Masyarakat kerap acuh tak acuh persoalan gender. Bertahan dengan status quo binary gender identity, namun realitas sosial berkata lain. Dinamika sosial dan sejarah sudah membuktikan bahwa realitas tak sesederhana ini. Kemudian mengapa masyarakat masih gagap akan realitas gender hari ini?
“Tak ada Komentar Positif, Apa yang di Banggakan dari Lucinta Luna“, begitulah judul sebuah berita yang dikutip dari Fimela.com1https://www.fimela.com/news-entertainment/read/3431749/tak-ada-komentar-positif-apa-yang-dibanggakan-dari-lucinta-luna. Tidak hanya itu, tokoh dunia hiburan serta desainer terkenal, Ivan Gunawan kerap kali diberitakan miring oleh berbagai media seperti sebuah berita dari JPNN.com yang berjudul “Niat Menikah, Ivan Gunawan, Aku Pengen Punya Anak”2https://www.jpnn.com/news/niat-menikah-ivan-gunawan-aku-pengin-punya-anak.
Hadirnya pemberitaan miring terhadap kedua tokoh tersebut disebabkan oleh satu kesamaan, yaitu pandangan masyarakat Indonesia terhadap identitas gender mereka. Lucinta Luna dan Ivan Gunawan kerap kali tampil dalam dunia hiburan dengan karakteristik yang berlawanan dengan gender mereka secara biologis, dimana keduanya merupakan laki-laki dengan karakter feminim.
Berbagai judul pemberitaan di atas secara tidak langsung menggiring pandangan negatif masyarakat terhadap kelompok-kelompok atau individu yang berbeda secara karakteristik gender. Masyarakat umumnya memandang gender secara biologis dengan pandangan binary gender identity. Namun, realitas sosial menunjukkan adanya kelompok-kelompok transgender yang berbeda dari sekedar karakteristik biologis
Lalu dengan maraknya kelompok tersebut, apakah cara memandang gender secara biologis kini merupakan hal yang tidak relevan? dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap sebuah identitas gender?
Pandangan Hitam Putih atas Identitas Gender
Masyarakat umum memandang sebuah identitas gender secara biologis yang bersifat biner atau dikenal Binary Gender Identity (Cis Gender). Binary atau biner merupakan suatu konsep yang membagi sesuatu menjadi dua. Dalam konteks gender, identitas gender secara biner terbagi menjadi dua, yaitu laki-laki atau biasa disebut maskulin dan perempuan atau biasa disebut feminim. Maskulin dilekatkan kepada mereka yang bertubuh fisik laki-laki (dia yang berpenis) dan feminim kepada mereka yang bertubuh fisik perempuan (dia yang bervagina)
Menurut Irwan Hidayana, Dosen Antropologi FISIP UI, identitas gender seseorang tidak terbatas dan sesederhana berdasarkan biologis laki-laki dan perempuan. Pada realitanya, masyarakat terdapat laki-laki yang tidak merasa bahwa dirinya adalah laki-laki meski ia berpenis atau sebaliknya perempuan yang tidak merasa bahwa dirinya perempuan meski ia bervagina. Bahkan secara biologis cukup problematis, dimana tidak menutup kemungkinan akan adanya individu yang terlahir sebagai interseks, seperti seseorang yang terlahir dengan vagina tanpa rahim.
“Membahas soal perbedaan merupakan hal yang terlalu simplistis karena kemudian kenyataannya gender seharusnya tidak hanya dari perbedaan seperti maskulin dan feminim, namun gender juga berupa relasi atau social relation”, jelas Irwan.
Irwan menambahkan bahwa identitas gender terbentuk atas relasi antara laki-laki dan perempuan dalam susunan masyarakat. Relasi sosial menggambarkan perilaku suatu individu terhadap lingkungannya. Identitas gender tidak dapat terlepas dari struktur sosial masyarakat setempat. Peran penting struktur sosial dan relasi dalam mengidentifikasi gender menyebabkan munculnya istilah-istilah transgender, waria, Queer, dan sejenisnya untuk melabeli mereka yang berperilaku berbeda dari gender masyarakat umum.
Pergeseran pandangan atas identitas gender memicu terbentuknya berbagai golongan masyarakat yang berbeda gender, bukan laki-laki dan perempuan. Secara lebih luas, golongan masyarakat ini dapat disebut sebagai Queer dalam kelompok LGBTQ. Menurut Ais, Co Founder Queer Indonesia Archive (QIA), Queer is a word that describes people outside straight identities atau orang-orang yang berada di luar dari identitas normal gender.
Namun, beberapa negara terdapat banyak komunitas selain empat kategori tersebut yang berada diluar lingkup straight dan cisgender (biner). Contohnya adalah interseks, panseksual, non-binary, dan lain-lain. Istilah Queer ini akhirnya perlahan-lahan menjadi istilah yang lebih inklusif untuk memayungi orang-orang yang berbeda secara gender.
Queer dan LGBTQ dalam Respon Masyarakat Indonesia
Ais menceritakan perjalanan kelompok Queer dan LGBTQ di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-9. Pada masa itu, istilah LGBTQ dan Queer belum muncul untuk menunjukkan individu-individu yang berbeda secara karakteristik gender. Namun, kelompok-kelompok tersebut sudah ada pada zamannya. Contohnya di Makassar mengenal istilah bissu dan di Jawa mengenal istilah warok atau keblak.
Pada tahun 1930 an, Pemerintah Hindia Belanda melakukan “pembersihan moral” yang membuat ruang gerak kelompok ini menjadi terbatas. Ais juga menceritakan tentang perkembangan keberadaan kelompok ini selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir. Ais berpendapat bahwa pemerintah mulai lebih konservatif sejak beberapa tahun ke belakang.
“Pemerintah sendiri baru benar-benar tracking down komunitas Queer setelah tahun 2015. Menurut saya, pemerintah baru bergerak karena masyarakat lebih vokal dan jika dilihat dari prinsip demokrasi dan politik, lebih baik untuk mengikuti konstituen masyarakat (sebagai pemilik suara). Jika memang mereka beranggapan untuk mendukung kaum minoritas seksual,” tambah Ais
“Mungkin yang membedakan dengan saat ini, media massa terdahulu memiliki point of view yang lebih netral dibandingkan dengan media saat ini. Dahulu, orang-orang Queer hanya dilihat sebagai curiosity atau keingintahuan dari masyarakat karena karakteristiknya berbeda,” jelas Ais.
Ais menambahkan bahwa turning point dari respon masyarakat adalah pada saat masa reformasi. “Mungkin turning point bagi komunitas Queer dimulai setelah reformasi dimana saat masyarakat diberi kebebasan untuk menyuarakan politiknya dan pemerintah tidak terlalu tegang dengan unsur-unsur masyarakat. Secara otomatis, kelompok konservatif yang sebelumnya dikekang akhirnya diberikan kebebasan sehingga mereka memiliki kuasa untuk membubarkan kelompok Queer,” tambah Ais.
“Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah sepertinya generasi sekarang atau generasi Z ini lebih ingin tahu dan tidak bersifat judgemental,” ungkap Ais. Ia menambahkan bahwa tetap masih ada beberapa orang yang antipati, tetapi setidaknya sudah mulai ada inisiatif terhadap kesadaran kelompok Queer. Hal ini terbukti banyaknya mahasiswa dari BEM atau himpunan yang mulai membicarakan kelompok ini dalam ranah universitas.
LGBTQ dan Queer sebagai Budaya Tandingan
Berdasarkan pendapat Ais bahwa masyarakat Indonesia semakin konservatif, kelompok LGBT dan Queer saat ini merupakan kelompok minoritas. Mereka sulit mendapatkan pengakuan dan penerimaan secara luas oleh masyarakat Indonesia. Dalam perspektif sosial, LGBT dan Queer dapat disebut sebagai counter culture atau budaya tandingan. Counter culture merupakan praktik kebudayaan yang berbeda dengan tujuan untuk melawan kebudayaan yang dianggap dominan.
Biasanya, counter culture muncul dari kelompok atau komunitas yang bertekad untuk mengkonstruksi sebuah kebudayaan dan bertujuan untuk melawan kebudayaan yang dianggap dominan atau mainstream dalam masyarakat. Namun, menurut Irwan, budaya tandingan tidak sepenuhnya berbeda karena mereka tetap bagian dari budaya dominan.
Umumnya, kelompok ini terbentuk akibat perasaan termarginalisasi yang sering dialami oleh beberapa orang tertentu. Mereka memiliki budaya tersendiri dan menjauhkan diri dari budaya dominan, serta berusaha membuat tandingan agar mendapatkan pengakuan dari sistem mayoritas konon sulit untuk diubah.
Salah satu contoh nyata counterculture berkaitan dengan identitas gender adalah kelompok waria, yang sebenarnya sudah lama berada di Indonesia. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai counter culture karena perilakunya yang secara kasat mata cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki bahasa yang digunakan secara khusus, yaitu bahasa binan. Banyak diantara mereka yang menggunakan bahasa dan kata-kata yang mereka kembangkan dan lebih banyak dimengerti secara eksklusif oleh mereka sendiri.
Kelompok-kelompok transgender, Queer, atau LGBT di Indonesia menjadi counter culture karena mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. “Tetapi, secara umum kita (masyarakat Indonesia) dikatakan sebagai yang religius. Ketika kita mengaitkan dengan isu LGBTQ, LGBTQ selalu dikaitkan dengan persoalan agama, moralitas secara umum dan seksual”, jelas Irwan.
Irwan menambahkan bahwa moralitas seksual di Indonesia merupakan perihal yang heteronormatif. Apabila terdapat kelompok atau komunitas yang berbeda (non heteroseksual), masyarakat akan menganggapnya sebagai sesuatu yang berbeda dari mereka. Di Indonesia, isu yang sangat mencolok untuk dikatakan sebagai budaya tandingan adalah transgender karena sifat dan perilakunya yang tidak biasa nampak di hadapan masyarakat. Sedangkan, lesbian, gay, dan biseksual masih belum terlihat secara jelas.
Kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya yang berbeda secara identitas gender kerap kali disebut sebagai budaya tandingan atau counter culture. Namun, permasalahan lain yang menjadi perhatian bahwa banyak sekali terminologi dalam sosial masyarakat untuk melabeli mereka. Mereka-mereka ini dapat dikenal sebagai transgender, waria, hingga Queer dalam terminologi LGBTQ. Terkadang, terminologi tersebut tidak hanya sebatas label melainkan terdapat perbedaan respon dan penerimaan di tengah masyarakat.. Lalu, mengapa hal demikian terjadi di Indonesia?
Antara Transgender dan Queer dalam LGBTQ, Mengapa Penerimaan Keduanya Berbeda?
Menurut Irwan, Penggunaan terminologi tertentu terkadang menciptakan respon yang berbeda dan terkadang penggunaannya cenderung problematis. “Namun ini menunjukkan bahwa istilah atau terminologi itu sendiri menjadi problematis karena membatasi. Hal ini merujuk pada kenyataan secara sosial, bahwa terdapat individu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kotak-kotak gender tersebut,” tambah Irwan.
Kata “waria” sendiri sudah lama digunakan dalam istilah lokal yang dikenal dengan istilah banci, sementara kata “gay”, “lesbian”, dan “Queer” adalah istilah asing yang sering dihubungkan dengan homoseksualitas. Maka dari itu, masyarakat Indonesia menjadi lebih antipati ketika berbicara mengenai gay-lesbian dan homoseksual ketimbang berbicara mengenai waria.
“Ketika berbicara homoseksualitas, masyarakat lokal juga sering menghubungkannya dengan agama, dosa, dan amoral. Isu LGBTQ ini dianggap menjadi kepanikan moral dalam masyarakat yang menganggapnya seolah-olah sesuatu yang laknat, maksiat, dan yang lain sebagainya,” tambah Irwan.
Selain itu, terdapat konstruksi pemikiran di masyarakat bahwa ketika mendengar LGBT langsung menganggapnya sebagai istilah asing. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat Indonesia cenderung lebih reaktif pada hal-hal yang sifatnya asing dan berasal dari luar, seperti pengaruh barat dan westernisasi. Masyarakat memiliki respon yang berbeda ketika berbicara soal waria atau banci karena hanya dianggap sebagai istilah lokal dan tidak asing.
Sebuah Paradoks dalam Identitas Gender
Permasalahan respons masyarakat terhadap isu identitas gender tidak hanya istilah atau terminologi yang problematik, melainkan terdapat paradoks tertentu. Dalam dunia entertainment, individu yang menunjukkan perilaku bertentangan dengan identitas gendernya dianggap wajar karena masyarakat menikmatinya sebagai lelucon dan mereka merasa terhibur.
Irwan menemukan persoalan ini sebagai paradoks semata dimana setiap kali perilaku ini muncul di televisi, masyarakat merasa terhibur dan tidak pernah ada keluhan terhadap perilaku tersebut. Karakter kelompok minoritas di dunia entertainment dipahami sebagai bahan lelucon dan bertujuan untuk menghibur. Terlebih, menurut Irwan, sikap ambivalen masyarakat menjadi penyebabnya dan sikap ambivalen tersebut muncul akibat normalisasi sebuah masalah moral dengan alasan ekonomi.
“Menurut saya hal itulah yang menjadi paradoks, yaitu bagi dunia entertainment dan berfungsi sebagai hiburan, masyarakat secara umum dapat menerima tetapi kemudian ketika persoalan tersebut dikaitkan dengan isu moralitas, agama, dan yang lain sebagainya, masyarakat memiliki pandangan dan sikap yang berbeda”, tambah Irwan
Queer dan Pandangan Identitas Gender kedepannya
Ais dan Irwan sepakat bahwa masih banyak bentuk penolakan masyarakat terhadap kelompok-kelompok Queer di Indonesia, bahkan secara terminologi cukup problematik. Ais menekankan bahwa berbagai bentuk aksi tidak diskriminatif saja tidak cukup, melainkan kelompok-kelompok Queer ini perlu tindakan afirmatif karena sudah cukup lama berada posisi rentan di masyarakat.
Terlepas dari berbagai tindakan yang perlu diambil, menurut Irwan, masyarakat Indonesia perlu memahami kembali esensi dari semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini tidak hanya memahami perbedaan bukan hanya etnis, suku, dan agama, melainkan juga identitas gender. Dengan memahami esensinya, kelompok-kelompok yang berbeda secara gender tidak selamanya menjadi budaya tandingan.
Irwan kemudian memaparkan bahwa negara ini masih bersifat hetero relatif sehingga ketika menghadapi isu ini negara memiliki berbagai persoalan dalam cara pandang. Namun bukan berarti negara tidak bisa mengakomodasi keperluan kelompok – kelompok yang berbeda. Saat ini, pemerintah terlihat telah memberikan ruang bagi kelompok minoritas. Salah satunya adalah Dirjen Dukcapil dibantu dengan dukungan LSM yang tengah mengupayakan pembuatan KTP agar kelompok transgender memiliki identitas resmi dan dapat mengakses bantuan – bantuan sosial seperti layanan BPJS dan puskesmas.
Editor : Maurizky Febriansyah, Haikal Qinthara, Nadyezdi Rifi Prihadini
Foto oleh Delia Giandeini di Unsplash
Discussion about this post