memutuskan untuk menyelamatkan hidup pengungsi, hal tersebut berpotensi mencuri otonomi pengungsi dalam menentukan apakah kejadian yang ada memerlukan tindak penyelamatan. Jika diasumsikan persamaan logis antara “anak-anak yang tenggelam” dan “pengungsi yang sekarat karena kelaparan,” maka otonomi pengungsi akan dikorbankan, mengingat pengungsi digambarkan sebagai kategori yang tidak mampu membuat keputusan. Kurang tepatnya persamaan analogis tersebut menyebabkan adanya potensi perlakuan yang salah sasaran, yaitu perlakuan kepada anak-anak sebagai pengungsi dan perlakuan kepada pengungsi sebagai anak-anak36Ibid., hlm 37.. Singkatnya, cacat logis berasal dari penggunaan metafora atau pengandaian yang dilakukan secara implisit. Analisis yang demikian diperlukan untuk melihat pengaruh motivasi gerakan altruisme efektif kepada orang-orang secara luas.
Singer menyatakan bahwa kewajiban moral berasal dari asumsi-asumsi. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa terdapat prinsip-prinsip moral mendasar yang merupakan aksioma, yang dipegang melalui kapasitas penalaran manusia. Salah satu aksioma tersebut adalah kesejahteraan setiap orang sama adalah sama pentingnya, dan karena itu tiap individu terikat untuk menganggap kesejahteraan tersebut layaknya milik individu sendiri.37Ibid., hlm. 38
Penjelasan sebelumnya tentang motivasi tindakan altruistik pada manusia, di antaranya dapat dilihat dari perspektif evolusioner. Evolusi, jika dilihat lebih jauh, mungkin bukan “motivasi”, melainkan efek dari suatu motivasi yang bernama “tujuan hidup”. Evolusi menjadi efek dari pemaknaan hidup umat manusia sejak awal spesies ini berada di bumi. Menurut Singer, banyak orang yang akhirnya mengikuti gerakan altruisme efektif sebagai cara memaknai hidup.38Ibid., hlm. 40
Kapitalisme sebagai Pembentuk Makna
Peter Singer benar-benar menerima ketika banyak anggapan yang mengatakan bahwa altruisme harus didefinisikan dalam pengaturan kapitalisme.
Suka atau tidak, untuk masa mendatang kita tampaknya terjebak dengan beberapa variasi kapitalisme, dan bersamaan dengan itu pasar saham, obligasi, dan komoditas39Singer, dalam Ioannidis, I. (2020). Shackling the Poor, or Effective Altruism: A Critique of the Philosophical Foundation of Effective Altruism. Conatus-Journal of Philosophy, 5(2), 42.
Ketika altruisme efektif hanya diterjemahkan dengan peraturan-peraturan kapitalistik, maka altruisme efektif berpotensi menjadi tidak efektif. Hal ini disebabkan fenomena kemiskinan pada akhirnya ‘tak akan pernah direnungkan dengan cara lain selain pengaturan kapitalistik. Ide tentang menghadirkan sistem ekonomi lain untuk menerjemahkan altruisme kepada bentuk yang berbeda sering kali dibincangkan, tetapi nantinya akan ada hal-hal mendasar yang juga berubah.
Skenario terburuk dari sistem “ini” adalah tidak adanya ruang bagi kemiskinan itu sendiri, yang berarti tidak ada kesempatan bagi orang miskin untuk hidup. Namun, nantinya terdapat kemungkinan bahwa pemikiran kemiskinan bukan lagi tentang istilah moneter, yang hal ini pun sebenarnya merupakan gambaran yang kabur. Dengan demikian, altruisme terjebak dengan representasi kemiskinan dalam istilah moneter dan representasi ini hanya memungkinkan pemikiran tentang pemberantasan suatu jenis kemiskinan, bukan pemberantasan kemiskinan itu sendiri. Ironisnya, tindakan altruistik yang terbatas ini sebenarnya tidak lain melainkan hanya menyokong kemiskinan itu sendiri, yang dapat lebih jauh diterjemahkan menjadi “pemaknaan hidup pada akhirnya membutuhkan korban.”
Apa Makna Derma?
Ajaran-ajaran di dunia secara umum memaknai sedekah sebagai tindakan luhur. Pengejawantahan makna menjadi awal dari perbedaan tata laksana, pandangan, dan nilai pada ajaran-ajaran tersebut. Narasi tentang kepastian balasan, lipat ganda, amal sebagai pengubah nasib, amal sebagai jalan keluar penderitaan, dan sebagainya dipahami sebagai cara ajaran menyampaikan gagasan luhur tersebut kepada manusia. Proses pemaknaan manusia atas sedekah juga dibuat terperinci dan disesuaikan dengan pandangan kelompok atas ajaran masing-masing. Kuantifikasi amal menjadi salah satu ide dari hasil pemaknaan manusia atas sedekahnya, yang disebabkan adanya kebutuhan manusia untuk memberikan alasan—atau tujuan—kepada dirinya atas segala tindakan.
Menarik kembali cerita pada awal bagian tulisan, yaitu ketika seorang terpandang muslim memastikan karunia Tuhan kepada jemaahnya. Firman tentang surga yang ‘tak dapat dikira dan penuh perjuangan (Q.S. Ali ‘Imran: 142) tampaknya perlu kembali direnungkan bersama-sama. Kuantifikasi atau mengira-ngira amal yang dilakukan terlampau jauh sangat berpotensi melampaui Tuhan sebagai Mahaluas—karunia-Nya; kasih sayang-Nya, dsb. Selain itu, usaha menghitung amalan yang berlebihan pun dapat melalaikan kita dari berbagai hal penting, seperti meningkatkan amalan itu sendiri.
Kesimpulan
Sedekah merupakan salah satu aktivitas yang dimotivasi baik sosial maupun transendental. Dampak dari dua motivasi tersebut sangat kuat sehingga sering kali dalam berbagai situasi pembenaran atas salah satunya dilakukan. Sebagian orang yakin bahwa sedekah merupakan hubungan langsung dengan Tuhan, sebagian lain yakin sedekah merupakan hubungan antarmanusia yang diakomodasi Tuhan, dan sebagian lain yakin sedekah merupakan hubungan antarmanusia semata.
Penyesuaian perintah sedekah dilakukan atas dasar ruang dan waktu. Prosesnya yang sering kali tidak mulus menjadi pemantik bagi umat manusia untuk selalu mengembangkan cara-cara terbaik dalam bersedekah. Satu yang pasti dalam bersedekah adalah adanya tujuan dan/atau balasan yang diharapkan. Hal tersebut sangat manusiawi mengingat manusia selalu membutuhkan tujuan atas segala tindakan di dunia. Mengerucut pada ranah transeden, sedekah pada akhirnya sangat sulit dimaknai dengan angka karena terlalu banyak variabel yang ‘tak dapat dikira atau dikuantifikasi. Sejauh tindakan tersebut ditujukan “hanya” untuk membentuk motivasi, tidak masalah. Namun, banyak hal yang nantinya terabaikan yang sebenarnya lebih penting dalam kaitannya dengan sedekah, seperti meningkatkan kualitas sedekah itu sendiri. Terlalu banyak perkiraan dan pengabaian membuat kebergantungan terhadap kuantifikasi amal sedekah sia-sia.
Referensi
↵1 | Basri, dalam Huda, M., Sudrajat, A., Muhamat, R., Mat Teh, K.S. and Jalal, B. (2019), “Strengthening divine values for self-regulation in religiosity: insights from Tawakkul (trust in God)”, International Journal of Ethics and Systems, Vol. 35 No. 3, pp. 326. https://doi.org/10.1108/IJOES-02-2018-0025 |
---|---|
↵2 | Irwansah. (2022). Konsep Sedekah dalam Perspektif Filsafat Dakwah (Studi Kasus Konsep Sedekah Yusuf Mansur). Manthiq, 6(2), 190 |
↵3 | Rusli, A. R. (2020). Karma dan Etos Kerja dalam Ajaran Budha. Al-Adyan: Journal of Religious Studies, 1(1), 12. |
↵4 | Ibid, hlm. 2 |
↵5 | Upa, dalam Ibid, hlm. 5 |
↵6 | Brekke, T. (2002). Religious Motivation and the origins of Buddhism. Taylor & Francis., 119 |
↵7 | Lifshitz, J. I. (2007). Welfare, property, and charity in Jewish thought. Society, 44(2), 71. |
↵8 | Ibid., hlm. 72 |
↵9, ↵11, ↵15, ↵16, ↵18, ↵19, ↵20, ↵35 | Ibid. |
↵10 | Alkitab Terjemahan Baru |
↵12 | Ibid., hlm. 74 |
↵13 | Ibid., hlm. 75 |
↵14 | Ibid., hlm 76 |
↵17 | Ibid. hlm. 77 |
↵21 | Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 3 |
↵22 | Batson, et al., dalam Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 4 |
↵23 | Cipriani, R. (2021). The other, altruism and empathy. Variety of prosocial behavior. The American Sociologist, 16 |
↵24 | Crisp & Turner, dalam Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 6. |
↵25 | dalam Hebb, D. O., & Krebs, D. (1971). Comment on altruism: The comparative evidence: Infrahuman altruism. Psychological Bulletin, 76(6), 409 https://doi.org/10.1037/h0031898 |
↵26 | Hebb, D. O., & Krebs, D. (1971). Comment on altruism: The comparative evidence: Infrahuman altruism. Psychological Bulletin, 76(6), 409 https://doi.org/10.1037/h0031898 |
↵27 | Ioannidis, I. (2020). Shackling the Poor, or Effective Altruism: A Critique of the Philosophical Foundation of Effective Altruism. Conatus-Journal of Philosophy, 5(2), 25. |
↵28 | Ibid., hlm. 26 |
↵29 | Ibid., hlm. 27 |
↵30 | Singer, P., (1972). Famine, Affluence, and Morality. Philosophy & Public Affairs 1(3), 229 |
↵31 | Ioannidis., Loc.Cit., 30 |
↵32 | Ibid., hlm 25–26. |
↵33 | Singer, Loc.Cit. |
↵34 | Ioannidis., Loc.Cit., 35 |
↵36 | Ibid., hlm 37. |
↵37 | Ibid., hlm. 38 |
↵38 | Ibid., hlm. 40 |
↵39 | Singer, dalam Ioannidis, I. (2020). Shackling the Poor, or Effective Altruism: A Critique of the Philosophical Foundation of Effective Altruism. Conatus-Journal of Philosophy, 5(2), 42 |
Discussion about this post