Sosial media telah menjadi tempat pengaduan berbagai masalah. Tak dapat dipungkiri, beberapa masalah yang dilontarkan seringkali menjadi perhatian publik dan menimbulkan efek keributan di lintas media. Terlepas dari efek yang ditimbulkan, kasus-kasus yang mendapat respon dari banyak orang disebabkan adanya suatu kegagalan yang coba disembunyikan atau dihalangi.
Masih ingat dengan kasus surat edaran pelarangan pemutaran 42 musik berbahasa inggris di bawah jam 22.00 WIB dari KPI1Tionardus, M. (2021, Juni 26). Kompas. Retrieved from kompas.com: https://www.kompas.com/hype/read/2021/06/27/132107366/daftar-42-lagu-yang-dilarang-kpi-diputar-di-radio-sebelum-pukul-2200. Kemudian, kegiatan ‘Lomba Mural Dibungkam’ yang diselenggarakan oleh Gejayan Memanggil2Putri, B. U. (2021, Agustus 26). Tempo. Retrieved from nasional.tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1498802/gejayan-memanggil-gelar-lomba-mural-dibungkam-sindir-aparat-dan-baliho-politik. Peristiwa tersebut mencoba mengkritik cara aparat yang dianggap represif terhadap kritik-kritik yang disalurkan melalui mural. Alhasil, Kegiatan lomba mural tersebut lantas viral dan ramai diperbincangkan warganet yang menimbulkan keributan di sosial media.
Tak sampai disitu, terdapat juga kasus yang memiliki pola serupa, yaitu pemberitaan kekerasan seksual yang terjadi di Luwu. Peristiwa ini ramai beredar dan menjadi pembicaraan di sosial media. Pasalnya, media yang memberitakan peristiwa tersebut mengalami peretasan pada laman milik mereka. Akibat dari berita ini pun beragam, mulai dari pemberitaan yang sampai kepada pihak Bareskrim Mabes Polri yang kemudian pihaknya membuka kembali kasus tersebut yang sebelumnya sudah dihentikan oleh pihak kepolisian setempat3Aji, M. R. (2021, Oktober 2021). Tempo. Retrieved from nasional.tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1515508/kasus-pemerkosaan-anak-bareskrim-kirim-tim-asistensi-ke-luwu-timur.
Rentetan kejadian di atas menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian di tanah air semakin menurun.
Melihat pola yang terjadi akibat kegagalan dalam penyensoran, Redaksi Economica mendapat kesempatan untuk mewawancarai beberapa akademisi dalam bidang psikologi, yaitu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dr. Bagus Takwin, M.Hum dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya, Indro Adinugroho, S.Psi, M.Si. untuk membahas fenomena Streisand Effect yang terjadi.
Fenomena itu disebut The Streisand Effect
Media adalah pilar keempat dalam berdemokrasi. Kalimat tersebut barangkali cukup populer dilontarkan dalam berbagai kajian politik dan demokrasi. Lewat media, salah satunya mural, masyarakat bisa menyampaikan aspirasi hingga kritik kepada penguasa, sistem pemerintahan yang berjalan, serta fenomena-fenomena tertentu yang terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat itu sendiri. Selain dikaji dari segi politik, fenomena menjamurnya mural di lingkungan masyarakat dapat pula dikaji dari lingkup psikologi sosial dan budaya. Maraknya mural-mural yang berisi kritikan ini bisa disebabkan karena adanya fenomena streisand effect.
Adapun sejarah pertamanya efek psikologi ini memakai nama “streisand” ketika aktris bernama Barbara Streisand menggugat fotografer bernama Kenneth Alderman pada tahun 2003 ke jalur hukum karena menyebarkan foto rumahnya yang berada di Malibu tanpa seizin Streisand dan dianggap telah melanggar privasinya4Riggs, Ransom. “What’s the Streisand Effect?” Mental Floss, 8 2 2011, https://www.mentalfloss.com/article/27064/whats-streisand-effect. Accessed 4 10 2021.
Akibat gugatan ini, justru orang-orang kala itu penasaran dan akhirnya mengunduh gambar rumah tersebut hingga tercatat lebih dari 400.000 kali unduhan dibandingkan sebelum gugatan yang hanya mencapai enam kali jumlah unduhan5Saleh, Naveed. “Understanding the Streisand Effect.” Psychology Today, 12 2019, https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-red-light-district/201912/understanding-the-streisand-effect. Accessed 4 10 2021. Walaupun pada akhirnya gugatan yang diajukan kepada Kenneth Alderman tidak dikabulkan oleh hakim setempat, fenomena ini cukup untuk membuktikan besarnya peran media dalam “meledakan” suatu kejadian. Ditambah lagi dengan era penuh kecanggihan dan modernisasi ITE ini, agaknya sulit pula masyarakat untuk lepas dari akses informasi yang ada dan akibatnya fenomena streisand effect ini menjadi acap kali terjadi.
Sesuatu akan menjadi lebih menarik hanya karena dilarang. Manusia diketahui sebagai makhluk yang ingin tahu akan rangsangan yang kurang menyenangkan atau berisiko. Hal yang terlarang sering dihubungkan dengan informasi yang kurang sehingga timbulah motivasi untuk menyelesaikan ketidakpastian tersebut. Selain itu, adanya hal yang dilarang membuat orang menyimpulkan bahwa hal tersebut memiliki nilai tersembunyi. Misalnya, opsi terlarang dapat menandakan kemungkinan bahwa informasi tersebut disembunyikan karena pentingnya atau kelangkaannya, memperkuat nilai subjektif dari informasi yang tidak pasti6FitzGibbon, L., Ogulmus, C., Fastrich, G. M., Lau, J. K. L., Aslan, S., Lepore, L., &Murayama, K. (2020, February 17). Understanding the forbidden fruit effect.
Streisand Effect singkatnya merupakan percobaan ataupun upaya censorship yang berujung pada kegagalan dan kontraproduktif terhadap tujuan awal yang diinginkan (Sue Curry dan Brian Martin, 2015)7Jansen, Sue Curry, and Brian Martin. “The Streisand Effect and Censorship Backfire.” International Journal of Communication, vol. 9, no. Communication Theory, 2015, pp. 656–671, https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/2498.. Pelarangan atau censorship terhadap suatu hal tersebut justru membuatnya viral dan menjadi konsumsi banyak kalangan.
Efek ini juga tidak hanya terjadi pada peristiwa yang melibatkan publik figur ataupun artis-artis ternama saja, tetapi sering kali terjadi juga pada warga biasa. Pada akhirnya, keputusan pelarangan ini adalah sebuah keputusan yang membenarkan pandangan bahwa sebuah aksi yang dianggap legal yang dimaksudkan untuk meredakan hubungan di masyarakat, malahan menciptakan sebuah hubungan yang buruk (Herszenhorn, 2002, para. 1)8Herszenhorn, D. M. (2002, July 26). Hospital drops legal action to stem tide of bad publicity. The New York Times. Retrieved from http://www.nytimes.com/2002/07/27/nyregion/hospital-drops-legal-action-to-stem-tide-of-bad-publicity.html.
Fenomena Streisand Effect dalam Pandangan Psikologi
Dosen Psikologi Universitas Atmajaya, Indro Nugroho, menjelaskan bahwa berdasarkan sudut pandangnya sebagai psikolog sosial, bahwa Streisand Effect adalah sebuah konsekuensi logis dari collective stress dikarenakan adanya sesuatu yang ‘disembunyikan’ lalu menyebabkan element of surprise sehingga menghasilkan luapan emosi yang tinggi. Disebut collective dikarenakan situasi ini berdampak pada banyak anggota sistem sosial yang gagal menerima kondisi kehidupan yang diharapkan dari sistem. Ia menyebutkan banyaknya kasus yang terjadi belakangan, salah satu pemicunya adalah pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung.
Akibatnya stres yang dirasakan oleh banyak orang menimbulkan collective stress, yang mana hal itu tidak bisa diukur atau sulit diukur. Luapan emosi terjadi secara individu itu hal yang lumrah, tetapi ketika luapan ini terjadi secara kolektif, hal itulah yang menjelaskan muncul fenomena streisand effect. “Kadang-kadang kalo collective stress itu kita tidak tahu kita tuh lagi stress atau enggak yaa? karena yaa sifatnya itu kolektif gitu, artinya bersamaan tidak individual,” ujarnya.
Luapan emosi secara kolektif itu juga yang menyebabkan sesuatu viral atau trending. Berdasarkan teori, manusia berpikir secara intuitif dan rasional. Seringkali dalam menanggapi berita hangat dan trending, masyarakat menggunakan pikiran intuitifnya untuk menyebarluaskannya karena lagi “seru”. Hal itu juga yang menjadi salah satu pemicu Streisand Effect.
Apakah Viralnya Mural Bisa Disebut Streisand Effect?
Menurut pemaparan Indro Nugroho, mural merupakan bagian dari konsekuensi logis yang terjadi dari collective stress dan dalam konteks psikologi sosialnya sifatnya adalah menyebar dan karena itulah muncul berbagai bentuk perilaku agresif, seperti agresivitas verbal dan mural adalah salah satu contohnya. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam konsep psikologi, sesuatu yang disebut selience atau mencolok akan selalu menarik perhatian yang lalu berujung pada luapan emosi.
Berbeda dengan Indro, Bagus memandang bahwa fenomena mural yang viral tersebut bukan termasuk bagian dari Streisand Effect. Hal itu karena keduanya tidak memiliki pola yang sama.
“Tidak sama fenomenanya,” ujarnya. Pria yang lebih dikenal sebagai Aten ini juga menegaskan bahwa efek streisand terjadi setelah sensor dan mural-mural tersebut sudah menyebar viral sebelum disensor. “Itu dari awal memang sudah menyebar, sejak awal 2021, bukan karena sensor. Bahwa kemudian disensor, itu tidak berarti mural itu menyebar karena sensor,” tambah Bagus.
Bisakah Streisand Dihindari Sebelum Terjadi?
Terlepas perbedaan pandangan yang terjadi, menurut Bagus, Fenomena Streisand Effect dapat dihindari. Beliau memberikan beberapa tips untuk menghindarinya, yaitu dengan cara menampilkan sikap terbuka sambil menanggapi secara proporsional seperti apa permasalahan yang dihadapi. Lalu, menanggapi ulasan yang sifatnya negatif ataupun kritik juga dapat menjadi tindakan sebagai pencegahan timbulnya efek streisand ini.
Mencegah timbulnya efek ini adalah hal yang lebih baik daripada menangani saat sudah terjadi. Oleh karena itu, cara yang dianjurkan lebih lanjut untuk mencegah efek ini terjadi dengan cara menyediakan saluran yang mudah diakses dan transparan terhadap usulan dan kritik, terutama pada organisasi, pemerintah, dan perusahaan.
Melanjutkan pernyataan dalam rangka pencegahan, Indro menyampaikan, memang sulit menemukan cara menghindarinya fenomena yang sifatnya secara kolektif. Hal yang dapat dilakukan adalah mengelola tata bahasa dan perlakuan individu atau kelompok agar tidak terjadinya polemik.
Batasan dari Streisand Effect dan Akibat yang Akan Terjadi
Indro Nugroho mengatakan bahwa psikologi tidak melihat adanya batasan yang konkret terkait hal itu. Mungkin yang ada hanya marker kecil, yaitu berupa adanya “keributan” di ruang publik. Hal ini karena streisand effect terjadi secara kolektif bukan terjadi secara individual yang menyebabkan batasan itulah yang sulit didefinisikan. “Sebenernya ada tolak ukurnya, namun ketika kita bicara kolektif itu yang menjadi ribet,” pungkasnya.
Terlepas dari susahnya menemukan batasannya, menurut Indro, terdapat dampak positif dari adanya fenomena ini. Streisand Effect akan membentuk kontrol dari publik yang berarti bahwa publik dan media masih aware terhadap demokrasi dan partisipasi politik. Namun, Ia pun tak menampik bahwa efek ini punya dampak negatif, yaitu timbulnya api-api kecil, luapan emosi, ketidakpercayaan kepada suatu pihak, munculnya polarisasi politik dan lain-lain.
Pembelajaran yang Dapat Diambil
Dalam kasus-kasus yang terjadi, terdapat peran suatu lembaga yang diharapkan masyarakat tidak terpenuhi akibat perilaku yang ditimbulkan. Melihat apa yang disampaikan di atas, Streisand berhubungan erat dengan fenomena yang terjadi dengan respon yang ditimbulkan di dalamnya akibat kegagalan dalam penyensoran. Dalam literatur yang berjudul The Streisand Effect and Censorship Backfire9Jansen, Sue Curry, and Brian Martin. “The Streisand Effect and Censorship Backfire.” International Journal of Communication, vol. 9, no. Communication Theory, 2015, pp. 656–671, https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/2498., bahwa fenomena ini berhubungan juga dengan kemarahan banyak orang. Untuk itu, Terdapat upaya yang dapat dilakukan untuk meredam kemarahan, di antaranya:
- Mengungkapkan keberadaan sensor.
- Memvalidasi target dengan menjelaskan apa yang ditutupi, menyalahkan tindakan tersebut, dan menjelaskan pentingnya keberadaan kebebasan berekspresi.
- Menafsirkan peristiwa yang terjadi sebagai tindakan yang tidak adil.
- Menghindari saluran resmi, seperti lembaga-lembaga negara untuk menyelesaikan kasus yang terjadi.
- Menolak intimidasi.
Pada akhirnya, peran antara masyarakat dengan media tentu tak bisa saling dipisahkan. Media sebagai tempat demokrasi layaknya menjadi pisau bermata dua. Fenomena streisand effect merupakan salah satu contoh akibat ekstensi media. Efek ini dapat menjadi positif maupun negatif tergantung dari bagaimana masyarakat meresponnya dan apa yang dapat diperoleh dari masyarakat akibat booming pemberitaan yang didengungkan.
Berbagai pemberitaan yang terjadi, tentunya tidak akan sampai ke permukaan dan menjadi masalah jika tidak terjadi kegagalan dalam penyensoran. Kembali, streisand effect memainkan peranannya sebagai efek yang berpotensi hadir di tengah masyarakat sebagai akibat konsekuensi logis dari luapan emosi dari masyarakat itu sendiri.
Editor: Nismara Paramayoga, Muhammad Zaky Nur Fajar, Maurizky Febriansyah, Muhammad Ramadhani
Referensi
↵1 | Tionardus, M. (2021, Juni 26). Kompas. Retrieved from kompas.com: https://www.kompas.com/hype/read/2021/06/27/132107366/daftar-42-lagu-yang-dilarang-kpi-diputar-di-radio-sebelum-pukul-2200 |
---|---|
↵2 | Putri, B. U. (2021, Agustus 26). Tempo. Retrieved from nasional.tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1498802/gejayan-memanggil-gelar-lomba-mural-dibungkam-sindir-aparat-dan-baliho-politik |
↵3 | Aji, M. R. (2021, Oktober 2021). Tempo. Retrieved from nasional.tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1515508/kasus-pemerkosaan-anak-bareskrim-kirim-tim-asistensi-ke-luwu-timur |
↵4 | Riggs, Ransom. “What’s the Streisand Effect?” Mental Floss, 8 2 2011, https://www.mentalfloss.com/article/27064/whats-streisand-effect. Accessed 4 10 2021. |
↵5 | Saleh, Naveed. “Understanding the Streisand Effect.” Psychology Today, 12 2019, https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-red-light-district/201912/understanding-the-streisand-effect. Accessed 4 10 2021 |
↵6 | FitzGibbon, L., Ogulmus, C., Fastrich, G. M., Lau, J. K. L., Aslan, S., Lepore, L., &Murayama, K. (2020, February 17). Understanding the forbidden fruit effect |
↵7 | Jansen, Sue Curry, and Brian Martin. “The Streisand Effect and Censorship Backfire.” International Journal of Communication, vol. 9, no. Communication Theory, 2015, pp. 656–671, https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/2498. |
↵8 | Herszenhorn, D. M. (2002, July 26). Hospital drops legal action to stem tide of bad publicity. The New York Times. Retrieved from http://www.nytimes.com/2002/07/27/nyregion/hospital-drops-legal-action-to-stem-tide-of-bad-publicity.html |
↵9 | Jansen, Sue Curry, and Brian Martin. “The Streisand Effect and Censorship Backfire.” International Journal of Communication, vol. 9, no. Communication Theory, 2015, pp. 656–671, https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/2498. |
Discussion about this post