Bertepatan dengan Hari Ayah Nasional (12/11), Aliansi BEM se-UI menyelenggarakan aksi massa edisi ketiga untuk menolak revisi Statuta UI. Mahasiswa menyelenggarakan aksi sampai ketiga kalinya lantaran Prof. Ari Kuncoro selaku Rektor Universitas Indonesia yang dalam aksi ini disebut sebagai “Ayah” enggan menemui masa aksi. “Kita sudah tiga kali aksi, aksi massa dan aksi simbolik kemarin tidak ditanggapi oleh rektor, dan ini aksi massa yang ketiga,” terang Zeni Tri Lestari (FISIP 2019) selaku koordinator lapangan aksi tersebut.
Longmarch dan Orasi yang Dilaksanakan Ditengah Hujan
Aksi dimulai dengan longmarch yang dilakukan dari lapangan FISIP UI menuju Taman Rotunda. Masa dari berbagai perwakilan warna makara saling bersahutan menyuarakan tuntutannya kepada rektor untuk bertemu dan mencabut Statuta UI yang baru disahkan Juli lalu. Berbagai poster dan spanduk pun terbentang menghiasi jalannya aksi ketiga ini. Hujan lebat yang mengguyur Depok disertai angin kencang tidak menyurutkan semangat massa aksi untuk menuju Taman Rotunda dan berharap dapat bertemu dengan sang “Ayah”.
Sesampainya di Taman Rotunda, massa aksi yang dikawal oleh pihak PLK (Pengamanan Lingkungan Kampus) memasuki selasar Rektorat UI untuk berorasi menyuarakan pendapatnya. Perwakilan dari berbagai fakultas maju untuk menampilkan keresahan mereka dengan berbagai cara. Mulai dari puisi, orasi, hingga mini drama dilakukan oleh massa aksi dengan satu tujuan utama untuk menghapus Statuta UI yang kini sangat meresahkan mereka.
Tuntutan dalam aksi ini masih sama seperti aksi-aksi sebelumnya, massa ingin menemui Rektor UI, yaitu Prof. Ari Kuncoro. “Kita mau rektor memberikan penjelasan ke mahasiswa kenapa revisi Statuta bisa di-goal kan dan kenapa partisipasi DGB bisa berhenti di tengah-tengah,” tegas Zeni. Ia juga menambahkan bahwa tuntutan yang terakhir adalah mencabut Statuta UI yang sudah disahkan.
Aksi Tidak Mendapatkan Respon Rektor UI
Leon Alvinda Putra, Ketua BEM UI, menyampaikan bahwa undangan massa aksi yang ketiga ini sudah disampaikan kepada empat pimpinan organ yang ada di Universitas Indonesia, yaitu Rektor sebagai perwakilan eksekutif, Ketua MWA (Majelis Wali Amanat), Ketua Senat Akademik, dan Ketua DGB (Dewan Guru Besar). “Sangat disayangkan yang hadir hanya Ketua Dewan Guru Besar dan sekretarisnya,” lanjut Leon dalam penyampaiannya.
Tak sampai di situ, Leon pun juga turut menghubungi Prof. Arif Kuncoro melalui aplikasi Whatsapp. Isi pesan tersebut adalah untuk menyampaikan kondisi yang terjadi di lapangan dengan maksud mengundang beliau untuk turut hadir dalam aksi tersebut. “Saya sampaikan bahwa teman-teman rela hujan-hujanan dan saya sampaikan bahwa bentuk hujan-hujanan ini adalah bentuk kecintaan kepada almamaternya,” ucap Leon. Namun, pesan yang dikirimkan tersebut tidak mendapat balasan walau sudah dibaca.
Mendapat Dukungan Dewan Guru Besar UI
Ketua DGB beserta sekretarisnya yang hadir dalam aksi massa ketiga ini juga menyampaikan kekecewaan mereka perihal mangkirnya tiga ketua lain dari panggilan mahasiswa ini. “Saya pun gak ngerti kenapa kalian dicuekin seperti ini. Padahal, organisasi dengan pemimpin yang tidak mau mendengarkan dari konsekuen ini adalah hal yang tidak baik,” terang Prof Harkristuti Harkrisnowo selaku Ketua DGB UI.
Sindiran juga dilontarkan Ketua DGB kepada para “Ayah” mahasiswa UI yang menjabat sebagai rektor, Ketua MWA, dan Ketua Senat Akademik yang tidak berani hadir dalam aksi kali ini. “Kalian kan punya tiga bapak ya, masa cuma satu yang hadir, dan itu ibunya pula,” canda Harkristuti. Ia juga menyesalkan beberapa dosen yang terkesan acuh dengan problematika Statuta UI ini
Mengenai Statuta UI yang telah disahkan, Ia mengaku kaget karena terdapat banyak perbedaan dengan draft yang telah dirumuskan oleh DGB. “DGB menyusun Statuta UI pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2020 di Kemendikbud. Setelah itu, kami berpikir karena pandemi, Kemendikbud tidak mengundang kami lagi dalam perumusan Statuta. Tapi, ternyata tiba-tiba pada bulan Juli 2021 keluar Statuta yang berbeda dari yang kami rumuskan,” terang Harkristuti.
Pihak DGB tetap akan mempertahankan posisinya untuk terus berjuang menolak eksistensi dari Statuta UI terbaru. “Kami menyusun (draft Statuta UI) dan semuanya (4 organ UI) sepakat, Kemendikbud juga sepakat, terus tiba-tiba berubah,” tutur Harkristuti. Ia menyampaikan bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di Universitas Indonesia saja, melainkan di Kemendikbud juga terdapat masalah. Dewan Guru besar juga berpesan kepada mahasiswa yang melaksanakan aksi hari ini untuk terus memperjuangkan masalah ini. “Kami juga akan terus berjuang, kita gak berjalan sendiri,” sambungnya.
Ditanya perihal kemungkinan batalnya Statuta UI terbaru ini, Harkristuti menerangkan bahwa keputusan tersebut bergantung pada Presiden. “Kami (DGB) juga sudah menulis surat kepada Presiden yang ditandatangani oleh 117 Guru Besar. Bahkan, hal tersebut sudah dilakukan tiga kali sejak 17 Agustus,” terang Harkristuti. Ia mewakili Dewan Guru-Guru Besar sangat mengharapkan perhatian dari Bapak Presiden terkait kasus ini. “Akan tetapi sampai sekarang, kami belum mendapatkan respon dan kita (masih) mengharapkan ada respon dari Pak Presiden,” sambungnya.
Mengapa Mahasiswa Perlu Peduli?
Tidak dapat dipungkiri, kasus yang sedang diperjuangkan mungkin akan kurang dirasakan secara pribadi (personal). “Mungkin lo bukan anak 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) yang beasiswanya dipangkas, tapi ini berkenaan dengan fundamental UI secara langsung. Tentu kita gak mau punya universitas yang ngasih gelar Honoris Causa ke orang-orang sembarangan,” terang Zeni. Selain itu, kekhawatiran juga muncul terhadap anggota MWA UI yang kemungkinan akan diisi oleh orang-orang dari partai politik dan minimnya partisipasi mahasiswa dalam organisasi tersebut.
Mengenai aksi lanjutan, Zeni menerangkan bahwa aliansi BEM se-UI sudah memiliki rencana untuk menyambangi Kemendikbud. “Kita sudah aksi sebanyak tiga kali dan tak kunjung menemui Rektor, karenanya kami akan mengadakan aksi selanjutnya di Kemendikbud,” jelas Zeini. Meskipun demikian, terkait tanggal dan waktunya kapan, dari pihak BEM sendiri belum menentukan.
Editor: Maurizky Febriansyah, Nismara Paramayoga
Discussion about this post