Tanggal 1 Oktober setiap tahunnya, Republik Indonesia merayakan Hari Kesaktian Pancasila untuk memperingati keberhasilan segenap anggota masyarakat dalam memperjuangkan Pancasila yang terancam musnah pada peristiwa 30 September oleh para komunis; tergabung dalam Partai Komunis Indonesia. Demikian narasi pada umumnya disampaikan. Hal yang luput dalam pemikiran setiap dari kita adalah bagaimana kita yakin bahwa kesaktian yang dibangga-banggakan ini merupakan sebuah kebenaran, tanpa adanya unsur propaganda yang kental dari peninggalan rezim Orde Baru?
Apa Yang Terjadi?
1965. Penculikan Jenderal. Pembunuhan terhadap mereka. Pembentukan Dewan Revolusioner menggantikan pemerintahan lama dan mengamankan pusat kota dengan tentara. Di penghujung hari, semua buyar. Soeharto sebagai Panglima Kostrad berhasil mengamankan suasana dan mulailah periode penuh pertanyaan. Media massa dilarang terbit. Setelahnya? Transisi menuju Orde Baru dimulai. Partai Komunis Indonesia dilibas habis. D.N Aidit beserta para petinggi PKI diadili, baik secara hukum atau langsung dihabisi di tempat, ketika mereka melarikan diri pasca kejadian ataupun di tempat mereka masing-masing. Entah, sejarah cenderung buram. Hanya teringat usaha Soeharto beserta jajarannya menormalisasi keadaan.
Identitas pelaku sesungguhnya terhadap usaha revolusi (atau kudeta) pada tanggal 1 Oktober 1965 masih diperdebatkan hingga kini. Adapun bukti-bukti sejarah yang terkumpul memang mengarah kepada D. N Aidit, para pengikutnya yang terlibat, serta beberapa unsur dari TNI termasuk Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief ( dapat dibaca dalam berbagai sumber terkait detail peristiwa yang berlangsung). Mengapa mereka bertindak demikian? Rasionalisasi yang mungkin terjadi cukup panjang dalam pembahasan, itu pun belum tentu benar; masih merupakan hipotesis semata. Akan tetapi, ada satu hal yang janggal dan irasional dalam rangkaian peristiwa yang terjadi: penumpasan terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia.
Ya, kita semua tahu bahwa setelah ‘G30S’, orang-orang yang terafiliasi dalam Partai Komunis Indonesia ditangkap, diadili akan kesalahannya mengikuti ajaran Komunisme. Ada berbagai permasalahan yang muncul: Pertama, apakah sudah ada bukti yang cukup kuat bahwa segenap organisasi PKI adalah yang bertanggung jawab atas usaha kudeta? Kedua, apakah tindakan yang dilakukan sungguh-sungguh merupakan bentuk kudeta? Ataukah ada alasan sesungguhnya yang tak sempat tersampaikan dalam penyelesaian pasca kejadian? Ketiga, apakah tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang guna meredakan kondisi dapat dibenarkan?
Kejanggalan
Bila tidak ada bukti yang cukup kuat akan keterlibatan organisasi PKI dalam kejadian, tidak seharusnya segenap organisasi dikambinghitamkan dan dianggap bersalah tanpa kesempatan pembelaan. Untuk poin pertama ini, memang D. N. Aidit terbukti terlibat dan dirinya memang adalah figur ketua partai; logis bila tindakannya dianggap mewakili pemikiran partai dan karenanya, komunisme dianggap berbahaya. Maka untuk poin pertama ini, wajar bila PKI disalahkan, terutama mengingat Aidit adalah figur yang dominan dalam partai. Yang disayangkan adalah segenap anggota partai yang mungkin sebenarnya tidak tahu-menahu tentang gerakan 30S—atau Gestok, satu Oktober, mungkin lebih tepat jawaban yang belakangan, karena puncak dari tindakan terjadi pada tanggal tersebut—turut menanggung akibatnya. Penderitaan hingga kematian menunggu di waktu setelahnya, sejarah kelam yang jarang terungkap di hadapan masyarakat.
Kudetakah yang dilakukan oleh Letkol Untung? Tentu, bila mendengar ucapannya yang mengumumkan Dewan Revolusioner di radio setelah diambil alih. Apakah tindakan ini sesuai dengan rencana awal? Bisa jadi tidak. Apakah mereka berniat membunuh para Jenderal? Ataukah justru ini merupakan ketidaksengajaan karena perencanaan yang amatir dan tanpa persiapan sehingga ketika beberapa Jenderal dalam proses penculikan tidak sengaja terbunuh, diputuskan untuk ditumpas habis sekalian karena seharusnya semua tetap hidup sesuai rencana awal? Bisa jadi.
Pada masa itu, muncul desas-desus bahwa ada Dewan Jenderal yang siap mengkudeta pemerintahan Soekarno dan justru mungkin niatan mereka adalah mencegah hal tersebut terjadi. Melindungi Soekarno dari kejatuhannya dan meningkatkan pamor PKI menjadi partai terdepan dalam latar politik Indonesia. Para Jenderal mungkin diculik untuk dibawa ke Soekarno dan mengakui niat buruk mereka (bila memang desas-desus benar). Operasi berjalan secara rahasia karena berisiko tinggi dan dalam implementasi gagal; karena faktor minim persiapan ataupun anggota yang masih amatir, mungkin karena terlalu percaya diri.
Apabila memang demikian yang terjadi, bukankah ini niatan baik? Melindungi Soekarno, mempertahankan Pancasila tanpa bermaksud menggantikannya? Apakah yang tertulis dalam TAP MPRS tidak dapat dibenarkan, bahwa gerakan ini melawan Pancasila? Tidak sesederhana itu. Harus dipertimbangkan tindakan setelahnya yakni Dewan Revolusioner yang dibentuk. Kendati demikian, sungguh menarik bila ternyata niatan awal bukanlah untuk melawan Pancasila tetapi justru melindungi sang pemrakarsa, yang pada akhirnya jatuh pula setelah gagal mempertanggungjawabkan peristiwa kepada MPR.
Genosida Pasca Kejadian
Perihal yang belum tuntas pula hingga kini adalah para korban pembantaian di Indonesia pada tahun 1965-1966, yang diperkirakan berjumlah hingga lebih dari setengah juta orang. Siapa yang dibantai? Mereka yang disinyalir memiliki hubungan dengan para komunis, baik anggota partai maupun tidak. Anda bermain bersama mereka? Bisa jadi Anda komunis. Mungkin itu yang muncul dalam pikiran para pembunuh; semua dikerahkan, dari tokoh masyarakat hingga para tentara yang menjadi penggerak utama. Berbagai bukti bahkan menunjukkan tentaralah yang mendorong elemen masyarakat ikut serta mengadili yang tertuduh komunis ini. Beragam cara digunakan: dipenjara, disiksa, ditahan di pulau, dan terasingkan. Terus berlanjut hingga penghujung rezim orde baru, di mana mereka yang tersisa bahkan menjadi tahanan kota. Masih dirasa menjadi ancaman.
Genosida yang terjadi jarang terdengar dalam publik. Mungkin dianggap benar karena dilakukan oleh rezim pembebas dari tangan ‘jahat’ komunis. Padahal kita tahu bahwa pembunuhan massal sedemikian rupa tidak dapat dibenarkan, terutama ketika tidak dapat dipastikan bahwa yang terbunuh sesungguhnya bersalah atau tidak. Pancasila tidak semakin sakti. Pancasila sakit, tertusuk, dan sakit hati karena dimanfaatkan sedemikian rupa sebagai dalih; dalih pengambilalihan kekuasaan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Oleh karena itu, tidak ada kekuatan politik yang mampu mengalahkan mereka dan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Pantaskah mereka disebut sebagai pembela Pancasila, dengan tindakan yang jelas bertentangan dengan sila ke-3, “kemanusiaan yang adil dan beradab”? Tentu tidak.
Ironis bila hingga kini, pemerintah serta segenap masyarakat masih memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Benar bahwa Pancasila telah menghadapi beragam ancaman, termasuk rencana Letkol Untung, PRRI, Pemberontakan PKI Madiun 1948,dan lain sebagainya. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa Pancasila tidak bertambah sakti pasca kejadian. Dirinya dimanfaatkan rezim, menjadi alasan untuk membunuh serta mengambil alih kekuasaan. Antara terencana, tidak terencana, ataupun ada gerakan dukungan dari belakang (semisal, pihak dari luar negeri), masih kontroversial. Yang jelas adalah keadaan dimanfaatkan untuk bergerak.
Kesaktian Pancasila dirayakan atas kejadian menyelewengkan Pancasila itu sendiri. Sadar ataupun tidak. Imajinasi saya, yang muncul seusai membaca Dalih Pembunuhan Massal karya Sejarawan John Roosa, menonton film Jagal dan Senyap hingga beragam bacaan dan tontonan lain yang mengecam peristiwa penuh ambiguitas tersebut, bisa saja kurang tepat. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang terburuk adalah yang terjadi. Kepalsuan tetap hadir dalam kehidupan. Semua terbodohi, termasuk mereka yang kini memimpin. Kebenaran yang fana.
Sampai kapan?
Opini ini terbentuk atas renungan penulis seusai membaca karya John Rossa.
Roosa, J. (2006). Pretext for Mass Murder: the September 30th Movement and Suharto’s coup d’état in Indonesia. Univ of Wisconsin Press.
Ilustrasi oleh Haikal Rahardian
Editor: Ruthana Bitia, Qurratu Aina, Alfina Nur Afriani
Discussion about this post