Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
Home Kampus

Beban Berat Defisit dan Subsidi Silang: Wajarkah Peningkatan Biaya Pendidikan di UI?

by Haizka Aleine Kalya & Muhammad Iqbal Maulana
29 Juli 2021
in Kampus, Mild Report

Pendidikan telah sepatutnya menjadi hak bagi setiap orang agar dapat mengembangkan diri dan kemampuannya. Hal ini membuat komersialisasi pendidikan selalu menjadi perbincangan yang seringkali diperdebatkan. Universitas Indonesia sebagai Perguruan Negeri Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) tak luput dari  isu kenaikan biaya pendidikan. Hal tersebut disebabkan status PTN-BH membuat UI memiliki hak otonomi penuh untuk mengelola keuangan dan sumber daya lainnya. Terlebih ketika pandemi yang berpengaruh terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat, biaya pendidikan santer menjadi objek yang terus dikawal dan diawasi, khususnya oleh mahasiswa. 

Walau memiliki independensi dalam pengelolaan dana, Universitas Indonesia tetap tak mampu untuk menciptakan kondisi finansial lembaga pendidikan yang baik. Gede Harja Wasistha selaku Wakil Dekan 2 FEB UI menyatakan bahwa Universitas Indonesia sudah mengalami defisit selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2017. Kondisi defisit tersebut yang menjadi alasan di balik kenaikan biaya pendidikan beberapa program studi S1 non reguler bagi mahasiswa yang diterima pada tahun ajaran 2021/2022.

Baca juga: Biaya Pendidikan UI Naik, Sulitnya Menekan Biaya Operasional Menjadi Penyebab?

Dari sisi pengeluaran, biaya operasional dirasa sulit dikurangi. Bahkan, selama pandemi, muncul anggaran pengeluaran baru untuk fasilitas penunjang sistem pembelajaran daring. Dari sisi pemasukan, adanya subsidi silang antara biaya program reguler dan non reguler menjadi sorotan. Sistem penentuan BOP (Biaya Operasional Pendidikan) bagi program reguler dianggap kurang optimal dalam menentukan biaya secara adil, sehingga tak mampu mengatasi defisit yang dialami oleh pihak universitas. Kini, seperti apa sistem BOP? Permasalahan apa saja yang timbul dari sistem yang sudah ada saat ini? Apakah ada alternatif pemecahan masalah dari sistem BOP saat ini?

Sistem BOP Reguler Saat Ini

Program reguler diisi oleh mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN, SBMPTN, dan SIMAK Reguler. Sistem BOP bagi program reguler membebaskan mahasiswanya untuk memilih mekanisme pembayaran BOP sesuai kesanggupan finansial mereka. Mekanisme pembayaran tersebut terdiri dari dua opsi, yaitu BOP-P (BOP-Pilihan) dan BOP-B (BOP-Berkeadilan).

BOP-P memberikan sepenuhnya keputusan kepada mahasiswa untuk memilih nominal biaya pendidikan sesuai kelas biaya yang tersedia. BOP-P menyediakan lima kelas biaya untuk setiap rumpun jurusan. Untuk rumpun sosial humaniora, opsi biaya pendidikan berkisar dari 7,5 juta sampai 17,5 juta rupiah. Untuk rumpun sains, teknologi, dan kesehatan, berkisar dari 10 juta sampai 20 juta rupiah. Mekanisme pembayaran BOP-P bertujuan untuk memberikan mahasiswa pilihan untuk berkontribusi lebih bagi pendidikan di Universitas Indonesia.

Sedangkan, untuk BOP-B, keputusan akhir biaya pendidikan ada di tangan universitas. BOP-B berkisar dari 0 sampai 5 juta rupiah untuk rumpun sosial humaniora. Rumpun sains, teknologi, dan kesehatan ditetapkan mulai dari 0 sampai 7,5 juta rupiah. Berkas-berkas tertentu harus dikumpulkan oleh pendaftar BOP-B yang nantinya akan diperiksa oleh pihak universitas untuk menentukan besar keringanan yang diberikan.

Selain melalui BOP-B, keringanan biaya pendidikan bisa didapatkan melalui beasiswa dan program Bidikmisi. Wasis menjelaskan bahwa rata-rata biaya pendidikan di FEB UI yang didapatkan dari program beasiswa dan Bidikmisi berada di bawah batas tertinggi BOP-B sebesar 5 juta rupiah. “Mahasiswa beasiswa membayar rata-rata 4,3 juta per semester. Bidikmisi sebesar 2,4 juta,” ungkap Wasis.

Sistem BOP Reguler Perlu Ditinjau Kembali?

Sistem BOP bagi program S1 reguler dirasa Wasis kurang mampu mengurangi defisit yang dialami Universitas Indonesia. Permasalahan ada pada sistem subsidi silang antara program S1 reguler dan non S1 reguler. Di FEB UI, rata-rata mahasiswa program S1 reguler hanya membayar sekitar 10,2 juta rupiah per tahun. Sementara, standard unit cost (SUC) per mahasiswa FEB UI sebesar 24 juta rupiah. “Berarti, setiap mahasiswa perlu subsidi sebesar 13,8 juta per tahun. Subsidi inilah yang perlu bantuan dari non S1 reguler,” kata Wasis.

Sejak tahun 2009, Wasis mengatakan bahwa biaya BOP S1 reguler tidak pernah ada peningkatan. Sementara, uang sebesar 24 juta rupiah yang dialokasikan untuk setiap mahasiswa diperkirakan akan terus meningkat, yang berarti subsidi dari program non S1 reguler juga meningkat. “Kalau kita melihat polanya, situasi dan kondisinya, setiap tahun kita akan memerlukan subsidi yang semakin besar,” kata Wasis. “Dengan sendirinya, (biaya pendidikan) non S1 reguler dipastikan akan naik terus.”

Meskipun begitu, Wasis menyatakan bahwa kenaikan biaya pendidikan non S1 reguler tidak dapat terjadi setiap tahun.  “Kita punya rule of thumb minimal dua tahun. Jika setiap tahun naik, ada banyak pertimbangan,” ujar Wasis. 

Salah satu faktor pertimbangan adalah persaingan dengan universitas lain. Sebagai contoh, jika biaya pendidikan program KKI terus dinaikkan setiap tahun, besar kemungkinan orang-orang akan lebih memilih untuk bersekolah di luar negeri, seperti di Singapura atau Malaysia. Persaingan dalam tingkat pendidikan S2 dan S3 juga dianggap Wasis sangat ketat. Dengan alasan tersebut, terdapat ambang batas bagi kenaikan BOP non S1 reguler. 

Selain kenaikan BOP non S1 reguler yang terbatas, sistem BOP saat ini menjadi alasan di balik lesunya program S1 reguler untuk menutup defisit anggaran. Hal ini karena UI menerapkan sistem yang memberikan keleluasaan bagi pihak mahasiswa untuk memilih skema pembayarannya sendiri sehingga terjadi moral hazard. “Dalam sistem yang sekarang, pemilihan (skema BOP) oleh orangtua sendiri, itu kelemahannya. Jadi, ada kecenderungan memilih yang lebih murah, sementara kemampuannya seharusnya bisa lebih tinggi,” kritik Wasis.

 “Saya pernah me-review ada yang 90 juta gaji orangtuanya, tapi masih ingin bayarnya 3.5 juta per semester,” tambah  Wasis. 

Wasis juga kerap menemukan manipulasi data keuangan saat pengajuan BOP . “Ada yang data ketika masuk dengan data saat mengajukan BOP, wah, berbeda 100 persen. Dalam periode tiga bulan, bisa orang itu tidak punya rumah, tidak punya mobil,” ungkap Wasis.

Melihat kondisi tersebut, Wasis menganggap perlu adanya peninjauan kembali. Pada tahun 2019, ada 65% mahasiswa FEB UI yang membayar biaya pendidikan di bawah 5 juta rupiah. “Kalau menurut saya, angka 65% mahasiswa yang membayar di bawah UKT 5 juta itu harusnya di-review lagi,” ujar Wasis.

Perbandingan sistem biaya pendidikan dengan Kampus Lain

Setiap universitas memiliki kebijakannya masing-masing terkait biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswanya. Salah satu kampus yang memiliki kebijakan yang termasuk ketat terkait biaya pendidikan  adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Setiap calon mahasiswa yang telah lulus seleksi masuk baik mandiri maupun nasional (SNMPTN & SBMPTN) di ITB dikenakan golongan tertinggi untuk Uang Kuliah Tunggal (UKT). 

Bagi calon mahasiswa reguler, biaya yang dikenakan adalah golongan 5 dengan nominal 12,5 juta rupiah, sedangkan bagi seleksi mandiri dikenakan biaya sebesar 25 juta rupiah. Untuk pembagian golongan, ITB hanya menggolongkan menjadi 5 kategori dan nominalnya selalu  berubah bahkan memiliki tren meningkat setiap tahunnya. Peningkatan biaya pendidikan tersebut dirasa perlu untuk mempertahankan kualitas pendidikan di ITB yang mencangkup tersedianya sarana dan prasarana  serta kualitas dosen yang menunjang pembelajaran. 

Berbeda dengan Universitas Indonesia yang memiliki kebebasan dalam memilih nominal biaya pendidikan, penentuan nominal biaya pendidikan di ITB sepenuhnya dikontrol oleh kampus. Calon mahasiswa yang mampu membayar tidak perlu mengurus berkas-berkas yang diperlukan untuk mengurangi nominal UKT. Namun, apabila calon mahasiswa keberatan dengan nominal tersebut, bisa mengurus banding dengan membuat dokumen  yang dibutuhkan, salah satunya adalah surat tanda tidak mampu.

Perbedaan lain antara UI dan ITB terletak pada uang pangkal yang dikenakan untuk setiap calon mahasiswa. Uang pangkal  ini wajib bagi seluruh calon mahasiswa ITB yang masuk melalui jalur mandiri dan sukarela bagi calon mahasiswa yang masuk melalui jalur nasional. Sedangkan untuk calon mahasiswa UI yang masuk melalui jalur reguler, baik nasional atau mandiri, tidak dikenakan sepeserpun uang pangkal  pada saat masuk.

Kontrol biaya pendidikan di ITB juga dilaksanakan setiap akhir semester. Bagi mahasiswa ITB yang dirasa memiliki kesulitan dalam melunasi biaya pendidikan maka bisa mengajukan beasiswa biaya pendidikan dengan melengkapi berkas berkas yang dibutuhkan di akhir semester yang bertujuan untuk mengurangi biaya pendidikan kedepannya. Berbeda dengan ITB , sistem UKT di UI bersifat mutlak dan tetap  sampai akhir masa studi mahasiswa

Kualitas dan keadilan, bisakah berimbang?

Sistem penentuan BOPP dan BOPB di UI awalnya bertujuan agar pendidikan di perguruan tinggi bisa terjangkau oleh semua pihak. Sistem memilih biaya pendidikan dapat membantu orangtua calon mahasiswa supaya bisa membayar biaya berdasarkan preferensi dan kondisi ekonomi mereka. Namun pada prakteknya, sistem tersebut justru disalahgunakan oleh oknum orang tua tak bertanggung jawab yang tidak mau membayar secara maksimal sesuai kemampuan, padahal memiliki kondisi finansial yang mapan dan berkecukupan. 

“Ada oknum orangtua yang meminta keringanan BOP menjadi 5 juta, padahal pendapatan orang tua tersebut berkisar di angka 90 jutaan. Yang bikin saya dan tim BOP lebih geleng-geleng kepala, sudah 5 juta, masih minta keringanan lagi”. Ujar Pak Wasis

Sistem penentuan BOP yang banyak memiliki celah kecurangan tersebut berefek terhadap kondisi keuangan UI yang terus mengalami defisit. Kondisi defisit pada laporan keuangan diperparah dengan tidak dinaikkannya biaya pendidikan reguler, sehingga jangankan untuk pengembangan riset dan penelitian, untuk menutup biaya operasional saja sudah dilakukan secara ketat. Oleh karena itu, Wasis menyarankan perlunya  adanya penyesuaian dalam sistem penentuan biaya pendidikan reguler yang terjadi pada saat ini.

Verifikasi dan investigasi kondisi orang tua yang lebih mendalam menjadi solusi dari peliknya permasalahan  sistem biaya pendidikan di UI. Dengan verifikasi yang lebih mendalam, sistem penentuan biaya pendidikan menjadi lebih adil dan terarah. Dengan verifikasi yang ketat, Wasis mengharapkan tidak ada lagi oknum orangtua yang mengakali sistem pemilihan BOP-BOPB sehingga pemasukan dari biaya pendidikan di UI menjadi lebih maksimal. 

UI bisa bercermin dari kebijakan ITB yang menetapkan biaya pendidikan untuk semua calon mahasiswa sampai dengan batas maksimal. Biaya pendidikan di ITB  hanya bisa diringankan apabila calon mahasiswa mengumpulkan berkas-berkas yang mendukung adanya  pengurangan biaya pendidikan tersebut. Dengan pengawasan dan sistem verifikasi yang lebih ketat, asas keadilan tetap berjalan secara semestinya tanpa harus mengurangi pendapatan di UI. Bukan hanya itu, UI juga bisa memaksimalkan dan mempertahankan kualitas sarana dan prasarana pembelajaran agar peringkat dan label kampus dunia bisa dipertahankan.

 

Foto oleh Zimmytws

Editor: Muhammad Zaky Nur Fajar, Maurizky Febriansyah 

Tweet158

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    5969 shares
    Share 2388 Tweet 1492
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    5464 shares
    Share 2186 Tweet 1366
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    3232 shares
    Share 1293 Tweet 808
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3203 shares
    Share 1281 Tweet 801
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3173 shares
    Share 1269 Tweet 793
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT