Cryptocurrency pertama muncul pada tahun 2009 dengan bitcoin sebagai instrumen pertamanya. Hingga sekarang, pemakaiannya di dunia sudah masif dan diakui oleh banyak negara di dunia. Selain itu, jenis cryptocurrency lain seperti etherium, dogecoin, dll juga semakin marak bermunculan. Apakah benar kemunculan cryptocurrency pada tahun 2009, bertepatan dengan krisis ekonomi yang terjadi, merupakan suatu kebetulan belaka? Atau mungkin kemunculan tersebut adalah sebuah sinyal yang menandakan adanya transisi kepada sebuah sistem baru?
Awal mula dan perkembangan
Pada tahun 2008, Satoshi Nakamoto (nama pena) menerbitkan makalahnya yang berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”. Dalam makalah ini, Satoshi Nakamoto memperkenalkan sebuah instrumen pembayaran baru, yaitu bitcoin, sebuah bentuk uang elektronik yang memungkinkan sebuah transaksi terjadi tanpa keterlibatan institusi keuangan1Nakamoto, Satoshi (2008). “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”. bitcoin.org.. Menurut Pak Teguh Kurniawan, selaku praktisi dan COO dari Tokocrypto, kemunculan makalah ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk respons kekecewaan terhadap sistem sentralisasi yang gagal dalam mengatasi krisis pada saat itu.
Cryptocurrency menggunakan teknologi berbasis blockchain yang dikelola menggunakan jaringan peer-to-peer. Dalam setiap blok, terdapat hash kriptografi sebagai penanda unik atas sebuah transaksi. Dalam blockchain juga terdapat penggunaan timestamp yang memungkinkan pencatatan informasi terkait kapan sebuah transaksi terjadi yang akan memberikan detail hingga sepersekian detik. Penjelasan menarik mengenai blockchain dapat dibaca lebih lanjut pada kajian online milik Daffa2Nurfauzan, Daffa. (2020). “Embracing Blockchain: Harbinger of Decentralization”, Retrieved from:https://www.economica.id/2020/05/18/embracing-blockchain-harbinger-of-decentralization/.
Dalam perkembangannya, cryptocurrency sudah mengalami naik dan turunnya sendiri. Pada awal kemunculannya, ada pihak yang melihat potensi pseudonim yang ditawarkan oleh cryptocurrency dapat menjadi sebuah celah untuk melakukan transaksi ilegal dari perdagangan gelap. Namun seiring penggunaanya semakin masif, ekosistem yang lebih positif mulai terbentuk. Sekarang, sudah ada kebijakan Know Your Customer yang mengharuskan pengguna mengisi data diri. Sehingga transaksi yang mencurigakan dapat segera dilacak dan ditindaklanjuti. Tentu saja, perkembangan ini tidak lepas dari adanya pihak yang skeptis. Namun itu semua adalah bagian dari penerimaan, seperti halnya tren Start Up yang dulunya diragukan dan sekarang dapat berkembang dengan cepat.
Cryptocurrency menawarkan sebuah sistem baru yang lebih efektif dan efisien, suatu hal yang selalu dikejar oleh peradaban manusia. Menurut Pak Teguh, ketergantungan atas sistem konvensional sudah pasti ada, namun tidak menutup kemungkinan perubahan perilaku manusia juga. Adaptasi cryptocurrency di berbagai negara berbeda dan bergantung dengan kebijakan yuridis masing-masing negara. Amerika Serikat misalnya, sudah menerapkan cryptoeconomics, sebuah ekosistem ekonomi dimana didalamnya sudah menggunakan teknologi blockchain. Atau Jepang yang telah memperbolehkan pembayaran gaji menggunakan bitcoin. Ada juga El Salvador yang menjadikan bitcoin sebagai mata uang yang sah dan legal tender di negaranya untuk meningkatkan financial inclusion.
Jenis-Jenis Uang
Setiap jenis uang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dua tipe uang yang umum digunakan adalah jenis tunai dan non tunai. Uang tunai memiliki banyak kekurangan, salah satunya yaitu penggunaan mengharuskan kedua pihak yang melakukan transaksi hadir di lokasi yang sama. Hal ini menandakan bahwa penggunaan uang tunai masih sangat dibatasi oleh perbedaan wilayah. Limitasi ini membuat penggunaan uang fisik sangat memakan waktu dan tidak praktis.
Uang tunai juga mudah rusak, dapat dipalsukan dan rakus tempat. Terlebih lagi, studi menyatakan bahwa perpindahan uang tunai dari satu tangan ke tangan lainnya juga tidak higienis. Mulai dari jamur, bakteri hingga kokain dan heroin dapat ditemukan dalam sebuah uang tunai3Maron, Dina. (2017). “Dirty Money”, Retrieved from: https://www.scientificamerican.com/article/dirty-money/. Uang tunai berpotensi menjadi medium penyebaran penyakit. Khususnya, dalam masa pandemi seperti ini.
Sedangkan kekurangan dari uang non tunai adalah penggunaanya yang masih terbatas. Tidak semua golongan masyarakat mendapatkan akses dan pengetahuan yang sama mengenai penggunaan uang jenis ini. Adanya gap antargenerasi, skeptisisme dari golongan neo-luddite4terminologi yang digunakan secara peyoratif terhadap golongan yang menentang berbagai bentuk teknologi, dan risiko kejahatan siber juga menjadi faktor penghambat penggunaan uang non tunai. Inovasi terbaru dari bentuk uang non tunai adalah CBDC yang akan dijelaskan lebih detail nantinya.
Mengacu pada pembahasan di atas, cryptocurrency termasuk dalam golongan non tunai. Tidak mewajibkan dua pihak bertemu, tidak rakus tempat, dan yang terpenting, menggunakan teknologi sebagai pihak ketiga. Tetapi, biarpun begitu, ia tidak semata-mata sama dengan contoh di atas. Karena ada satu perbedaan mendasar di antara mereka, yakni asas landasannya.
Desentralisasi: Sistem Tanpa Pengatur Lalu Lintas
Pemerintah umumnya mengontrol pasokan uang untuk memastikan bahwa uang tersebut cukup untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi. Namun sistem desentralisasi yang ditawarkan oleh cryptocurrency memungkinkan tidak adanya pihak ketiga yang dapat melakukan intervensi. Ketidakadaan pihak ketiga sebagai pengatur lalu lintas ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dalam kesepakatan klasik, uang memiliki tiga fungsi untuk alat tukar, alat satuan hitung, dan sebagai alat penyimpan nilai. Untuk sebuah instrumen dapat dijadikan sebagai alat tukar harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan tersebut. Dan menurut Bu Telisa, apabila kita membicarakan alat tukar, selalu ada kesepakatan atau kontrak bersama. Di dalam penggunaan uang fiat, kesepakatan itu dipenuhi dalam bentuk legal tender. Permasalahan utama dalam cryptocurrency adalah, walaupun sudah dijustifikasi secara peer-to-peer, namun secara kewenangan belum memiliki legal tender. Sehingga tidak ada pihak yang dapat ditanyakan akuntabilitasnya apabila terjadi error.
Tanpa adanya legal tender, tidak ada juga yang mengatur nilai dari mata uang tersebut. Hal ini berpengaruh terhadap stabilitas cryptocurrency. Untuk sekarang, volatilitas dari cryptocurrency sendiri masih jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan mata uang paling volatile di dunia. Maka dari itu, mata uang ini masih berfungsi dengan buruk sebagai alat penyimpan nilai/ store of value5Congressional Research Service. (2020, 9 April). “Cryptocurrency: The Economics of Money and Selected Policy Issues”.. Tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dengan semakin tinggi kapitalisasi dan banyaknya individu yang menggunakan instrumen tersebut, hukum economies of scale akan berlaku. Semakin banyak orang yang memegang mata uang tersebut, semakin banyak usaha untuk menstabilkan mata uang tersebut sehingga guncangannya akan berkurang juga. Dalam proses adaptasinya menjadi alat tukar, volatilitas cryptocurrency masih menjadi tantangan untuk kedepannya.
Di satu sisi, sistem yang terdesentralisasi memungkinkan pengurangan biaya yang keluar. Tanpa adanya pihak ketiga, tidak diperlukan lagi biaya operasional dan sumber daya manusia sehingga biaya transaksi juga lebih murah. Transaksi juga dapat dilakukan dengan lebih cepat tanpa adanya waktu operasional tertentu. Lalu, keistimewaan yang ditawarkan oleh teknologi blockchain yang terdesentralisasi adalah sifatnya yang transparent, traceable, auditable, and secure. Blockchain memiliki sifat yang immutable atau tidak bisa diubah dan diganggu gugat. “Intinya, setiap data teman-teman yang dimasukan dalam blockchain, itu akan ada dan akan abadi selamanya.” ujar Pak Teguh.
Sebuah perbedaan kontras antara sistem sentralisasi dan desentralisasi adalah sifatnya yang transparan. Menurut Pak Teguh, kita hidup di zaman yang memiliki trust issue yang kuat atas sistem tanpa transparansi. Penggunaan smart contract pada teknologi blockchain memungkinkan konsensus yang terjadi hanya terdapat pada pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, tanpa adanya kepentingan dari pihak luar. Bagi pihak yang tidak dapat mempercayai keterlibatan institusi, cryptocurrency dapat menjadi alternatif yang diinginkan6Bershidsky,Leonid. (2017). “Bitcoin and the Value of Financial Freedom” , Retrieved from: https://www.bloomberg.com/view/articles/2017-12-20/bitcoin-and-the-value-of-financial-freedom. Dengan demikian, cryptocurrency dapat mengalami adopsi yang lebih luas di negara-negara dengan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi pada sistem yang ada, seperti misal Venezuela yang sedang mengalami konflik sosial, politik, dan ekonomi yang berkepanjangan7The Atlantic. (2017). “Big in Venezuela: Bitcoin Mining”, Retrieved from: https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/09/big-in-venezuela/534177/.
Lalu, sistem desentralisasi juga diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya pemegangan atau konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir orang, yang dapat menuju kepada penyalahgunaan kekuasaan. Hal semacam ini tidaklah asing terdengar dalam sejarah. Salah satu contohnya yaitu mata uang kyat yang mengalami dua kali demonetisasi pada tahun 1985 hingga 1987. Pada tahun-tahun tersebut, pemerintah Burma (sekarang Myanmar) tiba-tiba mengumumkan bahwa beberapa nominal kyat tidak berlaku lagi8Karthikeyan, Ananth. (2017). “A Ne Win situation: Burma’s three demonetization”, Retrieved from: https://www.livemint.com/Sundayapp/LO3bemtSxzcHa2lodLxIDI/A-Ne-Win-situation-Burmas-three-demonetizations.html. Dan masyarakat tidak diberikan waktu yang cukup untuk menukar uang mereka.
Penyalahgunaan kekuasaan ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Dengan antusiasme untuk kemungkinan baru yang ditawarkan oleh teknologi, bersamaan dengan ketidakpuasan dengan sistem politik yang ada dapat menjadi faktor pendorong masyarakat untuk menciptakan ekosistem sendiri tanpa koersi dan hierarki sosial-politik. Dan berharap bahwa sistem ini akan digantikan oleh sebuah sistem dengan mekanisme konsensus yang terdistribusi secara langsung di tengah masyarakat9Atzori, M. (2017). Blockchain Technology and Decentralized Governance: is the State Still Necessary? Journal of Governance and Regulation..
Cryptocurrency dalam Koridor Demokrasi
“Negara memberikan kesempatan kepada swasta maupun masyarakat untuk berkembang. Dari sisi demokrasi tetap ada kepentingan negara dan masyarakat” ujar Bu Telisa. Hal tersebut menandakan bahwa Indonesia menyediakan ruang kepada masyarakatnya untuk berkembang, dengan syarat bahwa kebebasan ini membawa kepentingan negara dan rakyat di dalamnya. Demokrasi yang berlebihan juga akan merugikan masyarakat itu sendiri, dimana membuat keadaan menjadi tidak dapat dikendalikan dan menjadi anarkis. Namun, apakah cryptocurrency yang menggunakan sistem desentralisasi dapat menjadi pengganti sistem sentralisasi oleh negara?
“Crypto ini mungkin tidak akan menggantikan sistem negara atau sentral bank secara penuh. Jadi kita tidak melihat dari sisi substitution, melainkan dari sisi complementary nya, jadi saling melengkapi” tambah Bu Telisa. Dalam demokrasi, sangat diperlukan adanya transparansi dan akuntabilitas. Hal tersebut akan menumbuhkan rasa aman dan percaya dari masyarakat sehingga demokrasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi harus tetap mencakup peran negara di dalamnya. Dan sebaliknya, negara pun tidak boleh menghambat perkembangan cryptocurrency karena ini merupakan suatu bentuk kebebasan berekspresi masyarakat. Terlebih lagi, inovasi ini juga menciptakan nilai tambah ekonomi.
Akan tetapi, demokrasi yang berlebihan akan merugikan masyarakat itu sendiri.
Pak Teguh juga berpendapat bahwa peran negara tetap sangat diperlukan dalam perjalanan cryptocurrency di Indonesia. Negara berperan sebagai regulator yang membuat aturan dan payung hukum bagi masyarakatnya. Pada cryptocurrency sendiri terdapat sistem DeFi (Decentralized Finance) yang membuat pemakai cryptocurrency tidak memerlukan bank atau institusi10Ethereum.org.”Decentralized finance (DeFi)”, Retrieved from: https://ethereum.org/en/defi/. Akan tetapi, menurut Pak Teguh, DeFi akan kurang efektif jika diberlakukan di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu kita perlu mengubah DeFi menjadi CeDeFi (Centralized Decentralized Finance). Maksudnya adalah bahwa kita menggabungkan sistem desentralisasi dan sistem sentralisasi sehingga, dapat menciptakan sistem demokrasi yang wajar dan tidak melewati batas.
Hambatan dan Urgensi cryptocurrency di Indonesia
Dalam Perkembangannya saat ini, Indonesia tidak memperbolehkan penggunaan cryptocurrency sebagai alat tukar atau alat pembayaran. Hal tersebut disebabkan karena adanya aturan UU no.7 tahun 2011, yang menyatakan bahwa Indonesia melarang penggunaan mata uang lain selain Rupiah. Oleh karena itu, Indonesia hanya memperbolehkan cryptocurrency sebagai aset komoditi atau alat investasi yang perdagangannya diatur oleh BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi)11Bappebti. (2020). “Aset Kripto”, Retrieved from: http://bappebti.go.id/resources/docs/brosur_leaflet_2001_01_09_o26ulbsq.pdf. Untuk memperbolehkan cryptocurrency sebagai alat pembayaran di Indonesia, maka perlu adanya kesepakatan bersama dan payung hukum yang sah untuk mengatur adopsi tersebut.
Bu Telisa beranggapan bahwa hal yang menjadi penghambat cryptocurrency di Indonesia adalah regulasi itu sendiri. Pembuatan regulasi di Indonesia sangat bergantung kepada politik ekonomi negara. Walaupun suatu kebijakan sangat bermanfaat bagi masyarakat, tetapi jika tidak didukung oleh insan politik, maka kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh negara12Horban, Tetiana. (2020). “Governmental Response to Bitcoin: Why Cryptocurrency Regulation Differs Across The World”, Retrieved from: http://www.etd.ceu.edu/2020/horban_tetiana.pdf. Selain masalah regulasi, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah Financial Literacy rakyat Indonesia. Bu Telisa mengatakan bahwa saat ini financial literacy masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya Ponzi Scheme di masyarakat serta penipuan-penipuan lainnya. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam pengesahan cryptocurrency di Indonesia adalah ketimpangan dalam akses pendidikan, pendapatan, dan teknologi.
Walaupun Indonesia memiliki hambatan dalam hal pengesahan cryptocurrency, namun pemerintah harus dapat bergerak cepat dalam mempertimbangkan hal tersebut. Pak Teguh berpendapat bahwa sangat banyak hal yang membuat cryptocurrency ini memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Saat ini, sudah banyak negara-negara di dunia yang telah mengizinkan penggunaan cryptocurrency. Negara-negara seperti Singapura dan hongkong, membuat sistem pembayaran ekspor impor yang terafiliasi dengan cryptocurrency dan blockchain13Belu, Michaela Gabriela. (2019). “ Application of Blockchain in International Trade: An Overview”, Retrieved from: http://www.rejournal.eu/sites/rejournal.versatech.ro/files/articole/2019-04-01/3547/1belu.pdf. Sistem tersebut membuat pencatatan arus pembayaran menjadi lebih mudah sehingga pemakaian waktu menjadi lebih efisien. Jika beberapa negara sudah menggunakan teknologi yang maju, maka Indonesia juga harus menggunakan teknologi yang maju tersebut, karena jika Indonesia tidak menggunakan teknologi yang sama, akan menciptakan jarak yang jauh untuk mengejar negara maju.
Selain itu, Pak Teguh menambahkan, bahwa penggunaan cryptocurrency di Indonesia akan memudahkan pendistribusian uang di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Indonesia adalah negara kepulauan sehingga akan memakan biaya yang besar untuk mendistribusikan uang fisik. Berbeda halnya dengan penggunaan cryptocurrency yang digital sehingga dapat menggunakan aplikasi.
CBDC, sebuah jalan tengah?
Dengan perkembangan cryptocurrency, bank sentral harus dapat memosisikan dirinya dan melakukan inovasi sebagai respons dari lanskap baru ini14Delloite. (2020). “Are Central Bank Digital Currencies (CBDCs) the money of tomorrow?”, Retrieved from:https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/lu/Documents/financial-services/Banking/lu-are-central-bank-digital-currencies.pdf. CBDC atau Central Bank Digital Currency merupakan uang digital yang dikeluarkan oleh bank sentral negara dan menggunakan teknologi berbasis blockchain. Hal ini membuat CBDC dianggap sebagai jalan tengah bagi perkembangan cryptocurrency. Hal tersebut dikarenakan CBDC menawarkan uang digital seperti cryptocurrency tetapi tetap berada di bawah kontrol negara. Indonesia sendiri saat ini masih dalam tahap perencanaan untuk mengeluarkan rupiah digital sebagai CBDC yang dikeluarkan oleh bank Indonesia. Bank Indonesia sedang menjalin kerja sama dengan bank sentral di negara lainnya dalam menyusun dan mengeluarkan mata uang digital tersebut15Sugianto, Danang. (2021). “Uang Kripto Makin Tenar, BI Bakal Terbitkan Mata Uang Digital”, Retrieved from: https://finance.detik.com/fintech/d-5469097/uang-kripto-makin-tenar-bi-bakal-terbitkan-mata-uang-digital. Namun, bagaimana pengaruh CBDC terhadap eksistensi cryptocurrency?
Cryptocurrency dan CBDC merupakan dua hal yang berbeda. Walaupun sama-sama menggunakan teknologi blockchain, akan tetapi CBDC bukanlah lawan dari cryptocurrency. Menurut Pak Teguh, teknologi blockchain yang akan digunakan untuk CBDC sendiri berasal dari bitcoin, salah satu cryptocurrency terbesar di dunia. Oleh karena itu, menurut pak teguh pertumbuhan dari CBDC akan berdampak baik bagi keberlangsungan cryptocurrency itu sendiri. CBDC dapat dianggap sebagai jalan tengah bagi negara yang ingin mengaplikasikan blockchain, tetapi tetap memiliki legal tender dari negara itu sendiri.
Atau mungkin, CBDC Bukanlah Sebuah Jalan Tengah
Kepercayaan adalah kunci fundamental dalam proses penerimaan suatu instrumen sebelum dapat sepenuhnya digunakan. Uang adalah kontrak sosial. Nilai uang akan hilang apabila masyarakat berhenti untuk mempercayainya. Dalam kasus ini, CBDB mungkin tidak perlu khawatir selama bank sentral dapat mempertahankan kredibilitasnya sehingga masyarakat masih menaruh kepercayaannya kepada bank sentral.
Namun perlu ditekankan bahwa penggunaan uang sangat bergantung pada penerimaan dan kesiapan masyarakatnya. Di Indonesia sendiri, pandemi kali ini telah dengan jelas memperlihatkan ketimpangan akses internet dan teknologi yang ada. Maka, CDBC yang notabene menggunakan teknologi tentu akan menghadapi hambatan berarti.
Meskipun angka ketimpangan di Indonesia telah membaik, literasi digital masyarakat Indonesia masih tergolong rendah16Diningrat, Rendy A. (2021). “Ketimpangan Digital Tentukan Kemampuan Bertahan selama Pandemi”, Retrieved from: https://katadata.co.id/sortatobing/indepth/60dc1f3105f9b/ketimpangan-digital-tentukan-kemampuan-bertahan-selama-pandemi. Sebelum memanjat lebih lanjut ke perubahan revolusioner seperti ini, kita harus memerhatikan dan memastikan bahwa setiap basis anak tangganya telah kuat. Hal-hal mendesak macam: pemerataan digitalisasi, pemerataan pendidikan, perbaikan literasi, dan perbaikan sistem administrasi perlu dilakukan terlebih dahulu.
Setiap negara memiliki kemampuan dan fleksibilitasnya masing-masing dalam menghadapi perubahan tersebut. Pengadopsian inovasi baru ada baiknya dilaksanakan segera mungkin agar tidak tertinggal dengan negara lain. Namun, pengadopsian yang terburu-buru tanpa kesiapan akan berakibat buruk. Indonesia misal, harus dapat menyesuaikan pengadopsian teknologi ini sebijak mungkin dengan regulasi yang ada. Pertimbangan yang cermat dibutuhkan agar proses pengadopsiannya tidak hanya sekadar ikut-ikutan dan malah dapat memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Kesimpulan
Cryptocurrency adalah salah satu kemajuan teknologi dalam hal pembayaran. Walaupun membawa teknologi blockchain yang modern dan transparan. Cryptocurrency sebagai satuan tukar masih harus menempuh jalan panjang yang juga penuh rintangan.
Ketiadaan legal tender sebagai pengatur dan pengawas jalannya cryptocurrency sebagai alat pembayaran adalah sebuah masalah besar. Selain itu, fakta lain terkait pemerataan teknologi dan pendidikan, perbaikan literasi dan sistem administrasi juga menjadi batu sandungan lain yang tidak kalah besarnya.
Karena itu, selama cryptocurrency belum memiliki legal tender dan masyarakat masih “belum” bisa menggunakannya, maka pemakaian cryptocurrency sebagai alat pembayaran di Indonesia akan sulit untuk diterapkan.
Referensi
↵1 | Nakamoto, Satoshi (2008). “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”. bitcoin.org. |
---|---|
↵2 | Nurfauzan, Daffa. (2020). “Embracing Blockchain: Harbinger of Decentralization”, Retrieved from:https://www.economica.id/2020/05/18/embracing-blockchain-harbinger-of-decentralization/ |
↵3 | Maron, Dina. (2017). “Dirty Money”, Retrieved from: https://www.scientificamerican.com/article/dirty-money/ |
↵4 | terminologi yang digunakan secara peyoratif terhadap golongan yang menentang berbagai bentuk teknologi |
↵5 | Congressional Research Service. (2020, 9 April). “Cryptocurrency: The Economics of Money and Selected Policy Issues”. |
↵6 | Bershidsky,Leonid. (2017). “Bitcoin and the Value of Financial Freedom” , Retrieved from: https://www.bloomberg.com/view/articles/2017-12-20/bitcoin-and-the-value-of-financial-freedom |
↵7 | The Atlantic. (2017). “Big in Venezuela: Bitcoin Mining”, Retrieved from: https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/09/big-in-venezuela/534177/ |
↵8 | Karthikeyan, Ananth. (2017). “A Ne Win situation: Burma’s three demonetization”, Retrieved from: https://www.livemint.com/Sundayapp/LO3bemtSxzcHa2lodLxIDI/A-Ne-Win-situation-Burmas-three-demonetizations.html |
↵9 | Atzori, M. (2017). Blockchain Technology and Decentralized Governance: is the State Still Necessary? Journal of Governance and Regulation. |
↵10 | Ethereum.org.”Decentralized finance (DeFi)”, Retrieved from: https://ethereum.org/en/defi/ |
↵11 | Bappebti. (2020). “Aset Kripto”, Retrieved from: http://bappebti.go.id/resources/docs/brosur_leaflet_2001_01_09_o26ulbsq.pdf |
↵12 | Horban, Tetiana. (2020). “Governmental Response to Bitcoin: Why Cryptocurrency Regulation Differs Across The World”, Retrieved from: http://www.etd.ceu.edu/2020/horban_tetiana.pdf |
↵13 | Belu, Michaela Gabriela. (2019). “ Application of Blockchain in International Trade: An Overview”, Retrieved from: http://www.rejournal.eu/sites/rejournal.versatech.ro/files/articole/2019-04-01/3547/1belu.pdf |
↵14 | Delloite. (2020). “Are Central Bank Digital Currencies (CBDCs) the money of tomorrow?”, Retrieved from:https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/lu/Documents/financial-services/Banking/lu-are-central-bank-digital-currencies.pdf |
↵15 | Sugianto, Danang. (2021). “Uang Kripto Makin Tenar, BI Bakal Terbitkan Mata Uang Digital”, Retrieved from: https://finance.detik.com/fintech/d-5469097/uang-kripto-makin-tenar-bi-bakal-terbitkan-mata-uang-digital |
↵16 | Diningrat, Rendy A. (2021). “Ketimpangan Digital Tentukan Kemampuan Bertahan selama Pandemi”, Retrieved from: https://katadata.co.id/sortatobing/indepth/60dc1f3105f9b/ketimpangan-digital-tentukan-kemampuan-bertahan-selama-pandemi |
Discussion about this post