PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai perilaku masyarakat miskin terhadap perbuatan curang masih terus diperbincangkan. Pasalnya, banyak pihak yang mengatakan bahwa orang miskin lebih murah hati, dermawan, percaya, bersedia membantu, dan cenderung tidak curang. Disisi lain terdapat pihak yang berpendapat sebaliknya, seperti orang miskin kurang dapat dipercaya, kurang termotivasi secara intrinsik, lebih cenderung berperilaku antisosial, dan cenderung kurang untuk berbagi. Keterbatasan finansial yang dihadapi oleh masyarakat miskin menciptakan tekanan yang besar untuk berbuat curang. Seperti mau menerima suap, menghindari pajak dan perbuatan curang lainnya. Dengan demikian, memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan curang tersebut adalah penting.
Umumnya tindakan kecurangan di masyarakat dapat diminimalisir dengan norma sosial yang mereka anut. Norma sosial ini merupakan alat intervensi sebagai pengingat agar masyarakat enggan untuk melakukan kecurangan. Namun, kemiskinan nyatanya mempengaruhi tingkat kognitif individu. Situasi banyak keterbatasan membuat tingkat fungsi kognitif lebih rendah dibandingkan dengan keadaan yang penuh kelimpahan bagi suatu individu. Padahal, intervensi dari norma sosial membutuhkan kapasitas kognitif yang tinggi agar menciptakan keefektifan. Oleh sebab itu, Boonmanunt et al. (2020) dalam penelitiannya memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan dari kemiskinan pada perilaku curang dan efektivitas norma sosial untuk mengurangi kecurangan tersebut.
DESAIN EKSPERIMEN
Penelitian ini dilakukan dengan subjek 568 petani padi berpenghasilan rendah dari 48 desa di Thailand. Panen beras hanya berlangsung satu kali dalam setahun di Thailand. Oleh karena itu, petani relatif miskin sebelum panen dan relatif kaya setelah panen. Hal ini membuat peneliti dapat menginvestigasi hubungan causal dari kemiskinan terhadap perilaku curang.
Terdapat dua eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini:
1. Baseline cheating game
Eksperimen ini dilakukan untuk mengukur perilaku curang dari petani. Tiap partisipan diberikan amplop yang berisi 10 lembar kertas yang dilipat. Tiap kertas itu bertuliskan nomor dari 1 sampai 10. Partisipan lalu diminta untuk mengambil salah satu kertas secara acak, melihat angka yang mereka dapat, masukan kembali kertas ke dalam amplop dan menyegelnya, lalu melaporkan angka tersebut. Partisipan akan dibayar 10 Bhat dikali dengan angka yang mereka dapat dari kertas tadi. Hal ini menimbulkan insentif agar partisipan berbuat curang.
Peneliti tidak tahu partisipan mana yang berbuat curang dan seberapa banyak besarnya. Tetapi mereka dapat memperkirakan tingkat kecurangan dengan membandingkan expected theoretical distribution dengan hasil laporan para partisipan. Ketika tidak terjadi kecurangan, seharusnya tiap angka dari 1 sampai 10 muncul mendekati 10% dari total partisipan dan rata-rata angka yang dilaporkan partisipan tidak jauh dari 5.5 (penjumlahan dari 1 hingga 10, dibagi dengan 10). Sementara itu, jika angka yang dilaporkan partisipan lebih tinggi dari expected-nya, partisipan diindikasikan melakukan kecurangan.
2. Norm-reminder game
Eksperimen ini dilakukan untuk menguji efektifitas dari intervensi social-norm-reminder untuk mengurangi perilaku curang. Pada eksperimen ini, partisipan sebelumnya diberi tahu bahwa mayoritas petani di provinsi mereka menganggap bahwa perbuatan curang adalah hal yang tidak dapat diterima.
Peneliti melakukan kedua eksperimen ini saat sebelum dan setelah panen dengan partisipan yang berbeda sehingga menghasilkan 2×2 between-subjects design.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis panel A pada gambar 1 (di atas) menunjukkan angka rata-rata yang dilaporkan, dan gambar 2 (di bawah) menunjukkan distribusi angka yang dilaporkan di dua permainan, sebelum dan sesudah panen. Pada baseline cheating game petani melakukan kecurangan secara signifikan. Tingkat kecurangan yang dihasilkan sebelum panen sebesar 20,18% (kecurangan secara statistik signifikan. signifikan, p<0,001, uji Chi-square) dan sesudah panen sebesar 20,73% (kecurangan signifikan secara statistik, p<0,001, Chi-square uji). Artinya, kemiskinan itu sendiri tidak dapat memengaruhi untuk berbuat curang baik dalam kondisi sebelum maupun sesudah panen. Sedangkan dalam norm-reminder game, sebelum panen, tingkat kecurangan sebesar 14,73% (kecurangan signifikan secara statistik, p = 0,005, uji Chi-square). Angka ini tidak signifikan di bawah angka pada baseline cheating game. Akan tetapi, setelah panen, norma sosial mengurangi kecurangan secara signifikan relatif terhadap baseline cheating game.
Selanjutnya, hasil regresi mendukung analisis sebelumnya. Regresi pertama menunjukkan keseluruhan kecurangan itu tidak berbeda saat sebelum dan sesudah panen (koefisien After Harvest kecil dan tidak signifikan). Lebih lanjut, peneliti menemukan bahwa seluruh sampel (sebelum panen dan setelah panen), ketika intervensi norma pada kecurangan rendah (koefisien pada intervensi Norm negatif dan signifikan secara marginal). Dalam spesifikasi regresi kedua, peneliti menguji interaksi antara panen dan intervensi norma sosial. Peneliti menemukan bahwa intervensi lebih dari dua kali akan lebih efektif dalam kondisi setelah panen daripada sebelum panen (sementara koefisien pada intervensi Norm sebesar -0,30, efek interaksi Setelah panen × Norm sebesar -0,38). Sedangkan adanya efek berganda menunjukkan bahwa intervensi norma sosial secara ekonomi jauh lebih efektif setelah panen. Namun, interaksi tersebut tidak signifikan secara statistik.
Secara keseluruhan, peneliti menemukan tiga hasil dari analisis tersebut. Pertama, dalam baseline cheating game, perilaku curang tidak berbeda sebelum dan sesudah panen. Kedua, adanya norma sosial secara signifikan mengurangi kecurangan setelah panen (ketika populasi lebih kaya) tetapi tidak sebelum panen (ketika populasi lebih miskin). Ketiga, interaksi antara panen dan norma sosial menunjukkan bahwa norma sosial akan bekerja lebih baik setelah panen daripada sebelum panen, tetapi pengaruhnya tidak signifikan secara statistik.
KESIMPULAN
Pertama, kemiskinan itu sendiri tidak mengubah kecenderungan manusia untuk berbuat curang. Kedua, kemiskinan menghambat pengingat moral (social-norms) menjadi tidak efektif. Hal ini karena kemiskinan mengurangi cognitive resources seseorang. Petani yang miskin mungkin tidak memerhatikan norm reminder yang ada karena cognitive resources mereka telah digunakan untuk “memikirkan” kemiskinan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, untuk mereduksi perilaku curang pada orang miskin, peneliti menganjurkan intervensi yang membutuhkan sedikit cognitive resources, seperti hukuman, tanda tangan perjanjian, atau mengubah persepsi kemungkinan tertangkap dan dihukum ketika berbuat curang.
REVIEWED FROM :
Boonmanunt, S., Kajackaite, A., & Meier, S. (2020). Does poverty negate the impact of social norms on cheating?. Games and Economic Behavior, 124, 569-578.
Discussion about this post