Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
No Result
View All Result
Economica
Home Kajian

Objektivitas dan Netralitas dalam Jurnalisme: Sebuah Permintaan Tanpa Penawaran 

by Aurelia Julia Irvana
26 April 2021
in Kajian

“Wah pro pemerintah. Ini mah yang nulis buzzer. Kenapa sih sekarang jurnalis gak ada yang bener? Mereka kan harus objektif dan netral!” Ali menggerutu untuk kesekian kalinya. Sembari melanjutkan kata-kata hinaan pada tulisan yang terpampang pada layar komputernya, ia meminum kopi dari sebuah gelas yang didapatkannya sebagai souvenir ketika ia mengikuti kampanye salah satu paslon. Ya, paslon dukungannya yang telah kalah pada pemilihan presiden beberapa bulan lalu. Ia masih tidak menerima hasil perhitungan suara yang dianggapnya telah dimanipulasi. Sejak saat itu, ia seringkali merutuk atas bagaimana media kerap menyorot keberhasilan program pemerintah dan selalu mempertanyakan objektivitas maupun kenetralan dari informasi tersebut. 

Jurnalisme sering kali dikaitkan dengan objektivitas dan netralitas. Kedua terminologi tersebut seringkali dihubungkan dengan jurnalisme sebagai tanggung jawab yang tidak dapat dipisahkan. Objektivitas adalah sebuah kondisi yang bebas dari bias 1Objectivity. (2021). Merriam-Webster.. Sedangkan netralitas adalah sebuah kecenderungan untuk tidak memihak. Tuntutan ini menandakan bahwa seorang jurnalis bukan merupakan bagian dari pihak apapun mengenai suatu isu atau permasalahan. Karena pendapat pribadi sejatinya dianggap tidak seharusnya menjadi bagian dari jurnalisme. 

Objektivitas dan Netralitas – Penjelasan Singkat

Dulu, manusia sangat bergantung pada ajaran dan dogma untuk menjelaskan sesuatu. Seperti halnya ide yang dicetuskan oleh Comte dalam “The Course in Positive Philosophy” yang membahas tiga tahapan dari perkembangan masyarakat. Tahap pertama yaitu tahap teologis, di mana masyarakat percaya bahwa semua fenomena alam adalah ciptaan ketuhanan atau supranatural. Tahap kedua merupakan tahap metafisik, yaitu tahapan dimana masyarakat memercayai keberadaan kekuatan abstrak yang memandu peristiwa dunia. Lalu, tahap terakhir adalah tahap positif atau dikenal sebagai tahap saintifik, yaitu masyarakat mencari penjelasan berdasarkan hasil riset dan observasi 2Auguste Comte. (1842). The Course in Positive Philosophy.. Kemajuan riset sains dan teknologi inilah yang telah berkontribusi agar manusia dapat menjelaskan sesuatu dengan lebih sedikit subjektivitas. Walaupun demikian, sepertinya mustahil bagi manusia untuk merealisasikan objektivitas secara menyeluruh. 

Objektivitas mengharuskan kita untuk mengecualikan persepsi, keyakinan, dan opini individu kita. Dan yang terpenting, kita membutuhkan ketidakpedulian dalam menilai hal-hal yang mungkin bertentangan dengan keinginan kita sendiri. Hal tersebut menjadikan objektivitas hampir tidak mungkin diterapkan dalam praktik, begitu juga dalam jurnalisme maupun media lainnya. Objektivitas jurnalistik mengharuskan seorang jurnalis tidak berada di kedua sisi argumen dan hanya melaporkan fakta, bukan opini pribadi terhadap fakta tersebut 3Warren G. Bovée (1999). Discovering Journalism. Greenwood. p. 203. ISBN 9780313309472.. Maka dari itu, tampaknya tidak mungkin bagi seorang jurnalis untuk membuat sebuah tulisan yang mencerminkan realita yang sesungguhnya. Karena objektivitas bekerja bak nila setitik rusak susu sebelanga dan opini kita berperan sebagai polutan. Dengan maksud apabila sedikit saja opini pribadi yang terselip dalam sebuah pernyataan, pernyataan tersebut sudah “terpolusi” dan tidak dapat dikatakan objektif. Lalu, bagaimana solusinya?

Netralitas seharusnya dapat dijadikan sebuah solusi dengan tujuan untuk meminimalisasi objektivitas. Netralitas menunjukkan bahwa berita dilaporkan dengan cara yang tidak memihak dan adil. Dalam pengertian ini, jurnalis tidak berpihak pada pihak manapun yang terlibat, dan hanya memberikan fakta dan informasi yang relevan untuk semua 4Calcutt, Andrew; Hammond, Phillip (2011). Journalism Studies: A Critical Introduction. USA & Canada: Routledge. pp. 97–114. ISBN 978-0-203-83174-8. . Namun, kalaupun netralitas adalah sebuah solusi, sejarah membuktikan bahwa kita, sebagai suatu individu dalam kesatuan masyarakat yang demokratis, membutuhkan subjektivitas dan ketidaknetralan dalam jurnalisme.

Jurnalisme dalam Sejarah

Produk jurnalistik tertua yang diketahui berasal dari peradaban Romawi Kuno yaitu Acta Diurna yang digunakan oleh penguasa untuk merekam peristiwa penting seperti pidato publik. Lalu dari China pada masa Dinasti Tang, Bao dikeluarkan oleh pemerintah sebagai laporan urusan pengadilan 5Britannica. (2021). Journalism. Retrieved from https://www.britannica.com/topic/journalism.. Beberapa ratu tahun setelah itu, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg membawa sebuah revolusi besar dalam dunia jurnalistik. Berbagai koran mulai beredar di beberapa negara seperti Jerman dan Inggris. Pada awalnya, koran dihalangi oleh berbagai pembatasan yang dilakukan pemerintah seperti kebijakan sensor dan penarikan pajak. Pada sekitar abad ke-18, produk jurnalistik ini sudah mulai mendapat kebebasan dan mulai beralih fungsi dari produk pemerintah menjadi milik rakyat.

Pada masa penjajahan Belanda, surat kabar pertama, Bataviasche Nouvelle diterbitkan oleh VOC di Indonesia. Awal mula penerbitan, suat kabar ini berisikan berbagai ketentuan administrasi, kedatangan kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat hingga pemecatan dan kematian pegawai VOC itu 6Wanhar, W. (2014). Bataviase Nouvelles, Pertama Terbit Pertama Diberedel. Retrieved from https://historia.id/kultur/articles/bataviase-nouvelles-pertama-terbit-pertama-diberedel-PzlOD/page/2.. Lama kelamaan, surat kabar ini berkembang dan berubah fungsi dengan isi kritikan terhadap perbudakan di Batavia (sekarang Jakarta). Karena kekhawatiran akan masalah ini, surat kabar itu akhirnya diberhentikan dan dibredel. Namun, sejarah jurnalisme di Indonesia tidak berhenti sampai disitu saja. Para pejuang kemerdekaan sering kali menggunakan produk-produk jurnalistik sebagai media dalam melawan penjajah. Seiring kolonialisme Belanda maupun Jepang, satu per satu media jurnalistik seperti Medan Prijaji, De Express, Bintang Timur, Sin Po, Sin Tit Po, Suara Asia, Oetoesan Hindia, dan lain-lain mulai bermunculan menyuarakan ketidaksukaan mereka terhadap imperialisme dan kolonialisme.

(Surat kabar Medan Prijaji, 2 April 1910)

Tidak berhenti disitu saja, jurnalisme juga merupakan wadah tumpahan perlawanan masyarakat Indonesia atas tindakan otoriter dan represif yang dilakukan oleh pemerintah pada zaman Orde Baru. Jurnalisme pada dasarnya digunakkan untuk menggiring opini untuk menggerakkan dan mengedukasi publik. Subjektivitas dan ketidaknetralan jurnalisme lah yang telah ikut berkontribusi dalam merobohkan pemerintahan yang telah berdiri kokoh selama 32 tahun. Inilah bukti nyata bahwa terkadang jurnalisme membutuhkan subjektivitas dan ketidaknetralan dalam memainkan perannya sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi. Hal tersebut adalah salah satu alasan mengapa masyarakat Indonesia berani untuk menyatakan pendapatnya mengenai permasalahan pada zaman Orde Baru, yang dahulu dianggap “tabu” dan terlalu berisiko untuk dibahas.

Hipokrisi – Objektivitas dan Netralitas Yang Subjektif

Semua contoh diatas hanya dapat dilakukan karena jurnalisme mengenyampingkan prinsip objektivitas dan netralitasnya. Apabila jurnalisme dituntut untuk selalu objektif dan netral, maka mereka harus menulis dari berbagai sisi, termasuk dari sisi penjajah dan pemerintah. Apakah masyarakat pada saat itu akan setuju? Lantas, apakah selama ini yang dimaksud dengan “objektif dan netral” adalah menjadi sepihak dengan rakyat? Kita memiliki tuntutan agar jurnalisme selalu objektif dan netral namun tidak menyetujui apabila hasilnya berlawanan arah dengan kebenaran yang kita percayai. Apabila setuju dengan kita, tulisan tersebut baik dan apabila kebalikannya, tulisan tersebut sampah dan tidak pantas. There is no in between. 

 “Media yang bias” adalah sebuah pernyataan umum yang kerap kali menjadi perbincangan, padahal semua manusia memiliki bias masing-masing. Penelitian telah menunjukkan ratusan macam bias yang dimiliki manusia dan tidak mungkin bagi seseorang untuk tidak memiliki bias tertentu dalam dirinya. Bias terbentuk karena kecenderungan otak manusia untuk mengkategorikan informasi baru. Mengkategorikan menuntun kita untuk memperhatikan fitur tertentu dan mengabaikan yang lain 7Barrett, Lisa Feldman. (2009). The Future of Psychology: Connecting Mind to Brain. doi:10.1111/j.1745-6924.2009.01134.. Dunia mungkin menyimpan sebuah kebenaran mutlak. Tetapi, realitas kita dibangun berdasarkan persepsi manusia yang sangat terbatas dan juga dipengaruhi erat oleh pengalaman masing-masing individu. Sebuah bias yang memainkan peran besar dalam kehidupan kita adalah bias blind spot, yaitu sebuah bias kognitif untuk mengenali dampak bias dalam menilai orang lain, sementara gagal melihat dampak bias dalam menilai diri sendiri 8Pronin, E.; Lin, D. Y.; Ross, L. (2002). “The Bias Blind Spot: Perceptions of Bias in Self Versus Others”. Personality and Social Psychology Bulletin. 28 (3): 369–381. doi:10.1177/0146167202286008.. Inilah yang mungkin terjadi dengan tuntutan objektivitas dan netralitas dalam jurnalisme. Kita merasa bahwa seorang jurnalis yang menulis suatu berita mengenai suatu isu tetapi tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan pasti bias namun kita gagal melihat bahwa kita sendiri bias dalam mencerna dan menafsirkan tulisan tersebut. 

Perbedaannya terletak dalam kemampuan kita untuk mengakui bahwa kita semua memiliki bias. Saya menambahkan kata “kemampuan” karena tidak semua orang dapat menerima fakta yang cukup menjengkelkan tersebut. Kondisi ini sebenarnya merupakan suatu bentuk proyeksi psikologis, yaitu sebuah mekanisme pertahanan dimana ego kita membela diri terhadap impuls yang tidak kita disadari (baik positif maupun negatif) dengan menyangkal keberadaan ego tersebut dalam diri kita sendiri dan mengantribusikannya kepada orang lain 9Sigmund Freud. (1988). Case Histories II (PFL 9) p. 132.. Kondisi ini berimplikasi pada kehidupan sehari-hari kita seperti bullying dan victim blaming. Jadi, mungkin saja selama ini kesalahannya terletak pada diri kita sendiri dan kita tidak menyadarinya. Kita menaruh kesalahan bias tersebut pada jurnalistik dan kita sendiri gagal melihat kesalahan tersebut dalam diri kita. 

Objektivitas adalah sebuah standar yang sangat ekstrim dan tidak realistik secara praktik. Surat kabar sudah pasti mengambil sudut pandang dalam memutuskan berita apa yang akan diliput, mana yang akan dimuat di halaman depan, dan sumber apa yang mereka kutip 10Calcutt, Andrew; Hammond, Phillip (2011). Journalism Studies: A Critical Introduction. USA & Canada: Routledge. pp. 97–114. ISBN 978-0-203-83174-8.. Sedangkan, netralitas dapat disesuaikan dengan konteks dan tujuan yang ingin dicapai sehingga bukan menjadi suatu hal yang mutlak. Subjektivitas dan ketidaknetralan tidak selamanya menjadi hal yang berkonotasi negatif. Dan tidak memalukan bagi seorang jurnalis untuk mengakui hal yang dianggap “cacat” tersebut. Karena, terus terang saja, kedua tuntutan itu merupakan sebuah mission impossible.

Tujuan Jurnalisme

Sebelum kita menuntut sesuatu, kita harus tahu apa yang kita ingin cari dari hal tersebut. Tujuan jurnalisme adalah memberikan informasi yang dibutuhkan warga untuk membuat keputusan terbaik tentang kehidupan, komunitas, masyarakat, dan pemerintah 11American Press Institute. (2021). What is The Purpose of Journalism Retrieved from https://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-is-journalism/purpose-journalism/.. Informasi yang diberikan ini harus bersifat konstruktif agar dapat memberikan ide kepada masyarakat untuk memilih langkah terbaik mereka. Lalu, jurnalisme juga harus memiliki kesadaran untuk menyampaikan informasi tersebut secara sederhana dan nyaman namun dengan tidak merubah hal yang ingin disampaikan. Karena jurnalisme seharusnya menjadi hal yang inklusif dan banyak orang yang tidak menyukai tulisan yang kompleks. Jurnalisme juga merupakan sebuah komponen penting dalam masyarakat yang demokratis. Sebagai bagian dari pers yang merupakan pilar keempat dari demokrasi, jurnalisme dapat digunakan untuk memonitor dan mempertanyakan akuntabilitas pemerintah. Transparansi kebijakan dan tindakan pemerintah juga dapat diwadahi sehingga tindakan korektif dapat segera dilakukan apabila terjadi kekeliruan. 

Dengan ini, kita mengetahui bahwa tujuan-tujuan ini merupakan sebuah kendala bagi jurnalisme untuk mencapai tuntutan yang diminta. Dengan ini pula kita menyadari bahwa ada standar-standar lain yang lebih krusial, seperti akurasi dan independensi. Akurasi atau ketepatan berarti tulisan tersebut didasarkan pada fakta yang terjadi di lapangan dan tidak dimanipulasi. Independensi berarti jurnalisme tidak digunakan untuk kepentingan sebagian golongan saja, terutama dalam permainan politik. Kepercayaan publik bergantung pada bagaimana jurnalisme mampu mempertahankan dirinya sebagai pihak yang mandiri dan kredibel. Hal ini cukup sulit untuk dilakukan sejak internet dan media sosial telah menjadi disrupsi terbesar dalam segala aspek kehidupan manusia, begitu juga dalam lingkup jurnalistik. Dengan akses internet yang semakin tersebar luas, orang dapat mengonsumsi informasi dimanapun dan kapanpun mereka inginkan. Disrupsi ini bukan hanya mempercepat penyebaran informasi yang ada melainkan juga memperluas celah penyebaran informasi yang telah difabrikasi. Begitu pula dengan membesarnya peluang “penitipan” kepentingan sebuah golongan.

Penutup

Lantas, kalau jurnalisme selama ini subjektif dan tidak netral, apa yang harus kita percayai? Bagaimana kita, sebagai pengonsumsi menyaring informasi yang disajikan? Jurnalisme bukan hanya membuktikan dirinya sebagai penegak demokrasi, melainkan juga membuktikan dirinya sebagai penggiring opini yang luar biasa hebat. Maka dari itu, sudah sewajarnya kita sebagai konsumen dituntut untuk tidak pasif dan dapat mempertanyakan secara kritis serta tidak menelan secara mentah semua yang disajikan. Kuncinya adalah untuk berpikir terbuka, bukan hanya membuka diri terhadap opini alternatif , tetapi secara (terus-menerus) aktif dalam mencari alternatif tersebut. Jangan terlalu terpaku pada pemikiran dikotomi, karena dunia tidak bekerja seperti halnya ujian pilihan ganda. Karena pada akhirnya, objektivitas dan netralitas ada pada mata yang melihatnya. Kita mendengar apa yang ingin kita dengar, membaca apa yang ingin kita baca, dan memilih kebenaran apapun yang ingin kita percayai. 

Referensi[+]

Referensi
↵1 Objectivity. (2021). Merriam-Webster.
↵2 Auguste Comte. (1842). The Course in Positive Philosophy.
↵3 Warren G. Bovée (1999). Discovering Journalism. Greenwood. p. 203. ISBN 9780313309472.
↵4, ↵10 Calcutt, Andrew; Hammond, Phillip (2011). Journalism Studies: A Critical Introduction. USA & Canada: Routledge. pp. 97–114. ISBN 978-0-203-83174-8.
↵5 Britannica. (2021). Journalism. Retrieved from https://www.britannica.com/topic/journalism.
↵6 Wanhar, W. (2014). Bataviase Nouvelles, Pertama Terbit Pertama Diberedel. Retrieved from https://historia.id/kultur/articles/bataviase-nouvelles-pertama-terbit-pertama-diberedel-PzlOD/page/2.
↵7 Barrett, Lisa Feldman. (2009). The Future of Psychology: Connecting Mind to Brain. doi:10.1111/j.1745-6924.2009.01134.
↵8 Pronin, E.; Lin, D. Y.; Ross, L. (2002). “The Bias Blind Spot: Perceptions of Bias in Self Versus Others”. Personality and Social Psychology Bulletin. 28 (3): 369–381. doi:10.1177/0146167202286008.
↵9 Sigmund Freud. (1988). Case Histories II (PFL 9) p. 132.
↵11 American Press Institute. (2021). What is The Purpose of Journalism Retrieved from https://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-is-journalism/purpose-journalism/.
Tweet244

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    5873 shares
    Share 2349 Tweet 1468
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    5182 shares
    Share 2073 Tweet 1296
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3165 shares
    Share 1266 Tweet 791
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3127 shares
    Share 1251 Tweet 782
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    2856 shares
    Share 1142 Tweet 714
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
  • Kajian
  • Penelitian
  • In-Depth
  • Sastra
  • Mild Report
  • Feature
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT