Beberapa bulan yang lalu, dunia maya digegerkan dengan munculnya konten mesra yang melibatkan sepasang public figure. Publik ramai-ramai mempermasalahkan isi konten tersebut, termasuk juga memperdebatkan siapa yang salah dalam kasus tersebut. Ada yang beranggapan pemilik sosial media-lah yang salah, tetapi ada pula yang menyalahkan teman dekat public figure ini karena telah menyebarkan konten tersebut.
Pasalnya, konten-konten tersebut disebarkan melalui platform media sosial dengan fitur close friend, di mana tidak semua orang dapat melihat konten yang dipublikasikan. Konten hanya dapat dilihat oleh orang-orang “terpilih” menurut pemilik akun, bisa dibilang orang yang dipercayanya. Lantas, apakah tindakan orang terpilih ini membeberkan konten dari si pemilik akun dibenarkan? Atau pemilik sosial media yang justru salah karena kurang berhati hati dalam membagikan sesuatu dan tidak menyadari adanya kovergensi media sekarang? Untuk itu, Economica mencoba mengulas lebih jauh perihal sosial media, dalam hal ini privasi dan media yang terkonvergen.
Peraturan Sosial Media dan Konvergensi Media
Dalam aturan penggunaan media sosial seperti Instagram, dikatakan bahwa pengguna bertanggung jawab sendiri atas semua tindakan atau hal yang dipublikasikannya. Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa pengguna lain tidak boleh menyebarkan isi konten Instagram seseorang. Hal ini mengimplikasikan bahwa pengguna media sosial wajib memfilter konten yang akan diunggahnya. Jika konten tersebut tidak berbau pornografi, kekerasan terhadap manusia, hewan, dan hal-hal yang telah diatur lainnya, kebebasan mengiringi si pemilik akun. Namun, kembali lagi, risiko ditanggung penumpang.
Di era digital ini, kita dihadapkan pada sebuah fenomena bernama “konvergensi media”. Konvergensi media adalah bergabungnya berbagai jenis media, yang sebelumnya dianggap terpisah dan berbeda (misalnya, komputer, televisi, radio, dan surat kabar), ke dalam sebuah media tunggal. Konvergensi media bukan hanya sekadar penggabungan media, tetapi lebih mengarah ke penggabungan konten. Seperti yang dikatakan oleh dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Endah Triastuti, konvergensi media memungkinkan audiens untuk mengambil dan menyimpan suatu konten yang sudah dipublikasikan. Hal itu dimungkinkan dengan adanya media repost, fitur perangkat seperti screen capture, atau dapat juga merekam dengan perangkat lainnya.
Mendefinisikan Privasi
Adanya variasi media sosial tidak berbayar sekarang membuat media sosial dapat diakses oleh seluruh individu. Dengan hanya bermodalkan akses (internet) ke dunia maya dan membuat akun di media sosial, setiap individu memiliki sebuah media yang bersifat one-to-many. Fitur media sosial memungkinkan penggunanya untuk terhubung dengan pengguna lain dan berbagi konten informasi umum hingga pribadi. Sejalan dengan penelitian oleh Kaspersky Lab, bahwa sekitar 93% pengguna berbagi informasi secara digital dan hampir 44% pengguna menjadikan data pribadi milik mereka dapat diakses oleh publik (“Giving Too Much Away,” 2017).
Terlalu bebasnya informasi pribadi yang dibagikan di media sosial dapat menimbulkan risiko besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran privasi. Menurut teori Irwin Altman, privasi beroperasi secara individual dan kelompok, dengan tiga penekanan penting dalam aspek-aspek mengenai privasi, yaitu (1) privasi adalah proses sosial secara inheren, (2) pemahaman terhadap aspek psikologis, privasi mencakup interaksi antarmanusia, dunia sosial mereka, lingkungan fisik, dan fenomena sosial yang secara alamiah bersifat sementara, dan (3) privasi memiliki konteks kultural; secara spesifik, privasi adalah hal yang cultural universal, tetapi memiliki manifestasi psikologis yang spesifik secara kultural (Margulis, 2011). Dalam hal privasi, kata kunci pembatasan diri (self-boundary) menjadi sangat penting. Untuk memperoleh privasi, individu akan membatasi akses dirinya secara terkendali dari lingkungan sosialnya.
Di dalam privasi, pembatasan diri pun juga mencakup keterbukaan diri (self-disclosure). Sandra Petronio (2002), mencetuskan teori manajemen privasi komunikasi (communication privacy management) yang menekankan bahwa privasi adalah proses dialektika antara menutup dan membuka diri dalam proses interaksi seorang individu dengan lingkungan sosialnya (Griffin, 2012). Atas pernyataan tersebut, privasi tidak dapat eksis secara independen dari proses pengungkapan diri individu. Dengan begitu, tingkat privasi dan keterbukaan diri seseorang akan terus disesuaikan, baik secara internal maupun eksternal.
Pentingnya Literasi Digital dan Moral dalam Konvergensi Media
Bicara soal privasi hubungannya tidak jauh dengan literasi digital. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Research Director Katadata, Mulya Amri, menerangkan bahwa indeks literasi digital secara nasional masih berada pada level sedang. Dengan tingkat literasi yang masih rendah menurut survei, Dirjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan pun mengatakan bahwa kementerian masih berusaha meningkatkan literasi digital. Maka dari itu, kehadiran media sosial dan wacana seputar privasi menjadi rumit di Indonesia.
Belum lagi, fenomena seseorang memiliki lebih dari satu akun (multiplikasi diri) di berbagai kanal media sosial atau polimediasi diri membuat seseorang dapat sangat berbeda tingkah lakunya dengan akun asli mereka.
Hal yang disebutkan di atas sangat menggambarkan apa yang terjadi dengan kasus Zara-Okin. Menurut Endah Triastuti, meskipun Zara memiliki lebih dari satu akun dengan tujuan melimitasi komunikasi kepada penggemarnya sekalipun, itu tidak dapat menjadikannya tempat yang aman. “Karena sifat media konvergensi yang mengikat adalah literasi digital dan digital moral,” lanjut Endah.
Fragmentasi Diri dalam Media Sosial
Polimediasi diri terjadi ketika kita memiliki banyak akun dalam satu kanal media sosial atau menggunakan banyak media sosial sehingga diri kita terbagi-bagi dalam kanal-kanal media sosial tersebut. Dalam penelitian terkait pemaknaan privasi dalam penggunaan media sosial oleh kaum muda Indonesia, hasilnya ditemukan bahwa terjadi tarik-menarik antara hasrat untuk berbagi informasi personal pengguna dan kebutuhan untuk memiliki kendali atas keterbukaan informasi (Purwaningtyas, 2019). Privasi tidak hanya sebatas upaya untuk mencapai otonomi diri dengan eksklusivitas atas informasi personal, melainkan beranjak dari proses dialektik antara self-disclosure dan self-boundary. Pada akhirnya, ketika kita membahas tentang privasi yang erat juga kaitannya dengan publisitas.
Media sosial telah menciptakan diri yang terfragmentasi, dengan kondisi ketika seseorang memiliki akun dalam lebih dari satu kanal media sosial (Purwaningtyas, 2020). Pada tingkat ini, identitas bawaan ruang media sosial dibangun untuk menyesuaikan dengan lingkungan, baik berdasarkan medialitas penonton imajiner yang berada pada platform. Oleh karena itu, konsep “diri” yang terfragmentasi berkaitan erat dengan dialektika privasi online, dalam tarik ulur antara pengungkapan diri dan batas diri (Capurro, et.al., 2013; Trepte & Reinecke, 2011, 2012).
Temuan ini menunjukkan indikasi bahwa di ruang media sosial, apa yang disebut sebagai ‘akun nyata’ dipahami sebagai ruang untuk menyajikan ‘public version of the self’ (Purwaningtyas, 2019; Wiederhold, 2018; Takahashi, 2016). Public version of the self cenderung menjadi ‘diri yang ambivalen’, yaitu tidak hanya menginginkan pengakuan tetapi juga untuk validasi dari publik.
Keberadaan akun sekunder itu sendiri dapat membawa rasa kebebasan dan autentisitas sampai batas tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengguna tidak dapat sepenuhnya mempresentasikan identitas hanya melalui satu kanal. Diri yang terfragmentasi menggambarkan identitas pada platform untuk audiens dengan cara tertentu. Dalam hal ini, apa yang pengguna pilih untuk diungkapkan atau disembunyikan secara tidak sadar dikendalikan oleh lingkungan mereka.
Kebebasan hampir tidak ada, tetapi hanya berupa rasa di benak pengguna. Pengguna khawatir apakah persona yang mereka hadirkan akan membawa reaksi terhadap mereka. Namun, secara paradoks mereka melakukan berbagai cara untuk memanfaatkan layar sebagai mekanisme pertahanan (defense mechanism) terhadap apa yang menjadi perhatian mereka.
Autentisitas Diri Pengguna Media Sosial
Media sosial telah memungkinkan pengguna untuk dapat bebas berekspresi. Mereka cenderung menciptakan ruang pribadi yang didasarkan pada kenyamanan dan kesamaan (Purwaningtyas, 2019). Di sisi lain, lingkungan dalam ruang media sosial memiliki aspek-aspek tertentu yang mengkonstruksi cara mereka mengekspresikan diri. Pengguna cenderung menampilkan apa yang orang lain ingin mereka lihat daripada apa yang ingin mereka lihat (Purwaningtyas, 2019).
Berkaitan dengan identitas diri, dualitas media sosial ini menjadi aspek penting dalam mengkonstruksi cara pengguna mengungkapkan diri melalui presentasi diri (Takahashi, 2016; Trepte & Reinecke, 2011). Medialitas media sosial telah meruntuhkan panopticon. Panopticon adalah struktur institusional dan sistem kontrol yang dirancang pada akhir abad ke-18 oleh Jeremy Bentham. Desain ini digunakan sebagai desain bangunan penjara karena memungkinkan sipir penjara untuk mengawasi narapidana dalam situasi narapidana tidak dapat melihat sipir. Ruang media sosial bukan lagi menjadi ruang pengawasan yang memberikan efek panoptik ketika satu atau beberapa orang merasa diawasi saja sebagai objek, melainkan menjadi ruang untuk saling mengawasi satu sama lain. Kondisi ini, bagaimanapun, telah menciptakan ‘diri yang ambivalen’, di mana pengguna seolah-olah telah kehilangan jati dirinya selama proses pencarian dalam standar di ruang media sosial (Purwaningtyas, 2019).
Namun, hilangnya autentisitas diri tidak dimaknai pengguna sebagai hilangnya otonomi atas diri mereka. Hal itu dikarenakan privasi kemudian dimaknai dalam spektrum pertukaran untuk mendapatkan pengakuan sosial tertentu yang mereka inginkan. Dengan kata lain, mereka tidak merasakan pelanggaran privasi selama keinginan mereka terpenuhi. Definisi privasi di media sosial pun akhirnya dimanifestasikan dalam bagaimana informasi pribadi tertentu dirilis dengan mencapai pengakuan sosial.
Proses pertukaran individu untuk memenuhi keinginannya akan privasi juga terkait dengan ruang pribadi yang dibangun untuk memenuhi keinginan tersebut. Dalam konteks media sosial, persoalan ini menjadi kompleks karena batas-batas antara ruang personal dan ruang publik di kanal media sosial telah kabur (Purwaningtyas, 2019). Akibatnya, upaya dalam praktik media sosial untuk menyeimbangkan privasi dan publisitas tidak dapat mengecualikan ‘ruang’ sebagai kontributor pentingnya privasi.
Literasi Digital Masyarakat Indonesia
Indonesia berdasarkan World Digital Competitiveness Ranking, masih bercokol pada urutan 56 dari 62 negara di dunia. Dengan kondisi ini, Indonesia terancam hanya menjadi objek pasar dan dapat kehilangan kesempatan memetik dampak baik teknologi ini. Daya saing digital yang rendah disebabkan oleh rendahnya literasi digital. Tidak hanya mencakup kemampuan mengoperasikan gawai pintar dan internet. Literasi digital juga mencakup kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat serta mengomunikasikan konten atau informasi, dengan kecakapan kognitif maupun teknikal. Kondisi ini mencuatkan sejumlah ancaman bagi Indonesia, mulai dari penyebaran konten negatif, konten berbau hoaks, ujaran kebencian, bullying, ragam praktik penipuan hingga radikalisme. Tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia, sayangnya tidak diimbangi kemampuan literasi digital yang mumpuni.
Menurut perspektif dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Endah Triastuti menyatakan bahwa sudah sewajarnya literasi digital dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah. Pemerintah sendiri pun harus proaktif dalam upaya mengatur internet. Lantas, apa yang bisa dilakukan agar masyarakat memiliki literasi digital? “Saya akan mulai dari diri sendiri, saya aware, lalu saya share ke orang terdekat saya yang mau dengar,” pungkas Endah Triastuti.
Referensi
Bianca Datubara & Irwansyah. (2019). Instagram TV: Konvergensi Penyiaran Digital dan Media Sosial. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/339047014_Instagram_TV_Konvergensi_Penyiaran_Digital_dan_Media_Sosial
Center, K. I. (2020). Status Literasi Digital Indonesia. November, 58.
Caldeira, S. P. (2016). Identities in flux: An analysis to photographic self-representation on Instagram. Observatorio (OBS*), 10(3), 135-158.
Herbig, A., Herrmann, A. F. & Tyma, A. W. (2015). Beyond New Media: Discourse and Critique in a Polymediated Age. Lexington Books.
Griffin, E. (2012). A first look at communication theory (8th ed.). McGraw-Hill.
Margulis, S. T. (2011). Three Theories of Privacy: An Overview. In S. Trepte & L. Reinecke (Eds.), Privacy Online: Perspective on Privacy and Self-Disclosure in the Social Web (pp. 9–18). Springer.
Parmelee, J.H., & Roman, N. (2020). Insta-echoes: Selective exposure and selective avoidance on Instagram. Telematics and Informatics, 101432 https://doi.org/10.1016/J.TELE.2020.101432
Purwaningtyas, M. P. F. (2019). Privacy and Social Media: Defining Privacy in the Usage of Path. KnE Social Sciences, 217–235. https://doi.org/10.18502/kss.v3i20.4938
Purwaningtyas, M. P. F. (2020). The Fragmented Self: Having Multiple Accounts in Instagram Usage Practice among Indonesian Youth. Jurnal Media Dan Komunikasi Indonesia, 1(September), 171–182.
Wiederhold, B. (2018). The tenuous relationship between Instagram and teen self-identity. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 21(4), 215-216. DOI: 10.1089/cyber.2018.29108.bkw
Fandia, M. (2021). Mencari Privasi: Ruang Personal di Media Sosial. In D. ANDI FAISAL, Politik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas (pp. 139-164). Yogyakarta: PT Kanisius.
Pramudita, B. A. (2020, November 21). WartaEkonomi. Retrieved from wartaekonomi.co.id: https://www.wartaekonomi.co.id/read314953/survei-indeks-literasi-digital-di-indonesia-belum-baik
Editor: Maurizky Febriansyah, Nismara Paramayoga, Muhammad Ramadhani
Discussion about this post