“Lebih dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Stoisisme atau Filosofi Teras adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik-turunnya kehidupan.” – Henry Manampiring.
Henry Manampiring adalah seorang penulis best seller The Alpha Girl’s Guide dengan minat utama pada riset perilaku konsumen yang akhirnya membantunya dalam menulis buku. Henry atau panggilan akrab “Om Piring” juga seorang pegiat media sosial karena menjadi salah satu sumber inspirasinya dalam menulis buku.
Dalam buku ini diceritakan bahwa Henry dahulu adalah seorang yang selalu berpikiran negatif. Di pertengahan tahun 2017, pikiran buruk, cemas, dan rasa tidak semangat dalam menjalani hidup semakin menekan Henry dan kondisi tersebut juga mulai mempengaruhi orang-orang terdekatnya. Kemudian, ia menemui psikiater dan di diagnosis menderita Major Depressive Disorder yang mengharuskannya menjalani terapi obat-obatan. Pengalaman inilah yang semakin menyadarkannya betapa topik kesehatan jiwa dan juga terapinya masih memiliki stigma negatif di Indonesia. Padahal, masalah psikis juga bisa berkaitan dengan fungsi organ dan kimia otak.
Di tengah masa pengobatan, Henry menemukan alternatif lain yang efektif untuk memperoleh ketenangan yang lebih baik, yakni Stoisisme dari sebuah buku How To Be A Stoic karya Massimo Pigliucci. Merasakan manfaat yang begitu besar dari penerapan Stoisisme, ia pun memperkenalkan buku Filosofi Teras sebagai terjemahan dari stoa—bahasa Yunani—yang artinya teras berpilar—tempat Zeno, seorang filsuf yang mengajarkan filosofi stoisisme kepada kaumnya). Oleh karenanya, pengikut Stoisisme ini disebut kaum stoa. Filosofi Teras ini menjelaskan keterkaitannya dengan disiplin psikologi, psikiatri, dan juga praktik langsung di kehidupan sehari-hari, di Indonesia sendiri juga masih cukup jarang buku-buku mengenai Stoisisme menggunakan bahasa Indonesia.
Ilmu psikiatri mempelajari tentang kebiasaan dan otak manusia sehingga keduanya saling berhubungan. Sebagai contoh jika mengalami stres tak jarang banyak yang juga mengalami tegang leher atau penyakit lainnya. Oleh karenanya, untuk mengatasi stres diperlukan melakukan manajemen persepsi dengan tidak mengikuti pikiran-pikiran negatif.
Filosofi Teras (Stoisisme) mengajarkan bahwa perlunya mengendalikan emosi negatif dan mengasah virtue (kebajikan atau terjemahan lainnya “keutamaan”) dengan hidup sebaik-baiknya sesuai dengan peruntukkan manusia, yakni sebagai makhluk yang bernalar (hidup selaras dengan alam). Selain memiliki nalar, Stoisisme percaya bahwa sifat alami manusia adalah makhluk sosial sehingga praktisi stoa dalam kehidupannya tidak mengisolasi dari manusia lainnya.
Dalam berkehidupan, Stoisisme mengajarkan perlunya untuk dikotomi kendali dalam segala situasi karena kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari hal-hal yang bisa kita kontrol, seperti sikap dan persepsi kita. Mengapa? Karena Filosofi Teras tidak mementingkan hal-hal eksternal (yang tidak bisa kita kontrol, seperti perilaku dan opini orang lain). Namun, tidak dapat dipungkiri terdapat kondisi yang memang berada di antara dua kategori (bisa dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan), seperti sekolah, pekerjaan, dan prestasi sehingga untuk menghadapi hal ini diperlukan pemisahan tujuan di dalam diri dari hasil eksternal. Dalam arti lain, melakukan usaha maksimal yang bisa dilakukan (internal) dan menerima apapun hasilnya (eksternal). Tentunya cukup sulit untuk menerima dengan lapang dada terhadap suatu kondisi di luar apa yang kita harapkan. Oleh karenanya, untuk meminimalisir emosi negatif yang semakin meluas, perlunya melakukan langkah S-T-A-R (Stop¸ Think & Assess, Respond). Stop untuk mengikuti emosi negatif yang mulai terasa, Think & Assess untuk berpikir secara rasional, serta Respond untuk menanggapi situasi yang terjadi baik dalam bentuk ucapan atau tindakan.
Bagi saya, mengimplementasikan langkah S-T-A-R tersebut adalah bagian yang paling menantang dari buku ini. Langkah tersebut bisa menjadikan saya pribadi yang lebih baik dalam mengelola emosi khususnya saat mengalami situasi yang buruk, sehingga tidak keliru dalam mengambil keputusan.
Selain itu, buku ini juga memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya semakin menarik untuk dibaca. Pertama, buku ini ditulis dengan bahasa yang mengajak pembacanya untuk lebih berhati-hati dalam memberikan respon terhadap situasi yang terjadi, karena bisa jadi subjektivitas kita terhadap suatu fakta yang terjadi dapat melahirkan emosi negatif. Kedua, dari sampulnya yang simpel dan judul buku yang tidak mudah ditebak maknanya, membuat orang penasaran untuk membaca isinya lebih dalam.
Namun, buku ini juga memiliki kekurangan. Bagi saya, terdapat penempatan gambar yang kurang sesuai sebagai pendukung cerita yang sedang dijelaskan sehingga penjelasan cerita kurang sampai maknanya. Selain itu, penempatan quotes pada satu halaman penuh yang diletakkan di antara cerita yang sedang dijelaskan memotong penjelasan tersebut. Keterkaitan makna quotes dengan cerita menjadi kurang sampai kepada pembacanya.
Secara keseluruhan, buku ini sangat bagus dan recommended bagi kalian yang sering atau sedang merasa khawatir akan hidup, atau sering resah dan kecewa dalam kehidupan sehari-hari terlebih di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini. Alasannya adalah buku ini menyadarkan kita bahwa setiap perjalanan hidup yang kita lalui merupakan hasil dari rantai peristiwa yang panjang yakni peristiwa-peristiwa sebelumnya. Oleh karenanya, melawan atau mengingkari apa yang telah terjadi, artinya keluar dari keselarasan hidup dengan alam dan ini akan berpengaruh terhadap keseimbangan hidup kita sebagai manusia nantinya.
Editor: Qurratu Aina, Alfinna Nur Afriani
Ilustrasi oleh Jamie Paulus
Discussion about this post