Sebagai salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, eksistensi sandang sudah sangat melekat dalam hidup manusia. Bukan tanpa alasan, kepingan evolusi peradaban terpotret dengan indah melalui perubahan gaya berpakaian. Pakaian bukan hanya sekedar kain memanjang yang membalut tubuh untuk melindungi diri dari sengatan mentari dan terpaan dinginnya malam. Pakaian telah menjadi salah satu identitas manusia, simbol dari kelas sosial, buah dari budaya suatu bangsa, hingga representasi dari agama.
Sebelum abad ke-18, pakaian dianggap sebagai sesuatu yang mewah dan mahal. Hal ini terjadi lantaran produksi pakaian atau tekstil kala itu dikategorikan sebagai “industri rumahan”. Pekerja akan mengambil bahan kain untuk dibawa pulang ke rumah serta menentukan jadwal produksi mereka sendiri, sehingga menyebabkan industri pakaian tidak produktif 1Farago, A. (2017, Oktober 18). The Textile Industry During the Industrial Revolution. globalEDGE. Diambil 10 April 2022, dari https://globaledge.msu.edu/blog/post/54483/the-textile-industry-during-the-industrial-revolution#:%7E:text=Before%20the%20Industrial%20Revolution%2C%20textiles,schedules%20and%20was%20largely%20unproductive. Hanya golongan masyarakat kelas atas yang mampu untuk membeli pakaian dan merasakan perubahan gaya mode dari pakaian tersebut.
Revolusi Industri 1.0 dapat dikatakan sebagai turning point dari eksistensi industri pakaian. Hadirnya inovasi teknologi, seperti mesin uap dan alat pemintal “Spinning Jenny” membuat pakaian jadi lebih mudah, efisien, dan pada akhirnya dapat lebih murah untuk diproduksi. Perkembangan industri pakaian semakin menjadi ketika tren fast fashion merebak di tahun 2000-an ketika merek-merek fast fashion, seperti Zara, H&M, Forever 21, dan TopShop mulai menguasai pasar 2Rauturier, S. (2022, 1 April). What Is Fast Fashion and Why Is It So Bad? Good On You. Diambil 10 April 2022, dari https://goodonyou.eco/what-is-fast-fashion/.
Fast fashion diidentifikasikan sebagai pakaian murah dan trendi yang mengambil contoh ide dari peragaan busana atau budaya selebritas untuk diproduksi kembali dengan kecepatan yang tinggi dalam memenuhi permintaan konsumen. Hal ini tercermin dari mode pakaian yang sangat beragam dengan koleksi musiman yang cepat berganti. Saat ini, sebagian besar merek fast fashion memiliki 52 “micro-seasons” atau melakukan penggantian koleksi musim setiap minggunya agar konsumen tidak cepat jenuh 3Stanton, A. (2022, Maret 21). What Does Fast Fashion Mean, Anyway? The Good Trade. Diambil 11 April 2022, dari https://www.thegoodtrade.com/features/what-is-fast-fashion. Selain itu, sirkulasi koleksi yang cepat membuat merek-merek fast fashion selalu memasok produk mereka dengan jumlah yang melimpah sehingga mengurangi potensi kekurangan pasokan dan diharapkan selalu dapat memenuhi keinginan konsumen (Cline, 2013).
Untaian Benang Merajut Keuntungan
Akselerasi pertumbuhan industri fesyen yang begitu tinggi tercermin dari total produksi tekstil yang mengalami peningkatan signifikan. Di tahun 2018, dunia memproduksi lebih dari 17,03 juta ton tekstil, meningkat 867,6% dari total 1,76 juta ton pada tahun 1960 4Environmental Protection Agency (EPA). (2021, Juli 2). Textiles: Material-Specific Data. US EPA. Diambil 12 April 2022, dari https://www.epa.gov/facts-and-figures-about-materials-waste-and-recycling/textiles-material-specific-data#TextilesTableandGraph. Dari sisi moneter, tekstil mencetak nilai pasar mencapai $994 miliar pada tahun 2021 di seluruh dunia. Nilai pasar tersebut berpotensi memiliki tingkat pertumbuhan tahunan majemuk sebesar 4% sampai tahun 2030 sehingga mampu memperoleh nilai pasar $1.420,3 miliar 5Grand Review Research. (2022, Februari). Global Textile Market Size & Share Report, 2022–2030. Grandviewresearch. Diambil 13 April 2022, dari https://www.grandviewresearch.com/industry-analysis/textile-market#:%7E:text=The%20global%20textile%20market%20size%20was%20estimated%20at%20USD%20993.6,USD%201%2C420.3%20billion%20by%202030.. Pertumbuhan diproyeksikan terjadi karena penetrasi online shop yang semakin luas ke berbagai kalangan masyarakat dengan perubahan kebiasaan konsumen dan cepatnya pergantian musim dalam industri fesyen dunia.
Signifikansi pengaruh tekstil dan industri pakaian terhadap perekonomian Indonesia dapat tercermin dari kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), ekspor, dan tingkat penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2021, industri tekstil dan pakaian jadi berhasil menyumbang PDB sebesar Rp180,22 triliun, setara dengan 6,12% dari total PDB sektor manufaktur 6Kusnandar, V. B. (2022, Maret 25). Industri Pakaian Jadi dan Tekstil Kembali Mengalami Kontraksi 4,08% pada 2021. katadata. Diambil 13 April 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/25/industri-pakaian-jadi-dan-tekstil-kembali-mengalami-kontraksi-408-pada-2021. Ditinjau dari performa ekspor, industri tekstil dan pakaian jadi berhasil menyumbang $11 miliar atau 6,74% dari total komoditas ekspor Indonesia. Dari total ekspor tersebut, Indonesia berhasil menguasai 1,54% ekspor tekstil dunia di tahun 2020 7Chesh, P. (n.d.). Textiles (HS Section: XI) Product Trade, Exporters and Importers | OEC. OEC. Diambil 14 April 2022, dari https://oec.world/en/profile/hs92/textiles?yearSelector1=tradeYear1. Karakteristik industri tekstil dan pakaian jadi yang cenderung padat karya membuatnya mampu menyerap 4,5 juta angkatan kerja pada tahun 2019 8Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri Manufaktur (Persen), 2018–2020. BPS. Diambil 14 April 2022, dari https://www.bps.go.id/indicator/9/1217/1/proporsi-tenaga-kerja-pada-sektor-industri-manufaktur.html.
Laba Berhias Nestapa
Dibalik kebermanfaatan yang diberikan bagi perekonomian, industri tekstil dan pakaian jadi mulai memberikan eksternalitas negatif yang multidimensional setelah hadirnya konsep fast fashion. Karakteristiknya yang selalu menjaga penawarannya banyak tersedia membuat potensi kelebihan produksi menjadi besar dan mendorong munculnya deadstock yang berpotensi menjadi limbah. H&M, salah satu merek fast fashion terbesar di dunia, mengungkapkan bahwa terdapat $4,3 miliar nilai persediaan mereka yang tidak terjual pada tahun 2018 9Mellor, S. (2021, April 29). Changing fashions: Retailers are dealing with deadstock more openly. Fortune. Diambil 14 April 2022, dari https://fortune.com/2021/04/29/retail-deadstock-unsold-clothes-fashion-supply-chain-covid/.
Besarnya jumlah pakaian yang dihasilkan sejalan dengan potensi limbah sampah pakaian yang sudah tidak digunakan. Rata-rata konsumen dunia membuang 60 persen pakaian mereka dalam rentang waktu satu tahun setelah pembelian. Karakteristik fast fashion yang berusaha membuat pakaian dengan harga yang murah membuat berbagai merek turut menggunakan input murah, seperti serat sintetis yang membutuhkan waktu jutaan tahun untuk terurai. Hal ini menyebabkan sampah dari pakaian ini menjadi semakin berbahaya bagi lingkungan. Diperkirakan pada tahun 2020, 18,6 juta ton pakaian akan berakhir di tempat pembuangan sampah 10Young, E. (2020, Agustus 5). Fashion Waste Is Rubbish – Yes, But This Is Not The Issue. Fibre2Fashion. Diambil 15 April 2022, dari https://www.fibre2fashion.com/industry-article/8736/fashion-waste-is-rubbish-yes-but-this-is-not-the-issue. Selain itu, 35% sampah mikroplastik yang mencemari laut dihasilkan dari serat sintetis yang disumbang oleh limbah pakaian 11IUCN. (2017). Primary Microplastics in The Oceans. https://doi.org/10.2305/IUCN.CH.2017.01.en.
Produksinya yang besar menyebabkan industri fesyen membutuhkan banyak sumber daya dan tentunya dapat berdampak negatif bagi lingkungan. Industri tekstil dan pakaian jadi memegang titel sebagai sektor industri dengan konsumsi dan sumber pencemaran air terbesar kedua di dunia 12UNEP. (2019). UN Alliance For Sustainable Fashion addresses damage of ‘fast fashion.’ UN Environment. Diambil 15 April 2022, dari https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/un-alliance-sustainable-fashion-addresses-damage-fast-fashion. 700 galon air mesti dikorbankan hanya untuk memproduksi satu kaos polos, bahkan untuk membuat sepasang celana jeans membutuhkan air hingga 2000 galon 13Maiti, R. (2021, April 13). Fast Fashion: Its Detrimental Effect on the Environment. Earth.Org. Diambil 13 April 2022, dari https://earth.org/fast-fashions-detrimental-effect-on-the-environment/. Industri ini juga mencemari air akibat sistem pembuangan sisa limbah celup pewarna ke aliran sungai, danau, dan sumber air lainnya. Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia menjadi bukti bahwa pergeseran fungsi sungai sebagai wadah 14Wibawa, S. W. (2020, Februari 21). Riset Buktikan, Sungai Ciliwung Termasuk Sungai Terkotor di Dunia Halaman all – Kompas.com. KOMPAS. Diambil 15 April 2022, dari https://sains.kompas.com/read/2020/02/21/123228123/riset-buktikan-sungai-ciliwung-termasuk-sungai-terkotor-di-dunia?page=all.
Pengolahan serat sintetis yang digunakan sebagai bahan baku pakaian murah merupakan proses intensif-energi yang membutuhkan minyak bumi dalam jumlah banyak 15Maiti, R. (2021, April 13). Fast Fashion: Its Detrimental Effect on the Environment. Earth.Org. Diambil 13 April 2022, dari https://earth.org/fast-fashions-detrimental-effect-on-the-environment/. Overproduksi dari produk intensif-energi membuat industri fesyen juga menjadi pencemar industri terbesar kedua dengan menguasai 10% dari total polusi udara. Jika ditelusuri mulai dari proses produksi hingga distribusi, industri ini mampu menghasilkan 1,2 miliar ton karbon dioksida per tahunnya 16Ro, C. (2020, Maret 11). Can fashion ever be sustainable? BBC Future. Diambil 15 April 2022, dari https://www.bbc.com/future/article/20200310-sustainable-fashion-how-to-buy-clothes-good-for-the-climate.
Egosentrisme Akar Konsumerisme
Melihat dampak buruk bagi lingkungan yang ditimbulkan membuat merek fast fashion mencoba untuk lebih ramah lingkungan, misalnya dengan menggunakan kapas berkelanjutan dan teknologi pewarnaan baru yang mampu mengurangi penggunaan air, energi, dan bahan kimia (Summer, 2017). Seiring perkembangan teknologi, banyak cara yang ditemukan untuk membuat produksi pakaian menjadi lebih efisien dan mengurangi dampak negatif dari segi penawaran. Bagaimana dengan sisi konsumen?
Pernahkah kalian membuka lemari lalu melihat pakaian menumpuk dan tidak pernah kalian pakai? atau tetap membeli pakaian baru walau masih banyak pakaian lama yang belum terpakai? Fenomena tersebut merupakan bentuk dari sifat konsumtif. Sifat konsumtif tersebut menyebabkan kelebihan konsumsi yang justru dapat menjadi penghalang bagi fast fashion menjadi berkelanjutan.
Menurut teori ekonomi konvensional, manusia diasosiasikan dengan makhluk fiksi Homo Economicus yang memiliki ciri utama rasional. Konsumen yang etis akan membuat penilaian rasional tentang pembelian pada hasil terbaik dalam hal biaya dan manfaat bagi mereka dan lingkungan. Namun, pandangan tersebut dirasa terlalu utopis dengan banyak asumsi dan justifikasi berlebihan. Kita semua hanyalah manusia biasa, Homo Sapiens, yang tidak terlepas dari keputusan irasional dan perilaku buruk (Thaler, 2015). Hal inilah yang mendasari perilaku konsumen yang cenderung konsumtif dalam membeli pakaian dan produk fesyen lainnya.
Konsumsi, khususnya dalam produk fesyen biasanya tidak rasional. Faktor-faktor terkait emosi, seperti kegembiraan, kesombongan, dan kesenangan mendominasi keputusan seseorang dalam mengonsumsi produk fesyen. Pakaian dapat dikatakan sebagai media bagi seseorang untuk menunjukkan jati diri dan menetapkan status sosialnya di masyarakat (egotistical drivers) (Steg, et al, 2014). Akibatnya, konsumsi fesyen dalam leisure class theory diidentifikasi sebagai conspicuous consumption yang menjadi simbol dari fungsi kelas sosial dan konsumerisme, buah dari stratifikasi sosial (Veblen, 1899). Alih-alih membeli pakaian karena butuh, masyarakat hanya membeli pakaian sebagai ajang “pamer” semata sehingga esensi kebermanfaatannya menjadi berkurang.
Konsumsi berlebihan dalam produk fesyen juga dapat terjadi akibat bandwagon effect – fenomena psikologis yang membuat individu melakukan konsumsi akibat pengaruh dari lingkungan dan orang lain tanpa melihat pandangannya sendiri. Munculnya banyak koleksi baru dari pergantian musim mode yang cepat membuat masyarakat membuang pakaian lamanya dan tergiur untuk membeli pakaian baru agar tidak ketinggalan zaman. Sekitar 27% masyarakat milenial akan mengganti pakaiannya karena sudah tidak sesuai dengan koleksi musim terbaru 17YouGov. (2017, Desember 6). Fast fashion: 3 in 10 Indonesians have thrown away clothing after wearing it just once. Id.YouGov. Diambil 14 April 2022, dari https://id.yougov.com/en-id/news/2017/12/06/fast-fashion/. Ketika beberapa orang mulai membeli koleksi baru, maka akan menarik masyarakat lainnya untuk membeli hal yang sama.
Irasionalitas dalam mengonsumsi produk fesyen juga dapat dijelaskan melalui Dual-System Theory dan Diversification Bias. Pernahkah kalian melewati jajaran produk fesyen dan tanpa sadar membelinya hanya karena menarik mata? Hal tersebut merupakan pengaruh dari sistem pertama dalam dual-system theory. Sistem pertama tersebut merupakan pikiran manusia yang mengendalikan sikap secara otomatis, cepat, dan tanpa sadar (Kahneman, 2011). Selain itu, dominasi sistem pertama pemikiran manusia dan bandwagon effect yang dikombinasikan dengan diversification bias menyebabkan konsumen membeli banyak pakaian atau produk fesyen di satu musim, namun hanya memakai beberapa bahkan satu diantaranya 18Read, D., & Loewenstein, G. (1995). Diversification bias: Explaining the discrepancy in variety seeking between combined and separated choices. Journal of Experimental Psychology: Applied, 1, 34-49.. Bias dalam behavioral economics tersebut menjadi alasan mengapa kita seringkali memiliki banyak pakaian dalam lemari, namun tanpa sadar hanya memakai beberapa pakaian yang sama setiap waktunya.
Perkembangan Thrifting dalam Perilaku Konsumsi Fesyen
Salah satu tren yang saat ini sedang digemari, khususnya oleh generasi muda dan digadang-gadang dapat menjadi salah satu cara mencapai fesyen berkelanjutan adalah thrifting. Secara sederhana, kita bisa mengidentifikasikan thrifting sebagai kegiatan membeli pakaian atau produk fesyen bekas yang masih layak pakai. Stok pakaian bekas yang dijajakan di toko-toko barang bekas biasanya berasal dari pakaian bekas pribadi, membeli, maupun sumbangan.
Dahulu, membeli barang bekas memiliki stigma negatif mengingat identik dengan konsumen yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Namun, meningkatnya pola konsumsi sadar lingkungan ditambah label-label harga pakaian bekas yang menarik mata membuat thrifting saat ini dilakukan banyak konsumen dari berbagai kelas sosial. Diperkirakan 86% konsumen pada tahun 2020 telah terbuka untuk membeli pakaian bekas, perkiraan ini meningkat hingga 41% dari tahun 2016. Bahkan, diperkirakan bahwa pandemi membuat 42% masyarakat semakin menggandrungi thrifting dan berencana membeli lebih banyak pakaian bekas dalam lima tahun ke depan 19ThredUp. (2021). 2021 Fashion Resale Market and Trend Report. Diambil 16 April 2022, dari https://www.thredup.com/resale/#size-and-impact.
Membeli dan menggunakan kembali pakaian bekas merupakan salah satu upaya menegakkan prinsip reuse dalam hierarki pemanfaatan sampah 3R. Dengan begitu, peredaran pakaian akan menjadi lebih lama, mencegahnya untuk tergeletak tak bermanfaat mencemari lingkungan, serta mengurangi kebutuhan manufaktur untuk memproduksi pakaian baru. Penelitian yang dilakukan oleh ThredUp menunjukan bahwa pembelian pakaian bekas dapat mengurangi 82% emisi karbon, 88% konsumsi energi, dan 98% penggunaan air dibandingkan pakaian baru. Diperkirakan bahwa model bisnis ekonomi sirkular ini sejalan dengan cita-cita Paris Agreement karena mampu menurunkan 143 juta ton (~315B lbs) emisi gas rumah kaca pada tahun 2030.
Ilusi Semu Thrifting dalam Fesyen Berkelanjutan
Secara sekilas, thrifting digadang-gadang dapat menyelamatkan lingkungan dari tren fast fashion yang membahayakan. Namun, hal ini belum mampu mengeliminasi akar permasalahan utama, yaitu kelebihan konsumsi dalam produk pakaian dan fesyen lainnya. Keberlanjutan bukan hanya sekedar berbicara mengenai apa yang kamu pakai, tetapi juga apakah yang kamu beli sesuai dengan kebutuhanmu atau tidak. Jika tidak disikapi dengan baik, thrifting justru dapat menjadi jebakan moral yang mendorong kita untuk lebih konsumtif dalam membeli pakaian.
Thrifting dapat menjadi dalih bagi konsumen untuk mengatasi rasa bersalah karena memiliki budaya konsumsi berlebihan. Dengan membeli banyak pakaian bekas, tidak menghilangkan kebiasaan konsumtif masyarakat atau pemikiran bahwa kita dapat memiliki pakaian baru kapan pun kita dapat memiliki pakaian baru kapan pun kita menginginkannya 20Watson, S. K. (2021, April 26). Thrift shopping is an environmental and ethical trap. Popular Science. Diambil 15 April 2022, dari https://www.popsci.com/story/environment/thrift-second-hand-shopping-sustainable-ethical/. Pakaian bekas dengan harga yang miring justru dapat mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak baju bekas di luar kebutuhan yang ia miliki. Permintaan pakaian bekas yang tinggi menjadi salah satu alasan bermunculannya thrift shop dengan stok pakaian bekas berlimpah. Penawaran stok tersebut secara tidak langsung dapat kembali meningkatkan permintaan pakaian baru yang sebenarnya dihindari. Hal ini terjadi karena pakaian dan produk fesyen yang digantung di toko-toko bekas tidak akan tersedia tanpa adanya produksi fast fashion yang tinggi pula.
Alih-alih membeli lebih sedikit pakaian, kita menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa berbelanja pakaian lebih banyak dapat dibenarkan jika kita menyumbang atau menjual pakaian bekas kita lagi dan lagi dengan harapan bahwa pakaian tersebut akan dimanfaatkan dengan baik. Padahal, berdasarkan data dari GoodWill Donation Center hanya 10 – 20% dari pakaian bekas yang disumbang oleh masyarakat Amerika Serikat dapat dijual kembali 21Watson, S. K. (2021, April 26). Thrift shopping is an environmental and ethical trap. Popular Science. Diambil 15 April 2022, dari https://www.popsci.com/story/environment/thrift-second-hand-shopping-sustainable-ethical/. Sisanya, 80% akan dikirim ke negara lain atau didaur ulang dengan kebutuhan konsumsi energi yang tinggi 22Sandin, G., & Peters, G. M. (2018). Environmental impact of textile reuse and recycling – A review. Journal of Cleaner Production, 184, 353–365. .
Saat ini, meningkatnya popularitas thrifting membawa permasalahan sosial lainnya karena dapat mengancam masyarakat kelas bawah yang memang benar-benar bergantung pada pakaian bekas, bukan untuk gaya dan ingin dipandang keren. Meningkatnya permintaan atas pakaian bekas berdampak pada kecenderungan penjual melakukan mark-up harga yang besar karena popularitas dan permintaan tinggi sehingga akan sulit dijangkau oleh mereka yang benar benar membutuhkan. Hal ini bisa terlihat dari tren peningkatan harga di Depop, salah satu toko daring peer-to-peer produk fesyen terbesar. Kaos yang mungkin berharga kurang dari $5 di Goodwill dapat dijual empat hingga tujuh ratus kali lipat di Depop 23Norvill, Y. (2020, August 13). Is Depop being gentrified? Sellers and users weigh in on the debate. Dazed. Diambil 16 April 2022, dari https://www.dazeddigital.com/fashion/article/50108/1/depop-gentrification-rare-vintage-expensive-prices-secondhand-sustainability.
“Demand Creates its Own Supply”, selagi masih tinggi permintaan pakaian berlebihan, baik itu baru maupun bekas akan tetap menyebabkan produksi berlebihan pakaian dan produk fesyen yang berdampak buruk bagi lingkungan. Oleh karena itu, dibanding mencoba membeli pakaian bekas dengan sifat konsumtif yang tetap melekat, lebih baik untuk mencoba menekan sikap konsumtif dengan hidup lebih minimalis. Kita mampu berkontribusi mengurangi dampak negatif industri tekstil dan pakaian dengan berhenti membeli pakaian dan produk fesyen yang tidak benar-benar dibutuhkan hanya karena gengsi semata.
Editor: Alfina Nur Afriani, Jeni Rima Puspita
Referensi
↵1 | Farago, A. (2017, Oktober 18). The Textile Industry During the Industrial Revolution. globalEDGE. Diambil 10 April 2022, dari https://globaledge.msu.edu/blog/post/54483/the-textile-industry-during-the-industrial-revolution#:%7E:text=Before%20the%20Industrial%20Revolution%2C%20textiles,schedules%20and%20was%20largely%20unproductive |
---|---|
↵2 | Rauturier, S. (2022, 1 April). What Is Fast Fashion and Why Is It So Bad? Good On You. Diambil 10 April 2022, dari https://goodonyou.eco/what-is-fast-fashion/ |
↵3 | Stanton, A. (2022, Maret 21). What Does Fast Fashion Mean, Anyway? The Good Trade. Diambil 11 April 2022, dari https://www.thegoodtrade.com/features/what-is-fast-fashion |
↵4 | Environmental Protection Agency (EPA). (2021, Juli 2). Textiles: Material-Specific Data. US EPA. Diambil 12 April 2022, dari https://www.epa.gov/facts-and-figures-about-materials-waste-and-recycling/textiles-material-specific-data#TextilesTableandGraph |
↵5 | Grand Review Research. (2022, Februari). Global Textile Market Size & Share Report, 2022–2030. Grandviewresearch. Diambil 13 April 2022, dari https://www.grandviewresearch.com/industry-analysis/textile-market#:%7E:text=The%20global%20textile%20market%20size%20was%20estimated%20at%20USD%20993.6,USD%201%2C420.3%20billion%20by%202030. |
↵6 | Kusnandar, V. B. (2022, Maret 25). Industri Pakaian Jadi dan Tekstil Kembali Mengalami Kontraksi 4,08% pada 2021. katadata. Diambil 13 April 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/25/industri-pakaian-jadi-dan-tekstil-kembali-mengalami-kontraksi-408-pada-2021 |
↵7 | Chesh, P. (n.d.). Textiles (HS Section: XI) Product Trade, Exporters and Importers | OEC. OEC. Diambil 14 April 2022, dari https://oec.world/en/profile/hs92/textiles?yearSelector1=tradeYear1 |
↵8 | Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri Manufaktur (Persen), 2018–2020. BPS. Diambil 14 April 2022, dari https://www.bps.go.id/indicator/9/1217/1/proporsi-tenaga-kerja-pada-sektor-industri-manufaktur.html |
↵9 | Mellor, S. (2021, April 29). Changing fashions: Retailers are dealing with deadstock more openly. Fortune. Diambil 14 April 2022, dari https://fortune.com/2021/04/29/retail-deadstock-unsold-clothes-fashion-supply-chain-covid/ |
↵10 | Young, E. (2020, Agustus 5). Fashion Waste Is Rubbish – Yes, But This Is Not The Issue. Fibre2Fashion. Diambil 15 April 2022, dari https://www.fibre2fashion.com/industry-article/8736/fashion-waste-is-rubbish-yes-but-this-is-not-the-issue |
↵11 | IUCN. (2017). Primary Microplastics in The Oceans. https://doi.org/10.2305/IUCN.CH.2017.01.en |
↵12 | UNEP. (2019). UN Alliance For Sustainable Fashion addresses damage of ‘fast fashion.’ UN Environment. Diambil 15 April 2022, dari https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/un-alliance-sustainable-fashion-addresses-damage-fast-fashion |
↵13, ↵15 | Maiti, R. (2021, April 13). Fast Fashion: Its Detrimental Effect on the Environment. Earth.Org. Diambil 13 April 2022, dari https://earth.org/fast-fashions-detrimental-effect-on-the-environment/ |
↵14 | Wibawa, S. W. (2020, Februari 21). Riset Buktikan, Sungai Ciliwung Termasuk Sungai Terkotor di Dunia Halaman all – Kompas.com. KOMPAS. Diambil 15 April 2022, dari https://sains.kompas.com/read/2020/02/21/123228123/riset-buktikan-sungai-ciliwung-termasuk-sungai-terkotor-di-dunia?page=all |
↵16 | Ro, C. (2020, Maret 11). Can fashion ever be sustainable? BBC Future. Diambil 15 April 2022, dari https://www.bbc.com/future/article/20200310-sustainable-fashion-how-to-buy-clothes-good-for-the-climate |
↵17 | YouGov. (2017, Desember 6). Fast fashion: 3 in 10 Indonesians have thrown away clothing after wearing it just once. Id.YouGov. Diambil 14 April 2022, dari https://id.yougov.com/en-id/news/2017/12/06/fast-fashion/ |
↵18 | Read, D., & Loewenstein, G. (1995). Diversification bias: Explaining the discrepancy in variety seeking between combined and separated choices. Journal of Experimental Psychology: Applied, 1, 34-49. |
↵19 | ThredUp. (2021). 2021 Fashion Resale Market and Trend Report. Diambil 16 April 2022, dari https://www.thredup.com/resale/#size-and-impact |
↵20, ↵21 | Watson, S. K. (2021, April 26). Thrift shopping is an environmental and ethical trap. Popular Science. Diambil 15 April 2022, dari https://www.popsci.com/story/environment/thrift-second-hand-shopping-sustainable-ethical/ |
↵22 | Sandin, G., & Peters, G. M. (2018). Environmental impact of textile reuse and recycling – A review. Journal of Cleaner Production, 184, 353–365. |
↵23 | Norvill, Y. (2020, August 13). Is Depop being gentrified? Sellers and users weigh in on the debate. Dazed. Diambil 16 April 2022, dari https://www.dazeddigital.com/fashion/article/50108/1/depop-gentrification-rare-vintage-expensive-prices-secondhand-sustainability |
Discussion about this post