Memasuki tahun kedua pandemi COVID-19 yang kian tidak berhenti, banyak hal yang terpaksa harus dilakukan di rumah untuk mencegah penyebaran virus sehingga memaksa pemerintah untuk memperketat interaksi sosial. Orang tua hingga anak yang berada di bawah satu atap selama 24 jam sehari harus adaptif dalam melakukan kegiatannya masing-masing, termasuk dalam urusan pekerjaan dan pembelajaran.
Baca juga: Seatap tapi Tak Serumah: Bagaimana Pandemi Mempengaruhi Komunikasi Keluarga
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan di lingkungan keluarga yang abusive— keluarga yang dipenuhi kekerasan, baik verbal maupun fisik— merupakan salah satu kekhawatiran Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di awal tahun 2021, beliau sempat memutuskan untuk membuka kelas secara luring untuk beberapa sekolah. Hal tersebut dilakukan melihat tren kasus yang sempat menurun di akhir tahun 2020 dan memungkinkan kegiatan dilakukan kembali secara tatap muka. Kekhawatiran Nadiem atas kemerosotan psikologis dan kemampuan para pelajar dalam kegiatan daring (learning loss) menjadi alasan untuk segera memberlakukan pembelajaran luring1Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021, April 20). Dampak Negatif Satu Tahun PJJ, Dorongan Pembelajaran Tatap Muka Menguat. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/04/dampak-negatif-satu-tahun-pjj-dorongan-pembelajaran-tatap-muka-menguat.
Learning Loss, Merosotnya Kemampuan Anak dalam Menyerap Informasi
Berdasarkan laporan dari diskusi UNESCO, UNICEF, dan World Bank yang membahas pembukaan kembali sekolah pada bulan April 2020 lalu, didapatkan kesimpulan bahwa penutupan sekolah sebagai respon atas adanya pandemi COVID-19 yang dilakukan dalam skala global berisiko mengganggu pendidikan, perlindungan, dan kesejahteraan anak-anak itu sendiri2Harususilo, Y. E. (2021, March 27). Setahun Pembelajaran Daring, Benarkah Terjadi “Learning Loss”? Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.Com. https://edukasi.kompas.com/read/2021/03/27/150334571/setahun-pembelajaran-daring-benarkah-terjadi-learning-loss?page=all.
Risiko ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang muncul, atau hilang, akibat pembelajaran jarak jauh karena pandemi COVID-19. Salah satu faktor yang hilang adalah waktu pembelajaran yang efektif. Kegiatan belajar di sekolah pada umumnya mengakomodasi siswa untuk belajar dengan sarana dan prasarana yang layak, seperti waktu belajar, situasi yang mendukung konsentrasi siswa, serta akses yang lebih mudah terhadap materi maupun pengajar.
Carroll menyatakan bahwa siswa membawa tiga atribut ke pembelajarannya di sekolah, yaitu bakat, ketekunan, dan kemampuan untuk memahami sesuatu3MCCOMBS, J., AUGUSTINE, C., SCHWARTZ, H., BODILLY, S., MCINNIS, B., LICHTER, D., & CROSS, A. (2011). Time, Learning, Learning Decay, and Summer Learning Loss. In Making Summer Count: How Summer Programs Can Boost Children’s Learning (pp. 17-26). RAND Corporation. Retrieved September 12, 2021, from http://www.jstor.org/stable/10.7249/mg1120wf.10. Carroll juga menyatakan bahwa kemampuan siswa juga dipengaruhi oleh aspek penting dari sekolah, diantaranya kesempatan untuk belajar dan kualitas dari instruksi atau bimbingan yang didapat. Kegiatan belajar akan lebih efektif saat siswa disediakan materi pembelajaran dan tahapan kegiatan belajar yang jelas dan terorganisir.
Charles Fisher dan David Berliner juga menemukan bahwa siswa harus mau ikut serta (engaged) dengan kegiatan pembelajaran untuk menciptakan hubungan yang baik antara kegiatan pembelajaran dan hasilnya—pencapaian dari siswa4Kuhfeld, M. (2019). Surprising new evidence on summer learning loss. The Phi Delta Kappan, 101(1), 25-29. Retrieved September 12, 2021, from https://www.jstor.org/stable/26781052. Kedua sisi tersebut, ketekunan dan kemampuan dari siswa bersama sarana dan prasarana dari sekolah, harus dikolaborasikan agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan secara optimal.
Namun, ketika memasuki pembelajaran jarak jauh, tentunya tak dapat dipungkiri terjadi penurunan dari salah satu atau bahkan kedua sisi yang harus dipertimbangkan. Kesempatan untuk belajar yang awalnya diberikan sekolah selama 7 jam sehari di Indonesia harus disesuaikan dengan kegiatan di rumah masing-masing. Selain itu, siswa juga kehilangan figur seorang guru yang bisa mengawasi kegiatan pembelajaran mereka agar dapat terlaksana dengan baik. Dengan begitu, siswa hanya mengikuti kebiasaan dan ketentuan di rumah masing-masing yang beragam. Tentunya tidak semua siswa memiliki kondisi rumah yang mendukung kegiatan pembelajaran efektif.
Orang Tua Bisa Apa?
Lewat diskusi yang diadakan Kemendikbud, PJJ pada dasarnya gagal mengakomodasi kegiatan pembelajaran di sekolah5Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021, April 20). Dampak Negatif Satu Tahun PJJ, Dorongan Pembelajaran Tatap Muka Menguat. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/04/dampak-negatif-satu-tahun-pjj-dorongan-pembelajaran-tatap-muka-menguat. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak siswa yang tidak dapat menyerap pelajaran dengan baik. Kemendikbud juga menyatakan bahwa kesuksesan PJJ ini sangat ditentukan oleh dukungan orang tua terhadap anaknya. Hal ini melatarbelakangi alasan siswa kerap tertinggal saat pembelajaran karena bermalas-malasan atau mengalokasikan waktu belajarnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Seperti yang kita tahu bersama, perkembangan anak dipengaruhi oleh pengalaman dalam tiga kelembagaan yang mereka temui sehari-hari, yaitu keluarga, lingkungan, dan sekolah. Namun, akibat keterbatasan akses pada anak terhadap kedua lembaga lainnya, tentunya keluarga memegang peran krusial, termasuk dalam karakter anak menghadapi kegiatan pembelajarannya. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki kontrol dan pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan anak di masa pembelajaran jarak jauh ini.
Lebih lanjut, pengaruh ketiga lembaga tersebut sifatnya saling bersinggungan, sehingga menyebabkan siswa yang tumbuh di keluarga ekonomi menengah ke bawah yang notabene kurang mendapat dukungan keluarga dan lingkungan akan mendapat rintangan yang lebih tinggi dalam perkembangannya di sekolah. Selain kondisi rumah dan pendekatan orang tua yang membuat siswa lebih sulit fokus dan mudah lupa akan konten akademis yang mereka pelajari, tidak dapat diingkari bahwa pada kenyataannya, masih banyak siswa yang tidak memiliki akses terhadap sarana dan prasarana yang krusial untuk pembelajaran daring, seperti gawai, komputer, dan juga koneksi internet yang memadai. Kedua hal ini akan menghapus kesempatan siswa dengan ekonomi menengah kebawah untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan berujung pada fenomena learning loss.
Lalu jika hal tersebut menjadi tanggung jawab orang tua, lantas apa yang membedakan sekolah dengan video pembelajaran di internet biasa? Sistem penanggulangan yang diusahakan pemerintah di masa pembelajaran jarak jauh ini fokus kepada akses pembelajaran, bagaimana pendidikan tetap dapat terlaksana dengan penggunaan sarana baru seperti platform video dan kelas virtual. Kendati demikian, pemerintah kerap menghiraukan hal krusial yang hilang dari fungsi sekolah dalam kegiatan pembelajaran, yaitu pengawasan dan peran pendamping.
Sekolah tidak dapat menjadi pemberi materi semata dan melimpahkan semua tanggung jawab pengawasan dan pendampingan kepada orang tua6Alexander, K. (2016). Is It Family or School? Getting the Question Right. RSF: The Russell Sage Foundation Journal of the Social Sciences, 2(5), 18–33. https://doi.org/10.7758/rsf.2016.2.5.02. Hal tersebut akan menimbulkan ketimpangan yang signifikan karena siswa yang semula mendapatkan fasilitas dan suasana yang seragam di ruang kelas jadi berpindah ke rumah masing-masing dengan kondisi yang berbeda-beda. Pemerintah dan sekolah kerap tutup mata dengan akar permasalahan ini walaupun sudah terdapat banyak protes dan suara dari masyarakat, khususnya dari kalangan siswa sendiri. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dibutuhkan rekonstruksi sistem pembelajaran secara kolosal kepada sebagian besar sekolah di Indonesia. Tentunya hal ini menjadi pertimbangan yang tidak ringan bagi pemerintah dalam mengambil langkah.
Usaha Keras Pemerintah yang Salah Langkah
Kendati pemerintah serta instansi pendidikan telah berusaha mewujudkan pembelajaran yang efektif untuk para siswa, seperti pemerintah yang memberikan subsidi kuota serta pulsa, hingga menggalangkan vaksinasi untuk mempercepat agenda sekolah luring, ketersediaan akses semata belum bisa secara optimal menumbuhkan semangat dan motivasi siswa untuk belajar.
Menanggapi akar permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya, pemerintah dapat mengatasi masalah tersebut dengan mengerahkan perubahan dalam kondisi rumah tangga. Dengan strategi yang bergeser ke arah pemerataan pendapatan rumah tangga, siswa akan mendapatkan dukungan penuh dari keluarga, baik secara finansial maupun kepentingan di rumah. Hal lain layaknya penghentian gangguan pada saat pembelajaran berlangsung juga perlu mendapat dukungan dari lingkungan keluarga agar para siswa memiliki fokus yang penuh dan tidak ter-distraksi oleh kondisi tempat tinggalnya.
Di samping itu, dalam rangka menerapkan strategi pendidikan yang tepat, pemerintah perlu memperhatikan kebijakan serta kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan metode pemberian materi dan tugas saja belum cukup untuk membuahkan hasil. Instansi pendidikan dan pemerintah perlu bersinergi dalam mencari solusi untuk menciptakan program pembelajaran yang lebih menarik serta bersifat dua arah. Salah satunya, metode pembelajaran Problem-based Learning dengan guru sebagai fasilitator yang membimbing dapat melatih kemampuan kognitif serta menjaga fokus para pelajar. Namun, jalan terbaik dalam menghadapi learning loss adalah pembelajaran tatap muka. Dengan usaha yang tepat sasaran, pemerintah dapat menghentikan kejatuhan pendidikan akibat pandemi dengan memberantas learning loss dan mengembalikan kesempatan milik anak bangsa.
Desain oleh Sam
Editor: Maurizky Febriansyah, Nismara Prayoga, Muhammad Zaky Nur Fajar, Hafsha Pia Sheridan
Referensi
↵1, ↵5 | Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021, April 20). Dampak Negatif Satu Tahun PJJ, Dorongan Pembelajaran Tatap Muka Menguat. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/04/dampak-negatif-satu-tahun-pjj-dorongan-pembelajaran-tatap-muka-menguat |
---|---|
↵2 | Harususilo, Y. E. (2021, March 27). Setahun Pembelajaran Daring, Benarkah Terjadi “Learning Loss”? Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.Com. https://edukasi.kompas.com/read/2021/03/27/150334571/setahun-pembelajaran-daring-benarkah-terjadi-learning-loss?page=all |
↵3 | MCCOMBS, J., AUGUSTINE, C., SCHWARTZ, H., BODILLY, S., MCINNIS, B., LICHTER, D., & CROSS, A. (2011). Time, Learning, Learning Decay, and Summer Learning Loss. In Making Summer Count: How Summer Programs Can Boost Children’s Learning (pp. 17-26). RAND Corporation. Retrieved September 12, 2021, from http://www.jstor.org/stable/10.7249/mg1120wf.10 |
↵4 | Kuhfeld, M. (2019). Surprising new evidence on summer learning loss. The Phi Delta Kappan, 101(1), 25-29. Retrieved September 12, 2021, from https://www.jstor.org/stable/26781052 |
↵6 | Alexander, K. (2016). Is It Family or School? Getting the Question Right. RSF: The Russell Sage Foundation Journal of the Social Sciences, 2(5), 18–33. https://doi.org/10.7758/rsf.2016.2.5.02 |
Discussion about this post