Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
Home Cerpen

Kematian Amat

by Mervin Goklas Hamonangan
8 Mei 2021
in Cerpen, Sastra

Gedung itu tersembunyi di balik semak belukar yang menyelubunginya. Suasana sunyi diliputi  suara burung berkicauan di atas atap lapuk. Sekilas terbayang ketika lokasi ini berada pada masa  kejayaannya, sebelum terucap lantang jerih payah di Pegangsaan Timur. Kini? Sejarah  terbengkalai. Entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab.  

Pada satu hari, burung-burung itu tidak sendiri, ada sosok yang menemani. Waktu berlalu, tanda  akan kehidupan mulai pudar. Tatapan kosong. Tubuh tergeletak dalam ruangan penuh debu dan  serangga berjalan kesana kemari. Darah hitam tergenang di bawah kepala, kontras dengan nuansa  kuning yang dikenakan. Bau tak sedap merembet ke luar dan tiada kendaraan di jalan raya  menggubris.  

Ibukota berjalan seperti biasanya.  

***

Jendela dibiarkan terbuka semua. Angin keluar masuk, mengalir di antara puluhan manusia yang  berkumpul. Malam yang dingin, tubuh tetap tak bergidik meski diterpa angin. Mereka duduk di  kursi yang berjajar melingkar, menyaksikan satu per satu saling bertukar pikiran dengan gestur tubuh yang menggebu-gebu, seolah mengecam sosok di depannya.  

Tak seberapa jauh dari aula, sang satpam menyeruput kopi hitam pekat sembari meraba-raba  bungkus kertas gorengan. Digigitnya kudapan gurih itu, senyum muncul dari wajahnya yang  merasa dihangatkan. Sungguh baik, pikirnya, pemberian anak-anak itu. Terkenang masa mudanya  yang juga serupa dengan semangat para mahasiswa: dengki akan kemunafikan. Kini, diri hanya terpikirkan akan hidup nyaman di tengah kota besar yang harganya membumbung tinggi. Biarlah  mereka yang menjadi wakil atas keresahan masyarakat, saya menjalankan peran yang sederhana  ini. Yang terpenting adalah bermanfaat bagi semua, daripada makmur namun di atas kesengsaraan orang kecil.  

“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

“Siapa gerangan?” 

“Hatta!” 

“Mengapa kita generasi muda tiada isinya dibandingkan mereka — para pendiri bangsa yang ketika  masih seumur dengan semua yang ada di ruangan ini, memperjuangkan kemerdekaan dengan  penuh semangat? Rela mengorbankan nyawa, tidak berpikir dua kali meski banyak pilihan di antara mereka untuk menjalani hidup yang jauh lebih baik dibandingkan yang lainnya. Pendidikan yang  diemban cukup untuk memperoleh penghidupan baik di luar tanah air, yang notabene tiada yang bisa meramal nasibnya dengan segala gejolak di dalam. 

Kini? Karakter yang kosong melompong! Semua yang dikejar hanyalah kejayaan diri sendiri.  Dunia maya yang penuh adiksi, ribuan teman dengan kepura-puraan yang telah mendarah daging. 

Saya terpaku malu akan perilaku semua. Kemunduran selama puluhan tahun. Bukan terbebas. Terbelenggu oleh diri sendiri.” 

Amat yang selama ini lantang berbicara berpangku pada meja, mengejutkan semua. Tangan  terkepal dipukulkannya ke atas meja. Frustasi? Hanya diri yang tahu. Kekecewaan jelas tergambar  di raut wajahnya. 

Lukman berusaha menenangkan dengan menepuk pundak Amat perlahan. Dimintanya duduk pada  bangku kosong di ujung, meredakan emosi sebelum diskusi lebih lanjut. Kini giliran Lukman lanjut berbicara. 

“Satu hal yang pasti, kitalah orang-orang beruntung. Sadar akan pentingnya keterbukaan pikiran,  tidak jatuh dalam kedangkalan pola pikir. Percaya akan kebenaran dari massa, padahal dari mana  semua itu? Terhanyutkan oleh propaganda.” 

Sudi beranjak dan mengangguk setuju. 

“Inilah yang harus dilakukan. Diskursus kebenaran dengan kepala jernih, terlepas dari konsensus  publik akan kontrol rezim. Tak ada yang hitam dan putih — abu-abu hadir dalam dunia. Apakah  semangat merah menyala sepenuhnya salah? Palu dan arit, bukankah simbol yang tetap  mengandung esensi selama pertanian berperan di hidup dan mati? 

Ada yang bisa dipelajari. Dalam kebusukan, menyembul secercah kebenaran. Pendiri bangsa  menganut paham ini, membangun negara pada mulanya. Sisi positif tetap ada untuk diserap, dan  itulah pilihan yang tepat saat ini. Pikiran yang sempit tak akan mampu mewujudkan potensi.” 

Sambil berdiri tegak, berjalan ke tengah kerumunan, Amat berkobar. “Hantam mereka yang menghalang-halangi! Ini negara demokratis, dan kita berhak atas kebebasan berpikir. Kita kupas tuntas malam  ini! Dewasakan pola pikir, penuhi harapan akan kita, para penerus. Hidup Mahasiswa!” 

Semua bangkit. Jaket warna serupa dikenakan oleh semua. Salam dibalas tegas dan separuh  berteriak. Setelahnya, buku-buku bersampul coklat dibagikan ke masing-masing yang ikut serta.  Kegiatan berlanjut. 

Hanya mereka dan penjaga di depan yang mengisi kesunyian.  

***

Gerbang hijau nuansa karat berusaha dibuka sekuat tenaga. “Lama waktu berlalu sejak kunjungan  terakhir ke tempat reyot ini,” ujar pria kaos hitam polos dalam hati. Setengah terbuka, ia kembali ke  mobil boks yang dibawa memasuki halaman. Laci dasbor dibuka, senter diambil. Kacamata  hitam dan masker digunakannya. Tangan kanan menenteng tas hitam besar, tangan kiri  menyalakan senter untuk menerangi penelusuran gedung. Dirinya terhenti sejenak ketika kakinya  menginjak apa yang terasa sebagai onggokan daging. Duduk berjongkok, senter disorot ke bawah.  

Mayat. 

Tas hitam tergelar di samping, resleting dibuka dan sarung tangan yang ada di dalam  dimanfaatkan. Tubuh pucat pasi memenuhi dimensi tas yang kemudian ditutup rapat dan  digembok. Sarung tangan disimpan di kantong plastik bening dan dimasukkan ke dalam saku.  Langkah demi langkah dijalani, hingga akhirnya tas tersebut dipindahkan ke boks belakang mobil.  Mobil hitam itu meninggalkan tempat. Tak kasat mata apa yang dibawa. Tertinggal sisa-sisa benang kuning di atas genangan hitam.  

***

Tak ada yang mengira akan muncul pihak ketiga. 

Jip terparkir di lahan kosong sebelah, tiga orang berseragam loreng berkomunikasi melalui HT.  Senjata api tergantung di sela-sela ikat pinggang mereka. Pergerakan cepat, taktis dan sunyi. Sang  satpam cukup ditodong untuk membuatnya tak berkutik. Dua lainnya bergegas ke tempat  berkumpul yang ditunjuk. Satu tendangan kaki mampu menjebol pintu yang sudah dipastikan  terkunci berulang kali. Senjata api ditembakkan ke arah atap sebagai ancaman.  

“Tidak ada yang bergerak satu langkah pun! Siapa yang bertanggung jawab disini?” 

Amat, Lukman, dan Sudi mengangkat tangan, kemudian bergerak menuju sang komandan. Tenang, namun keringat dingin tak dapat ditutup-tutupi di sekujur badan.  

“Ada apa, Pak? Kami tidak salah apa-apa. Pihak kampus sudah tahu malam ini kita adakan diskusi. Ini kegiatan mahasiswa sewajarnya. Yang patut saya tanyakan, untuk apa Bapak sekalian  ke sini? Tak ada keperluan aparat mengintervensi! Ini hak kami sebagai masyarakat,” jawab Amat dengan ketus. 

“Omong kosong! Kami mendapat kabar ada yang menyebarluaskan paham terlarang,” bantah  seorang berseragam yang lain, mengambil buku di atas meja dan membalik-balikkan halamannya.  “Berani-beraninya kau mengelak! Mau kau cuci otak teman-temanmu, hah?” 

“Bukan begitu, kalian salah sangka. Hanya diskusi, tak ada yang menyesatkan. Kami belajar,  bukan berpolitik. Justru kami berusaha melakukan yang terbaik disini,” Sudi menimpali, berharap  semua berjalan baik. 

“Selain yang ada di hadapan saya, semua pulang! Acara ini dibubarkan. Jangan berani-berani  menyebarluaskan apa yang terjadi malam ini bila tidak ingin terjadi malapetaka pada kalian  masing-masing!” teriak sang komandan. 

Semua berhambur keluar dengan terburu-buru. Ketiga mahasiswa yang tetap tinggal diborgol dan  ditendang hingga jatuh ke lantai.  

“Tidak ada alasan. Kalian mengganggu keamanan, dan akan ditindak sesuai dengan kesalahan  kalian. Untung kita orang baik.”

Gelak tawa mengisi suasana malam itu. Pucuk senjata api ditempelkan di dahi Lukman dan Amat, pelatuk ditarik dan gemuruh suara terdengar beberapa detik. Tak berapa lama, Sudi tak  berdenyut pula. Ketiga mayat diikat dan diseret ke jip yang telah dipindahkan ke depan halaman.  Satpam yang tadinya berjaga hilang entah ke mana. Jip pergi membawa enam orang. Kemanakah? 

***

Amat terbangun dari tidurnya di bangku ujung itu. Ternyata Sudi yang membangunkan. Ia lantas menceritakan keresahannya. 

“Sud, bilang Lukman. Perasaanku tidak enak. Kita percepat saja diskusi ini, akhiri kurang lebih  setengah jam lagi. Takut aku ada kenapa-kenapa.” 

Sudi bingung akan tingkah laku temannya itu. Tak biasanya dilihat Amat ragu. 

“Kenapa mendadak kamu berpikiran yang tidak-tidak, Mat? Sayang mereka semua rela  berkumpul di sini malam-malam. Susah mengumpulkan orang, dan sekarang mau bubar?” 

“Lebih baik berjaga-jaga Sud. Dalam hati aku merasa tidak enak. Ingin cepat kembali ke  kediaman.” 

Sudi terdiam. Lalu disampaikannya pesan ke Lukman, yang juga bungkam sekilas, kemudian  melanjutkan bahasan. Tepat setengah jam kemudian, kegiatan disudahi. Semua pulang, tak  terkecuali mereka bertiga yang membereskan terlebih dahulu segala perlengkapan. 

Kini Amat tinggal sendiri, di depan parkiran motor sebelah kanan halaman,bersiap pulang, helm  sudah diletakkan di kursi. Beberapa menit ia termenung memikirkan pilihan-pilihan hidup yang  dijalani. “Tak ada penyesalan,” gumamnya. Kepala menengadah ke atas. Sungguh indah langit  malam itu, ditemani kerlap-kerlip ribuan bintang tergantung di atas awan.  

Tiba-tiba sosok misterius memeluknya dari belakang. Kain putih menutupi keseluruhan wajah. Bau semerbak telah membuat tubuhnya terkulai lemas, jatuh ke lantai. Kepala terantuk keras, tak  sadarkan diri.  

***

Tertinggal kartu nama di atas lantai berdebu. Samar-samar terlihat tulisan yang tertera: Amat.

Dipa Nusantara. 

***

Ia membaca dengan serius buku putih lusuh yang ditemukan di perpustakaan. Sudah mencapai  segmen tentang Politbiro. Ada nama-nama yang sudah pernah didengar, ada pula yang baru:D. N.  Aidit, Lukman, Sudisman. Terbayang akan idealisme partai dengan jutaan dukungan pada masa  kejayaan, dari memenuhi gelora senayan hingga pidato Soekarno turut menggelora. 

“Tadi ngomong apa? Adakan forum diskusi? Sungguh menarik. Saya dukung sepenuhnya, kita harus kritisi semuanya sebagai mahasiswa. Mari, apa langkah selanjutnya?” 

“Nggak jadi, hanya wacana. Ah, pikiran memang terlalu naif.”

Editor: Ruthana Bitia, Alfina Nur Afriani
Ilustrator: Haikal Rahardian

Tweet195

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    6365 shares
    Share 2546 Tweet 1591
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    6203 shares
    Share 2481 Tweet 1551
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    3800 shares
    Share 1520 Tweet 950
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3576 shares
    Share 1430 Tweet 894
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3233 shares
    Share 1293 Tweet 808
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT