Gedung itu tersembunyi di balik semak belukar yang menyelubunginya. Suasana sunyi diliputi suara burung berkicauan di atas atap lapuk. Sekilas terbayang ketika lokasi ini berada pada masa kejayaannya, sebelum terucap lantang jerih payah di Pegangsaan Timur. Kini? Sejarah terbengkalai. Entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
Pada satu hari, burung-burung itu tidak sendiri, ada sosok yang menemani. Waktu berlalu, tanda akan kehidupan mulai pudar. Tatapan kosong. Tubuh tergeletak dalam ruangan penuh debu dan serangga berjalan kesana kemari. Darah hitam tergenang di bawah kepala, kontras dengan nuansa kuning yang dikenakan. Bau tak sedap merembet ke luar dan tiada kendaraan di jalan raya menggubris.
Ibukota berjalan seperti biasanya.
***
Jendela dibiarkan terbuka semua. Angin keluar masuk, mengalir di antara puluhan manusia yang berkumpul. Malam yang dingin, tubuh tetap tak bergidik meski diterpa angin. Mereka duduk di kursi yang berjajar melingkar, menyaksikan satu per satu saling bertukar pikiran dengan gestur tubuh yang menggebu-gebu, seolah mengecam sosok di depannya.
Tak seberapa jauh dari aula, sang satpam menyeruput kopi hitam pekat sembari meraba-raba bungkus kertas gorengan. Digigitnya kudapan gurih itu, senyum muncul dari wajahnya yang merasa dihangatkan. Sungguh baik, pikirnya, pemberian anak-anak itu. Terkenang masa mudanya yang juga serupa dengan semangat para mahasiswa: dengki akan kemunafikan. Kini, diri hanya terpikirkan akan hidup nyaman di tengah kota besar yang harganya membumbung tinggi. Biarlah mereka yang menjadi wakil atas keresahan masyarakat, saya menjalankan peran yang sederhana ini. Yang terpenting adalah bermanfaat bagi semua, daripada makmur namun di atas kesengsaraan orang kecil.
“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
“Siapa gerangan?”
“Hatta!”
“Mengapa kita generasi muda tiada isinya dibandingkan mereka — para pendiri bangsa yang ketika masih seumur dengan semua yang ada di ruangan ini, memperjuangkan kemerdekaan dengan penuh semangat? Rela mengorbankan nyawa, tidak berpikir dua kali meski banyak pilihan di antara mereka untuk menjalani hidup yang jauh lebih baik dibandingkan yang lainnya. Pendidikan yang diemban cukup untuk memperoleh penghidupan baik di luar tanah air, yang notabene tiada yang bisa meramal nasibnya dengan segala gejolak di dalam.
Kini? Karakter yang kosong melompong! Semua yang dikejar hanyalah kejayaan diri sendiri. Dunia maya yang penuh adiksi, ribuan teman dengan kepura-puraan yang telah mendarah daging.
Saya terpaku malu akan perilaku semua. Kemunduran selama puluhan tahun. Bukan terbebas. Terbelenggu oleh diri sendiri.”
Amat yang selama ini lantang berbicara berpangku pada meja, mengejutkan semua. Tangan terkepal dipukulkannya ke atas meja. Frustasi? Hanya diri yang tahu. Kekecewaan jelas tergambar di raut wajahnya.
Lukman berusaha menenangkan dengan menepuk pundak Amat perlahan. Dimintanya duduk pada bangku kosong di ujung, meredakan emosi sebelum diskusi lebih lanjut. Kini giliran Lukman lanjut berbicara.
“Satu hal yang pasti, kitalah orang-orang beruntung. Sadar akan pentingnya keterbukaan pikiran, tidak jatuh dalam kedangkalan pola pikir. Percaya akan kebenaran dari massa, padahal dari mana semua itu? Terhanyutkan oleh propaganda.”
Sudi beranjak dan mengangguk setuju.
“Inilah yang harus dilakukan. Diskursus kebenaran dengan kepala jernih, terlepas dari konsensus publik akan kontrol rezim. Tak ada yang hitam dan putih — abu-abu hadir dalam dunia. Apakah semangat merah menyala sepenuhnya salah? Palu dan arit, bukankah simbol yang tetap mengandung esensi selama pertanian berperan di hidup dan mati?
Ada yang bisa dipelajari. Dalam kebusukan, menyembul secercah kebenaran. Pendiri bangsa menganut paham ini, membangun negara pada mulanya. Sisi positif tetap ada untuk diserap, dan itulah pilihan yang tepat saat ini. Pikiran yang sempit tak akan mampu mewujudkan potensi.”
Sambil berdiri tegak, berjalan ke tengah kerumunan, Amat berkobar. “Hantam mereka yang menghalang-halangi! Ini negara demokratis, dan kita berhak atas kebebasan berpikir. Kita kupas tuntas malam ini! Dewasakan pola pikir, penuhi harapan akan kita, para penerus. Hidup Mahasiswa!”
Semua bangkit. Jaket warna serupa dikenakan oleh semua. Salam dibalas tegas dan separuh berteriak. Setelahnya, buku-buku bersampul coklat dibagikan ke masing-masing yang ikut serta. Kegiatan berlanjut.
Hanya mereka dan penjaga di depan yang mengisi kesunyian.
***
Gerbang hijau nuansa karat berusaha dibuka sekuat tenaga. “Lama waktu berlalu sejak kunjungan terakhir ke tempat reyot ini,” ujar pria kaos hitam polos dalam hati. Setengah terbuka, ia kembali ke mobil boks yang dibawa memasuki halaman. Laci dasbor dibuka, senter diambil. Kacamata hitam dan masker digunakannya. Tangan kanan menenteng tas hitam besar, tangan kiri menyalakan senter untuk menerangi penelusuran gedung. Dirinya terhenti sejenak ketika kakinya menginjak apa yang terasa sebagai onggokan daging. Duduk berjongkok, senter disorot ke bawah.
Mayat.
Tas hitam tergelar di samping, resleting dibuka dan sarung tangan yang ada di dalam dimanfaatkan. Tubuh pucat pasi memenuhi dimensi tas yang kemudian ditutup rapat dan digembok. Sarung tangan disimpan di kantong plastik bening dan dimasukkan ke dalam saku. Langkah demi langkah dijalani, hingga akhirnya tas tersebut dipindahkan ke boks belakang mobil. Mobil hitam itu meninggalkan tempat. Tak kasat mata apa yang dibawa. Tertinggal sisa-sisa benang kuning di atas genangan hitam.
***
Tak ada yang mengira akan muncul pihak ketiga.
Jip terparkir di lahan kosong sebelah, tiga orang berseragam loreng berkomunikasi melalui HT. Senjata api tergantung di sela-sela ikat pinggang mereka. Pergerakan cepat, taktis dan sunyi. Sang satpam cukup ditodong untuk membuatnya tak berkutik. Dua lainnya bergegas ke tempat berkumpul yang ditunjuk. Satu tendangan kaki mampu menjebol pintu yang sudah dipastikan terkunci berulang kali. Senjata api ditembakkan ke arah atap sebagai ancaman.
“Tidak ada yang bergerak satu langkah pun! Siapa yang bertanggung jawab disini?”
Amat, Lukman, dan Sudi mengangkat tangan, kemudian bergerak menuju sang komandan. Tenang, namun keringat dingin tak dapat ditutup-tutupi di sekujur badan.
“Ada apa, Pak? Kami tidak salah apa-apa. Pihak kampus sudah tahu malam ini kita adakan diskusi. Ini kegiatan mahasiswa sewajarnya. Yang patut saya tanyakan, untuk apa Bapak sekalian ke sini? Tak ada keperluan aparat mengintervensi! Ini hak kami sebagai masyarakat,” jawab Amat dengan ketus.
“Omong kosong! Kami mendapat kabar ada yang menyebarluaskan paham terlarang,” bantah seorang berseragam yang lain, mengambil buku di atas meja dan membalik-balikkan halamannya. “Berani-beraninya kau mengelak! Mau kau cuci otak teman-temanmu, hah?”
“Bukan begitu, kalian salah sangka. Hanya diskusi, tak ada yang menyesatkan. Kami belajar, bukan berpolitik. Justru kami berusaha melakukan yang terbaik disini,” Sudi menimpali, berharap semua berjalan baik.
“Selain yang ada di hadapan saya, semua pulang! Acara ini dibubarkan. Jangan berani-berani menyebarluaskan apa yang terjadi malam ini bila tidak ingin terjadi malapetaka pada kalian masing-masing!” teriak sang komandan.
Semua berhambur keluar dengan terburu-buru. Ketiga mahasiswa yang tetap tinggal diborgol dan ditendang hingga jatuh ke lantai.
“Tidak ada alasan. Kalian mengganggu keamanan, dan akan ditindak sesuai dengan kesalahan kalian. Untung kita orang baik.”
Gelak tawa mengisi suasana malam itu. Pucuk senjata api ditempelkan di dahi Lukman dan Amat, pelatuk ditarik dan gemuruh suara terdengar beberapa detik. Tak berapa lama, Sudi tak berdenyut pula. Ketiga mayat diikat dan diseret ke jip yang telah dipindahkan ke depan halaman. Satpam yang tadinya berjaga hilang entah ke mana. Jip pergi membawa enam orang. Kemanakah?
***
Amat terbangun dari tidurnya di bangku ujung itu. Ternyata Sudi yang membangunkan. Ia lantas menceritakan keresahannya.
“Sud, bilang Lukman. Perasaanku tidak enak. Kita percepat saja diskusi ini, akhiri kurang lebih setengah jam lagi. Takut aku ada kenapa-kenapa.”
Sudi bingung akan tingkah laku temannya itu. Tak biasanya dilihat Amat ragu.
“Kenapa mendadak kamu berpikiran yang tidak-tidak, Mat? Sayang mereka semua rela berkumpul di sini malam-malam. Susah mengumpulkan orang, dan sekarang mau bubar?”
“Lebih baik berjaga-jaga Sud. Dalam hati aku merasa tidak enak. Ingin cepat kembali ke kediaman.”
Sudi terdiam. Lalu disampaikannya pesan ke Lukman, yang juga bungkam sekilas, kemudian melanjutkan bahasan. Tepat setengah jam kemudian, kegiatan disudahi. Semua pulang, tak terkecuali mereka bertiga yang membereskan terlebih dahulu segala perlengkapan.
Kini Amat tinggal sendiri, di depan parkiran motor sebelah kanan halaman,bersiap pulang, helm sudah diletakkan di kursi. Beberapa menit ia termenung memikirkan pilihan-pilihan hidup yang dijalani. “Tak ada penyesalan,” gumamnya. Kepala menengadah ke atas. Sungguh indah langit malam itu, ditemani kerlap-kerlip ribuan bintang tergantung di atas awan.
Tiba-tiba sosok misterius memeluknya dari belakang. Kain putih menutupi keseluruhan wajah. Bau semerbak telah membuat tubuhnya terkulai lemas, jatuh ke lantai. Kepala terantuk keras, tak sadarkan diri.
***
Tertinggal kartu nama di atas lantai berdebu. Samar-samar terlihat tulisan yang tertera: Amat.
Dipa Nusantara.
***
Ia membaca dengan serius buku putih lusuh yang ditemukan di perpustakaan. Sudah mencapai segmen tentang Politbiro. Ada nama-nama yang sudah pernah didengar, ada pula yang baru:D. N. Aidit, Lukman, Sudisman. Terbayang akan idealisme partai dengan jutaan dukungan pada masa kejayaan, dari memenuhi gelora senayan hingga pidato Soekarno turut menggelora.
“Tadi ngomong apa? Adakan forum diskusi? Sungguh menarik. Saya dukung sepenuhnya, kita harus kritisi semuanya sebagai mahasiswa. Mari, apa langkah selanjutnya?”
“Nggak jadi, hanya wacana. Ah, pikiran memang terlalu naif.”
Editor: Ruthana Bitia, Alfina Nur Afriani
Ilustrator: Haikal Rahardian
Discussion about this post