Ini kisah tentang sebuah ramalan yang sudah begitu familiar di telinga seluruh penduduk kota. Bunyinya: tiap seratus tahun, akan muncul bocah biadab yang mulutnya suka bicara kasar. Saat ini, tepat seratus tahun sejak kelahiran bocah biadab sebelumnya. Beginilah kisahnya:
Suatu malam, ketika rasi bintang sagitarius sedang sejajar dan memancar terang di timur langit, tangis bayi terdengar sayup. Sebetulnya tidak terlalu sayup, hanya saja suara orang tua, bidan, kakek, nenek, tetangga sekampung, bahkan lolongan kucing peliharaan lebih kencang. Mereka semua berteriak ketika melihat sebuah jabang bayi keluar dari lubang peranakan sambil melet dengan lidah sebilah pedang.
Sejatinya, para tamu tak diundang yang hadir pada persalinan Rodjali (nama bayi itu kemudian), menghendaki agar ia langsung dilempar saja ke bukit di belakang desa, “biar mampus digerogoti babi hutan,” kata seorang ibu dari balik punggung ibu lain. Bapak Rodjali, Udjang, hampir saja mengiyakan kebulatan forum tersebut sebelum ibu Rodjali, Mi’ah menghalaunya, “Aku tahu, mungkin anak ini anak terkutuk. Dan aku yakin membesarkannya akan lebih membuat kita makan hati daripada bersenang hati, tetapi biar bagaimanapun Rodjali ini anak kita, Pak.”
Udjang merasa malu, matanya berkaca-kaca. Bagaimana bisa, seorang ayah menghendaki kematian anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Demi menutupi kemaluannya itu — sebelum disadari para tamu tidak diundang — ia membentak mereka satu persatu dengan dalih telah memberinya ide yang tidak-tidak, “Pulang kalian! Dasar setan pengganggu! Hampir saja kulempar anakku ini! Pulang! Sebelum kalian yang jadi santapan babi liar di balik bukit!”
Bayi tadi kemudian tumbuh menggenapi nubuat yang dibuat ibunya sendiri. Bocah terkutuk atau lebih tepatnya, bocah yang suka dikutuki orang lain. Lidah pedang Rodjali tidak bisa tidak melukai lawan bicaranya. Siapapun yang mendengar kata-katanya akan tersayat hatinya, kupingnya, dan kesabarannya. Bahkan kata-kata pertama Rodjali kecil bukan “mama” atau “papa” seperti kebanyakan anak lainnya, melainkan: “Hei perempuan, lengan atasmu kendor dan perutmu bergelambir.” Mi’ah tidak menanggapi kata-kata Rodjali lebih jauh karena saat itu hatinya lebih dibungai kebanggaan, barangkali ia juga tidak mendengar dengan jelas apa-apa saja yang tadi dikatakan, ia hanya senang akhirnya anaknya mampu berbicara. Tetapi, perasaan berbunga itu tidak bertahan lama, tepat ketika kalimat kedua meluncur dari mulut beringas Rodjali, barulah ia terluka.
Tatkala Mi’ah bersimpuh di lantai dengan telapak tangan menutup wajah, Udjang datang dengan penuh bingung. Ia memandangi punggung dan tengkuk Mi’ah, ada apa gerangan? Pikirnya.
“Anak kita, Pak. Anak kita.”
“Kenapa si Djali?”
“Dia bilang air asi-ku rasanya seperti susu basi.”
Udjang seketika memeluk Mi’ah demi menenangkannya, mulutnya berucap: “Sabar, Bu. Namanya juga anak kecil” tetapi hatinya berkata: “Bangsat.. Ternyata memang benar rasanya seperti susu basi. Kirain semalem ada yang salah sama lidahku.”
***
Langit di luar sudah gelap, hanya remang bulan dan bintang yang menghalangi kegelapan total. Udjang dan Rodjali duduk di meja makan rumah. Di depan mereka semangkuk besar nasi mengepulkan asap panas tanda baru selesai ditanak. Sayur asem disebelahnya tampak jelas sudah masak lama sebelum nasi, sebuah cobek dengan sambal terasi yang baunya menghiasi ruangan ikut meramaikan meja itu. Tiga buah piring sudah disiapkan dengan segala peralatan makannya, satu kursi masih kosong. Nampaknya Udjang ingin bicara sesuatu pada Rodjali, namun diurungkan ketika Mi’ah masuk membawa nampan dengan sepiring bandeng goreng diatasnya. Mi’ah kemudian meletakkan bandeng goreng di atas meja, dengan terlebih dahulu menggeser dan merapikan mangkuk nasi dan sayur agar muat. Lalu, ia duduk dan ketiganya mulai makan.
Suapan pertama masuk ke dalam mulut Udjang, makanan itu dikunyah dengan cepat dan dipaksakan untuk cepat-cepat turun ke lambung lewat kerongkongan. Terpampang jelas di wajahnya sebuah ketidakpuasan. Buru-buru ia mampatkan mulutnya dengan isi piringnya pada suapan kedua, mekanisme setelahnya sama dengan suapan pertama. Hening yang tadi mendaulat meja makan buyar seketika. Rodjali menyemburkan isi mulutnya, melepeh hasil kunyahannya,
“Tidak enak sekali makanan ini.”
Mi’ah tersentak. Matanya seketika berkaca-kaca, buah dari perasaan tidak dihargai. Suasana seketika menjadi suram dan makin suram ketika Mi’ah berlari ke arah kamar untuk mengunci diri di sana.
“Sudahlah Bu, kalau memang tidak bisa masak, tidak perlu, lah! Ibu pikir sekarang tahun berapa?” Rodjali berteriak dari tempat duduknya, ia tahu ibunya mendengar dan memang itu maksudnya. Terdengar dari balik pintu tangis Mi’ah makin menjadi-jadi. Udjang berdiri, lalu memindahkan isi piring dan mangkuk ke dalam keranjang sampah. Membawa semua perlengkapan dan peralatan makan ke tempat cuci piring, mencucinya, dan menata semuanya di dalam lemari. Kemudian kembali duduk di atas kursi, merenung.
Sedikit drama barusan menyematkan sebuah kesadaran dalam kepala Udjang. Apa mungkin alih-alih bocah terkutuk, Rodjali merupakan seorang mesias? Juru selamat yang dikirim untuk mencerahkan dunia yang penuh kebohongan ini. Jangan-jangan pedang itu hadir guna menghunus segala kepura-puraan di dunia ini?
***
“Suaramu jelek sekali.”
“Biar.”
“Suaramu jelek sekali.”
“Biar.”
“Suaramu sama menyedihkannya dengan cara bapakmu mendapatkan uang.” Gedebugh. Kepal tangan Wasgi mendarat tepat di pipi kanan Rodjali. Ia sedikit terperanjatterperanjak ke belakang. Buaghh. Seketika Rodjali mendaratkan dengkulnya tepat di wajah Wasgi, hidungnya patah, darahnya lumer. Wasgi melayangkan tangan kanannya, mencoba menghantam Rodjali sekali lagi, ia mengelak, lalu membalasmembalah pukulan yang tidak kena tadi dengan satu tendangan berputar ke arah perutnya. Daghh. Wasgi terpelanting dan terguling di tanah.
“Awas saja kau Rodjali! Besok siap-siap saja untuk dihajar sampai semaput oleh ajudan bapakku!”
“Dasar bocah cengeng. Kau pikir menggaji ajudan-ajudan buncit itu pakai duit siapa?
Ha? Coba jawab pertanyaanku!”
Wasgi berdiri perlahan dan sejurus kemudian meninggalkan Rodjali. Bukannya malah meninggalkan jawaban.
***
“Hei, Djali.”
“Hei juga, Djelek.”
“Seharusnya tidak perlu kau hajar dia seperti itu.”
“Peduli amat. Habis dia tidak mau diam, sih.”
“Kau kan bisa bicara dengan sedikit lebih halus. Nih, minum,” Odeng mengajukan segelas es jeruk pada Rodjali. Ia meneguknya, lalu menyemburkannya.
“Buahhh, es jeruk ini tidak enak sekali! Mak Munahhhh–”
“Hei, hei. Aku yang salah. Tidak perlu marahi Mak Munah. Biar kupesan yang baru.” Buru-buru Odeng menyela dan melompat ke arah bibi penjaga warung, setelah pesan ia segera kembali.
“Aku benar-benar tidak habis pikir.”
“Untuk?”
“Suara jelek si Wasgi.”
“Tolong. Mari sudahi percakapan itu. Oh iya, omong-omong soal tidak habis pikir. Aku juga tidak habis pikir, kenapa kata-kata yang diucapkan lidahmu itu selalu bikin orang sakit hati?”
“Hmm.. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya tidak ada yang salah dengan lidahku, selain mungkin bentuknya yang aneh. Seandainya ada yang salah dengan tubuhku dan harus bertanggung jawab atas segala kekacauan, dialah otakku. Entah, rasanya seperti otakku ini tidak hadir bersama perangkat penyaring, barangkali khusus buatku dijual terpisah ya? Hahahaha,” Rodjali sedikit terkekeh.
“Hahahahaha…”
***
Kalau ada sesuatu yang bisa menghalau tebasan pedang, alat itu namanya perisai. Pada zaman dahulu, prajurit-prajurit abad pertengahan menggenggam pedang di tangan kanan dan memanggul perisai di tangan kiri. Apabila musuh menerjang terlebih dahulu, etisnya adalah mengacungkan perisai, baru balas dengan tebasan. Tentunya lawan juga akan siap dengan tamengnya. Ctang-ctung-ctang-ctung. Akan begitu terus sampai ada yang letih dan tak mampu lagi membalas, maka datanglah mampusnya.
Kira-kira begitulah yang terjadi dalam persahabatan Rodjali dan Odeng. Secara ajaib takdir mempertemukan mereka dalam satu ruang kelas X MIPA C di ujung lorong gedung B sekolahan. Suatu hari ibu guru mata pelajaran olahraga meminta muridnya berpasang-pasangan untuk men-juggling bola voli, umpan-mengumpan satu dengan lainnya. Tak mengejutkan, semua anak dapat pasangan, kecuali satu yang memang dihindari. Siapa dan mengapa demikian, oknumnya sudah jelas.
“Ya ampun Rodjali. Kamu bareng dia aja tuh,” ibu guru menunjuk seorang siswa yang dari tadi hanya jongkok di sudut lapangan. Rodjali pun segera menghampiri bocah yang dimaksud.
“Hei, orang aneh.”
“…”
“Hei, budeg.”
“…”
“Kau lihat apa sih?” ujarnya seraya berjongkok dan memperhatikan apa yang diperhatikan si bocah jongkok.
“Semut-semut ini luar biasa. Mereka bisa bekerja sama dengan baik tanpa harus bersuara sedikitpun.”
“Terserah katamu. Berdiri, biar kita bisa segera ambil nilai. Pelajaran ini membosankan sekali.”
Begitulah pertemuan dua sejawat yang kelak akan menjadi sahabat.
***
Mengapa Odeng mau bersahabat denganku, kala semua orang menghindarinya? Pertanyaan demikian sering berdengung di kepala Rodjali. Ah, daripada bingung ini berkepanjangan, lebih baik bertanya langsung saja padanya. Sepulang sekolah, seperti biasa mereka nangkring di warung Mak Munah.
“Deng, kenapa kamu mau bersahabat denganku?”
“Kenapa ya? Memang bersahabat butuh alasan?”
“Bukan begitu. Hanya saja, tidakkah kau sakit hati apabila bicara denganku?”
“Tidak, tidak pernah sekalipun.”
“Bagaimana bisa? Apakah ada hubungannya dengan bentuk kupingmu yang menyerupai perisai itu?”
“Begini, biar kuberitahu rahasia kehidupan, kudapat dari salah satu tabloid langganan ibuku: “Ya, kata-kata memang bisa setajam pedang. Namun pedang itu bisa dilembekkan sampai ia tidak bisa memotong kue spons paling lembut sekalipun.” Sakit hati atau tidaknya atas perkataan orang lain, itu tergantung kita. Toh, kita memang tidak akan bisa mengatur apa-apa saja yang keluar dari mulut orang lain, tetapi kita bisa mengatur apa yang masuk ke hati.”
“Sok bijak.”
“Hehehe… Eh, hari ini ibuku masak iga bakar. Mampir, yuk?”
***
Dua sekawan itu disambut ibu Odeng di pintu depan.
“Wah, bawa teman. Mari-mari masuk,” suara ibu itu kencang sekali.
Meskipun sudah berteman selama kurang lebih dua tahun, ini adalah kali pertama Rodjali berkunjung ke rumah Odeng. Ia berhenti di ruang tamu dan memandang sekeliling. Beberapa pigura isinya foto keluarga, beberapa lainnya foto pemandangan, beberapa yang lain isinya piagam penghargaan.
“Seperti rumah orang pada umumnya,” pikirnya.
Iga bakar yang sudah siap di meja makan membuat ‘ngiler’ siapapun yang melihat. Uapnya bergulung membentuk lambaian tangan yang mengajak agar segera mendekat. Begitu pula nasinya, sayurnya, sampai lalapannya yang begitu menarik hingga lambung sampai megap-megap.
“Wah, enak sekali makanan ini. Serius Tante, ranca’ bana,” Rodjali memuji buah tangan ibu Odeng.
“Ehh.. Betul kah? Terima kasih loh. Memang sudah jadi spesialisasi saya untuk masak iga bakar. Hehe,” ibu Odeng nampak tersipu, tetapi biar begitu suaranya tetap kencang sekali.
Rodjali harusnya bisa menyelesaikan tamasya lidahnya dengan penuh khidmat, kalau saja tidak dikejutkan oleh suara lantang ayah Odeng.
“Spada.. Spada.. Wah! Iga bakar!”
Rodjali membanting sendok di tangannya ke atas meja. Ia meledak oleh kekesalan yang bertumpuk sejak tadi.
“Apa-apaan sih ini! Kenapa semua orang harus bicara dengan menggunakan toa? Tidak bisakah kalian bicara dengan normal-normal saja?”
Ibu dan ayah Odeng saling bertatapan, heran. Mereka kemudian bicara dalam harmoni:
“Normal? Kamu belum tahu?”
“Tahu apa?”
Masih dalam sebuah keserasian, “Kami bicara begini agar bisa menembus telinga Odeng, wajar dong? Wong dia budeg dari lahir.”
Lalu semua tertawa di ruang makan.
Editor: Ruthana Bitia, Qurratu Aina, Alfina Nur Afriani
Discussion about this post