Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
No Result
View All Result
Economica
Home In-Depth

Rasisme di Negeri Multikultural: Bukan Sekadar Masalah Warna

by Gabriel Fiorentino Setiadin, Harya Vandika Daniswara & Rania Fairuz
30 September 2021
in In-Depth

Pagi itu, seorang remaja berdiri cukup lama di depan cermin. Dengan tatapan sedih, ia memandangi rupanya. Ia memperhatikan kulit hitam dan rambut keritingnya secara saksama. Sudah terbayang olehnya bagaimana hari ini teman-teman dan gurunya akan kembali menghina fisiknya. Sempat terpikir olehnya untuk melawan, namun selalu ia urungkan tiap kali mengingat ayahnya berakhir di penjara demi membela anaknya.

Masyarakat Indonesia sudah terbiasa menemukan perbedaan, tetapi apakah kita sudah terbiasa pula untuk menerimanya? Realitanya, berbagai kasus rasisme seakan-akan sudah menjadi agenda tahunan yang entah sampai kapan. Sebut saja kasus kerusuhan di tahun 1998, suatu tragedi yang masih membekas bagi masyarakat Tionghoa-Indonesia. Sampai tulisan ini diterbitkan, masih banyak kasus penindasan yang tak kunjung diselesaikan. Perilaku rasisme lainnya yang juga sangat nyata dialami oleh masyarakat Papua. Penghinaan, penolakan, hingga pemfitnahan dari beberapa saudara setanah air adalah kenyataan pahit yang mereka alami. 

Rasisme Hari ini

Tidak hanya dalam peristiwa kerusuhan secara nasional, rasisme juga dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari. “Sebagai contoh, ketika berjalan di suatu mall dan ada anak kecil—saya terka umurnya tidak lebih dari enam tahun—yang lewat dan berkata kepada mamanya, ‘Ada orang hitam,’ kemudian mamanya tertawa mendengar ucapan anak tersebut,” terang Yuliana Langowuyo, seorang aktivis HAM asal Papua. Jika hal ini dibiarkan, Yuliana menganggap anak tersebut akan tumbuh besar dengan pikiran bahwa orang kulit hitam memang berparas jelek atau layak untuk ditertawakan. 

Kejadian seperti itu, Yuliana berpendapat bahwa keluarga sebagai pondasi pendidikan masih sangat kurang dalam mengajarkan perbedaan. Yuliana juga pernah dipandang rendah hanya karena rasnya, “Saya pernah mengikuti salah satu pertemuan di Jakarta dan mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Setelah saya sharing, datang beberapa orang yang bilang ‘Kamu dari Papua ya? Kok pintar ya?’ Hal itu kan menunjukkan bahwa dianggapan mereka orang Papua itu bodoh dan belum bagus berbicara dalam publik.” 

Industri pertelevisian Indonesia saat ini pun masih kental dengan isu rasisme. Yuliana mencontohkan sebuah iklan di mana terdapat dua orang saudara kembar, lalu terdapat narasi bahwa “sayangnya” yang satu berkulit lebih gelap daripada yang lain. Menurutnya hal ini seolah menjelaskan bahwa kulit putih dianggap sebagai standar seseorang terlihat cantik dan baik. Siaran yang berulang-ulang ditonton ini akan membentuk pola pikir masyarakat, sehingga orang berkulit gelap akan dianggap jelek dan dihina.

Yuliana juga menyayangkan bahwa di bidang pendidikan masih tidak banyak kurikulum yang memuat realita perbedaan ras—bahwa di Indonesia terdapat orang dengan warna kulit, rambut, bahkan agama yang berbeda. Ia memberi contoh bagaimana kalimat sesederhana “Ibu Budi pergi ke sawah” dapat membuat orang papua menjadi bingung. Pasalnya di Papua tidak ada sawah sehingga pergi ke sawah bukan suatu hal yang umum bagi mereka. “Kalau saja ada niat baik untuk mengakomodasi perbedaan ini dan meletakkannya sebagai sebuah kekayaan, mungkin saja bangsa Indonesia saat ini jauh lebih menerima bahwa ada orang yang berbeda, dan berbeda itu baik,” tegasnya. 

Ke Manakah Media, Sang Agen Perubahan?

Media sebagai agen perubahan memiliki peran penting dalam mengomunikasikan isu rasisme yang terjadi. Namun, Victor Mambor, jurnalis asal Papua, menjelaskan bahwa di Indonesia ancaman terhadap media yang memberitakan isu rasisme nyata adanya. “Bahkan pernah ditodong dan diancam dibunuh karena liputan seperti itu,” jelasnya. Victor lebih lanjut menambahkan bahwa beberapa hambatan membuat investigasi di Papua memang lebih berat dibanding di tempat lain. Oleh karena itu, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama adalah uang. Jaraknya yang jauh serta infrastruktur yang masih belum merata, menjadikan pesawat sebagai moda transportasi baik untuk menuju maupun saat berpergian di Papua. Kedua adalah nyali, karena kondisi dan tensi saat ini yang bisa jadi mengerikan. Ketiga adalah fisik, karena medan yang membutuhkan kekuatan fisik untuk ditelusuri. 

Menurut Victor, beberapa media di Jakarta juga beranggapan bahwa orang Papua sulit untuk diajak berkomunikasi dan selalu mempolitisasi segalanya, membuat pandangan mereka tentang isu Papua jarang diliput. Hal ini kemudian membuat informasi yang diberikan tidak akurat. “Cara media memberitakannya masih sangat rasis karena mereka hanya mengutip dari aparat keamanan yang notabenenya bukan orang asli Papua, sementara korbannya yang orang Papua jarang dimintai pandangan. Perspektif yang diwawancarai bukan berasal dari orang Papua sehingga tidak berimbang.” Namun, sebenarnya media Jakarta mempunyai SDM yang cukup untuk meliput perspektif orang Papua yang sebenarnya tidaklah seperti yang dipikirkan.

Sepakat dengan Victor, Yuliana berpendapat bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi berita yang justru membuat orang Papua terlihat kejam. Padahal, banyak berita lain—seperti kasus korupsi atau kerusakan lingkungan karena investasi besar-besaran—yang membuat orang Papua terpuruk, kehilangan lahan dan mengakibatkan bencana. “Kita harus bekerja keras untuk menarik simpati publik Indonesia supaya Indonesia melihat persoalan Papua dari kacamata kemanusiaan, bukan masalah politik melulu,” tuturnya. Yuliana menjelaskan bahwa sebenarnya usaha untuk “menjemput bola” dengan cara langsung membuat laporan pers dan mengirimnya ke berita nasional juga telah dilakukan. Namun sayangnya, cara tersebut masih kurang berhasil.

Jangankan untuk bisa diangkat di media massa, Yuliana menyampaikan bahwa permasalahan Papua bahkan sulit untuk bisa diterima oleh pemerintah. “Pemerintah indonesia mau laporan yang keluar hanya yang baik-baik saja. Ketika kita memberikan fakta yang buruk, melapor keluar, terlibat dalam advokasi nasional maupun regional pasti ada tekanan dari pemerintah,” terangnya.

Lebih dari  Isu Perbedaan Warna

Dari kisah-kisah yang telah diceritakan sebelumnya, jelas bahwa rasisme bukan sekadar masalah perbedaan warna. Rasisme juga merambat ke isu kesetaraan. Yuliana menceritakan bahwa sejak Indonesia merdeka, sangat jarang ada orang timur, terutama orang Papua, yang bisa duduk di kursi pemerintahan. “Sudah berpuluh-puluh tahun Papua menjadi bagian dari NKRI, tetapi baru setelah ada internasionalisasi masalah papua, setelah ada kericuhan, dan setelah ada orang bilang jurnalis asing masuk ke Papua baru ada hal itu. Jadi bukan karena niat baik, tetapi  untuk menunjukkan ke publik bahwa orang papua telah dilibatkan,” tuturnya. 

Kesenjangan dalam infrastruktur dan pendidikan juga menjadi masalah yang dapat menimbulkan rasisme. Yuliana memberi contoh kebijakan belajar online di awal pandemi yang berlaku di seluruh Indonesia, padahal masih ada daerah di Papua yang belum memiliki fasilitas listrik dan internet. Sementara, standar ujian yang diberlakukan sama, termasuk untuk anak-anak Papua. “Ketika anak Papua lebih sulit untuk menyesuaikan, mereka dianggap bodoh. Padahal, dari segi fasilitas yang didapatkan berbeda,” tambahnya.

Langkah Penuh Warna

“Menurut saya untuk rasisme di Papua tidak bisa diselesaikan secara parsial karena ada masalah lain seperti persoalan sejarah, HAM, kekerasan, dan ekonomi yang kemudian terakumulasi menjadi sebuah rasisme. Pemerintah bersama masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Papua, perlu bersama-sama mendudukkan akar permasalahan, tidak hanya rasisme saja, karena ada persoalan lain yang juga berdampak pada sikap rasisme,” ungkap Victor. 

Sejalan dengan Victor, Yuliana berpendapat bahwa pemerintah Indonesia perlu duduk bersama dengan orang-orang Papua untuk berbicara secara terbuka tentang keadaan masyarakat Papua sekarang. Menurutnya, pendekatan dan tindakan pemerintah harus lebih melibatkan orang Papua sebagai satu harkat dan martabat. Selain itu, penguatan terhadap korban juga harus diseimbangkan dengan edukasi terhadap pelaku.

Sejauh ini, menurut Yuliana ada beberapa usaha yang telah berhasil dilakukan untuk melawan rasisme, upaya dari Komnas HAM contohnya. Komnas HAM menulis analisis laporan analisis mengenai rasisme dan mempublikasikannya agar masyarakat dapat melakukan refleksi dan pihak terkait bisa melakukan rekomendasi serta mendorong perubahan cara pandang masyarakat. Selain itu, pelaksanaan diskusi—terutama yang tidak hanya membahas tentang kekayaan alam, tetapi juga orang-orang Papua—juga telah dilakukan. Namun, Yuliana berpendapat bahwa Komnas HAM dapat melakukan diskusi langsung dengan masyarakat Papua dan lebih terlibat menyelesaikan isu rasisme di luar tanah Papua.

“Hal ini harus menjadi perjuangan bersama. Tidak bisa hanya orang Papua saja yang berjuang agar kami tidak mendapat perilaku rasisme lagi. Justru kita semakin kuat apabila orang di luar Papua yang sudah sadar bahwa (isu rasisme) ini adalah hal yang salah, lalu mulai bersolidaritas mendukung Papua,” tutup Yuliana. 

Editor: Haikal Qinthara, Maurizky Febriansyah, Nadyezdi Rifi Prihadiani, Ruthana Bitia, Christabel Nathania Surya

 

Tweet172

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    6412 shares
    Share 2565 Tweet 1603
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    6319 shares
    Share 2528 Tweet 1580
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    3938 shares
    Share 1575 Tweet 985
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3722 shares
    Share 1489 Tweet 931
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3238 shares
    Share 1295 Tweet 810
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi
  • id Indonesian
    ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT
id Indonesian
ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish