Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-34 yang diadakan di Universitas Sumatera Utara pada Oktober lalu telah berakhir dengan Universitas Gadjah Mada sebagai juara umum. Dengan kemenangan ini, UGM berhasil mengukuhkan posisinya sebagai juara umum PIMNAS selama empat tahun berturut-turut. Lalu bagaimana dengan Universitas Indonesia? Universitas Indonesia harus puas mengakhiri ajang perlombaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) ini pada urutan ke-21 dengan perolehan 1 medali perak dan 1 medali perunggu.
Hal ini cukup disayangkan. Pasalnya, UI merupakan salah satu pelopor lahirnya Pekan Ilmiah Nasional yang diadakan pertama kali di tahun 1990 silam dengan nama Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa (LKIM). Jika dibandingkan dengan kampus-kampus ternama di Indonesia, di atas kertas UI seharusnya dapat bersaing, mengingat pengalaman dan catatan historisnya yang cukup panjang dalam sejarah pelaksanaan lomba PIMNAS ini.
Untuk itu, Economica mencoba menelusuri lebih lanjut kepada Taufiq Priambodo selaku pendamping kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa di bidang penalaran Ditmawa, Lina Miftahul Jannah, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI sekaligus reviewer dan juri di PKM Nasional, serta Yogie Sani selaku perwakilan BEM UI yang menemani Ditmawa dalam wawancara yang dilakukan pada, Jumat (12/11) lalu.
Minimnya Prestasi akibat Ketidakstabilan pada PKM Center UI
Menanggapi pencapaian UI di Pimnas tahun ini, Taufiq Priambodo, mengakui bahwa memang pencapaian UI masih jauh dari harapan. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak hal, terlebih dalam sumber daya manusia dan pembimbing. Dalam hal sumber daya manusia, PKM Center sebagai lembaga yang menaungi PKM masih mengalami ketidakstabilan organisasinya sendiri. “PKM Center yang sudah ada sebelum 2020, sub-unit tersebut sempat ditiadakan,” sambung Taufiq.
Menyambung perihal ketidakstabilan organisasi, Lina juga menyampaikan, dalam setahun terdapat tiga kali pergantian personel yang berada di PKM Center UI. Ketidakstabilan ini juga mengharuskan PKM Center tidak aktif dalam satu tahun terakhir ini yang mengakibatkan kurangnya pengawalan. “Proposal yang sudah didanai atau akan didanai pada tahun tersebut, ketika dinyatakan lolos ke Pimnas, tidak ada proses pendampingan atau sedikit sekali proses pendampingan,” ucap Taufiq.
Taufik mengharapkan adanya dukungan dari pihak universitas, khususnya dukungan dosen sangat diperlukan. Diperlukan dedikasi penuh agar PKM Center tidak menjadi hanya sekedar unit lampiran, tetapi menjadi pusat PKM UI menuju PIMNAS. “Jadi, PKM Center bukan hanya sekadar administratif,” ucap Lina.
Dosen dan Pengajaran Internal Fakultas juga Menjadi Sorotan
Lina menyebutkan bahwa kesalahan tidak bisa sepenuhnya diletakkan kepada PKM Center. Menurutnya, dosen pendamping juga berperan terhadap prestasi yang akan didulang di pagelaran Pimnas. “Dosen pendamping ada yang modelnya hanya tanda tangan dan gak pernah, bahkan mau mengomentari pekerjaan mahasiswanya,” tegas Lina. Padahal, menurut Lina, prinsip PKM itu bukanlah kegiatan sambilan. Ia pun menyayangkan masih adanya perilaku beberapa dosen yang berlaku demikian.
Lina juga menceritakan apa yang ia amati di beberapa universitas yang sering berprestasi, seperti Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). “Saya dulu lihat di UNY, beberapa dosen ditugaskan untuk memang mengelola PKM Center ini. Jadi, ketika kami datang melakukan review itu, dosen bener-bener sibuk sana-sini,” sambung Lina.
Ini juga terjadi pada UGM, Lina menjelaskan bahwa pengurus dari PKM mereka merupakan orang-orang yang militan dan solid secara struktur di bidang tersebut. “Orang-orang yang biasa membimbing dikasih tugas. Artinya difasilitasi penuh oleh universitas,” tega Lina.
Problematika lain muncul dari sisi pengajaran oleh internal fakultas serta apresiasi kepada orang-orang yang berjasa di Pimnas. Lina percaya bahwa masing-masing fakultas sebenarnya mampu untuk menyumbangkan proposal PKM melalui mata kuliah tertentu. Selain itu, Taufiq juga menilai pengakuan SKS dapat menjadi salah satu bentuk imbalan atas jerih payah dari mahasiswa untuk waktu, tenaga, dan pikiran yang diinvestasikan oleh mahasiswa mengingat waktu untuk mempersiapkan PKM bisa memakan waktu hingga tahunan.
Menurut Lina, Universitas Indonesia terkesan menitikberatkan kepada beberapa orang, bahkan menyerahkan semuanya kepada mahasiswa melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tak sampai di situ, Lina juga menyebutkan, perlunya regenerasi orang-orang yang akan mengurus PKM di tingkat UI, baik itu fakultas ataupun mahasiswanya. “Jadi kita bicara bukan sekadar hanya menyerahkan kepada PKM Center,” pungkasnya.
Prestasi di Tingkat Nasional Tidak Penting bagi UI?
Di sisi lain, Lina juga menyayangkan niat mahasiswa UI sendiri untuk berkontribusi di PIMNAS masih sangat kurang dibandingkan universitas lain. “Mahasiswa UI dibandingkan dengan mahasiswa universitas lain, buat saya, memandang bahwa prestasi di tingkat nasional tidak penting. Maunya (berprestasi) di internasional, tapi prestasi kita di tingkat internasional sendiri (juga) tidak banyak,” tegas Lina. Padahal, menurutnya, indikator prestasi melalui PKM juga merupakan salah satu penilai terbesar untuk meningkatkan ranking Universitas Indonesia.
Lina menyebutkan kembali kesuksesan yang pernah diraih UI yang menempati posisi keempat pada pagelaran Pimnas ke-31 di tahun 2018. Bahkan, hasil Pimnas-34 yang baru terlaksana, menurutnya perlu disyukuri dan diapresiasi. “Dari 32 lolos 8, itu dahsyat banget,” sambungnya.
Berkaca dari prestasi Pimnas ke-31, Lina menyebutkan, bahwa peluang UI sebenarnya sangat besar jika mahasiswa UI terdorong untuk mengikuti Pimnas. Lina membandingkan dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, dan Institut Teknologi Surabaya yang jumlah unggah proposal setiap tahunnya hampir 1000-an, bahkan lebih.
Lina juga menjelaskan, bahwa UI berdasarkan jumlah unggahan di PKM yang ke-35 menempati ranking ke-20 dari seluruh perguruan tinggi yang mengunggah. Hal ini menyebabkan tingkat peluang berprestasi di Pimnas semakin kecil karena kurangnya tim yang berpartisipasi. “Jadi kalau kita modal awalnya sudah besar, ketaatannya besar, otomatis keikutsertaan kita sebagai pihak didanai juga besar, ada peluang yang lebih besar lagi,” ucap Lina.
Bagian Penting yang Sering Kurang Diperhatikan Peserta
Lina menyebutkan bahwa mahasiswa UI umumnya membuat PKM di tahun terakhir menuju kelulusan. Tidak jarang ketika dinyatakan lolos Pimnas, beberapa orang mendapati kebingungan karena status mereka bukan sebagai mahasiswa lagi. Hal inilah yang menurutnya perlu didorong sejak awal, “Bagaimana melibatkan mereka sejak awal atau sejak dini. Jadi bukan di akhir-akhir.”
Tak sampai di situ, untuk mendapatkan pendanaan, Lina menyebutkan, mahasiswa harus memperhatikan aturan. “Tema itu kadang nomor dua. Jadi yang pertama tertib dan taat pada aturan. Makanya poin kedua baru kreativitas,” tegas Lina. Inilah yang menurutnya sering kurang diperhatikan oleh mahasiswa UI. Ia pun mencontohkan beberapa masalah yang ia dapati, seperti jumlah halaman dan tahun pengerjaan yang tidak sesuai dengan pedoman yang ada di dalam aturan.
Perihal kreativitas, Lina menyebutkan, itu tinggal bagaimana mahasiswa mengambil suatu sudut pandang dan peran dosen pendamping memberikan masukan. “Kembali lagi, tema itu menjadi bagian mana yang kira-kira menarik atau tidak,” sambung Lina.
Biro Jodoh PKM BEM UI, Harapan Terakhir Majunya PKM UI?
BEM UI sendiri memiliki peran yang penting dalam proses kontingen UI menuju PIMNAS. BEM UI melalui Departemen Pendidikan dan Keilmuan setiap tahunnya mengadakan ajang perlombaan PKM melalui OIM UI (Olimpiade Ilmiah Mahasiswa UI). Tak hanya itu, Yogie juga mengakui, sosialisasi dan penyebaran ke BEM fakultas mengenai acara atau informasi berhubungan soal PKM juga sudah dilakukan
Bahkan, Yogie menjelaskan, BEM UI juga mempunyai Biro Jodoh untuk membahas tentang PKM. “Setelah PIMNAS selesai, Biro Jodoh ini baru muncul dan memang timeline-nya itu lama, Biro Jodoh hadir bukan untuk mempersiapkan tahun ini, tapi tahun depan,” tambahnya.
Meskipun demikian, menurut Yogie, kebanyakan mahasiswa kurang memiliki motivasi untuk melanjutkan dan mendaftarkan PKM nya ke PIMNAS. “PKM terlalu dilihat menakutkan oleh orang-orang, karena banyak orang belum tahu PKM itu apa. Dibutuhkan dukungan juga dari dosen, bukan hanya sekedar mahasiswa. Intinya bareng-bareng lah,” terang Yogie.
Lina selaku reviewer dan juri PKM nasional pun memberikan saran kepada BEM UI melalui program OIM yang diselenggarakan untuk terus menyesuaikan dengan ketentuan nasional. Hal ini dimaksudkan agar membiasakan mahasiswa dengan PKM dan memperbesar peluang prestasi UI di PKM. Taufiq selaku perwakilan dari PKM Center menyatakan bahwa PKM Center saat ini sedang berbenah dan terus berupaya untuk memperbaiki diri. Ini ditujukan agar kedepannya dapat berkembang menjadi unit dedikatif dengan wewenang yang lebih besar untuk mengelola PKM dan PIMNAS.
Kemudian, Taufiq menilai, diskusi mengenai masalah ini pun sudah mulai terbangun dengan lembaga maupun BEM UI. “Saya melihat pimpinan sekarang punya respon dan tanggap cukup bagus. Ini tinggal bagaimana kita mengatur waktu sehingga kita bisa berlari mengejar ketertinggalan,” sambung Taufiq.
“Bagi mahasiswa yang tertarik untuk membuat PKM, dapat mengunjungi akun instagram PKM Center di @pkmcenter_ui atau mengikuti program Biro Jodoh yang diadakan oleh BEM untuk mengetahui lebih dalam mengenai PKM dan PIMNAS”
Menurut Taufiq, Dirmawa akan siap memberikan dukungan bagi para mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti PIMNAS. Sementara itu, menurut Lina, pada prinsipnya mahasiswa harus mengubah cara berpikirnya terkait PKM agar tidak menjadi menakutkan. Yogie juga turut menambahkan bahwa semua pihak mulai dari dosen hingga mahasiswa juga harus bergerak bersama dalam mendorong kemajuan PKM UI di PIMNAS.
Ilustrasi oleh Elizabeth Elvita
Editor: Muhammad Ramadhani, Nismara Paramayoga, Maurizky Febriansyah, Hafsha Pia Sheridan, Muhammad Zaky Nur Fajar
Discussion about this post