Hari ini badai datang berkunjung. Dalam kunjungannya kali ini, di bawah terik mentari dan cerah langit di lepas laut, ia menjemput sahabatku. Barangkali kalau badai itu bisa bicara, ia akan bilang, “Aku mengajak temanmu untuk tamasya ke tempat yang lebih baik”.
***
Bagi kami para nelayan, badai seolah sahabat paling dekat. Kami tahu cara melewati rintangan itu, meliuk di antara celah badai, menusuk tepat ke matanya. Kami hafal seluk-beluk mereka, bahkan lebih dari lekuk istri kami sendiri. Namun apa daya, yang namanya pertikaian selalu meninggalkan rasa tidak enak di mulut, serapat apapun persahabatan itu. Biasanya, rasa pahit yang muncul selepas pergulatan dengan badai hadir dalam bentuk keluhan,uring-uring, atau apapun. Yang pasti, rasa itu menyebabkan para nelayan ingin segera menambatkan kapal di dermaga, demi bergabung dengan nelayan-nelayan lain yang sedang tidak melaut dan hanya duduk di warung-warung tepi pantai. Untuk bermain catur, merokok, dan berbagi gelak tawa sembari menunggu getir itu sirna. Ketika getir itu benar hilang, gelora melaut kami akan kembali membara dan siap menerjang gelombang-gelombang ganas demi beratus kilo ikan yang akan ditukar dengan sekarung nasi. Itu biasanya. Sayangnya yang terjadi kini bukanlah hal biasa. Aku ragu kegetiran ini akan hilang dalam waktu dekat, bahkan mungkin selamanya.
Sekiranya hari itu tidak datang, sahabatku pasti sedang menemaniku saat ini. Berkunjung ke pelelangan ikan, masuk lewat sisi depan dan menyusuri kios demi kios, meliuki besi-besi perantang, melangkahi kotak-kotak pendingin penuh es yang telah diserut dan siap diisi dengan ikan segar, menginjaki genangan air yang berhias limbah pemotongan jeroan, kepala ikan, dan sisa bungkus anyam daun pandan kering, sembari menghirup bau aroma amis laut, sampah dapur, keringat manusia, asap rokok nelayan yang seharusnya memuakkan, tetapi entah mengapa—mungkin karena sudah terbiasa—enak dicium. Ia akan melakukan tawar-menawar dengan tengkulak, meminta tambahan upah biarpun cuma sepeser, meski sudah tahu bagaimana akhirnya; upah yang sama dengan hari-hari kemarin. Entah dengan berat hati atau keringanan, ia lalu menyerahkan sekarung ikan yang dijinjingnya dan menukarnya dengan uang, berbalik kepadaku, kemudian bersyukur “Semoga dengan uang ini anak dan istriku bisa bahagia.” Ah, sahabatku. Betapa sering aku mengharapkan kata-kata lain keluar dari mulutmu. Kalimat dengan nuansa nafsu duniawi, barang-barang apa saja yang ingin kau miliki, ke tempat apa kau ingin pelesir. Akan tetapi, nyatanya tidak, prioritasmu selalu keluargamu. Seakan darah, tulang, dan dagingmu milik mereka.
Mengunjungi pelelangan ikan seorang diri meninggalkan kesan janggal bagiku. Ditengah semarak hiruk-pikuk pagi buta; desak-desak semangat para nelayan, teriakan para tengkulak, gemercik tetes air dari para ikan yang bergulat melawan garis hidup di tong-tong plastik yang terbelah dua dan penuh air, juga desir kucing yang sedang mencari santapan pagi, semuanya tiada terdengar di telingaku. Seakan semuanya bisu atau aku lah yang tuli. Di dalam keramaian ini, aku merasa sepi. Tiba-tiba tengkulak satu itu terpampang di sudut mataku, tengkulak sahabatku. Senyum gigi ompongnya yang ditujukan kepada orang di depannya mengundang seribu amarah, jangan tanyakan logat dan lengking suaranya. Betapa ingin ku hamburkan ikan-ikan yang tertata rapi di meja semen berlapis keramik di kiosnya, betapa ingin ku hantam tempurung kepalanya dengan balok kayu yang ada di dekatku. Balok kayu yang biasa digunakan untuk men-tidaksadarkan ikan sebelum dipotong, bisa juga kupakai untuk merontokkan giginya, begitu pikirku. Seandainya saja otak bejatmu tidak sekikir itu, seandainya kau lebihkan upah sahabatku barang sedikit saja dalam tiga atau empat transaksi terakhir, mungkin hari itu sahabatku tidak pergi melaut. Ia malah akan menikmati uang lebihnya dengan menenggak kelapa kopyor di tepi pantai, bermain catur, dan bersenda gurau.
“Sahabatku, apakah terbersit kebencian untuk pria ini dalam hati pada saat terakhirmu? Kalau iya, biar ku kirim si buncit ini ke tempatmu agar kau bisa selesaikan urusanmu dengannya.”
Semilir angin menggesek hamparan pasir di sekitar tempatku merebahkan diri. Mataku tajam menatap ke atas, langit oranye dengan gumpalan awan berserakan, oranye sedikit kelabu. Seekor camar terbang landai lewat tempatku, menukik dengan indah dalam satu gerakan tangkas, mendarat di dahan pohon. Bercuit sebentar, lalu kembali terbang kemudian hilang dari lukisan yang ku pandangi. Ku ubah posisi rebahku, dari telentang ke atas menjadi telungkup ke sisi kanan. Pasir putih terjulur panjang mengerucut hingga membentuk satu titik yang hitam, daun pohon kelapa yang terjuntai melambai-mengangguk entah untuk siapa. Air laut bertampias jatuh tepat di telapak kakiku. Pria-pria menggenggam botol bir. Wanita-wanita mengabadikan momen. Sepasang kepiting sedang saling mencapit tepat di depan mataku. Mereka tampak besar sekali dan enam belas kaki mereka tampak menyeramkan.
Di pantai ini aku biasa menghabiskan sore yang lengangnya menjemput malam bersama sahabatku. Kami akan duduk dengan seekor ikan bakar, piring masing-masing, dan dua gelas es jeruk. Makan dengan lahap untuk menebus lelah kami sepanjang hari. Puas makan, kami akan duduk dengan mata jauh memandang cakrawala yang hangat dengan matahari yang lambat-lambat hilang ditelan pekat laut. Ia kemudian bercerita tentang anaknya yang masih kecil. Bagaimana anak itu mulai bisa bicara sepotong kata, bagaimana anak itu sudah mulai bisa makan sendiri, bagaimana anak mungil itu mulai bisa berlari kesana-kemari. Hari berganti hari, ia akan terus berikan laporan perkembangan anaknya, seolah aku mantri anak posyandu tapi tak mengapa lah, toh ia bercerita dengan bangga. Dengan senyum mengembang dan mata berbinar.
Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana dirimu tidak lagi dapat menceritakan perkembangan anakmu. Jangankan untuk memperhatikan, sekadar melihat saja sudah tak lagi bisa. Kamu tidak berkesempatan melihat anakmu merangkai satu kalimat utuh dengan makna yang dapat dimengerti, juga tidak bisa merasakan bahagianya disuapi oleh anak kesayangan, atau melihat lari kencang anakmu meninggalkan teman-temannya saat jadi juara kelas.
Juga untukmu, anak sahabatku. Kamu tidak akan pernah mengerti seberapa besar rasa bangga ayahmu padamu. Betapa renyah senyum yang ia tampilkan atas hal remeh yang kau lakukan. Seberapa cepat letih di sekujur badannya lenyap setiap kali peluk kecilmu menyambutnya di halaman rumah. Kau tidak akan pernah tau bagaimana setelah kelahiranmu, kamulah dunianya. Seandainya, seandainya saja, aku bisa bicara dalam suara ayahmu.
***
Sahabatku yang terkasih, hari ini kami lakukan prosesi pemakaman untukmu. Sebuah perayaan yang tidak menghadirkan gelak tawa dan kebahagiaan. Secara khusus, kali ini, perayaan ini rasanya terlampau morbid. Penguburan seseorang pasti menyebabkan dua hal mencium tanah, raga orang tersayang dan lutut orang-orang yang menyayangi. Tepat ketika orang tersayang sampai pada peristirahatan terakhirnya, saat itulah mereka yang menyayangi bersimpuh kepada sang maut agar mengembalikan orang tersayang mereka. Mereka berlutut sambil berurai air mata pamungkas, karena mereka tahu, detik itu lah terakhir kali dapat melihat wujud orang tersayang. Sebelum hanya dapat berjumpa via kenangan. Itulah yang memorbidkan pemakamanmu. Kerabatmu di sini bisa menangis selamanya, sepuasnya. Hingga bulir bening berubah jadi merah, hingga serak mengikis habis tenggorokan, hingga mata jadi keropos. Karena mereka tak pernah dapat kepastian, tentang kapan terakhir kali bisa melihat jasadmu yang beku, sahabatku.
Anakmu hanya celingukan sedari tadi, bertanya-tanya mengapa di saat ibu dan nenek menangis, justru ayah tidak di sini untuk menenangkan. Nampaknya ia belum tenggelam dalam duka karena ia masih begitu polos sehingga penuh harapan kerinduan padamu akan terjawab. Ah, melihat tingkahnya aku jadi teringat pertanyaanmu beberapa tahun yang lalu, ketika kita menguburkan ayahmu.
“Dalam kematian seorang lelaki, siapa yang paling bersedih? Apakah ibunya? Istrinya? Anaknya? Atau malah sahabatnya?”
Sepertinya aku sudah dapat jawabannya.
Editor: Qurratu Aina, Alfina Nur Afriani
Discussion about this post