Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menjadi salah satu pemicu bagi Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FEB UI untuk menggelar Grey Legal Discussion pada Sabtu (6/11) secara daring melalui platform Zoom. Acara ini diikuti oleh berbagai lembaga di tingkat fakultas dan IKM FEB UI.
Iqbal Salam, Ketua BPM FEB UI, menjelaskan bahwa Grey Legal Discussion merupakan wadah bagi IKM FEB UI untuk dapat memberikan masukan atau mengkritisi BPM FEB UI selaku lembaga pembuat kebijakan. “Di tahun ini, BPM FEB UI berkomitmen penuh untuk menghadirkan suatu kebijakan yang dapat menjamin keamanan IKM FEB UI terhadap bahaya kekerasan seksual,” lanjut Iqbal dalam menjelaskan tujuan yang dibahas dalam Grey Legal Discussion kali ini.
BPM FEB UI menayangkan pasal demi pasal yang terkandung dalam RUU kepada para peserta. Jalannya diskusi dipimpin langsung oleh As’ary selaku moderator dan para peserta diberikan waktu untuk membaca setiap pasal yang ditampilkan. Setelah itu, peserta dipersilakan untuk memberikan pertanyaan, saran, atau sanggahan terkait pasal-pasal yang ditampilkan.
Masalah Consent dan Ruang Lingkup RUU Kekerasan Seksual
Ruang lingkup dalam RUU IKM FEB UI tentang Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa cakupan korban dan/atau pelaku kekerasan seksual meliputi seluruh anggota IKM FEB UI, tanpa terkecuali. Hukum ini juga berlaku bagi anggota IKM FEB UI yang sedang melakukan kegiatan di dalam lingkungan kampus, di luar lingkungan kampus, dan di lingkungan dunia maya.
Menanggapi pertanyaan terkait jika korban merupakan IKM FEB UI dan pelaku bukan merupakan IKM FEB UI, Diaz selaku perwakilan dari BPM, mengatakan bahwa jika korban merupakan IKM FEB UI dan pelaku bukan IKM FEB UI, BPM tidak dapat mengenakan sanksi yang ada di dalam RUU terhadap pelaku. Namun, jika pelakunya bukan merupakan mahasiswa UI, BPM dapat melakukan pendampingan terhadap korban. Berbeda halnya jika pelaku masih mahasiswa Universitas Indonesia, BPM akan bekerja sama dengan lembaga terkait untuk mempercepat kasusnya ke tingkat universitas.
Untuk kasus sebaliknya, jika pelaku merupakan IKM FEB UI, BPM dapat memproses pelaku melalui sanksi yang berlaku. “Balik lagi, kita masih hanya menaungi IKM FEB UI sendiri, korban harus menunjuk perwakilannya yang merupakan anggota IKM FEB UI untuk mengurus segala macam proses kasus kekerasan seksual,” pungkas Diaz dari pihak BPM FEB UI.
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah tidak adanya consent dari salah satu pihak yang terlibat, dalam hal ini yang adalah korban. Terkait consent dan pendefinisian kekerasan seksual, Islamilenia sebagai salah satu peserta mengatakan bahwa hal tersebut kadang sulit untuk dilihat batasannya karena perasaan dilecehkan dapat timbul secara tiba-tiba.
Farid dari pihak BPM FEB UI mengatakan bahwa dalam pembuatan RUU tersebut, komisi legislasi dan yudikasi dari BPM FEB UI bekerja sama dengan komisi aspirasi telah berusaha menyertakan definisi consent bagi IKM FEB UI dalam kuesioner yang sempat dibagikan.
Hasil mengenai consent tersebut terdapat dalam RUU Pasal 6 poin (d) dan (e) yang disebutkan bahwa consent adalah “Keadaan ketika seorang individu telah memberikan izin untuk melakukan suatu kegiatan tanpa didasari paksaan, memiliki kesadaran penuh terhadap lingkungannya, dan memiliki informasi yang lengkap terkait suatu kegiatan yang sedang dan/atau akan dilakukan”. Sebagai tambahan, consent tidak dapat disimpulkan dari perilaku diam atau pasif, dan dapat ditarik kapan saja selama interaksi.
Diaz juga turut menambahkan, bahwa pembuktian kekerasan seksual itu sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, selama bisa dibuktikan bahwa tidak ada lagi consent dari pihak korban, itu dapat menjadi bukti yang cukup bagi pihak BPM FEB UI. Namun, jika tidak terbukti adanya penarikan consent oleh korban, BPM akan tetap memberikan layanan pendampingan ke pihak HopeHelps UI.
“Kalau untuk membuat peraturan terutama terkait kekerasan seksual, kita juga tetap harus memasukkan asas praduga tak bersalah. Walaupun, kita mencoba sedemikian rupa supaya kita tetap berperspektif korban,” tambah Diaz.
Mekanisme Pelaporan dan Pembentukan Tim Ad Hoc
BPM FEB UI menyediakan posko dan hotline jika terjadi kekerasan seksual di tingkat fakultas. Kanal pelaporan dapat dilakukan melalui BEM, BPM, dan himpunan terkait. Hal ini dilakukan untuk membuat pintu pelaporan yang luas. Proses pelaporan ini diserahkan pada kenyamanan korban. “Buat kanal posko dan hotline di tingkat fakultas ini tuh semua lembaga menjadi posko pelaporan supaya semakin mudah,” ungkap Melia.
Setelah melalui pelaporan dan dilanjutkan ke tahap persidangan, kasus kekerasan seksual yang terjadi dapat ditindaklanjuti oleh tim Ad Hoc sebagai pendamping korban. Proses persidangan dalam RUU tersebut menjelaskan bahwa terdapat surat pelaporan sampai proses pembuktian. Pelapor atau terlapor juga diperbolehkan menghadirkan saksi, ahli, dan bukti-bukti yang mendukung keberlangsungan persidangan. Saat persidangan, hakim akan melakukan review dan pada akhirnya menghasilkan keputusan. Untuk korban, selama proses pelaporan sampai persidangan ini akan didampingi oleh tim Ad Hoc.
Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang dibentuk oleh BPM FEB UI menyebutkan bahwa tim Ad Hoc adalah tim yang akan dibentuk untuk jangka waktu tertentu dalam rangka menjalankan atau melaksanakan program khusus. “Yang perlu digaris bawahi untuk tim Ad Hoc ini adalah insidental. Kalau misalnya ada (kasus), baru kita bentuk,” ujar Iqbal.
Adapun terkait kriteria anggota, syarat minimal untuk tergabung dalam tim Ad Hoc adalah pengurus inti dari suatu organisasi, baik itu BPM, BEM, dan himpunan terkait. Hal ini dilakukan untuk menghargai kerahasiaan korban, dan pengurus inti tersebut diharapkan untuk menjaga kerahasiaan dari pelaku beserta korban.
Apabila pelapor memutuskan untuk tidak melanjutkan prosesnya, tim Ad Hoc harus berperspektif korban. Jika korban membutuhkan bimbingan atau pendampingan, hal itu harus dilakukan oleh tim Ad Hoc. “Tanggung jawab dari tim ad hoc adalah melakukan pendampingan dan memastikan bahwa korban mengetahui hak-hak yang dia miliki,” ujar Diaz.
Ragam Pendapat untuk Penyempurnaan RUU tentang Kekerasan Seksual
Acara yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini berjalan dengan kondusif dan aktif. Terkait poin-poin dari pasal yang sudah disebutkan oleh BPM FEB UI, IKM FEB UI yang hadir dalam acara tersebut beberapa kali mengajukan pertanyaan hingga saran terkait isi dari pasal.
Hal ini sejalan dengan harapan yang disampaikan oleh Iqbal Salam sebagai Ketua BPM FEB UI yang berharap bahwa dari BPM FEB UI dan IKM FEB UI dapat menyempurnakan produk hukum yang akan dikeluarkan nantinya. Terkait dengan perbaikan atau revisi setelah dilaksanakannya Grey Legal Discussion, akan menjadi bahan pertimbangan BPM FEB UI untuk menyempurnakan UU Kekerasan Seksual IKM FEB UI.
Ilustrasi oleh Viona Avinda
Editor: Maurizky Febriansyah, Nismara Paramayoga, Muhammad Ramadhani, Hafsha Pia Sheridan, Muhammad Zaky Nur Fajar
Discussion about this post