Pandemi Covid-19 telah membawa banyak perubahan dalam interaksi sosial, salah satunya adalah komunikasi dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh kondisi pandemi yang memaksa masyarakat untuk stay at home dan tidak keluar rumah dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Stay at home di masa pandemi tentunya berbeda dengan menghabiskan waktu di rumah pada situasi normal seperti masa liburan. Situasi pandemi yang tidak nyaman, penuh ketidakpastian, dan ancaman dapat menimbulkan perasaan tidak tenang dan cemas selama melakukan stay at home.
Pandemi juga menciptakan perasaan terisolasi dan terganggunya aktivitas kehidupan. Perasaan-perasaan tersebut merupakan respons yang umum terhadap kondisi ketidakpastian. Namun, respon tersebut bisa membuat komunikasi dalam keluarga selama stay at home terganggu. Pada akhirnya, pola komunikasi dalam keluarga mengalami perubahan.
Pola Komunikasi Keluarga Sebelum dan Setelah Pandemi
Ike Herdiana, seorang psikolog dan dosen dari Universitas Airlangga menjelaskan mengapa pandemi dapat mengubah pola komunikasi keluarga. Sebelum pandemi muncul, pola komunikasi keluarga lebih banyak didasarkan pada rutinitas komunikasi yang sudah terbangun. Komunikasi yang dilakukan bersifat lebih santai, intensif, dan fleksibel dari segi waktu, serta topik yang dibicarakan juga cukup beragam.
Sebaliknya, adanya pandemi telah merubah komunikasi keluarga menjadi lebih tegang, kurang intensif, dan lebih selektif dalam pemilihan topik yang dibicarakan. Kendati selama pandemi semua anggota keluarga berada di satu rumah dalam waktu yang lebih lama, tetapi belum tentu terjadi komunikasi yang hangat selama mereka di rumah (stay at home). Berdasarkan data Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak, kasus kekerasan pada anak dan perempuan justru meningkat selama pandemi, bahkan kasus perceraian juga turut melonjak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hambatan komunikasi dalam keluarga selama pandemi yang dapat disebabkan oleh stress, cemas, dan frustasi pada kehidupan keluarga yang disertai dengan kehidupan finansial yang semakin buruk.
Faktor Perubahan Pola Komunikasi Keluarga ketika Pandemi
Pandemi secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap pola komunikasi keluarga. Menurut Ike, banyaknya faktor perubahan dalam aspek kehidupan yang menuntut adaptasi cepat dari setiap orang turut berkontribusi dalam perubahan pola komunikasi keluarga. Faktor tersebut berupa faktor fisik yakni adanya virus yang menyebabkan banyak orang menjadi sakit dan faktor sosial yang disebabkan oleh kondisi isolasi dan perasaan jauh hingga kehilangan teman atau keluarga. Faktor lain yang turut menyumbang perubahan tersebut adalah keadaan mental atau psikis seperti takut, stress, tertekan, dan cemas. Selain itu, perubahan kondisi finansial dan maraknya pemberitaan media juga dapat memberikan dampak pada bagaimana anggota keluarga saling berkomunikasi.
Dapatkah Pandemi Mempererat Hubungan Keluarga?
Jika dilihat secara fisik, kehadiran keluarga yang lengkap berada di bawah satu atap seharusnya dapat mendekatkan satu anggota keluarga dengan yang lain. Pertemuan yang tidak bisa dihindarkan antara satu sama lain semestinya membuat adik dan kakak atau anak dengan orang tua menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Sehubungan dengan gagasan tersebut, Ike turut menyetujui bahwa pandemi seharusnya dapat mempererat hubungan keluarga dan membuat komunikasi menjadi lebih intensif, asalkan proses penyesuaian diri terhadap situasi pandemi dilakukan secara bersama-sama. Anggota keluarga harus memandang pandemi sebagai permasalahan yang harus dihadapi bersama-sama dan lebih banyak memanfaatkan waktu bersama. Komunikasi yang dibangun pun harus berfokus pada solusi dan mendorong ketangguhan keluarga. Anggota keluarga juga harus saling mengupayakan agar tidak terjadi perpecahan, perpisahan, atau saling mengisolasi dalam keluarga.
Ike melanjutkan bahwa jalinan komunikasi dalam keluarga pada saat pandemi termasuk hal yang sangat penting. Komunikasi yang baik akan menurunkan perasaan negatif seperti cemas, gelisah, takut, dan stress yang timbul akibat ketidakpastian pandemi. Ketika komunikasi perlahan dibangun secara positif, maka ketangguhan atau resiliensi keluarga pun akan meningkat. Proses ini pastinya membutuhkan penyesuaian, tetapi jika dilakukan secara bersama-sama dan dengan komitmen keutuhan keluarga, permasalahan yang muncul selama pandemi dapat dilalui.
Pola Komunikasi Saat Pandemi: Sebuah Tips bagi Anggota Keluarga
Selama pandemi masih berlangsung, manusia menjadi terbatas untuk bersosialisasi secara fisik. Komunikasi hanya bisa dilangsungkan melalui perangkat digital seperti sosial media. Lain halnya dengan keluarga, manusia dapat menjalin sosialisasi tak terbatas selama mereka tinggal di satu rumah sepanjang pandemi berlangsung. Namun tidak jarang pula dalam pola komunikasi yang dilakukan menimbulkan banyak keluhan antar anggota keluarga, contohnya seperti keluhan mengenai masalah pekerjaan hingga hal-hal personal.
Tidak seperti keadaan normal, keterbatasan pergerakan manusia mempersempit kemungkinan mereka untuk menceritakan keluhan mereka kepada orang lain selain keluarga. Sehingga dalam mengatasi persoalan tersebut, solusi yang paling utama menurut Ike adalah saling mendengarkan. Ia lebih lanjut menjelaskan empat metode yang dapat membantu anggota keluarga untuk saling mendengarkan satu sama lain, di antaranya:
- Dengarkan keluhan anggota keluarga. Tanyakan bagaimana perasaannya dan validasi apa yang ia rasakan. Kemudian, tawarkan bantuan dan tentukan apa yang dapat pendengar lakukan untuk membuatnya nyaman. Pendengar sebaiknya tidak menyalahkan kemungkinan perasaan negatif yang akan muncul, tetapi terimalah dan tawarkan bantuan.
- Tentukan jadwal bersama dalam keluarga. Kegiatan yang dapat dilakukan bersama secara rutin antara lain makan, menonton televisi, atau mengobrol bersama pada waktu yang telah disepakati.
- Persiapkan diri untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan penuh tekanan secara bersama-sama.
- Pahami berbagai emosi yang akan muncul selama pandemi. Tindakan tersebut bisa dimulai dari memahami sulitnya work from home, school from home, kemudian saling memvalidasi perasaan masing-masing. Ketika orang tua mengalami stress karena harus mendampingi anak sekolah dari rumah, maka perlu juga memahami bahwa tekanan yang dialami anak barangkali jauh lebih stressful. Perasaan empati perlu dikembangkan dalam keluarga dan berusahalah untuk tetap memiliki kehidupan yang seimbang.
Prediksi Pola Komunikasi Keluarga Pasca Pandemi
Setelah pandemi usai, Ike memperkirakan adanya perubahan pada pola komunikasi di mana keluarga akan lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan kondisi buruk yang dapat terjadi di kemudian hari. Kedatangan pandemi seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia untuk bersiap diri terhadap tantangan yang akan dihadapi berikutnya. Faktor kunci keluarga agar siap dan menjadi resilien adalah adanya komunikasi keluarga yang positif, suportif, dan sehat, sehingga ketika nanti keluarga telah bersikap demikian, tantangan di masa depan akan dapat dilalui dengan lebih mudah.
Ilustrasi Oleh Elizabeth Alvita
Editor: Nismara Paramayoga, Muhammad Zaky Nur Fajar
Discussion about this post