Jojo adalah seekor ikan cupang. Sisiknya berwarna biru. Akan tetapi, bukan biru satu warna, semakin dekat ke area kepala, biru itu perlahan semakin pekat, mendekati hitam. Sirip adiposa, sirip anal, dan sirip ekornya menjuntai serupa kain renda, warnanya oranye. Dua sirip kecil pada dadanya bukan semata hiasan, mereka jadi alat utamanya untuk berenang. Kalau pembaca yang budiman masih kurang bisa menggambarkan, biar saya bantu, beginilah rupanya.
Sekarang sudah tiga hari sejak tempat tinggalnya pindah ke kamar pemiliknya. Yang memindahkan tentu saja: pemiliknya. Sebelumnya, vas berkaca bening itu dibiarkan diam di ruang keluarga, menjadi pajangan bersama perintilan lainnya. Sampai suatu hari si pemilik merasa air pengisi sudah terlampau keruh untuk kesehatan seekor ikan. Kotoran melayang-layang, bentuknya tidak jauh beda dengan pelet sisa makan Jojo. Si pemilik khawatir suatu ketika Jojo akan memakan kotorannya sendiri karena lapar, maka ia mengganti airnya, mencuci vas tersebut, membawa ke kamar tidurnya, dan meletakkannya di atas meja. Barangkali Jojo butuh sedikit perubahan pemandangan, begitulah yang dipikirkan si pemilik.
Jojo adalah seekor ikan cupang. Ia cupang biasa. “Cupang aduan,” barangkali dengan itulah kita biasa memanggil jenisnya sejak zaman baheula. Seperti cupang-cupang aduan lain di hampir seluruh kota di Indonesia, Jojo lahir di sebuah tempat perkembangbiakan massal. Tempat kerja pengagum ikan hias kapiran, orang-orang yang sebenarnya peduli setan dengan masa depan si ikan begitu mereka berpindah tangan kepada pembeli.
Teori mengenai ketidakpedulian itu tidak muncul begitu saja. Saya pernah iseng menanyakan sesuatu pada seorang penjual ikan hias di depan Sekolah Dasar Negeri 1 Bolalafu, Jawa Tenggara.
“Ya ndak tau kok tanya saya,” jawab Pak Murakami (bukan nama
asli), atas pertanyaan saya yang berbunyi:
“Pak, ikan saya terus buang air habis makan sambal. Obatnya apa ya?”
Akhirnya piaraan saya itu saya beri obat Oralit. Teringat waktu kecil pernah melihat seorang kawan dicekoki obat bernama sama ketika terjangkit wabah muntaber. Nahas, ia tidak seberuntung kawanku, ia mati dua jam berselang, karena overdosis.
Sekarang sudah tiga hari sejak tempat tinggalnya pindah ke kamar pemiliknya. Meski tak seindah kamar bola, kamar ini lebih nyaman daripada ruang keluarga bila diukur menggunakan standar manusia. Lihat saja, di sini ada televisi, jajaran novel dan komik, kasur pegas beserta selimut mahal, perangkat gim, pendingin ruangan, serta yang paling penting, keheningan. Terisolir dalam ruang tertutup menjanjikan kebebasan dari hiruk-pikuk penghuni rumah lainnya.
Jojo adalah seekor ikan cupang. Melihat sejarahnya, Jojo tidak spesial sebagaimana famili jauhnya yang bebas melanglang buana di ekosistem sungai. Berenang di celah batu, menggocek tukang pancing, makan apapun sesuai keinginan, membuat arisan cupang, dan bebas berkembang biak semau mereka dengan siapapun dan kapanpun tanpa ada paksaan. Untuk poin terakhir, sebenarnya saya sedikit ragu, sebab saya tidak cukup paham kondisi sosbud (sosial dan kebudayaan, bukan sosis budidaya) kemasyarakatan cupang sungai. Apakah sebelum melangsungkan pernikahan, seekor cupang perlu meminta izin kepada orang tua? Apakah ada strata “calon menantu idaman” di sana? Apakah ada cupang biadab?
Bebas bukan berarti nikmat. Cupang-cupang di sungai harus sedia berjibaku di antara dua arus kejam, yaitu arus sungai dan arus ambiguitas. Mereka tidak bisa ongkang-angking kaki seenak jidat ikan lohan, karena kebebasan itu ada harganya. “Bebas makan apa saja” harus ditebus dengan kompetisi sebangsa yang ketat. Tidak berhenti sampai disitu, pernyataan tersebut juga memiliki makna lain, bebas memakan berarti bebas pula dimakan. Kehidupan di ruang komunal selalu mengikat kita pada satu tatanan tertentu, dalam kasus mereka: rantai makanan.
Sekarang sudah tiga hari sejak tempat tinggalnya pindah ke kamar pemiliknya. Pagi ini, secara mendadak Jojo menghantamkan kepalanya ke dinding vas, beberapa kali. Pemiliknya yang saat itu sedang duduk menghadap meja, sontak terkejut. Tatapan matanya berpindah secara simultan, antara layar laptop dan “akuarium” Jojo. Mengawasi gelagat Jojo yang tidak biasa ini.
“Jedug!”
Terdengar suara tumbukan susulan. Sekali lagi, pemiliknya terkaget-kaget. Si Pemilik lantas berdiri, mengacungkan telunjuk, lalu membuat satu gerakan maju mundur dan mulai memberi hardikan.
“Jojo! Dasar ikan brengsek! Kenapa sih loe! Makanan loe kurang, hah!?” kemudian si pemilik membuka penutup botol pelet, memuntahkan isinya ke arah vas dalam jumlah fantastis.
“Nih makan biar loe puas! Dasar monyet! Gak tau diuntung!” Pungkasnya sambil berlalu meninggalkan ruangan.
Mendengar kata-kata pedas majikannya, Jojo sedih. Bibirnya cemberut, matanya berkaca-kaca.
Jojo adalah seekor ikan cupang yang patut an disayangi. Melihat kesedihan yang terpancar, saya putuskan untuk mengajak Jojo berbicara. Siapa tahu, ya, siapa tahu sebetulnya kejadian barusan hanya sebuah kesalahpahaman,karena memang, manusia tahu apa sih soal ikan cupang?
Berikut adalah lampiran transkrip wawancara saya dengan Jojo (Saya adalah “Paul” demi
kemudahan pembacaan. Karena Jojo menggunakan ungkapan “saya” sebagai kata ganti orang
pertama, niscaya pembaca akan bingung kalau saya adalah Saya dan bukan Paul).
Paul : “Halo Jojo, apa kabar?”
Jojo : “Baik, Tuan! Kabar baik! Bagaimana kabar tuan sendiri?”
Paul : “Kabarku baik juga. Omong-omong, tidak perlu berformal ria denganku, Jojo.”
Jojo : “Ah, saya tidak enak hati, Tuan.”
Paul : “Santai saja. Apa kita perlu bicara lo gue biar suasana makin encer?”
Jojo : “Aduh, kalau yang itu, makin tidak enak hati saya, Tuan.”
Paul : “Huh. Yasudah, terserah saja.”
Jojo : “Jangan marah begitu, Tuan. Tuan terlihat tampan jika tersenyum.”
Paul : “Hahahaha, aku hanya bercanda. Aku paham kok mengapa kamu tidak mau bicara santai denganku. Hmm, sebenarnya bukan tidak mau, melainkan tidak bisa, kan?”
Jojo : “Hehe, betul apa kata Tuan.”
Paul : “Aku ingin menanyakan beberapa hal, pertama, apakah kamu pernah makan kotoranmu sendiri?”
Jojo : “Pernah, tuan. Dulu sekali. Waktu pemilik saya lupa mengganti air selama beberapa minggu.”
Paul : “Bagaimana rasanya?”
Jojo : “Seperti kotoran, Tuan.”
Paul : “Oh, begitu ya. Menjawab sekali. Lalu, apakah kamu tahu — ”
Jojo : “Mengapa berhenti, Tuan?”
Paul : “Maaf, aku sedikit sentimentil. Teringat ikan koi piaraan yang sudah anumerta. Biar ku ulangi, apakah kamu tahu obat sakit perut untuk ikan?”
Jojo : “Aduh, maaf, Tuan. Yang itu saya tidak tahu. Saya belum pernah terjangkit penyakit apapun. Pelet pemberian majikan saya top quality, bisa dilihat dari badan saya yang begini tambun.”
Paul : “Wuiiih, mantap. Sekarang pertanyaan berentet. Jawab cepat, apakah sebelum melangsungkan pernikahan, seekor cupang perlu meminta izin kepada orang tua? Apakah ada strata “calon menantu idaman” di sana? Apakah ada cupang biadab?”
Jojo : “Sekali lagi, saya minta maaf Tuan. Ketiga pertanyaan itu tidak saya ketahui jawabannya. Saya tidak pernah bertemu ikan cupang lain seumur hidup. Termasuk orang tua saya. Bagaimana saya bisa tahu soal kultur cupang kali? Bahkan, kalau saja tidak baca cerita Tuan, saya mungkin tidak pernah membayangkan keberadaan cupang lain di dunia ini. Saya kira, saya satu-satunya cupang di Galaksi Bimasakti.”
Paul : “Hmm begitu. Lalu, pertanyaan terakhir dan yang paling ingin aku ketahui. Sebetulnya, kenapa sih kamu menghantamkan kepalamu ke dinding vas?”
Jojo : “Wah, tidak terasa ya, Tuan, sudah pertanyaan terakhir. Sebentar lagi saya akan kembali kesepian. Jujur, saya senang sekali waktu Tuan berkeinginan mewawancarai saya yang pandir begini.”
Paul : “Eh, tidak mengapa, Jo. Aku tidak akan langsung pulang kok, kita bisa bincang- bincang hal lain setelah ini.”
Jojo : “Tuan baik sekali. Baiklah akan saya jawab pertanyaan terakhir. Sebenarnya tidak ada alasan lain selain saya sedang kedinginan, Tuan.”
Paul : “Maksudnya?”
Jojo : “Begini, Tuan. Sebelum tiga hari yang lalu, saya terbiasa mendiami ruang keluarga yang selalu hangat, mendekati panas. Memang di ruangan itu ada AC, tapi saya tidak tahu mengapa tidak pernah dinyalakan. Alhasil, ketika harus tinggal di suhu yang tidak lazim, otomatis saya kaget. Lama-kelamaan kaget saya itu berubah jadi rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman itulah, yang saya tunjukkan. Saya berharap agar dikembalikan saja ke ruang keluarga.”
Paul : “Ohhhh…”
Editor: Ruthana Bitia, Qurratu Aina, Alfina Nur Afriani
Discussion about this post