“Sedikit Lebih Beda Lebih Baik Daripada Sedikit Lebih Baik, begitulah stand-up comedian, Pandji Pragiwaksono mendeskripsikan bahwa menjadi berbeda dari lingkungan sekitar merupakan sesuatu hal yang patut dilakukan dalam pertunjukannya yang berjudul Juru Bicara. Menjadi beda merupakan salah satu cara untuk memenangkan persaingan karena dapat memberikan suatu hal yang unik dibanding yang lain. Namun, realitas sosial hari ini membuka mata kita semua bahwa menjadi beda kerap terpinggirkan.
Realitas sosial menunjukkan berbagai pandangan negatif disematkan kepada kelompok-kelompok yang berbeda secara ekstrem. Sebagai contoh, kelompok anak punk yang awalnya berbeda dalam aliran musik dan gaya hidup, kini kerap kali dihubungkan dengan kriminalitas dan kekerasan. Tidak hanya itu, gerakan populer seperti Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang berlandaskan agama juga dianggap sebagian masyarakat sebagai kelompok berpikiran sempit (BBC, 2016). Atas pandangan tersebut, apakah masyarakat masih kurang memahami bahwa kehadiran mereka yang berbeda merupakan bagian lain dari budaya yang ada sehingga sulit menerimanya?
Kebudayaan Manusia dan Tandingannya
Kehadiran kelompok-kelompok di atas merupakan bentuk nyata dari adanya counterculture atau budaya tandingan di tengah masyarakat. Berdasarkan Westheus (dalam Yinger, 1984), budaya tandingan dapat dimaknai dengan dua pendekatan berbeda, yaitu dari sisi ideologi dan tingkah laku. Dalam sisi ideologi, budaya tandingan merupakan seperangkat keyakinan terhadap nilai dan norma yang secara ekstrem menolak budaya dominan yang telah berkembang di masyarakat dan menciptakan sebuah alternatif budaya lain. Sedangkan dalam sisi tingkah laku, budaya tandingan merepresentasikan sekelompok orang yang menerima kepercayaan dan nilai ekstrem yang menolak budaya dominan, berperilaku sangat non-konformis radikal, sehingga cenderung keluar dari masyarakat.
Budaya tandingan kadang kala ditafsirkan sebagai bentuk dari subkultur atau budaya minoritas, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Milton Yinger (1960) memisahkan budaya tandingan dari subkultur karena melihat esensi atas kehadiran keduanya. Subkultur memiliki berbagai keunikan dan masih sejalan dengan eksistensi budaya dominan yang berkembang di masyarakat, sedangkan budaya tandingan jelas memiliki perbedaan yang bertolak belakang dan mencoba untuk melawan budaya dominan yang ada.
Mengapa Kebudayaan Tandingan Hadir?
Menurut Larkin (2015) terdapat lima faktor yang mendorong terciptanya budaya tandingan dari budaya dominan yang ada, yaitu besarnya kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap institusi sosial, terutama institusi negara; bangkitnya konsumerisme; revolusi seksual; munculnya bentuk-bentuk pemikiran baru; dan penemuan internet serta komputer personal.
Sebagai contoh, gerakan feminisme dan LGBT yang berkembang hingga saat ini muncul akibat adanya revolusi seksual dan pemikiran baru dari sebagian kalangan masyarakat. Kesadaran akan kesetaraan dan perbedaan orientasi seksual membuat mereka yang tergolong ke dalam kelompok tersebut mulai membentuk budaya tandingan. Selain itu, tingkat kemajuan teknologi dan akses internet membuat pengaruh budaya tandingan lebih cepat menyebar dan menjangkau kalangan masyarakat lainnya. Dengan demikian, kemungkinan untuk mengumpulkan pengikut untuk bergabung ke kelompok ini pun semakin luas.
Hippies: Awal Mula Gelombang Budaya Tandingan
Budaya tandingan diperkenalkan untuk pertama kalinya dalam ranah sosiologi oleh Talcott Parsons pada tahun 1951 untuk mendefinisikan budaya menyimpang. Istilah ini kemudian makin dikenal pada tahun 1960-an ketika Amerika Serikat mengalami gejolak sosial yang besar dengan kemunculan Hippies — sebutan untuk kelompok masyarakat yang mengikuti budaya hippie (Cavan, 1972). Hippie merupakan budaya yang pertama kali dipopulerkan oleh anak muda dari pinggiran Kota San Fransisco akibat meningkatnya ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah. Tidak seperti budaya masyarakat Amerika Serikat saat itu, Hippies melakukan berbagai kegiatan subversif.
Hippies hanya hidup dengan barang-barang konsumsi pokok tanpa mengejar barang sekunder dan tersier yang biasanya menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Orang yang tergabung ke dalam kelompok yang diinisiasi oleh anak muda ini juga bersikap seolah-olah menganggur dan identik dengan kegiatan memainkan gitar saja di pinggir jalan, berbanding terbalik dengan masyarakat Amerika yang cenderung untuk terus bekerja demi meraup pundi-pundi kekayaan.
Selain itu, banyak perilaku Hippies lainnya yang dianggap sangat bertolak belakang dengan nilai dan norma yang tercermin dari budaya dominan di Amerika Serikat, seperti mengkonsumsi narkotika, homoseksual, memamerkan hubungan di depan publik dengan berlebihan, dan perilaku telanjang di depan umum (Yablonsky, 1968). Kelompok Hippies yang merupakan kelompok anti perang, dengan kebudayaan “love, peace, and freedom” yang mereka junjung tinggi pada akhirnya menstimulasi budaya-budaya tandingan lainnya untuk muncul dan mempengaruhi kehidupan manusia setelahnya, khususnya di Amerika Serikat (Červíková, 2018).
Stereotip Buruk Budaya Tandingan
Budaya tandingan yang berkembang di masyarakat, seperti Hippies seringkali menerima stereotip buruk dari masyarakat. Dalam ranah psikologi, pandangan negatif tersebut dapat dijelaskan melalui teori mekanisme pertahanan ego oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan memiliki tempat tersendiri dalam pikiran manusia dan menjadi insentif yang sangat besar untuk membangkitkan mekanisme sistem pertahanan ego.
Kecemasan hadir akibat dari adanya konflik di dalam the id dengan the superego. The id merupakan bagian dari kepribadian yang berusaha memenuhi semua kebutuhan, keinginan, dan dorongan hati tanpa memandang hal-hal seperti moralitas dan kesesuaian sosial. Akan tetapi, the superego merupakan sebagian dari kepribadian diri yang sangat menjunjung tinggi nilai moralitas yang diinternalisasi dari orang tua, anggota keluarga, agama, dan masyarakat (Conte, 1995).
Dalam segi hubungan antara budaya dominan dan budaya tandingan, the superego dari masyarakat akan mengalami gangguan akibat norma dan nilai leluhur terganggu dengan kehadiran budaya tandingan. Hal ini terjadi lantaran standar baik dan buruknya suatu hal sebagian besar dipengaruhi dan ditentukan oleh budaya yang mendominasi. Namun, budaya tandingan rata-rata menafikan standar yang dibentuk mayoritas. Mekanisme pertahanan ego akan menggiring segi psikologis masyarakat penganut budaya dominan untuk merasa menjadi orang yang paling benar dan hal-hal yang berlawanan dengannya dianggap buruk. Pada akhirnya, sikap skeptis masyarakat terhadap budaya tandingan sulit untuk dihindari. Anna Freud, putri dari Sigmund Freud, mendefinisikan hal tersebut sebagai sebuah bentuk penyangkalan (Conte, 1995).
Budaya Tandingan sebagai Gerakan Sosial
Berdasarkan Larkin (2015), budaya tandingan pada mulanya dikaitkan dengan bentuk kenakalan dan penyimpangan negatif saja. Namun, saat ini budaya tandingan telah didefinisikan sebagai bentuk penolakan dan kritik terhadap budaya dominan. Bahkan, telah termasuk ke dalam konteks gerakan sosial. Menurut Foss dan Larkin (1986), gerakan sosial adalah tindakan kolektif yang berkembang dari sebagian orang dalam suatu kelompok sosial. Gerakan ini dilakukan untuk melawan kelompok sosial lainnya dan pada satu titik dapat mempergunakan kekuatan fisik atau kekerasan.
Terlepas dari keberhasilannya, gerakan tandingan menjadi bagian terpenting dan alami dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya tandingan secara tidak langsung menginspirasi terjadinya perubahan dalam masyarakat, salah satu contohnya adalah gerakan feminisme, yaitu gerakan advokasi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan jenis kelamin, yang pertama kali dicetuskan oleh Mary Wollstonecraft pada tahun 1792.
Istilah “feminisme” sendiri baru muncul pada tahun 1808 oleh filsuf asal Prancis bernama Charles Fourier. Pada masa itu, masyarakat Eropa menganggap kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki – laki. Kemudian, feminisme tumbuh menjadi pemberontakan yang terorganisir. Para pemberontak mendorong kebijakan yang tidak adil menjadi adil sehingga sejumlah aturan yang mengekang kebebasan perempuan pun dihapuskan.
Kemajuan Perekonomian berkat Budaya Tandingan
Terlepas dari prasangka buruk yang biasanya muncul dari masyarakat terhadap budaya tandingan, beberapa budaya yang sempat eksis dapat membawa perubahan positif, contohnya seperti gerakan feminisme di Arab Saudi. Gerakan tersebut telah mendorong negara yang dijuluki negeri minyak itu untuk melakukan reformasi melalui pemberdayaan perempuan beberapa waktu silam. Pemerintah setempat menyediakan dana untuk proyek dan akses terhadap pendidikan dan pilihan karir yang lebih banyak bagi perempuan. Berdasarkan Laporan Global Entrepreneurship Monitor tahun 2020, reformasi tersebut berdampak pada peningkatan jumlah perempuan yang ingin menjadi wiraswasta sebesar 36.6% di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara berasal dari pengusaha perempuan Arab Saudi (Sani, 2021).
Reformasi tersebut tidak hanya berdampak pada perempuan, melainkan juga perekonomian secara agregat. Menurut direktur regional Bank Dunia untuk negara-negara teluk, Issam Aboussleiman, reformasi ini akan membuat Arab Saudi mengalami pertumbuhan ekonomi yang akan terlihat sekitar tiga hingga lima tahun kemudian.
Sejalan dengan pernyataan Aboussleiman, penelitian yang dilakukan Mckinsey menunjukkan bahwa usaha global untuk mempersempit disparitas gender dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 12 Triliun dolar pada tahun 2025 (Woetzel, 2015). Tidak hanya itu, data empiris tahun 1990 hingga 2010 menunjukkan angka indeks ketimpangan gender sebuah negara memiliki korelasi negatif dengan pertumbuhan ekonomi (Myers, 2016). Sehingga dalam konteks budaya tandingan, gerakan kelompok-kelompok feminis yang menjunjung kesetaraan gender akan berdampak positif salah satunya pada peningkatan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Esensi dari Budaya Tandingan
Budaya tandingan akan selalu menjadi perdebatan tanpa akhir di antara masyarakat. Sebagian masyarakat akan selalu ada prasangka buruk terhadap kelompok budaya tandingan. Hal itu tidak luput dari serangkaian peristiwa buruk di masa lalu yang disebabkan oleh suatu budaya tandingan. Namun, sebuah budaya tandingan tidak selamanya berdampak negatif, terdapat banyak bukti empiris dari sebuah budaya tandingan yang dapat mendorong kemajuan. Pada akhirnya, penerimaan terhadap kelompok-kelompok budaya tandingan bergantung pada sikap masyarakat dalam menghadapi perbedaan sebuah budaya.
Referensi
BBC. (2016, 16 Agustus). ‘Indonesia tanpa pacaran’ berpandangan sempit?. Diambil kembali dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/08/160815_trensosial_pacaran 30 Mei 2021
Cavan, S. (1972). Hippies of the Haight. New Critics Press: Amerika Serikat
Conte, H. R., & Plutchik, R. (Eds.). (1995). Publication series of the Department of Psychiatry of Albert Einstein College of Medicine of Yeshiva University, No. 10.Ego defenses: Theory and measurement. John Wiley & Sons.
Eliot, T. S. (1949). Notes towards the Definition of Culture. Gardners Book: Inggris Widewalls. (2016, 11 Oktober). The Counterculture Movement in Society and Art. Diambil kembali dari https://www.widewalls.ch/magazine/counterculture 18 Mei 2021
Kroeber, A.L., Kluckhohn, C. (1952). Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Harvard University Peabody Museum of American Archeology and Ethnology, Cambridge, MA
Larkin, Ralph W. (2015). Counterculture: 1960s and Beyond. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. 2(5): 73–79
Pew Research Center. (2015, November 23). Beyond Distrust: How Americans View Their Government. Diambil kembali dari https://www.pewresearch.org/politics/2015/11/23/beyond-distrust-how-americans-view-their-government/ 19 Mei 2021
Sani, Ahmad Faiz. (2021, 07 Maret). Beri Perempuan Kebebasan, Ekonomi Arab Saudi Diprediksi Melonjak. Diambil kembali dari https://dunia.tempo.co/read/1439703/beri-perempuan-kebebasan-ekonomi-arab-saudi-diprediksi-melonjak 20 Mei 2021
Woetzel, Jonathan, dkk. (2015, 01 September). How advancing women’s equality can add $12 trillion to global growth. Diambil kembali dari https://www.mckinsey.com/featured-insights/employment-and-growth/how-advancing-womens-equality-can-add-12-trillion-to-global-growth 21 Mei 2021
Yinger, J. M. (1960). Contraculture and Subculture. American Sociological Review, 25(5): 625 – 635
Yinger, J. M. (1984). Countercultures. Free Press: Amerika Serikat
Červíková, N. (2018). HIPPIE SUBCULTURE AND ITS IMPACT ON CONTEMPORARY SOCIETY.
Myers, Joe. (2016, 22 September). Sexism is bad for the economy. Diambil kembali dari https://www.weforum.org/agenda/2016/09/sexism-gender-economy-united-nations-charts/ 30 Mei 2021
Editor: Haikal Qinthara, Maurizky Febriansyah, Nadyezdi Rifi Prihadiani, Ruthana Bithia
Ilustrator: Batrisyia Izzati Ardhie
Discussion about this post