Pagi itu, seorang remaja berdiri cukup lama di depan cermin. Dengan tatapan sedih, ia memandangi rupanya. Ia memperhatikan kulit hitam dan rambut keritingnya secara saksama. Sudah terbayang olehnya bagaimana hari ini teman-teman dan gurunya akan kembali menghina fisiknya. Sempat terpikir olehnya untuk melawan, namun selalu ia urungkan tiap kali mengingat ayahnya berakhir di penjara demi membela anaknya.
Masyarakat Indonesia sudah terbiasa menemukan perbedaan, tetapi apakah kita sudah terbiasa pula untuk menerimanya? Realitanya, berbagai kasus rasisme seakan-akan sudah menjadi agenda tahunan yang entah sampai kapan. Sebut saja kasus kerusuhan di tahun 1998, suatu tragedi yang masih membekas bagi masyarakat Tionghoa-Indonesia. Sampai tulisan ini diterbitkan, masih banyak kasus penindasan yang tak kunjung diselesaikan. Perilaku rasisme lainnya yang juga sangat nyata dialami oleh masyarakat Papua. Penghinaan, penolakan, hingga pemfitnahan dari beberapa saudara setanah air adalah kenyataan pahit yang mereka alami.
Rasisme Hari ini
Tidak hanya dalam peristiwa kerusuhan secara nasional, rasisme juga dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari. “Sebagai contoh, ketika berjalan di suatu mall dan ada anak kecil—saya terka umurnya tidak lebih dari enam tahun—yang lewat dan berkata kepada mamanya, ‘Ada orang hitam,’ kemudian mamanya tertawa mendengar ucapan anak tersebut,” terang Yuliana Langowuyo, seorang aktivis HAM asal Papua. Jika hal ini dibiarkan, Yuliana menganggap anak tersebut akan tumbuh besar dengan pikiran bahwa orang kulit hitam memang berparas jelek atau layak untuk ditertawakan.
Kejadian seperti itu, Yuliana berpendapat bahwa keluarga sebagai pondasi pendidikan masih sangat kurang dalam mengajarkan perbedaan. Yuliana juga pernah dipandang rendah hanya karena rasnya, “Saya pernah mengikuti salah satu pertemuan di Jakarta dan mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Setelah saya sharing, datang beberapa orang yang bilang ‘Kamu dari Papua ya? Kok pintar ya?’ Hal itu kan menunjukkan bahwa dianggapan mereka orang Papua itu bodoh dan belum bagus berbicara dalam publik.”
Industri pertelevisian Indonesia saat ini pun masih kental dengan isu rasisme. Yuliana mencontohkan sebuah iklan di mana terdapat dua orang saudara kembar, lalu terdapat narasi bahwa “sayangnya” yang satu berkulit lebih gelap daripada yang lain. Menurutnya hal ini seolah menjelaskan bahwa kulit putih dianggap sebagai standar seseorang terlihat cantik dan baik. Siaran yang berulang-ulang ditonton ini akan membentuk pola pikir masyarakat, sehingga orang berkulit gelap akan dianggap jelek dan dihina.
Yuliana juga menyayangkan bahwa di bidang pendidikan masih tidak banyak kurikulum yang memuat realita perbedaan ras—bahwa di Indonesia terdapat orang dengan warna kulit, rambut, bahkan agama yang berbeda. Ia memberi contoh bagaimana kalimat sesederhana “Ibu Budi pergi ke sawah” dapat membuat orang papua menjadi bingung. Pasalnya di Papua tidak ada sawah sehingga pergi ke sawah bukan suatu hal yang umum bagi mereka. “Kalau saja ada niat baik untuk mengakomodasi perbedaan ini dan meletakkannya sebagai sebuah kekayaan, mungkin saja bangsa Indonesia saat ini jauh lebih menerima bahwa ada orang yang berbeda, dan berbeda itu baik,” tegasnya.
Ke Manakah Media, Sang Agen Perubahan?
Media sebagai agen perubahan memiliki peran penting dalam mengomunikasikan isu rasisme yang terjadi. Namun, Victor Mambor, jurnalis asal Papua, menjelaskan bahwa di Indonesia ancaman terhadap media yang memberitakan isu rasisme nyata adanya. “Bahkan pernah ditodong dan diancam dibunuh karena liputan seperti itu,” jelasnya. Victor lebih lanjut menambahkan bahwa beberapa hambatan membuat investigasi di Papua memang lebih berat dibanding di tempat lain. Oleh karena itu, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama adalah uang. Jaraknya yang jauh serta infrastruktur yang masih belum merata, menjadikan pesawat sebagai moda transportasi baik untuk menuju maupun saat berpergian di Papua. Kedua adalah nyali, karena kondisi dan tensi saat ini yang bisa jadi mengerikan. Ketiga adalah fisik, karena medan yang membutuhkan kekuatan fisik untuk ditelusuri.
Menurut Victor, beberapa media di Jakarta juga beranggapan bahwa orang Papua sulit untuk diajak berkomunikasi dan selalu mempolitisasi segalanya, membuat pandangan mereka tentang isu Papua jarang diliput. Hal ini kemudian membuat informasi yang diberikan tidak akurat. “Cara media memberitakannya masih sangat rasis karena mereka hanya mengutip dari aparat keamanan yang notabenenya bukan orang asli Papua, sementara korbannya yang orang Papua jarang dimintai pandangan. Perspektif yang diwawancarai bukan berasal dari orang Papua sehingga tidak berimbang.” Namun, sebenarnya media Jakarta mempunyai SDM yang cukup untuk meliput perspektif orang Papua yang sebenarnya tidaklah seperti yang dipikirkan.
Sepakat dengan Victor, Yuliana berpendapat bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi berita yang justru membuat orang Papua terlihat kejam. Padahal, banyak berita lain—seperti kasus korupsi atau kerusakan lingkungan karena investasi besar-besaran—yang membuat orang Papua terpuruk, kehilangan lahan dan mengakibatkan bencana. “Kita harus bekerja keras untuk menarik simpati publik Indonesia supaya Indonesia melihat persoalan Papua dari kacamata kemanusiaan, bukan masalah politik melulu,” tuturnya. Yuliana menjelaskan bahwa sebenarnya usaha untuk “menjemput bola” dengan cara langsung membuat laporan pers dan mengirimnya ke berita nasional juga telah dilakukan. Namun sayangnya, cara tersebut masih kurang berhasil.
Jangankan untuk bisa diangkat di media massa, Yuliana menyampaikan bahwa permasalahan Papua bahkan sulit untuk bisa diterima oleh pemerintah. “Pemerintah indonesia mau laporan yang keluar hanya yang baik-baik saja. Ketika kita memberikan fakta yang buruk, melapor keluar, terlibat dalam advokasi nasional maupun regional pasti ada tekanan dari pemerintah,” terangnya.
Lebih dari Isu Perbedaan Warna
Dari kisah-kisah yang telah diceritakan sebelumnya, jelas bahwa rasisme bukan sekadar masalah perbedaan warna. Rasisme juga merambat ke isu kesetaraan. Yuliana menceritakan bahwa sejak Indonesia merdeka, sangat jarang ada orang timur, terutama orang Papua, yang bisa duduk di kursi pemerintahan. “Sudah berpuluh-puluh tahun Papua menjadi bagian dari NKRI, tetapi baru setelah ada internasionalisasi masalah papua, setelah ada kericuhan, dan setelah ada orang bilang jurnalis asing masuk ke Papua baru ada hal itu. Jadi bukan karena niat baik, tetapi untuk menunjukkan ke publik bahwa orang papua telah dilibatkan,” tuturnya.
Kesenjangan dalam infrastruktur dan pendidikan juga menjadi masalah yang dapat menimbulkan rasisme. Yuliana memberi contoh kebijakan belajar online di awal pandemi yang berlaku di seluruh Indonesia, padahal masih ada daerah di Papua yang belum memiliki fasilitas listrik dan internet. Sementara, standar ujian yang diberlakukan sama, termasuk untuk anak-anak Papua. “Ketika anak Papua lebih sulit untuk menyesuaikan, mereka dianggap bodoh. Padahal, dari segi fasilitas yang didapatkan berbeda,” tambahnya.
Langkah Penuh Warna
“Menurut saya untuk rasisme di Papua tidak bisa diselesaikan secara parsial karena ada masalah lain seperti persoalan sejarah, HAM, kekerasan, dan ekonomi yang kemudian terakumulasi menjadi sebuah rasisme. Pemerintah bersama masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Papua, perlu bersama-sama mendudukkan akar permasalahan, tidak hanya rasisme saja, karena ada persoalan lain yang juga berdampak pada sikap rasisme,” ungkap Victor.
Sejalan dengan Victor, Yuliana berpendapat bahwa pemerintah Indonesia perlu duduk bersama dengan orang-orang Papua untuk berbicara secara terbuka tentang keadaan masyarakat Papua sekarang. Menurutnya, pendekatan dan tindakan pemerintah harus lebih melibatkan orang Papua sebagai satu harkat dan martabat. Selain itu, penguatan terhadap korban juga harus diseimbangkan dengan edukasi terhadap pelaku.
Sejauh ini, menurut Yuliana ada beberapa usaha yang telah berhasil dilakukan untuk melawan rasisme, upaya dari Komnas HAM contohnya. Komnas HAM menulis analisis laporan analisis mengenai rasisme dan mempublikasikannya agar masyarakat dapat melakukan refleksi dan pihak terkait bisa melakukan rekomendasi serta mendorong perubahan cara pandang masyarakat. Selain itu, pelaksanaan diskusi—terutama yang tidak hanya membahas tentang kekayaan alam, tetapi juga orang-orang Papua—juga telah dilakukan. Namun, Yuliana berpendapat bahwa Komnas HAM dapat melakukan diskusi langsung dengan masyarakat Papua dan lebih terlibat menyelesaikan isu rasisme di luar tanah Papua.
“Hal ini harus menjadi perjuangan bersama. Tidak bisa hanya orang Papua saja yang berjuang agar kami tidak mendapat perilaku rasisme lagi. Justru kita semakin kuat apabila orang di luar Papua yang sudah sadar bahwa (isu rasisme) ini adalah hal yang salah, lalu mulai bersolidaritas mendukung Papua,” tutup Yuliana.
Editor: Haikal Qinthara, Maurizky Febriansyah, Nadyezdi Rifi Prihadiani, Ruthana Bitia, Christabel Nathania Surya
Discussion about this post