Umumnya pada periode sebelum kemerdekaan ataupun setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, masyarakat lebih mengenal sosok seperti M. Hatta, Sutan Syahrir, atau Syafruddin Prawiranegara sebagai sosok pejuang, pemikir, dan penulis handal yang banyak sekali menuangkan ide-ide terkait bagaimana seharusnya negeri ini menampakkan langkahnya, tak terkecuali menyangkut perihal perekonomian. Sebagian masyarakat kita barangkali lupa tentang sosok yang tak kalah andalnya dengan sosok-sosok yang telah saya sebutkan sebelumnya, terutama menyangkut pemikirannya tentang perekonomian nasional. Bahkan ia dijuluki sebagai “Begawan Ekonomi Indonesia” serta “Bapak Ilmu Ekonomi Pembangunan Indonesia”, sosok itu adalah Soemitro Djojohadikusumo.
Soemitro Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 29 Mei 1927. Beliau dibesarkan dari keluarga priyayi dan terpandang. Darah ilmuwan ekonomi pun memang mengalir kepada dirinya. Ayahnya, Margono Djojohadikusumo juga sosok ekonom yang disegani. Margono pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta dikenal sebagai pendiri salah satu bank “plat merah” terbesar di Indonesia, yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) pada tahun 1946. Soemitro semasa mudanya kerap kali diajak oleh ayahnya “blusukan” ke kampung-kampung dan desa pertanian di pelosok Jawa. Dari potret masyarakat miskin di desa-desa itulah, pemikiran-pemikiran Soemitro tentang perekonomian Indonesia terbentuk dalam benaknya.
Soemitro adalah pelajar lulusan Negeri Kincir. Ia menempuh studi di sekolah ekonomi Belanda di Nederlandse Economische Hogeschool Rotterdam. Ia satu almamater dengan sosok sekaliber M. Hatta yang sama-sama menggeluti jurusan ekonomi. Soemitro menyelesaikan studi doktoralnya pada tahun 1942 dengan disertasi yang berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie (Perkreditan Rakyat di Masa Depresi).
Sosialisme ala Soemitro
Soemitro memanglah memiliki alur pemikiran sebagai seorang sosialis dan anggota, bahkan pernah terpilih sebagai ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Kongres PSI tahun 1951. Namun, beliau bukanlah sosok Sosialis Marxis yang revolusioner, sebagaimana Sutan Sjahrir. Ia adalah sosok yang anti komunis. Di beberapa tulisannya, misalnya pada buku karyanya sendiri yang berjudul Perkembangan Pemikiran Ekonomi, ia mengkritik ide marxisme yang menurut pandangannya adalah pemikiran ataupun gerakan yang tidak rasional.
Sama halnya dengan Hatta yang juga seorang sosialis-nasionalis, Soemitro berpandangan bahwa kehidupan ekonomi nasional harus diwujudkan dalam suatu organisasi ekonomi (dalam pemikiran Hatta disebut sebagai “kolektivisme ekonomi”) yang mampu menjamin proses ke arah peningkatan taraf hidup yang sesuai dengan harkat manusia dan keadilan sosial. Soemitro juga merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai “Moral Economy” atau ”Value Based Economy”, yaitu ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai moral atau nilai-nilai yang terkandung di dalam lima sila, Pancasila.
Perjalanan Karir Politik dan Birokrat Soemitro
Dr. Soemitro Djojohadikusumo baru kembali ke Tanah Air pada 14 Maret 1946 setelah lulus mendapatkan gelar doktornya pada tahun 1942. Ia mengawali karir di tanah air sebagai Staf Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ia juga sering ditugaskan sebagai delegasi Indonesia di berbagai dialog-dialog internasional, seperti menghadiri sidang General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1949 hingga menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Pada awal dasawarsa 1950-an, Soemitro mulai berkarir sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam Kabinet Natsir. Kemudian, pernah juga diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo tahun 1952-1953 dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955-1956. Pada tahun 1958, Soemitro bergabung dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) serta diangkat menjadi Menteri Keuangan dalam gerakan tersebut. Langkahnya ini ia ambil sebagai langkah oposisi dengan mendirikan pemerintah tandingan untuk menentang pemerintahan pusat yang dianggapnya tidak menerapkan asas otonomi daerah seluas-luasnya dengan baik, akibatnya terjadi ketimpangan yang begitu besar antara pusat dengan daerah. Dari tahun 1958 hingga tahun 1967, Soemitro mengembara ke luar negeri sebagai pelarian politik. Setahun setelahnya, ia oleh Pemerintah Orde baru, diangkat menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan I pada tahun 1968-1973 lalu Menteri Negara Riset dalam Kabinet Pembangunan II pada tahun 1973-1978. Sesudah itu, ia tidak lagi menduduki jabatan eksekutif dalam pemerintahan, walaupun secara intelektual pemikirannya tidak pernah pensiun karena Soemitro sering menulis kajian-kajian perekonomian hingga menjadi konsultan ataupun penasehat ekonomi yang disegani. Kebijakannya yang terkenal selama ia menduduki jabatan sebagai menteri adalah menyusun program industrialisasi 1951-1952 serta membina kelas pedagang pribumi melalui Program Benteng.
“The Founding Father”
Soemitro memang bukanlah dekan pertama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI). Dekan pertama FE-UI yang ketika itu masih tergabung dalam Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan adalah Profesor Mr. Sunarjo Kolopaking pada tahun 1950. Barulah pada tahun 1951, Prof. Soemitro Djojohadikusumo menjadi Guru Besar sekaligus Dekan FE-UI. Soemitro menduduki jabatan sebagai dekan dari tahun 1951-1957. Profesor Soemitro ikut memprakarsai berdirinya Fakultas Ekonomi yang kemudian terpisah dari Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan. Pada masa kepemimpinan beliau sebagai Dekan FE-UI, fakultas ini bereformasi dengan membangun fondasi kurikulum hingga menjadi sekolah ekonomi ternama dan disegani di Indonesia hingga saat ini. Dahulu, FE-UI dikenal dengan nama Jakarta School of Economics. Penamaan itu sendiri dilabeli oleh Soemitro yang mengacu pada London School of Economics, salah satu sekolah ekonomi termasyhur yang memang terkenal akan aliran sosialisme-nya.
Dalam jabatannya sebagai Dekan FE-UI, Soemitro memiliki paling tidak dua tanda jasa untuk prestasinya. Pertama, ia memberikan bentuk model pengajaran fakultas ekonomi dan “trade mark” di bidang analisis kebijakan ekonomi makro atau penerapan teori-teori ekonomi makro dalam kebijakan negara. Kedua, ia membina hubungan fungsional dan kelembagaan antara FE-UI dan pemerintah. Bermodal pengalaman serta posisinya di pemerintahan membuat Soemitro mempunyai akses terhadap informasi-informasi hingga data perekonomian yang kemudian ia olah untuk diterjemahkan ke dalam textbook perkuliahan untuk penyusunan kurikulum sebagai kegiatan perkuliahan di FE-UI ataupun ia olah untuk dimuat di Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia—jurnal yang sudah diterbitkan oleh fakultas sejak tahun 1948. Sewaktu aktif mengajar ataupun menjadi dekan FE-UI, Soemitro juga memiliki murid-murid hebat nan cemerlang yang kemudian menjadi menteri sekaligus arsitek perekonomian era Orde Baru, seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, hingga Radius Prawiro pernah merasakan “tangan dingin” Soemitro sebagai sosok guru yang luar biasa.
Referensi:
Djojohadikusumo, S. (1991). Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rahardjo, M. D. (2017). Nasionalisme,Sosialisme dan Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Soemitro Djojohadikusumo. Jakarta: Lembaga Penelitian,Pendidikan,dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Editor: Qurratu Aina, Alfina Nur Afriani
Ilustrasi oleh Haikal Rahardian
Discussion about this post