“Jadi, haruskah tenaga magang mendapat bayaran? atau malah harusnya tidak mendapat bayaran? Jika dibayar, seberapa besar bayarannya?”
Beberapa waktu lalu, warganet dihebohkan dengan isu ketenagakerjaan dari perusahaan rintisan (startup) anak bangsa, Ruangguru. Ruangguru disebut-sebut menggunakan tenaga kerja magang lebih banyak ketimbang karyawan tetap. Tak segan, warganet menyimpulkan jika Ruangguru beroperasi di bawah “army of interns”.
Terlebih lagi, Ruangguru menggaji upah para pemagang kontrak dengan harga yang tidak sesuai dengan beban kerja yang diberikan. Hal ini berbeda jauh dengan beban pemasaran dan pertumbuhan yang dihasilkan oleh perusahaan.
Kemudian, sangat hangat terlintas di telinga mahasiswa, tentang Program Magang Kampus Merdeka. Sebuah program magang yang digagas oleh kemendikbud-ristek dengan sistem konversi sebesar 20 SKS. Beberapa dari perusahaan yang menawarkan magang dari program ini juga tidak berbayar.
Jadi, haruskah mahasiswa mendapat bayaran dari praktik magang?
Lalu bagaimana seharusnya pemerintah mengatur dan menertibkan perilaku perusahaan seperti ini? Apa langkah yang diambil oleh pihak kampus berkenaan dengan hal ini? Simak ulasan lengkap yang dirangkum Economica dalam tulisan di bawah ini!
Underpaid Internship di Perusahaan Rintisan
Fenomena underpaid internship atau magang berbayar rendah tidaklah asing di kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Baru-baru ini, isu magang berbayar rendah (atau bahkan tak berbayar) kembali mencuat ke ruang publik. Fenomena ini mulai ramai kembali karena salah satu startup terkenal di Indonesia, yaitu Ruangguru disebut tidak adil dalam menggaji pekerja magang. Dari isu tersebut, muncul berbagai pendapat yang bertabrakan.
Sebagian masyarakat merasa bahwa underpaid internship merupakan hal yang wajar. Namun, sebagian dari masyarakat lainnya merasa hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja dari perusahaan, terutama perusahaan rintisan1https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210316112654-192-617990/netizen-ramai-bahas-polemik-magang-dan-upah-ruangguru. Polemik tersebut menyebabkan adanya peluang untuk menggali lebih dalam tentang masalah ketenagakerjaan magang di Indonesia, khususnya di kalangan mahasiswa.
Pentingnya Magang bagi Mahasiswa
Di dunia modern yang menekankan hustle culture, gagasan tradisional menggagas bahwa magang adalah sesuatu yang sangat bergengsi bagi mahasiswa. Banyak dari kalangan mahasiswa yang menjadikan magang sebagai salah satu cara paling penting yang dapat menjembatani mahasiswa ke dunia kerja. Hal ini dikarenakan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan, baik softskill maupun hardskill, saat magang.
Menurut Dwini Handayani, Dosen Ekonomi Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan Universitas Indonesia, program magang merupakan bentuk dari Human Capital Investment. Magang dapat menjadi proses belajar dan mempersiapkan diri untuk dunia kerja yang sebenarnya. Magang dapat menambah relasi, belajar untuk lebih mandiri, mencari pengalaman dan pendapatan, dan merasakan dunia kerja yang sesungguhnya2https://www.kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2020/09/02/magang-mahasiswa-di-industri-tak-sekadar-memberi-pengalaman-kerja/. Maka dari itu, program magang yang dilakukan mahasiswa merupakan hal yang penting untuk pengembangan diri3https://www.kompas.id/baca/utama/2019/09/04/magang-untuk-meraup-pengalaman-kerja/.
Adakah Minimum Upah bagi Pekerja Magang?
Tak sedikit program magang yang menjanjikan upah terhadap pemegangnya. Namun, apakah upah yang diterima sepadan dengan pekerjaan yang mereka lakukan?
Peraturan terkait magang dan upah diatur dalam Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 20204https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/Permen_6_2020.pdf yang berbunyi “Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; atau.”
Menurut peraturan tersebut, pekerja magang diwajibkan untuk diberi upah, tetapi tidak disebutkan berapa upah minimum ataupun jenis upah yang wajib diberikan. Hal tersebut membuat underpaid internship wajar di mata hukum. Terlebih, kebanyakan perusahaan dasarnya memiliki orientasi profit. Oleh karena Itu, fenomena underpaid hingga unpaid internship menjadi hal yang umum terjadi, terutama dalam perusahaan rintisan.
Efektifitas Pembiayaan Perusahaan Rintisan diduga Menjadi Penyebabnya
Pendanaan perusahaan rintisan yang berasal dari modal ventura5https://techcollectivesea.com/2020/12/11/how-did-indonesian-startups-fair-in-2020/ melakukan berbagai upaya agar arus kas perusahaannya terlihat atraktif bagi pemodal. Pelbagai usaha dilakukan demi meminimalisir beban operasional dan menghasilkan profit yang maksimal bagi perusahaan. Penggunaan tenaga magang diduga menjadi salah satu faktor yang dapat meminimalisir beban operasional perusahaan rintisan.
Meminimalisir biaya operasional dengan menggunakan pemagang juga diduga menimbulkan masalah baru. Hal ini dinilai membuat ketergantungan perusahaan rintisan terhadap pekerja magang. Salah satunya berimplikasi kepada pekerja magang melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pekerja tetap.
Underpaid atau unpaid internship dapat dilihat sebagai sesuatu yang tidak adil di permukaannya, kebenarannya adalah seorang magang merupakan orang yang baru memasuki dunia pekerjaan sehingga mayoritas dari intern ini belum memiliki pengalaman. Di Indonesia, Program magang sendiri memiliki banyak ragam, ada yang bersifat dibayarkan dengan insentif moneter maupun non-moneter.
Reverse Paid Internship
Bagaimanakah jika justru mahasiswa yang harus mengeluarkan uang untuk melakukan program magang? Fenomena tersebut dinamakan reverse paid internship. Banyak perusahaan yang melakukan sistem reverse paid internship.
“Biasanya fenomena reverse paid internship dikarenakan antara sebuah perusahaan terlalu prestise sehingga susah untuk melakukan program magang di perusahaan tersebut atau sebuah perusahaan tidak memiliki banyak uang untuk menggaji karyawan magang,” ucap Dwini.
Reverse paid internship adalah contoh nyata dari Matthew effect6Ph.D., R. D. (2010). The Matthew Effect: How Advantage Begets Further Advantage (Illustrated ed.) [E-book]. Columbia University Press. Matthew effect merupakan fenomena sosial ekonomi dimana hanya orang-orang yang memiliki privilese yang memiliki kesempatan lebih di mata sosial karena kondisi ekonominya. Hal tersebut menyebabkan banyak mahasiswa yang kurang beruntung memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk melakukan pekerjaan magang karena adanya reverse paid internship.
Para mahasiswa yang kurang beruntung tersebut bila mereka diterima program magang pun, mereka akan menolaknya dengan alasan tidak memiliki biaya untuk membayar program magang tersebut. Akibatnya, setelah lulus mereka tidak memiliki pengalaman lebih dibandingkan mahasiswa yang memiliki privilese dikarenakan tidak keadilan sistem reverse paid internship tersebut. Maka dari itu, reverse paid internship sudah seharusnya ditiadakan karena ketidakadilan yang harus dihadapi mahasiswa kurang beruntung.
Pihak kampus perlu hadir untuk mengurangi disparitas dalam hal finansial mahasiswanya. Kerja sama antara kampus dan industri diperlukan untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang lebih sehat kedepannya.
Bagaimanakah Peran UI dalam Kerja Sama Program Magang?
Sebagai fasilitator mahasiswa kepada program magang, Universitas Indonesia mempunyai tujuan untuk memberi wawasan tentang dunia kerja yang sebenarnya. Career Development Center (CDC) UI merupakan salah satu fasilitator program magang yang ada di tingkat UI. Sejauh ini CDC UI sudah mengadakan kontrak kepada perusahaan yang menawarkan magang kepada mahasiswa-mahasiswa UI.
Berdasarkan pemaparan Prof. Sandra Fikawati, Ketua CDC UI, kontrak ini diprioritaskan pada kerjasama program magang CDC UI dengan perusahaan BUMN. Fika menjelaskan program magang di UI terbagi dalam dua hal, ada yang membagikan insentif dan ada pula yang tidak. Meskipun demikian, dalam dua tahun terakhir hampir selalu ada pemberian insentif kepada mahasiswa magang melalui uang saku ataupun uang transportasi.
Di FEB UI sendiri, program magang yang ditawarkan masih bersifat umum dengan spesialisasi dan mengasah kemampuan, terutama di bidang ekonomi. Program magang di FEB UI antara lain seperti kerjasama dengan Bank Indonesia, OJK, bank BUMN, dan bank swasta. Pihak universitas juga menyediakan berbagai fasilitas konsultasi magang, seperti Center for Independent Learning (CIL). Mahasiswa dapat menanyakan dan konsultasi soal magang agar mahasiswa mendapatkan informasi terkait pilihan magang yang cocok untuk mereka sendiri.
Langkah CDC UI untuk Magang dan Kampus Merdeka
Pihak CDC UI belum meninjau lebih jauh terkait fenomena underpaid internship yang terjadi. Namun, kedepannya CDC UI berusaha untuk mengedukasi kepada seluruh mahasiswa tentang hak dan kewajibannya dalam program magang.
“Jadi agar adil, sebaiknya dilakukan perjanjian sebelum melaksanakan magang. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut, mungkin kedepannya dapat diadakan seminar dengan kementerian tenaga kerja dan perwakilan dari pihak-pihak terkait,” ucap Fika.
Perihal Program Kampus Merdeka, Fika mengatakan bahwa perlu ada MOU antara UI dengan perusahaan dan penyediaan pembimbing dari dua pihak. Terdapat beberapa hal teknis mengenai administrasi dan pembimbing bagi mahasiswa yang melakukan magang.
“Sebelum dilaksanakan (program) magang perlu ditanyakan (terlebih dahulu), apakah pihak perusahaan menyediakan pembimbing atau tidak? Dan mahasiswa juga perlu menanyakan ke departemen, perihal dosen yang bisa dijadikan pembimbing semasa magang. Karena dalam pembelajaran harus ada bimbingan dari dua sisi, baik dari sisi universitas dan sisi tempat magang,” jelas Fika.
Magang untuk Mereduksi Skill Gap
Peran universitas maupun institusi pendidikan sangat penting untuk mengawasi peran mahasiswa di dalam magang. Hal ini selaras seperti yang disampaikan Dwini dan Fika dalam wawancara bersama Economica.
“Seorang mahasiswa pada saat magang harus benar-benar belajar. Karena kampus merdeka ini mempunyai potensi untuk menjembatani ataupun mengurangi skill gap antara dunia pendidikan dengan dunia kerja,”ungkap Dwini.
Selain itu, dibutuhkan pemisahan peran kerja antara pegawai tetap dan tenaga magang, khususnya di perusahaan-perusahaan rintisan. Kekurangan program magang di perusahaan rintisan dapat ditindaklanjuti dengan beberapa cara. Salah satunya melalui evaluasi lebih lanjut baik dari kampus, dan mengedukasi calon pemagang mulai dari remunerasi dan periode magang.
Foto oleh Anna Tarazevich dari pexels.com
Editor: Maurizky Febriansyah, Haikal Qinthara, Muhammad Ramadhani, Tahtia Sazwara
Referensi
Discussion about this post