Fenomena bagi-bagi jabatan komisaris kembali mencuat ke permukaan. Hal ini terjadi pasca Abdi Negara Nurdin atau yang biasa dikenal dengan Abdee Slank diangkat menjadi komisaris independen di PT Telkom, berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan yang digelar pada (28/05) lalu.
Masyarakat mempertanyakan sistem pemilihan tersebut Bagaimana orang dari kalangan non profesional bisa diangkat menjadi komisaris. Banyak kalangan yang kemudian mengaitkan hal ini dengan dukungan Slank terhadap Jokowi di masa Pemilihan Presiden 2019. Selain itu, mereka juga mempertanyakan kompetensi dari Abdee Slank yang tiba-tiba menjadi komisaris Telkom, yang mana PT Telkom merupakan BUMN strategis di bidang telekomunikasi.
Walaupun Abdee Slank dinilai memiliki latar belakang yang kurang relevan, Erick Thohir selaku Menteri BUMN berpendapat dalam konferensi pers pada Rabu (2/6) yang dikutip dari Tempo, bahwa ia memiliki pengalaman panjang di industri hiburan 1https://bisnis.tempo.co/read/1468190/abdee-slank-komisaris-telkom-erick-thohir-masak-musisi-tak-boleh-naik-kelas/full&view=ok.
Abdee Slank diharapkan akan sangat membantu Telkom untuk bisa mengembangkan konten lokal yang berkualitas.
Apa Kata Ahli Soal Ini?
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Toto Pranoto, Dosen FEB UI yang juga merupakan pengamat BUMN. Toto mengatakan bahwa sebenarnya inti dari bisnis Telkom sendiri sudah bukan lagi hanya bertumpu pada telekomunikasi saja, tetapi sudah menjadi bisnis over the top, yaitu bisnis yang menyediakan layanan dengan konten berupa data, informasi, atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet. Berdasarkan laporan tahunan, pemasukan terbesar PT Telkom masih didominasi oleh layanan telekomunikasi, sedangkan layanan over the top hanya mampu menyumbang sedikit kontribusi. Keadaan tersebutlah yang ingin diubah oleh Telkom dengan menggaet Abdee Slank sebagai komisaris independen.
Apa Sebenarnya Tugas Seorang Komisaris?
Berdasarkan Undang-Undang 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas2https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/peraturan/undang-undang/Documents/5.%20UU-40-2007%20PERSEROAN%20TERBATAS.pdf pasal 114, terdapat tiga tugas seorang komisaris. Tugas tersebut di antaranya, seperti mengawasi kegiatan perusahaan, memberikan nasihat kepada direksi atau pimpinan, dan mempertanggungjawabkan kerugian perusahaan bersama seluruh dewan komisaris.
Dapat kita lihat bahwa komisaris memiliki tugas yang bersifat profesional, seperti mengawasi dan memberi nasihat. Berbeda dengan dewan direksi yang harus melewati berbagai macam tes, serta banyak kompetensi dan skill yang harus dimiliki, dewan komisaris tidak harus melalui fit and proper test ketat seperti dewan direksi.
“Kalau kita bicara tentang industri yang heavy regulated, seperti industri keuangan, kan nggak sembarangan orang bisa duduk sebagai komisaris. Kamu harus lulus ujian dari OJK dulu, kamu harus paham mengenai besel five misalnya, kan nggak gampang, jadi orang yang duduk sebagai komisaris di perbankan dan asuransi, orangnya sudah teruji. Akan tetapi, kalau di luar Jasa Keuangan itu kan aturannya lebih longgar, mereka tidak harus melalui hal tersebut,” ujar Toto Pranoto.
Di samping itu, faktanya secara regulasi, dewan komisaris tidak diatur secara ketat mengenai sistem seleksinya. Menurut peraturan menteri BUMN tahun 20153https://jdih.bumn.go.id/lihat/PER-09/MBU/07/2015,
syarat untuk menjadi dewan komisaris adalah hanya memahami business nature dari perusahaan. Kemudian, seseorang juga harus terbebas dari segala macam tuntutan hukum pidana atau kasus di pengadilan yang berkaitan dengan kerugian negara. Terakhir, komisaris terpilih harus bersedia menanggalkan jabatan politiknya apabila ia berasal dari partai politik.
Apa Tantangan yang Harus Dihadapi oleh BUMN Saat Ini?
Kondisi kinerja BUMN yang masih jauh dari harapan publik ditengarai menjadi penyebab munculnya ketidakyakinan publik terhadap sosok yang berasal dari kalangan tidak professional. Menurut Toto Pranoto, kondisi BUMN Indonesia saat ini masih kurang membahagiakan. “Indonesia memiliki sekitar 105 BUMN, sebelumnya sekitar 140 sebelum dibentuk holding,” ucap Pak Toto.
Dari 105 BUMN tersebut, 20 diantaranya sudah menghasilkan sekitar 80% total pendapatan. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah pareto. Banyak BUMN yang sebenarnya masih kurang produktif akibat kesalahan dalam pengelolaan atau hal lainnya. Oleh karena Itu, pemerintah melakukan restrukturisasi BUMN, salah satunya melalui percepatan holding company BUMN. Toto Pranoto mengharapkan langkah pemerintah terkait holding company bisa meningkatkan value creation dari BUMN yang bergabung.
Dengan adanya restrukturisasi BUMN, orang yang memang memiliki kompetensi, baik sebagai eksekutif atau sebagai pengawas sangat dibutuhkan. BUMN dapat mencontoh Temasek Holdings di Singapura.
Singapura tidak memiliki Kementerian BUMN, tetapi terdapat superholding yang dikelola oleh negara. Dalam pemilihan dewan pengawas, mereka merekrut orang berdasarkan pengalaman, contohnya perekrutan Robert Zoellick (Mantan Presiden Bank Dunia). Robert Zoellick direkrut karena dibutuhkan pengalamannya untuk bisa mengembangkan perusahaan secara global4https://www.temasek.com.sg/en/news-and-views/news-room/news/2013/mr-robert-zoellick-joins-the-temasek-board.
Apakah Penunjukan Politis dari Kalangan Non Profesional Bermasalah?
“Jika bertanya yang ideal, maka seharusnya tidak terjadi penunjukan politis, namun karena sudah terjadi, maka yang bisa kita lakukan adalah memperkuat bagian pengawasan kinerja,” ucap Toto Pranoto. Ia menambahkan bahwa penunjukkan secara politis sejatinya bukan hal baru di Indonesia, melainkan sudah terjadi sejak rezim terdahulu.
Penunjukan secara politis pada dasarnya dilakukan untuk membalas jasa kepada orang yang telah ikut andil membantu mencapai kekuasaan. Penunjukkan secara politis dapat mengakibatkan dominasi satu kubu. Abdee Slank bersama sekitar 18 orang5https://money.kompas.com/read/2021/05/31/114905426/berikut-daftar-19-relawan-jokowi-yang-jadi-komisaris-bumn?page=all dari tim pemenangan Joko Widodo mendapatkan jabatan strategis di beberapa BUMN.
“Sebenarnya penunjukan politis disebabkan oleh kemampuan seseorang untuk memilih, mereka mampu memberikan orang kesempatan untuk duduk menjadi komisaris, tetapi mereka cenderung memilih orang yang sejalan atau yang dirasa telah berjasa padanya. Kalau kita lihat di banyak emerging market ataupun di negara berkembang, perusahaan milik negara banyak digunakan untuk kepentingan ‘non teknis’ oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, sekarang yang kita perlukan adalah disiplin dalam transparansi serta penegakan aturan,” tutur Toto Pranoto.
Secara hukum, sebenarnya tidak ada larangan untuk melakukan penunjukan politis karena penunjukan komisaris merupakan wewenang negara. Pemilihan diwakili oleh Tim Penilai Akhir yang terdiri dari presiden, wakil presiden, menteri pendayagunaan aparatur negara, menteri BUMN, dan sekretaris kabinet6https://market.bisnis.com/read/20191112/192/1169428/erick-thohir-tegaskan-pengangkatan-komisaris-dan-direksi-bumn-harus-melalui-tpa.
Apa Siasat BUMN untuk Mengurangi Dampak Buruk Penunjukkan dari Kalangan Non Profesional?
“Komisaris melakukan pengawasan tidak harus from a to z sendiri. Ada yang namanya organ-organ support komisaris. Contohnya seperti komite audit, komite pemantau risiko, dan komite nominasi dan remunerasi. Komite-komite ini yang bekerja untuk mendukung kebutuhan data komisaris ketika mereka membuat keputusan terkait dengan monitoring perusahaan,” ucap Toto Pranoto.
Komite-komite inilah yang bekerja untuk menghasilkan data yang akan ditampilkan ketika hendak mengambil kebijakan. Jadi, sebenarnya komisaris yang mewakili negara dalam melakukan fungsi pengawasan hanya perlu mampu mengelola dan memanfaatkan data dari komite-komite tersebut.
Erick Thohir sendiri telah menciptakan BUMN Leadership and Management Institutes untuk membantu calon komisirasi dari kalangan non profesional. Lembaga ini bertujuan melatih para calon komisaris yang tidak memiliki background bisnis, supaya bisa mendapatkan pembelajaran dan pelatihan dasar yang berhubungan dengan tugasnya sebagai pengawas.
Penerapan di Negara Lain?
Faktanya, praktik penunjukan politis bukan hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga dilakukan di sejumlah negara. Salah satu contoh yang dinilai berhasil adalah Tiongkok, dimana setiap badan usaha yang dimiliki oleh negara maupun daerah memiliki beberapa perwakilan dari Partai Komunis untuk menjabat sebagai komisaris.
Hal ini sebenarnya memiliki tujuan agar perusahaan negara tersebut tetap memiliki visi yang sama dengan arah negara7Wang, Jiangyu (2014) “The Political Logic of Corporate Governance in China’s State-Owned Enterprises,” Cornell International Law Journal: Vol. 47: Iss. 3, Article 5.. Model yang digunakan oleh Tiongkok adalah model kombinasi, yaitu fungsi pengawasan diwakili oleh organ birokrasi Partai Komunis yang diletakkan di perusahaan negara.
Selanjutnya, mereka menaruh orang-orang profesional, baik yang berasal dari domestik atau diaspora (yang berpengalaman bekerja di luar negeri) sebagai eksekutif untuk menjalankan perusahaan. “Kombinasi dari birokrasi yang diletakkan di dalam perusahaan milik negara sebagai pengawas, dengan profesional yang diletakkan sebagai eksekutif yang menjalankan, inilah yang membuat perusahaan milik negara Tiongkok menjadi raksasa dunia,” tutur Pak Toto.
Tiongkok juga memiliki sistem evaluasi kinerja di mana orang yang kinerjanya buruk akan dicopot. Hal ini bertujuan supaya tidak ada orang yang menghambat atau kurang berprestasi. Dengan sistem evaluasi tersebut dapat dipastikan bahwa hanya orang terbaik dan paling berkualitas yang akan menjabat. Hal ini yang menjadikan perusahaan milik negara di Tiongkok dapat berjalan dengan baik8https://www.thejakartapost.com/academia/2021/05/21/indonesias-soes-reforms-how-chinese-are-they.html. Namun, keberhasilan Tiongkok dalam menerapkan sistem evaluasi dan pemilihan politis tentu tidak akan berlaku sama bagi negara-negara lain tergantung karakteristik sistem politik dan birokrasinya.
Berani Mengangkat, Berani pula Memecat
Penunjukan politis tidak bermasalah selama tetap mementingkan aspek profesionalitas karena sebagian BUMN memiliki hak untuk memonopoli pasar. Untuk itu, pengelolaan BUMN memerlukan pengelolaan yang efektif dengan cara mengevaluasi secara transparan setiap jabatan strategis yang ada. Jangan sampai orang yang ditunjuk malah menghambat dan tidak mampu mencapai target yang dijanjikan dan menghambat kinerja perusahaan. Dibutuhkan komitmen bahwa yang tidak mencapai Key Performance Indicator (KPI) harus siap dicopot, seperti yang dijanjikan Erick Thohir9https://www.dw.com/id/menakar-keseriusan-bumn-jalankan-prinsip-transparansi/a-57816494.
“Daripada ribut-ribut, Jika kita (pemerintah) memang tidak bisa mendapatkan kandidat yang ideal, bisa dicoba dahulu (pemilihan non profesional), lalu kontrak kinerja dijalankan. Jika tidak perform maka bisa dicopot saja”, tutup Toto Pranoto mengakhiri wawancara dengan tim Economica.
Infografis oleh Ahmad Adiyaat dan Jamie Paulus
Editor: Nismara Paramayoga, Muhammad Ramadhani, Haikal Qinthara, Maurizky Febriansyah
Referensi
↵1 | https://bisnis.tempo.co/read/1468190/abdee-slank-komisaris-telkom-erick-thohir-masak-musisi-tak-boleh-naik-kelas/full&view=ok |
---|---|
↵2 | https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/peraturan/undang-undang/Documents/5.%20UU-40-2007%20PERSEROAN%20TERBATAS.pdf |
↵3 | https://jdih.bumn.go.id/lihat/PER-09/MBU/07/2015 |
↵4 | https://www.temasek.com.sg/en/news-and-views/news-room/news/2013/mr-robert-zoellick-joins-the-temasek-board |
↵5 | https://money.kompas.com/read/2021/05/31/114905426/berikut-daftar-19-relawan-jokowi-yang-jadi-komisaris-bumn?page=all |
↵6 | https://market.bisnis.com/read/20191112/192/1169428/erick-thohir-tegaskan-pengangkatan-komisaris-dan-direksi-bumn-harus-melalui-tpa |
↵7 | Wang, Jiangyu (2014) “The Political Logic of Corporate Governance in China’s State-Owned Enterprises,” Cornell International Law Journal: Vol. 47: Iss. 3, Article 5. |
↵8 | https://www.thejakartapost.com/academia/2021/05/21/indonesias-soes-reforms-how-chinese-are-they.html |
↵9 | https://www.dw.com/id/menakar-keseriusan-bumn-jalankan-prinsip-transparansi/a-57816494 |
Discussion about this post