“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” – John Acton
Kemarin, saya mendengar bahwa pimpinan Juniari telah diadili karena ketahuan menggelapkan uang bulanan perusahaan yang seharusnya digunakan untuk program donasi makanan. Heran sekali saya terhadap kelakuan Bapak Juniari ini. Perutnya sendiri sudah terisi lebih dari penuh, mengapa demikian tega untuk menghambat aliran makanan ke orang yang perutnya belum terisi? Inilah mengapa saya sama sekali tidak lagi menaruh kepercayaan terhadap para pemimpin. Eksistensi mereka ini tidak ada faedahnya sama sekali.
Sebuah Satir Kediktatoran
Animal Farm, sebuah karya satir pendek tulisan George Orwell pada tahun 1945, menceritakan mengenai para binatang yang melakukan kudeta terhadap majikan manusianya. Kudeta ini dipimpin oleh dua ekor babi, Snowball dan Napoleon. Singkat cerita, setelah para binatang memegang kuasa atas tanah peternakan, terjadilah dualisme kepemimpinan antara Snowball dan Napoleon. Dan Napoleon menggunakan cara yang licik untuk mengusir Snowball dengan menjadikannya seekor antagonis, babi yang menjadi musuh binatang-binatang lain. Setelah itu, akhirnya Napoleon mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin para binatang.
(Tujuh Hukum Binatangisme)
Seperti negara yang baru terbentuk, Napoleon membuat lagu kebangsaan dan hukum binatangisme. Lagunya berisikan keagungan Napoleon dan hukumnya menjunjung kesamarataan para binatang. Ia menyuruh binatang lain untuk bekerja keras dan meyakinkan bahwa para babi bekerja lebih keras dengan membuat ide-ide yang cemerlang sepanjang hari. Ia juga membuat kepercayaannya sendiri, bahwa setelah kematian, para binatang yang taat akan dijanjikan sebuah dunia bukit-bukit gula yang indah dan manis (konsep afterlife).
Meskipun kehidupan para binatang sulit, Napoleon sebagai agitator ulung, berhasil meyakinkan binatang lain bahwa hidup mereka jauh lebih baik dibandingkan saat menjadi budak manusia. Meskipun mereka kekurangan makanan, Napoleon dengan bangganya mengatakan kepada peternakan tetangga, bahwa para binatang hidup dengan sangat makmur. Lama-kelamaan, para babi mulai melanggar hukum-hukum tersebut. Mereka berjalan dengan dua kaki, mengenakan pakaian, tidur di atas tempat tidur, meminum alkohol, dan banyak lagi. Untuk menghindari kontradiksi, mereka merevisi hukum untuk menyesuaikan. Hukum ke-7 misalnya, diubah menjadi:
“All animals are equal, but some animals are more equal than others.”1Orwell, George. (1945). Animal Farm.
Walaupun satir ini ditulis untuk menggambarkan Revolusi Rusia pada tahun 1917 dan era kekuasaan Stalin dalam Uni Soviet, satir ini juga relevan bagi beberapa negara, termasuk Indonesia. Kita telah mengalami berbagai macam era pemerintahan dengan karakteristik kepemimpinan yang berbeda juga. Setiap pemimpin memiliki programnya masing-masing, menambah atau mengurangi hukum yang menurutnya perlu atau tidak perlu.
Pemilik Bidak dan Egoisme
Bukan suatu yang baru bahwa agama seringkali dijadikan pembenaran atas sebuah tindakan. Agama nampaknya hingga kini masih menjadi suatu identitas dalam kehidupan bermasyarakat2Oppong, S. H. (2013). Religion and identity. American International Journal of Contemporary Research, 3(6), 10-16.. Walaupun perannya dapat dikatakan telah banyak digantikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, ada masa dimana agama memiliki pengaruh yang begitu besar dalam peradaban manusia. Kitab suci telah menjadi pedoman untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari secara detail. Bagaimana untuk berpakaian? Apa saja yang tidak boleh dimakan?
Bagai pinang dibelah dua dengan agama ada peraturan yang dibuat pemerintah. Hukum memang dibuat sebagai suatu konsensus bersama, disahkan dengan harapan menguntungkan yang terbanyak. Namun proses legitimasi tersebut harus berada di tangan suatu pihak yang memiliki kekuatan. Maka dari itu, hukum sendiri adalah suatu bentuk dari monopoli kebenaran. Perbuatan mana yang benar dan salah? Hukuman apa yang pantas bagi kejahatan tersebut? Siapa yang memiliki hak atas suatu barang?
Salah satu contoh hukum yang sudah lama ada, namun bukan yang tertua, adalah hukum Hammurabi. Piagam Hammurabi ditulis pada masa Babilonia dari tahun 1792 hingga 1750 SM oleh raja Hammurabi3History.com. (2020). Code of Hammurabi. Diambil dari History.com: https://www.history.com/topics/ancient-history/hammurabi#:~:text=The%20Hammurabi%20code%20of%20laws,and%20finally%20rediscovered%20in%201901.. Piagam tersebut mencakup 282 hukum yang ditulis di atas sebuah batu besar. Hukum paling terkenal dalam piagam tersebut adalah “An eye for an eye, and a tooth for a tooth”. Isi dari piagam Hammurabi mungkin sedikit ekstrim dan tidak relevan untuk dipraktikan di masa kini. Misalkan saja hukum yang menyatakan bahwa jika ada yang melakukan perampokan dan tertangkap, maka dia harus dihukum mati. Namun pada masanya, pedoman itulah yang digunakan bangsa Babilonia dalam kesehariannya.
Sekarang, permasalahan lain adalah bagaimana dengan pihak yang menyatakan ketidaksukaannya dengan hal tersebut? Mengambil ironi dari sebuah negara yang mengaku paling demokratis, Athena, yang membungkam Socrates karena kerap menyuarakan ketidaksukaannya terhadap demokrasi. Socrates memiliki pandangan-pandangan heterodoks pada masanya. Pemikiran Socrates dituduh “merusak” pemuda Athena dan ia akhirnya dijatuhi hukuman mati4History.com. (2019). Socrates. Diambil dari History.com: https://www.history.com/topics/ancient-history/socrates#:~:text=Socrates%20was%20accused%20of%20corrupting,executioner’s%20cup%20of%20poisonous%20hemlock.. Hal seperti ini kerap terjadi, pemotongan lidah (secara figuratif) terhadap mereka yang berada di sisi seberang.
Seperti halnya masalah klasik Dilema Tahanan. Walaupun dengan cara kooperatif, kedua pihak akan lebih diuntungkan, strategi dominan dari masing-masing pihak adalah untuk memilih pilihan yang terbaik bagi dirinya. Tanimoto dan Sagara (2007) mendefinisikan Dilema Tahanan sebagai permainan dimana pemain tidak dapat mempertahankan strategi kerjasama5Tanimoto, J., & Sagara, H. (2007). Relationship between dilemma occurrence and the existence of a weakly dominant strategy in a two-player symmetric game. Biosystems, 90(1), 105-114. doi:10.1016/j.biosystems.2006.07.005. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah memang manusia secara inheren adalah makhluk yang egois?
Ego merupakan suatu kebutuhan esensial manusia (Maslow, 1954)6Maslow, A. (1954). Motivation and Personality Third Ed. NY: Addison-Wesley. Dan peringkatnya juga cukup tinggi, hanya satu di bawah dari aktualisasi diri. Tingkatan ini juga menandakan bahwa manusia perlu memenuhi egonya terlebih dahulu sebelum dapat memenuhi aktualisasi diri. Singkatnya, adalah suatu yang normal apabila manusia ingin memenuhi ego mereka masing-masing. Namun tentu saja pemenuhan ego tersebut membutuhkan sarana. Dan kekuasaan adalah sarana yang sangat menakjubkan. Penelitian bahkan menunjukan bahwa kekuasaan berkaitan erat dengan keegoisan7Giurge, L. M., Dijke, M. V., Zheng, M. X., & Cremer, D. D. (2019). Does power corrupt the mind? The influence of power on moral reasoning and self-interested behavior. The Leadership Quarterly, 32(4), 101288. doi:10.1016/j.leaqua.2019.03.003. Maka dari itu, mereka yang berada di atas, yang memiliki kemampuan untuk membuat hukum, kerap melanggar hukum mereka sendiri sebagai bentuk pemuasan ego.
Pemikiran terkait egoisme atau penitikberatan kepentingan individu dibandingkan komunal telah lahir pada periode revolusi industri. Max Stirner, salah satu filsuf Jerman di masa revolusi industri abad ke 19, merancang sebuah pemikiran bahwa sejatinya, semua hal yang sadar, merupakan makhluk yang egois8Stirner, M. (1995). Stirner: the ego and its own. Cambridge University Press.. Seluruh makhluk hendak memenuhi kebutuhan egonya, dan dalam praktiknya diiringi dengan alat institusi yang kita ketahui seperti masyarakat, pemerintahan, atau hal lainnya, yang disebut sebagai “spooks”. Pemerintahan digunakan sebagai individu-individu pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan ego mereka, dan bahkan sejatinya Tuhan, melalui manusia dan agama untuk menjadikan subjek untuk menyembah-Nya, merupakan sebuah tujuan yang egois secara fundamental.
Apabila kebutuhan untuk memuaskan ego adalah suatu hal yang inheren, kita membutuhkan sebuah restriksi. Apabila semua orang berlomba-lomba memenuhi ego tersebut dengan tujuan yang berbeda tanpa batasan, kondisi yang anarkis akan terjadi.
Kebebasan dan Anarki
Keinginan manusia yang semakin memburu kebebasan absolut, mendambakan sebuah utopia di mana setiap individu tidak dikekang apapun, tanpa agama dan negara, terus terang saja merupakan harapan yang naif. Glorifikasi atas kebebasan bukanlah lagi menjadi perdebatan antara kehendak bebas atau determinisme, melainkan menjadi suatu permasalahan bersama atas keselarasan dan keharmonisan sosial.
Ketika manusia merasa bahwa perang harus diawasi dan diregulasi, dan bahwa ada hak-hak yang bahkan dimiliki oleh musuh yang tertangkap, manusia mengadakan konvensi jenewa. Ketika manusia merasa bahwa pencipta memiliki hak ekonomi dan moral untuk ciptaanya, kita membuat hukum yang melindungi hak paten dan hak cipta. Dengan ini kita menyadari adanya trade off antara kebebasan kita untuk perlindungan hak-hak lain. Dan trade off tersebut telah kita sepakati dalam kontrak sosial.
Kontrak sosial ini terdapat pada sesama masyarakat, masyarakat-pemimpin, dan sesama pemimpin. Semua hal yang menjadi pertimbangan kita untuk melakukan sesuatu, terutama yang berhubungan dengan orang lain, disadari atau tidak, didapat dari nilai-nilai yang ada dalam kontrak sosial. Tidak hanya yang tertulis seperti hukum yang telah dilegalisasi, budaya perjulidan dan tembok juga merupakan kontrak sosial yang tidak tertulis. Walaupun tidak sepenuhnya baik, tetapi budaya tersebut dapat menjalankan perannya sebagai pengatur. Masing-masing bentuk kontrak sosial memiliki kekuatannya sendiri untuk membentuk perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Beberapa filsuf yang menyatakan teori ini adalah Hobbes, Locke, dan Rousseau. Hobbes (1985) menyatakan bahwa manusia membutuhkan sosok “Leviathan” yang menyimbolkan suatu sosok yang berdiri di atas semua manusia lainnya9Hobbes, Thomas (1985). Leviathan.. Bahwasanya keabsenan dari pemerintah akan mengarah pada situasi chaos, di mana orang akan hidup dalam ketakutan karena tidak adanya rasa aman (Locke, 1689)10Locke, John. (1689). Second Treatise of Government.. Dan fungsi hukum adalah untuk memberikan restriksi pada kebebasan alamiah manusia (Rousseau, 1762)11Rousseau, Jean. J. (1762). Du Contrat social.. Selama manusia menunjukan sikap kooperatif, hukum dapat menjadi sarana yang baik untuk memelihara kebebasan. Ketika ada suatu penyimpangan, hukum berubah menjadi sebuah kekuatan yang koersif12Reichert, W. O. (1969). Anarchism, Freedom, and Power. Ethics, 79(2), 139–149. http://www.jstor.org/stable/2379177. Di sinilah peran para pembuat hukum itu diperlukan.
Bayangkan sebuah dunia dimana manusia semuanya sama, tidak ada struktur hierarkis dan pembuat hukum, semua memiliki hak yang sama tanpa ada aturan yang pasti. Hak untuk memiliki barang yang diinginkan tidak terbatas pada bahwa kita harus membeli barang tersebut untuk memilikinya. Tidak ada otoritas yang mengatur bahwa penjarahan atau pembunuhan merupakan hal yang ilegal. Tidak ada pihak yang begitu kuat yang dapat mengatur mana yang benar dan salah, siapa yang pantas untuk diadili. Ideologi anarkisme berkembang dan akan ditemukan di setiap sudut.
Akhir Kata
Perbedaanya tentu saja kontrak yang tertulis tersebut bersifat jauh lebih mengikat dan memaksa dengan skala yang lebih besar. Kita memerlukan pihak yang dapat menyatukan nilai-nilai tersebut dengan sebuah ikatan, tetapi kenyataan bahwa manusia akan selalu memuaskan ego, menciptakan lingkaran setan yang sulit untuk dihilangkan. Kontrak dengan tujuan untuk melindungi hak-hak tersebut tidak berlaku pada mereka yang berada dalam piramida atas, yang dengan kekuasaan, telah memiliki hak-hak yang lebih bahkan sebelum hal tersebut diatur. Mereka tidak memerlukan jaminan-jaminan tersebut secara mereka adalah penjamin hal tersebut. Jadi sebenarnya, mana posisi yang lebih tinggi? Apakah itu pembuat hukum atau hukum itu sendiri?
Woodrow Wilson pernah berkata bahwa represi adalah bibit-bibit revolusi. Anarkisme sendiri sejatinya dibutuhkan. Tidak ada perubahan sosial yang pernah terjadi tanpa revolusi dengan anarki sebagai pemantik13Goldman, E. (1911). Emma Goldman’s anarchism and other essays. New York & London: Mother Earth Publishing Association.. Semua yang telah dihancurkan oleh penyalahgunaan kekuasaan akhirnya akan dibangun kembali oleh keadilan sistemik14Meadows, P. (1944). Balance and Imbalance in Human Social Adjustment. Social Forces, 22(4), 415–419. https://doi.org/10.2307/2571808. Dan terjebaklah kita dalam sebuah lingkaran setan yang telah disebutkan sebelumnya. Marxisme membuatnya dengan sedikit lebih ekstrim. Diikuti dengan emansipasi manusia, ketika hukum yang dibuat para borjuis menghilang, hukum secara umum juga akan menghilang begitu saja, tidak akan ada hukum proletariat15Sypnowich, C. (1987). The “Withering Away” of Law. Studies in Soviet Thought, 33(4), 305–332. http://www.jstor.org/stable/20100237. Yang dimana negara akan melenyap (Engels, 1878)16Engels, Friedrich. (1878). Anti-Dühring..
Seperti para babi membuat ketujuh kode binatangisme yang menjadi kontrak sosial yang disepakati para binatang, begitu juga dengan manusia yang telah menciptakan berbagai macam undang-undang kompleks untuk menjaga keharmonisan. Yang disayangkan adalah nyatanya para manusia yang memiliki kekuasaan tersebut lebih banyak yang menjadi babi.
Referensi
↵1 | Orwell, George. (1945). Animal Farm. |
---|---|
↵2 | Oppong, S. H. (2013). Religion and identity. American International Journal of Contemporary Research, 3(6), 10-16. |
↵3 | History.com. (2020). Code of Hammurabi. Diambil dari History.com: https://www.history.com/topics/ancient-history/hammurabi#:~:text=The%20Hammurabi%20code%20of%20laws,and%20finally%20rediscovered%20in%201901. |
↵4 | History.com. (2019). Socrates. Diambil dari History.com: https://www.history.com/topics/ancient-history/socrates#:~:text=Socrates%20was%20accused%20of%20corrupting,executioner’s%20cup%20of%20poisonous%20hemlock. |
↵5 | Tanimoto, J., & Sagara, H. (2007). Relationship between dilemma occurrence and the existence of a weakly dominant strategy in a two-player symmetric game. Biosystems, 90(1), 105-114. doi:10.1016/j.biosystems.2006.07.005 |
↵6 | Maslow, A. (1954). Motivation and Personality Third Ed. NY: Addison-Wesley |
↵7 | Giurge, L. M., Dijke, M. V., Zheng, M. X., & Cremer, D. D. (2019). Does power corrupt the mind? The influence of power on moral reasoning and self-interested behavior. The Leadership Quarterly, 32(4), 101288. doi:10.1016/j.leaqua.2019.03.003 |
↵8 | Stirner, M. (1995). Stirner: the ego and its own. Cambridge University Press. |
↵9 | Hobbes, Thomas (1985). Leviathan. |
↵10 | Locke, John. (1689). Second Treatise of Government. |
↵11 | Rousseau, Jean. J. (1762). Du Contrat social. |
↵12 | Reichert, W. O. (1969). Anarchism, Freedom, and Power. Ethics, 79(2), 139–149. http://www.jstor.org/stable/2379177 |
↵13 | Goldman, E. (1911). Emma Goldman’s anarchism and other essays. New York & London: Mother Earth Publishing Association. |
↵14 | Meadows, P. (1944). Balance and Imbalance in Human Social Adjustment. Social Forces, 22(4), 415–419. https://doi.org/10.2307/2571808 |
↵15 | Sypnowich, C. (1987). The “Withering Away” of Law. Studies in Soviet Thought, 33(4), 305–332. http://www.jstor.org/stable/20100237 |
↵16 | Engels, Friedrich. (1878). Anti-Dühring. |
Discussion about this post