“Indah itu relatif, semuanya kembali ke diri masing-masing ya”
“Indah itu akal-akalan penjajah”
Keindahan adalah sejumlah atribut pada sesuatu yang memberikan kesenangan kepada indera dan pikiran1Oxford University Press. “beauty noun – Definition, pictures, pronunciation and usage notes | Oxford Advanced American Dictionary at OxfordLearnersDictionaries.com.” Oxford Learner’s Dictionaries, Oxford University Press. Keindahan adalah pengalaman yang sangat manusiawi. Kita tahu sensasi yang kita alami ketika melihat sesuatu yang indah dan tahu sesuatu itu indah ketika melihatnya.
Akan tetapi, apa sebenarnya hal yang menimbulkan sensasi kesenangan pada indra atau pikiran kita itu? Mengapa sesuatu itu dapat menimbulkan kesenangan, sedangkan lainnya tidak? Apakah sesuatu itu kita pelajari? Apakah ada sesuatu yang memberikan kesenangan kepada indera dan pikiran kita secara universal dan objektif?
Keindahan sebagai manifestasi dari sebuah ide
Jika kita menggunakan framework dari Plato’s Theory of Forms, memang ada sesuatu yang menyebabkan kesenangan kepada indera dan pikiran kita secara universal. Dalam framework tersebut, Plato menyatakan bahwa semua bentuk fisik yang ada di dunia ini hanyalah tiruan yang tidak sempurna dari sebuah ide. Bentuk fisik selalu berubah, sedangkan ide tetap konstan. Ada sebuah identitas dari suatu hal yang menyebabkan kesenangan kepada indera dan pikiran kita secara universal. Namun, identitas dari hal tersebut bersifat intangible; layaknya sebuah ide. Keindahan yang dimanifestasikan merupakan “Forms”, tetapi keindahan itu sendiri merupakan ide. Dengan demikian, manifestasi dari keindahan akan selalu berubah. Namun, ide akan keindahan akan tetap sama.
Kita melihat bahwa sepanjang zaman, manifestasi dari ide keindahan tersebut terus muncul. Kecenderungan manusia untuk memilih pasangan yang sehat secara fisik 2Krupp D. B., DeBruine L. M., Jones B. C. In press. Apparent health encourages reciprocity. Evol. Hum. Behav. atau mempunyai wajah yang simetri3Grammer K, Thornhill R. Human (Homo sapiens) facial attractiveness and sexual selection: the role of symmetry and averageness. J Comp Psychol. 1994 Sep;108(3):233-42. doi: 10.1037/0735-7036.108.3.233. PMID: 7924253 merupakan salah satu manifestasi keindahan yang sering diobservasi sepanjang zaman. Lantas, apakah selama puluhan ribu tahun keberadaan manusia di bumi ini ada sesuatu, sebuah manifestasi, yang tetap konsisten sepanjang zaman?
“Is no quality in things themselves: it exists merely in the mind which contemplates them; and each mind contemplates a different beauty”
Beauty is in the eye of the beholder – David Hume
Perkataan Hume di atas dapat memberikan kita gambaran tentang persepsi umum yang ada pada masyarakat terhadap keindahan yang bersifat subjektif. Lantas, jika keindahan bersifat subjektif, mengapa banyak orang berbondong-bondong berusaha menggapai standar kecantikan di masyarakatnya?
Banyak orang menganggap bahwa keindahan dipelajari secara perlahan melalui exposure to culturally presented ideals. Hal tersebut didukung oleh penemuan yang dilakukan oleh Robert Zajonc. Pada tahun 1960-an, Robert Zajonc melakukan eksperimen dan menemukan bahwa semakin sering sebuah individu melakukan “kontak” dengan stimulus yang diberikan, semakin besar kemungkinannya untuk mengenali dan memberi nilai yang tinggi (fluent)4Zajonc, R. B. (1968). Attitudinal effects of mere exposure. Journal of Personality and Social Psychology, 9(2, Pt.2), 1–27.. Stimulus yang dapat diberikan tidak hanya terbatas pada kata dan frasa seperti yang dilakukan Zajonc pada eksperimennya, tetapi juga ide, seperti keindahan.
Hal tersebut membuat penulis bertanya-tanya “apakah sesuatu yang ‘indah’ itu adalah sesuatu yang arbitrer dan selalu berubah tergantung stimulus yang diberikan? Jika iya, mengapa banyak orang Indonesia yang terobsesi untuk memiliki kulit yang putih dan bukan kuning langsat atau sawo matang yang sering ia lihat?
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1993 oleh Zebrowitz, juri-juri diberi perintah untuk menilai physical-attractiveness pada 24 Korean, 20 White-American, dan 24 African-American. Hasilnya adalah juri-juri tersebut memberi nilai yang tinggi pada etnis mereka sendiri5Zebrowitz, L. A., Montepare, J. M., & Lee, H. K. (1993). They don’t all look alike: Individual impressions of other racial groups. Journal of Personality and Social Psychology, 65(1), 85–101..
Selanjutnya, Burke yang melakukan penelitian serupa menemukan bahwa familiarity juri-juri yang tinggi terhadap etnis mereka sendiri membuat mereka lebih mengenali sexually dimorphic traits sehingga mereka lebih fluent pada etnis mereka sendiri6Burke D, Nolan C, Hayward WG, Russell R, Sulikowski D. Is There an Own-Race Preference in Attractiveness? Evolutionary Psychology. October 2013. doi:10.1177/147470491301100410.
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa semakin sering stimulus diberikan, maka peningkatan fluency (kemampuan subjek untuk mengenali objek dan menilai stimulus yang diberikan dengan nilai yang tinggi) pada akhirnya mencapai plateau7Delplanque, S., Coppin, G., Bloesch, L., Cayeux, I., & Sander, D. (2015). The mere exposure effect depends on an odor’s initial pleasantness. Frontiers in psychology, 6, 911. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00920. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan, seberapa banyak pun usaha yang orang kulit putih berikan untuk membuat kita, orang Indonesia, mengenali dan memberi nilai yang tinggi terhadap standar kecantikan mereka melalui media sosial hanya akan berpengaruh sampai tingkat tertentu karena adanya plateau tersebut.
Namun mungkin kita bertanya, “Apabila setiap etnis dan budaya di dunia ini memiliki standar keindahannya sendiri, apakah mungkin ada sesuatu yang bisa menjadi indah secara universal?”. Ya, Bisa8Langlois, J. H., Kalakanis, L., Rubenstein, A. J., Larson, A., Hallamm, M. & Smoot, M. 2000 Maxims or myths of beauty? A meta-analytic and theoretical review. Psychol. Bull. 126, 390–423.
“The real problem of humanity is the following: We have Paleolithic emotions, medieval institutions and godlike technology,”
The Primitive Brain – Edward O. Wilson
Penting untuk kita ketahui bahwa semua hal yang unik dari Homo sapiens, seperti otak dan tubuh, “didesain” di padang rumput Afrika pada zaman Pleistosen dan masih bertahan sampai sekarang9Quirk, Joe. It’s Not You, It’s Biology.: The Science of Love, Sex, and Relationships. Running Press, 2008. Lingkungan dimana emosi kita dilatih dan ditempa sudah jauh berbeda dengan lingkungan kita sekarang. Namun, hardware yang menjalankan emosi tersebut tidak mengalami banyak perubahan. Peradaban modern memenuhi setiap impian hominin Pleistosen10Rafferty, John P., and Encyclopaedia Britannica. “hominin | Definition, Characteristics, & Family Tree | Britannica.” Encyclopedia Britannica, tetapi hal tersebut tidak menghalangi hominin modern untuk terus membuat impian baru. Walaupun kita sudah mempunyai kehidupan yang mewah dan berbeda jauh dari nenek moyang Pleistosen kita, kita masih “melihat” dunia dengan kacamata yang sama dengan mereka. Hal tersebut penting untuk kita ketahui karena kita akan berusaha untuk membongkar cita rasa artistik dan pilihan kita sekarang dengan menggunakan informasi kehidupan manusia yang kita ketahui pada zaman Pleistosen.
Darwinian Theory of Beauty
Proses evolusi memengaruhi organisme dalam segala aspek, mulai dari bentuk fisik hingga perilakunya, seperti persepsi dan preferensi. Contohnya, ada kecenderungan perilaku berbeda di hewan dengan jenis kelamin berbeda sebagai konsekuensi dari peran reproduksi yang berbeda11Committee on Understanding the Biology of Sex and Gender Differences, et al. Exploring the Biological Contributions to Human Health: Does Sex Matter? Edited by Theresa M. Wizemann and Mary-Lou Pardue, National Academies Press, 2001. Evolusi bekerja melalui dua mekanisme utama 12A Darwinian theory of beauty | Denis Dutton, yaitu:
- Seleksi alam.
Mutasi acak dan penyimpangan selektif. Seleksi alam mendorong organisme untuk memecahkan masalah yang ada di alam dengan efisien dan terspesialisasi. Seleksi ini terus mengasah setiap ciri khas untuk mendapatkan optimum efficiency, to get the job done with no extra frills.
- Seleksi seksual
Berbeda dengan seleksi alam, seleksi seksual mendorong organisme untuk membuat anggota lawan jenis terkesan dengan menggunakan sumber daya seboros mungkin13Andersson M. 1994. Sexual selection. Princeton, NJ: Princeton University Press. Seleksi alam adalah “struggle for existence” sedangkan seleksi seksual adalah “struggle for mates”
Untuk semua sifat organisme, seperti preferensi dan persepsi pada manusia, terdapat cost and benefit tradeoff14Zebrowitz-McArthur L., Baron R. M. 1983. Toward and ecological approach to social perception. Psychol. Rev. 90, 215–23810.1037/0033-295X.90.3.215. Melalui sebuah mekanisme biologis, yaitu mutasi dan kombinasi, sifat organisme tumbuh. Ia akan melewati seleksi dari lingkungan dan yang tersisa adalah yang tidak tereliminasi oleh selection pressure yang ada. Jika hal tersebut memberikan manfaat survival dan reproduksi melebihi pengorbanan atribut tertentu, sifat tersebut akan diturunkan oleh organisme pembawa sifat tersebut. Organisme seksual menurunkan gen-gennya melalui proses perkawinan. Organisme yang tidak dikawini akan terseleksi dan tidak menurunkan gen-gennya. Lama kelamaan, sifat yang tidak tereliminasi akan menjadi sifat yang dimiliki universal oleh suatu populasi. Jadi, sifat manusia terbentuk sejalan dengan kebutuhan survival-nya dan reproduktifnya15Zebrowitz-McArthur L., Baron R. M. 1983. Toward and ecological approach to social perception. Psychol. Rev. 90, 215–23810.1037/0033-295X.90.3.215.
Contohnya, mayoritas dari kita, manusia, cenderung merasa takut atau merinding pada rumput tinggi yang bergoyang sendiri pada malam hari. Sifat takut tersebut terbentuk sejalan dengan kebutuhan survival manusia. Penyebabnya adalah, di awal peradaban, manusia hidup di hutan atau padang rumput yang mempunyai rumput yang tinggi dan bertetangga dengan predator manusia, seperti singa, harimau, ular, dan lain-lain. Manusia yang tidak mempunyai gen takut terhadap rumput tinggi yang bergoyang sendiri akan rentan dimakan predator akibat berkeliaran dalam kondisi di mana ia tidak bisa melihat dan waspada. Akhirnya, manusia yang mempunyai gen yang mempunyai insting takut pada rumput tinggi yang bergoyang, mempunyai anak lebih banyak.
Hal yang sama berlaku untuk selera keindahan. Keindahan terikat pada hukum evolusi. Keindahan, berfungsi sebagai alat pemandu hewan, termasuk manusia, untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar agar dapat melanjutkan kelangsungan hidup. Evolusi membuat suatu trik untuk membuat sesuatu itu indah dengan mengerahkan semacam efek magnet untuk memberi kita kesenangan dengan hanya melihatnya. Pada tulisan ini, penulis akan membagi keindahan atau beauty menjadi tiga bagian, yaitu keindahan alam, keindahan seni, dan keindahan fisik (fisik manusia).
Pertama adalah natural beauty. Orang dengan budaya berbeda dari seluruh dunia punya kecenderungan umum untuk menganggap indah pemandangan alam tertentu walaupun mereka sendiri tidak mempunyai alam tersebut di tempat tinggal mereka16Hägerhäll, Caroline M et al. “Do Humans Really Prefer Semi-open Natural Landscapes? A Cross-Cultural Reappraisal.” Frontiers in psychology vol. 9 822. 29 May. 2018, doi:10.3389/fpsyg.2018.00822. Misalnya, pemandangan yang dilengkapi dengan air bersih, pepohonan, hewan-hewan seperti domba dan sapi, yang merupakan sumber daya fundamental untuk manusia, cenderung disukai secara universal17Hägerhäll, Caroline M et al. “Do Humans Really Prefer Semi-open Natural Landscapes? A Cross-Cultural Reappraisal.” Frontiers in psychology vol. 9 822. 29 May. 2018, doi:10.3389/fpsyg.2018.00822. Merujuk pada framework yang telah dipaparkan sebelumnya, andaikan pernah ada variasi gen yang menganggap tanah kering tanpa air dan tumbuhan sebagai sesuatu yang indah, kemungkinannya gen tersebut sudah punah atau sangat minim dalam suatu populasi akibat.
Kedua, artistic beauty. Ahli Biologi Evolusi berpendapat bahwa art evolved for courtship. Mengutip dari Geoffrey miller dari The Mating Mind18Miller, Geoffrey. The Mating Mind: How Sexual Choice Shaped the Evolution of Human Nature. Anchor Books, 2001, dia menyebutkan bahwa “in biological terms, human art is just another ‘signaling system’, like bee dances, bird songs or gorilla chest-thumping.” Manusia punya kecenderungan untuk melihat keindahan pada hal-hal yang dibuat dengan keterampilan (craftsmanship) tinggi karena yang dianggap indah biasanya menunjukkan sinyal kualitas individu dengan koordinasi mata dan tangan yang baik, kecerdasan, ketelitian, kreativitas, kemampuan berinovasi, dan kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap bahan berkualitas. Sifat-sifat ini sangat menunjang survival. Jadi, semakin susah sesuatu itu dibuat, baik lukisan, patung, musik maupun film, maka semakin sesuatu itu kita anggap indah.
“We find beauty in something done well”
– Denis Dutton
Ketiga, physical beauty. Pada bagian ini, kita akan banyak menggunakan konsep sexual selection. Physical beauty sangat penting bagi manusia. Sadar tidak sadar, kita, manusia, mengandalkan ciri-ciri eksternal (physical beauty) untuk menilai seseorang. Terdapat ciri-ciri fisik tertentu yang dianggap sebagai physically attractive yang dapat ditemukan di berbagai budaya yang berbeda19Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366. Phil. Trans. R. Soc. B. Hal yang sama berlaku untuk semua Animalia. Hampir semua non-human species mengandalkan ciri-ciri eksternal, seperti ukuran tubuh, warna, dan bentuk untuk menarik perhatian dan memilih pasangan20Andersson M. 1994. Sexual selection. Princeton, NJ: Princeton University Press. Anggap saja bahwa kita hidup di padang rumput Afrika pada zaman Pleistosen. Cukup menggunakan spekulasi, kita bisa melihat bahwa terdapat keuntungan selektif yang besar dan sangat jelas dalam mendeteksi pasangan yang sehat.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa peserta lebih bersedia untuk memercayai pasangan yang tampak sehat daripada pasangan yang relatif tidak tampak sehat21Krupp D. B., DeBruine L. M., Jones B. C. In press. Apparent health encourages reciprocity. Evol. Hum. Behav.. Hal tersebut menunjukan bahwa pentingnya persepsi kita tentang sehat tidak sehat dalam pemilihan pasangan. Akan tetapi, bagaimana mereka yang dulu hidup di padang rumput Afrika pada zaman Pleistosen bisa mengetahui apakah seseorang sehat atau tidak tanpa peralatan kedokteran modern?
Ingat kembali “We find beauty in something done well”. Individu yang memiliki ciri fisik yang “diciptakan” dengan baik, mengindikasikan bahwa ia memiliki genetic health yang baik pula. 4 ciri fisik tersebut adalah averageness, symmetry, dan secondary sexual characteristics 22Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366. Phil. Trans. R. Soc. B.
Averageness adalah tingkat kedekatan sebuah wajah menyerupai wajah lain dalam suatu populasi. Wajah tersebut mewakili tendensi sentral suatu kelompok23Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366. Phil. Trans. R. Soc. B. Terdapat beberapa argumen mengapa kita, menyukai wajah yang seperti ini, yaitu: Pertama, individu yang mempunyai averageness yang tinggi, memiliki mixed features yang merepresentasikan populasi yang berbeda-beda dan barangkali harbor greater genetic diversity dan adaptability kepada lingkungan sekitar24Thornhill R., Gangestad S. W. 1993. Human facial beauty: averageness, symmetry, and parasite resistance.. Ditambah lagi, merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Burke25Burke D, Nolan C, Hayward WG, Russell R, Sulikowski D. Is There an Own-Race Preference in Attractiveness? Evolutionary Psychology. October 2013. doi:10.1177/147470491301100410, wajah yang memiliki mixed features dinilai lebih menarik akibat memiliki fitur yang lebih beragam, sehingga memudahkan semua orang untuk mengenali sexually dimorphic traits. Selain itu, pada sebuah jurnal yang ditulis oleh Thornhill dan Gangestad26Thornhill R., Gangestad S. W. 1993. Human facial beauty: averageness, symmetry, and parasite resistance., mereka beranggapan bahwa jika sebuah individu memiliki gen yang lebih beragam, suatu parasit akan sulit untuk beradaptasi pada tubuh individu tersebut. Itulah mengapa, mayoritas dari manusia, tidak menyukai pernikahan sedarah. Kedua, individu tersebut akan cenderung tidak memiliki homozygous for deleterious alleles27Thornhill R., Gangestad S. W. 1993. Human facial beauty: averageness, symmetry, and parasite resistance.. Ketiga, individu tersebut mempunyai adaptabilitas lebih tinggi akibat memiliki keragaman genetis28Thornhill R., Gangestad S. W. 1993. Human facial beauty: averageness, symmetry, and parasite resistance..
Symmetry adalah tingkat kesamaan setengah dari suatu objek dengan setengah lainnya29Møller A. P., Swaddle J. P. 1997. Asymmetry, developmental stability, and evolution. Oxford, UK: Oxford University Press sedangkan secondary sexual characteristics adalah tingkat fisik dari laki-laki dan perempuan dalam menunjukan karakteristik kemaskulinan atau kefeminiman30Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366Phil. Trans. R. Soc. B. Tiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam aktivitas hormon, seperti estrogen dan testosteron, yang menyebabkan fitur-fitur maskulin atau feminin, serta dalam mempertahankan perkembangan morfologi yang stabil31Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366Phil. Trans. R. Soc. B. Kedua kemampuan ini membutuhkan pengeluaran biaya yang besar bagi tubuh32Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366Phil. Trans. R. Soc. B.
Hal yang menarik adalah testosterone sering dihubungkan dengan suppression of immune function pada banyak spesies33Yesilova Z., Ozata M., Kocar I. H., Turan M., Pekel A., Sengul A., Caglayan Ozdemir I. 2000. The effects of gonadotropin treatment on the immunological features of male patients with idiopathic hypogonadotropic hypogonadism. J. Clin. Endocrinol. Metab. 85, 66–7010.1210/jc.85.1.66 Keterkaitan kesimetrisan dengan kesehatan juga masih diperdebatkan. Ada beberapa bukti yang menyebutkan tidak ada keterkaitan antara symmetry dengan kualitas genetic health34Dufour K. W., Weatherhead P. J. 1998. Bilateral symmetry and social dominance in captive male red-winged blackbirds. Behav. Ecol. Sociobiol. 42, 71–7610.1007/s002650050413. Terdapat juga bukti yang menyebutkan symmetry mempunyai korelasi yang positif dengan jumlah sperma pada laki-laki35Manning J. T., Scutt D., Lewis-Jones D. I. 1998. Developmental stability, ejaculate size, and sperm quality in men. Evol. Hum. Behav. dan kesuburan yang baik pada perempuan36Manning J. T., Scutt D., Whitehouse G. H., Leinster S. J. 1997. Breast asymmetry and phenotypic quality in women. Evol. Hum. Behav. 18, 223–23610.1016/S0162-3095(97)00002-0Manning J. T., Scutt D., Whitehouse G. H., Leinster S. J. 1997. Breast asymmetry and phenotypic quality in women. Evol. Hum. Behav. 18, 223–23610.1016/S0162-3095(97)00002-0. Walaupun demikian, kita tidak harus peduli apakah sesuatu itu memberikan kita manfaat atau tidak. Konsep seleksi seksual yang menyebutkan bahwa seleksi tersebut mendorong organisme untuk membuat anggota lawan jenis terkesan yang akhirnya memberikan manfaat reproduksi. Jika manfaat reproduksi melebihi biaya, sifat itu akan bertahan. Mereka semua hanya berfungsi sebagai pemberi “sinyal” genetic fitness suatu individu.
Contohnya, ekor pada burung merak. Ekor burung mereka, tidak sama sekali membantu mereka untuk beradaptasi pada lingkungan sekitar. Ekornya tidak membuat mereka bisa terbang, berenang, bahkan berlari cepat. Bahkan sebaliknya, ekor burung Merak membuatnya lebih rentan dilihat oleh predator-predator burung merak. Namun, Hanya burung Merak yang sehat secara genetis yang dapat mempertahankan atau “membentuk” sesuatu yang luar biasa boros dan tidak berguna. Jika demikian, ekor burung Merak sekarang berfungsi sebagai “sinyal” kesehatan genetik burung Merak37Straffon LM (2021) The Peacock Fallacy: Art as a Veblenian Signal. Front. Psychol. 12:767409. doi: 10.3389/fpsyg.2021.767409.
Conclusion
Menerima bahwa faktor biologis turut memengaruhi proses penentuan preferensi kita terhadap keindahan bukan berarti kita menutup mata pada kemampuan pengalaman dan lingkungan yang dialami individu dalam membentuk preferensi keindahannya. Manusia adalah makhluk kompleks. Ia dapat berpikir, dapat merangsang, dan dapat dirangsang.
Keindahan bukanlah sekedar konstruksi sosial. Pada dasarnya, ia mendarah daging di dalam kita. Keindahan adalah salah satu cara yang dimiliki evolusi dalam mendorong kita untuk membuat keputusan yang paling adaptif untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Keindahan adalah efek adaptif yang kita buat dan perkuat dalam pembuatan dan penikmatan dari karya seni dan hiburan. Keindahan adalah cara alam bekerja pada jarak jauh.
Referensi
↵1 | Oxford University Press. “beauty noun – Definition, pictures, pronunciation and usage notes | Oxford Advanced American Dictionary at OxfordLearnersDictionaries.com.” Oxford Learner’s Dictionaries, Oxford University Press |
---|---|
↵2, ↵21 | Krupp D. B., DeBruine L. M., Jones B. C. In press. Apparent health encourages reciprocity. Evol. Hum. Behav. |
↵3 | Grammer K, Thornhill R. Human (Homo sapiens) facial attractiveness and sexual selection: the role of symmetry and averageness. J Comp Psychol. 1994 Sep;108(3):233-42. doi: 10.1037/0735-7036.108.3.233. PMID: 7924253 |
↵4 | Zajonc, R. B. (1968). Attitudinal effects of mere exposure. Journal of Personality and Social Psychology, 9(2, Pt.2), 1–27. |
↵5 | Zebrowitz, L. A., Montepare, J. M., & Lee, H. K. (1993). They don’t all look alike: Individual impressions of other racial groups. Journal of Personality and Social Psychology, 65(1), 85–101. |
↵6, ↵25 | Burke D, Nolan C, Hayward WG, Russell R, Sulikowski D. Is There an Own-Race Preference in Attractiveness? Evolutionary Psychology. October 2013. doi:10.1177/147470491301100410 |
↵7 | Delplanque, S., Coppin, G., Bloesch, L., Cayeux, I., & Sander, D. (2015). The mere exposure effect depends on an odor’s initial pleasantness. Frontiers in psychology, 6, 911. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00920 |
↵8 | Langlois, J. H., Kalakanis, L., Rubenstein, A. J., Larson, A., Hallamm, M. & Smoot, M. 2000 Maxims or myths of beauty? A meta-analytic and theoretical review. Psychol. Bull. 126, 390–423 |
↵9 | Quirk, Joe. It’s Not You, It’s Biology.: The Science of Love, Sex, and Relationships. Running Press, 2008 |
↵10 | Rafferty, John P., and Encyclopaedia Britannica. “hominin | Definition, Characteristics, & Family Tree | Britannica.” Encyclopedia Britannica |
↵11 | Committee on Understanding the Biology of Sex and Gender Differences, et al. Exploring the Biological Contributions to Human Health: Does Sex Matter? Edited by Theresa M. Wizemann and Mary-Lou Pardue, National Academies Press, 2001 |
↵12 | A Darwinian theory of beauty | Denis Dutton |
↵13, ↵20 | Andersson M. 1994. Sexual selection. Princeton, NJ: Princeton University Press |
↵14, ↵15 | Zebrowitz-McArthur L., Baron R. M. 1983. Toward and ecological approach to social perception. Psychol. Rev. 90, 215–23810.1037/0033-295X.90.3.215 |
↵16, ↵17 | Hägerhäll, Caroline M et al. “Do Humans Really Prefer Semi-open Natural Landscapes? A Cross-Cultural Reappraisal.” Frontiers in psychology vol. 9 822. 29 May. 2018, doi:10.3389/fpsyg.2018.00822 |
↵18 | Miller, Geoffrey. The Mating Mind: How Sexual Choice Shaped the Evolution of Human Nature. Anchor Books, 2001 |
↵19, ↵22, ↵23 | Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366. Phil. Trans. R. Soc. B |
↵24, ↵26, ↵27, ↵28 | Thornhill R., Gangestad S. W. 1993. Human facial beauty: averageness, symmetry, and parasite resistance. |
↵29 | Møller A. P., Swaddle J. P. 1997. Asymmetry, developmental stability, and evolution. Oxford, UK: Oxford University Press |
↵30, ↵31, ↵32 | Little Anthony C., Jones Benedict C. and DeBruine Lisa M. Facial attractiveness: evolutionary based research 366Phil. Trans. R. Soc. B |
↵33 | Yesilova Z., Ozata M., Kocar I. H., Turan M., Pekel A., Sengul A., Caglayan Ozdemir I. 2000. The effects of gonadotropin treatment on the immunological features of male patients with idiopathic hypogonadotropic hypogonadism. J. Clin. Endocrinol. Metab. 85, 66–7010.1210/jc.85.1.66 |
↵34 | Dufour K. W., Weatherhead P. J. 1998. Bilateral symmetry and social dominance in captive male red-winged blackbirds. Behav. Ecol. Sociobiol. 42, 71–7610.1007/s002650050413 |
↵35 | Manning J. T., Scutt D., Lewis-Jones D. I. 1998. Developmental stability, ejaculate size, and sperm quality in men. Evol. Hum. Behav. |
↵36 | Manning J. T., Scutt D., Whitehouse G. H., Leinster S. J. 1997. Breast asymmetry and phenotypic quality in women. Evol. Hum. Behav. 18, 223–23610.1016/S0162-3095(97)00002-0Manning J. T., Scutt D., Whitehouse G. H., Leinster S. J. 1997. Breast asymmetry and phenotypic quality in women. Evol. Hum. Behav. 18, 223–23610.1016/S0162-3095(97)00002-0 |
↵37 | Straffon LM (2021) The Peacock Fallacy: Art as a Veblenian Signal. Front. Psychol. 12:767409. doi: 10.3389/fpsyg.2021.767409 |
Discussion about this post