Fenomena Childfree akhir-akhir ini menjadi sebuah fenomena yang banyak diperbincangkan. Ada yang mendukung, ada juga yang mencibir, tentu dengan alasan yang sama beragamnya. Kendati fenomena ini sudah ada sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, kehangatan permasalahan ini masih layak untuk terus diperbincangkan. Redaksi Economica berhasil melakukan wawancara dengan Rini Hildayani, S.Psi., M.Si., Psikolog dan Peneliti di Kelompok Riset Studi Keluarga Fakultas Psikologi Universitas Indonesia untuk membahas persoalan ini.
Apa itu Childfree?
Childfree sendiri merupakan sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Keputusan untuk Childfree ini tidak serta merta menjadikan penganutnya sebagai seseorang yang menganut anti-natalisme.
Terdapat perbedaan yang jelas antara anti-natalisme dan keputusan Childfree. Anti-natalisme merupakan sebuah pandangan bahwa secara moral, seseorang harus menahan diri untuk mempunyai anak, atau dengan perkataan lain mempunyai anak adalah sebuah kesalahan. Sementara keputusan untuk childfree dapat disebabkan oleh berbagai alasan.
Alasan seseorang memilih Childfree
Rini menuturkan, terdapat beberapa alasan yang membuat pasangan menikah memutuskan untuk Childfree. Alasan utamanya adalah adanya perubahan dalam orientasi nilai. Dalam masyarakat modern, pandangan terkait keluarga dan kelahiran anak mengalami perubahan.
Jika dalam masyarakat tradisional, orang yang tidak mempunyai anak dipandang tidak bahagia dan orang yang secara terbuka menyatakan tidak ingin mempunyai anak dianggap tidak sehat secara mental. Sedangkan dewasa ini, orang yang tidak ingin punya anak dipandang normal karena itu merupakan pilihannya sendiri.
Di samping itu, terdapat juga sejumlah alasan lain, seperti riwayat masa kecil yang kurang menyenangkan (adanya trauma masa kanak-kanak, model peran orang tua yang buruk, pengalaman mendapatkan pengasuhan yang keras/kasar), masalah psikologis (ketidaksukaan terhadap anak-anak, takut hamil dan melahirkan, takut akan tanggung jawab, dan takut menjadi orang tua yang buruk), masalah ekonomi, dan keinginan untuk berkarier.
Meskipun pihak yang melahirkan adalah perempuan, tetapi keputusan untuk childfree sebaiknya tetap diputuskan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena orang yang memutuskan untuk menikah, pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Salah satu tujuan yang mungkin adalah untuk memiliki anak/meneruskan keturunan.
Apabila terdapat tujuan yang tidak sejalan antara dua pasangan, maka akan beresiko untuk terjadinya konflik dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Belum lagi pernikahan di beberapa tempat, termasuk Indonesia, tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga, yang mungkin memiliki ekspektasi masing-masing terhadap pernikahan tersebut. Keputusan pasangan untuk Childfree bisa jadi ditentang oleh pihak keluarga besar dan hal ini dapat merusak relasi yang sudah terjalin.
Childfree dan Feminisme
Keputusan Childfree seringkali diasosiasikan dengan gerakan Feminisme yang identik dengan prinsip“kemerdekaan perempuan atas tubuhnya sendiri”. Fenomena Childfree seakan-akan sejalan dengan gerakan Feminisme, dengan menggambarkan perempuan yang memutuskan untuk menjadi Childfree lebih dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam aktivitas dan peran yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Padahal sejatinya, meninggalkan sepenuhnya peran sebagai ibu tidak pernah menjadi tujuan dari para Feminis.
Menurut penuturan Rini, bahkan terdapat feminis yang mendukung perempuan untuk memiliki anak lewat kontrol kelahiran yang efektif dan aman, mempertanyakan aturan yang menghambat para ibu untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan struktur pekerjaan di masyarakat, serta mendukung pelayanan childcare yang lebih baik sehingga para ibu mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam lapangan kerja.
Para feminis juga mencurahkan energinya untuk menentang pandangan yang merendahkan peran ibu dan menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah dalam keluarga. Maka dari itu, konteks Childfree sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan feminisme karena nilai dan tujuan yang dijunjung keduanya itu sendiri memang sangat berbeda.
Editor: Nismara Paramayoga, Muhammad Zaky Nur Fajar, Hafsha Pia Sheridan
Infografis oleh Jamie Paulus
Discussion about this post